"Siang Ibu … Bapak. Saya ingin menjelaskan hasil pemeriksaan Ibu Dini. Menurut hasil USG tadi ternyata Ibu Dini mengalami kram perut," jelas dokter itu.
Aku dan Imron saling berpandangan. Kram perut. Aku bingung jadinya."Penyebabnya apa, Dok?" tanya Imron penasaran."Kram perut yang Ibu Dini alami disebabkan karena kehamilan.""Hamil?!!!" ucapku berbarengan dengan Imron. Kami kembali berpandangan dengan penuh tanda tanya."Iya, hamil. Biasanya di awal kehamilan sebagian wanita ada yang mengalami kram perut. Gejala ini mungkin disebabkan oleh rahim yang membesar atau peningkatan kadar progesteron atau bisa juga disebabkan implantasi embrio," jelas dokter itu lagi.Tiba-tiba tirai yang tadinya ditutup tersibak. Terlihat Dini memaksakan untuk duduk. Aku ,Imron dan dokter tersebut spontan mengalihkan pandangan ke arah Dini."Gak mungkin saya hamil, Dok! Saya selalu minum pil KB set"Akan apa?! Kamu itu cumanya bisa ngancem aja! Aku dah gak mempan lagi sama ancamanmu itu! Mau kamu ngomong apa, aku gak peduli lagi! Sudah cukup aku bersabar selama ini menghadapi sifatmu yang kekanak-kanakan. Ditambah lagi kamu bohong soal rahim kamu itu!!!" cecar Imron. Dini terlihat menunduk. Mungkin dia tidak menyangka, Imron bisa berubah menjadi tegas seperti itu. Alhamdulillah, Imron bisa mengambil sikap. "Tapi, aku gak mau, Mas! Aku mau pulang ke rumah kamu!" isak Dini. "Aku gak akan kemakan dengan air mata buayamu itu! Sudah, kalau memang kamu gak sakit lagi ayo kita cepat pulang! Biar kamu juga ada waktu mengemas baju dan perlengkapan kamu!" ucap Imron. "Mak, Imron pergi urus bayaran klinik dulu ya nanti Mak tunggu depan aja."Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. Imron berlalu keluar dari ruang IGD. Tiba-tiba, Dini turun dari ranjang mendekatiku kemudian bersimpuh. "Mak, tolong
Dini menoleh ke sumber suara. Tiba-tiba Dini berlari mendekati orang yang menegurnya yang tak lain Bu Leli. "Ibu, tolong bantu Dini, Bu! Hu … hu hu." Kudengar Dini mengadu pada Bu Leli dengan tangis palsunya. Dini memeluk Bu Leli seolah-olah meminta pertolongan. Aku hanya melihat dari teras perilaku Dini. "Eh, Mak Esah! Nih diapain lagi mantunya! Kok ya Situ jadi orang tega banget nyakitin mantunya terus!" Ibu Leli berjalan mendekati teras tempat aku berdiri sambil merangkul Dini. Imron sudah masuk ke rumah dari tadi. Mungkin bersiap-siap solat jumat. Aku hanya diam mendengar tuduhan Bu Leli. "Situ apa gak bisa sama mantu jangan kejam! Ini diapain anak orang sampe minta tolong ketetangganya!""Bu Leli tanya sendiri tuh sama orangnya!" Kuarahkan telunjukku ke arah Dini. "Kenapa, Din? Kamu gak usah takut, ada Ibu di sini yang belain kamu!" ujar Bu Leli seraya menatapku tajam. "Bu Le
Koper Dini terbuka dan pakaiannya berserakan. Terlihat Dini menangis sambil menundukkan wajahnya. Di sebelah Dini terlihat Bu Leli yang sedang mengusap-usap punggung Dini. Dia menatap dengan sinis melihat aku dan Imron yang keluar. Di depan teras pun ada pak Yudha dan Ustadz Zaki yang sepertinya akan pergi ke mesjid. "Ada apa ini, Im? Kenapa istrimu di luar dengan pakaian yang berserakan?" tanya Pak Yudha. Imron menghela napas. Dini sepertinya berbuat ulah lagi. "Maaf, Pak Yudha, jujur saya juga gak tau kenapa bisa pakaiannya berserakan seperti itu!" jawab Imron. "Halah, gak usah cari alasan kamu, Im! Kan kamu tadi yang ngeluarin koper Dini!" timpal Bu Leli. "Saya memang mengeluarkan koper Dini, tapi saya tidak menghamburkan pakaiannya seperti ini! Ibu kan tadi liat sendiri!" jawab Imron tajam. "Iy memang tidak berantakan, tapi kan gak tau setelah saya pergi, mungkin saja kamu melakukannya siapa tau?!" jawab Bu Leli. Astaghfirullah, Bu Leli benar-benar sudah kelewatan. Memang m
"Iya, Nabila," Dini menjawab mantap. "Sudah, Din! Kamu jangan bikin ribet masalah ini! Dan jangan mencari kambing hitam demi menyelamatkan dirimu sendiri!" Imron berbicara dengan lantang. "Kamu yang gak usah berbelit-belit, Mas!" timpal Dini. "Begini, Pak Yudha dan Ustadz Zaki. Biar saya jelaskan lagi. Alasan perceraian Imron bukan karena Imron ingin menikah lagi. Tapi ini jujur, karena sifat dan perilaku Dini. Rumah tangga mereka sudah tidak sehat lagi. Jadi daripada menyakiti satu sama lain dan selalu bertengkar untuk apa juga dipertahankan," jelasku panjang lebar. Pak Yudha kembali duduk di samping Ustadz Zaki. Terlihat Ustadz Zaki mengangguk paham akan penjelasanku. "Sebagai orang tua, saya pun tidak menginginkan perceraian dalam rumah tangga anak saya. Tapi jika mereka sudah tidak bisa mempertahankannya lagi, saya bisa apa! Toh, yang menjalani mereka. Kalau saya memaksakan kehendak supaya mereka tidak berpisah, bukankah saya sama saja menzolimi anak saya sendiri, sedangkan s
