"Iya, Nabila," Dini menjawab mantap. "Sudah, Din! Kamu jangan bikin ribet masalah ini! Dan jangan mencari kambing hitam demi menyelamatkan dirimu sendiri!" Imron berbicara dengan lantang. "Kamu yang gak usah berbelit-belit, Mas!" timpal Dini. "Begini, Pak Yudha dan Ustadz Zaki. Biar saya jelaskan lagi. Alasan perceraian Imron bukan karena Imron ingin menikah lagi. Tapi ini jujur, karena sifat dan perilaku Dini. Rumah tangga mereka sudah tidak sehat lagi. Jadi daripada menyakiti satu sama lain dan selalu bertengkar untuk apa juga dipertahankan," jelasku panjang lebar. Pak Yudha kembali duduk di samping Ustadz Zaki. Terlihat Ustadz Zaki mengangguk paham akan penjelasanku. "Sebagai orang tua, saya pun tidak menginginkan perceraian dalam rumah tangga anak saya. Tapi jika mereka sudah tidak bisa mempertahankannya lagi, saya bisa apa! Toh, yang menjalani mereka. Kalau saya memaksakan kehendak supaya mereka tidak berpisah, bukankah saya sama saja menzolimi anak saya sendiri, sedangkan s
"Itu tadi dari kantor pusat di sini, Mak! Alhamdulillah, Imron dipromosikan menjadi leader sales. Jadi, Imron gak harus ke luar kota lagi. Paling sebulan sekali saja, Mak," jelas Imron. "Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih, ya Allah telah memberikan kemudahan kepada anakku," ucapku haru sambil mengusap tangan ke wajah. Imron memegang tanganku dan menciuminya dengan takzim."Ini semua berkat doa Mak."Kutatap wajah anak sulungku itu. Nampak netranya berkaca-kaca. Kuusap-usap pundaknya. "Dah, kita makan yuk! ajakku akhirnya. Imron mengangguk kemudian duduk di meja makan. Kuambil nasi di dalam magic com dan menuangkannya ke wadah. Lalu kutaruh di atas meja. Baru saja akan menyendok nasi, Dini datang menghampiri. "Mas, kok makan gak ngajak-ngajak sih?! Aku ini lho, lagi hamil anak kamu! Gak ada perhatian banget sama istri!" cecar Dini. Imron menghela napas. Kemudian menatap tajam pada Dini. "Kalau mau makan tinggal makan! Gak usah banyak omong!" sahut Imron. "Ish, gitu amat kamu
POV DiniMak sudah selesai makan dan mencuci piring. Setelah itu langsung menuju ke arah depan mungkin ke kamarnya. Ditinggalkannya aku seorang diri. Haduh, mengapa pake hamil segala. Padahal sudah minum pil KB masih kebobolan juga. Gara-gara kehamilan ini semua kebohonganku terbongkar. Anak ini dari dalam perut saja sudah membawa sial dalam hidupku. Sekarang, Mas Imron ada alasan untuk menceraikanku. Aku tidak mau diceraikan sebelum Bagas dan Wita bercerai. Enak saja mereka mau berbahagia di atas penderitaanku. Tidak akan kubiarkan itu terjadi. Aku tak mau gagal lagi. Sudah cukup, dulu aku meninggalkan Bagas karena dia yang belum mapan dan Bapak juga yang bersikeras tidak menyetujui. Aku nggak mau lagi. Sudah sejauh ini aku melangkah aku gak akan mundur. Pantang menyerah sebelum Bagas jatuh ke pelukanku. Mana Mas Imron sudah bertekad untuk memulangkan aku ke rumah Bapak. Gimana ini ya. Harus dengan cara apa aku mencegah Mas Imron. ***Aku masih berusaha menghabiskan sisa nasi di p
Pov Dini 2"Itu!" tunjuk Mak ke arah luar di seberang jalan. Kulihat dari jauh, itu bukannya … Nabila … iya bener itu Nabila. Ngapain dia di situ. "Itu Abil, kan Im?" tanya Mak memastikan. Kulihat Mas Imron menajamkan pandangannya dan tak berapa lama dia menganggukkan kepalanya. "Im, putar arah saja sebentar. Kita samperin Abil, Le!" ucap Mak. "Gak usah, Mas! Ini kalau muter malah jauh lagi kita! Weslah!" larangku. "Im, mana tau Abil butuh bantuan," tukas Mak. Emang ya wanita tua ini nyusahin aja. Nyebelin banget. Harusnya jaga dong perasaanku sebagai menantunya. Jangan kek gini caranya. Apalagi aku sedang mengandung cucunya. "Ya sudah, kita putar balik lagi!" ucap Mas Imron akhirnya. "Mas, nanti malah kesorean nyampenya!" rajukku. Mas Imron tidak menghiraukan perkataanku. Dia tetap memutar arah. Aku akhirnya diam. Kutekuk wajahku biar mereka tau aku kesal. Sama saja, Mas Imron juga nyebelin. Mentang-mentang sudah ada wanita lain. Ucapanku tidak didengar. Mobil yang kami n
Pov Dini 3"Mak !!!" teriakku emosi sambil menoleh ke belakang. Kutatap wajah wanita tua itu dengan penuh kebencian. Sedangkan Nabila terlihat terkejut. "Apa-apaan kamu, Din?! Kenapa kamu membentak Mak seperti itu?! Emang kenyataannya kayak gitu, kan? Kamu gak perlu marah!" Mas Imron menimpali. "Tapi, Mas, Nabila bukan bagian dari keluarga kita! Kenapa, Mak harus berterus terang seperti itu?!" jawabku masih dengan nada emosi. "Siapa yang bilang, Nabila bukan bagian keluarga?! Justru dibandingkan kamu, jauh dari sebelumnya kami sudah mengenal Nabila. Jadi wajar kalau, Mak ngomong seperti itu!" jawab Mas Imron lagi. Aku tak terima. Mas Imron malah membela wanita tua itu. Pasti, Nabila sedang mentertawakanku dalam hati. Mungkin dia sangat bahagia sekarang karena sebentar lagi keinginannya untuk menjadi istri Mas Imron terkabul. Begitu juga dengan wanita tua itu. Dia, kan sangat berharap Mas Imron menikah dengan Nabila. Takkan kubiarkan mereka bahagia di atas penderitaanku. Sudah cuk
Pov Dini 4"Dini!!! Benar apa yang dikatakan Ibu mertuamu, kalau kamu sudah berbohong?!" Bapak bertanya dengan nada emosi. Aku tak sanggup rasanya melihat wajah Bapak. Untuk mengangguk saja rasanya berat. Semua tubuhku terasa kaku mendengar bentakan Bapak. "Dini! Jawab!!!" teriak Bapak kali ini sambil berdiri kembali. "Pak, yang sabar! Dini memang sedang hamil, Pak! Kita harus jaga sikap juga. Orang hamil gak boleh tertekan!" Terdengar suara Ibu membela. Ah, Ibu memang is the best. Terlihat Ibu mengusap-usap lengan Bapak. "Jadi benar selama ini kamu sudah berbohong! Ya Allah Dini, tega sekali kamu membohongi Bapak dan semua orang! Bapak sampai pusing memikirkan masa depanmu dan kamu seenaknya saja melakukan kebohongan tanpa ada beban! Apa yang ada dipikiranmu itu, hah!!! Kembali Bapak membentak. " Pak, sudah ja—""Kamu diam, Bu! Jangan bela anak ini terus! Ini akibat kamu terlalu memanjakannya, jadi dia seenaknya melakukan apa yang dia mau!"Bapak kembali duduk dengan napas membu
Pov Dini 5Dini!!! Kamu memang sudah tidak waras ya? Apa perlu Bapak tampar kamu lagi, biar otakmu yang bergeser itu bisa kembali normal?! Aku kembali menundukkan kepala. Sakit akibat tamparan tadi belum hilang, masak mau ditampar lagi. "Kamu, Bu!" tunjuk Bapak pada Ibu. "Kamu sudah tau semua tentang ini?" tanya Bapak. "Mmm … itu … anu … anu … ""Anu … anu apa?! Kamu pasti sudah tau, kan? Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan Dini merekayasa semua kebohongan ini?! Benarkan?!!" Bapak menatap Ibu curiga. Duh, kok, Bapak pinter banget sih menebak semuanya. Kasian Ibu dibentak Bapak di depan besannya. "Kalau masalah kehamilan Dini, Ibu gak tau, Pak!" jawab Ibu. "Bukan masalah hamilnya yang Bapak tanyain! Dini berbohong pada Imron karena ingin mendekati Bagas, apa Ibu tau hal ini?!"Ibu hanya menunduk, tak berani lagi menjawab pertanyaan Bapak. "Jadi, benarkan tebakan Bapak! Ibu sudah tau! Kenapa, toh Bu … Bu? Kamu kok yo malah ikut-ikutan sableng kayak anakmu ini!"Hah, Bapak
Pov Dini"Kamu mau tau, Bu, kenapa Bapak sama sekali tidak merestui Dini dan Bagas?!""Kenapa, Pak? Sedari dulu, Dini ingin bertanya pada Bapak! Dini yakin bukan hanya karena Bagas yang tidak mapan, kan?" Bapak mengangguk lemah. Terlihat Bapak menyimpan beban yang begitu berat. Apa sebenarnya alasan kuat dibalik penolakan Bapak. "Sebenarnya … Bagas itu adalah anak dari saudara tiri Bapak, Mas Teja namanya.""Apa, Pak?! Jadi Dini sama Bagas sepupuan gitu?" tanyaku kaget. "Ya, jatuhnya sepupu tiri, bisa dikatakan seperti itu. . Dulu, sewaktu Mbah lanang dan Mbah Uti menikah masing-masing dari mereka membawa anak hasil pernikahan terdahulu. Mbah lanang membawa Mas Teja sedangkan Mbah Uti membawa Bapak," jelas Bapak. "Terus hubungannya dengan kita apa, Pak? Kalau sepupu, kan apalagi sepupu tiri, Dini dan Bagas kan tetap bisa menikah. Tetapi, kenapa Bapak menghalanginya?" tanya Ibu kebingungan. "Bapak tidak menyetujuinya karena harta yang kita miliki ini awalnya milik Mas Teja yang o