"Itu tadi dari kantor pusat di sini, Mak! Alhamdulillah, Imron dipromosikan menjadi leader sales. Jadi, Imron gak harus ke luar kota lagi. Paling sebulan sekali saja, Mak," jelas Imron. "Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih, ya Allah telah memberikan kemudahan kepada anakku," ucapku haru sambil mengusap tangan ke wajah. Imron memegang tanganku dan menciuminya dengan takzim."Ini semua berkat doa Mak."Kutatap wajah anak sulungku itu. Nampak netranya berkaca-kaca. Kuusap-usap pundaknya. "Dah, kita makan yuk! ajakku akhirnya. Imron mengangguk kemudian duduk di meja makan. Kuambil nasi di dalam magic com dan menuangkannya ke wadah. Lalu kutaruh di atas meja. Baru saja akan menyendok nasi, Dini datang menghampiri. "Mas, kok makan gak ngajak-ngajak sih?! Aku ini lho, lagi hamil anak kamu! Gak ada perhatian banget sama istri!" cecar Dini. Imron menghela napas. Kemudian menatap tajam pada Dini. "Kalau mau makan tinggal makan! Gak usah banyak omong!" sahut Imron. "Ish, gitu amat kamu
POV DiniMak sudah selesai makan dan mencuci piring. Setelah itu langsung menuju ke arah depan mungkin ke kamarnya. Ditinggalkannya aku seorang diri. Haduh, mengapa pake hamil segala. Padahal sudah minum pil KB masih kebobolan juga. Gara-gara kehamilan ini semua kebohonganku terbongkar. Anak ini dari dalam perut saja sudah membawa sial dalam hidupku. Sekarang, Mas Imron ada alasan untuk menceraikanku. Aku tidak mau diceraikan sebelum Bagas dan Wita bercerai. Enak saja mereka mau berbahagia di atas penderitaanku. Tidak akan kubiarkan itu terjadi. Aku tak mau gagal lagi. Sudah cukup, dulu aku meninggalkan Bagas karena dia yang belum mapan dan Bapak juga yang bersikeras tidak menyetujui. Aku nggak mau lagi. Sudah sejauh ini aku melangkah aku gak akan mundur. Pantang menyerah sebelum Bagas jatuh ke pelukanku. Mana Mas Imron sudah bertekad untuk memulangkan aku ke rumah Bapak. Gimana ini ya. Harus dengan cara apa aku mencegah Mas Imron. ***Aku masih berusaha menghabiskan sisa nasi di p
Pov Dini 2"Itu!" tunjuk Mak ke arah luar di seberang jalan. Kulihat dari jauh, itu bukannya … Nabila … iya bener itu Nabila. Ngapain dia di situ. "Itu Abil, kan Im?" tanya Mak memastikan. Kulihat Mas Imron menajamkan pandangannya dan tak berapa lama dia menganggukkan kepalanya. "Im, putar arah saja sebentar. Kita samperin Abil, Le!" ucap Mak. "Gak usah, Mas! Ini kalau muter malah jauh lagi kita! Weslah!" larangku. "Im, mana tau Abil butuh bantuan," tukas Mak. Emang ya wanita tua ini nyusahin aja. Nyebelin banget. Harusnya jaga dong perasaanku sebagai menantunya. Jangan kek gini caranya. Apalagi aku sedang mengandung cucunya. "Ya sudah, kita putar balik lagi!" ucap Mas Imron akhirnya. "Mas, nanti malah kesorean nyampenya!" rajukku. Mas Imron tidak menghiraukan perkataanku. Dia tetap memutar arah. Aku akhirnya diam. Kutekuk wajahku biar mereka tau aku kesal. Sama saja, Mas Imron juga nyebelin. Mentang-mentang sudah ada wanita lain. Ucapanku tidak didengar. Mobil yang kami n
Pov Dini 3"Mak !!!" teriakku emosi sambil menoleh ke belakang. Kutatap wajah wanita tua itu dengan penuh kebencian. Sedangkan Nabila terlihat terkejut. "Apa-apaan kamu, Din?! Kenapa kamu membentak Mak seperti itu?! Emang kenyataannya kayak gitu, kan? Kamu gak perlu marah!" Mas Imron menimpali. "Tapi, Mas, Nabila bukan bagian dari keluarga kita! Kenapa, Mak harus berterus terang seperti itu?!" jawabku masih dengan nada emosi. "Siapa yang bilang, Nabila bukan bagian keluarga?! Justru dibandingkan kamu, jauh dari sebelumnya kami sudah mengenal Nabila. Jadi wajar kalau, Mak ngomong seperti itu!" jawab Mas Imron lagi. Aku tak terima. Mas Imron malah membela wanita tua itu. Pasti, Nabila sedang mentertawakanku dalam hati. Mungkin dia sangat bahagia sekarang karena sebentar lagi keinginannya untuk menjadi istri Mas Imron terkabul. Begitu juga dengan wanita tua itu. Dia, kan sangat berharap Mas Imron menikah dengan Nabila. Takkan kubiarkan mereka bahagia di atas penderitaanku. Sudah cuk
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk