Pov Dini"Kamu mau tau, Bu, kenapa Bapak sama sekali tidak merestui Dini dan Bagas?!""Kenapa, Pak? Sedari dulu, Dini ingin bertanya pada Bapak! Dini yakin bukan hanya karena Bagas yang tidak mapan, kan?" Bapak mengangguk lemah. Terlihat Bapak menyimpan beban yang begitu berat. Apa sebenarnya alasan kuat dibalik penolakan Bapak. "Sebenarnya … Bagas itu adalah anak dari saudara tiri Bapak, Mas Teja namanya.""Apa, Pak?! Jadi Dini sama Bagas sepupuan gitu?" tanyaku kaget. "Ya, jatuhnya sepupu tiri, bisa dikatakan seperti itu. . Dulu, sewaktu Mbah lanang dan Mbah Uti menikah masing-masing dari mereka membawa anak hasil pernikahan terdahulu. Mbah lanang membawa Mas Teja sedangkan Mbah Uti membawa Bapak," jelas Bapak. "Terus hubungannya dengan kita apa, Pak? Kalau sepupu, kan apalagi sepupu tiri, Dini dan Bagas kan tetap bisa menikah. Tetapi, kenapa Bapak menghalanginya?" tanya Ibu kebingungan. "Bapak tidak menyetujuinya karena harta yang kita miliki ini awalnya milik Mas Teja yang o
Pov Dini"Maaf, Mbak Dini, saya hari ini belum bisa melayani Mbak Dini karena saya ada pertemuan penting. Jadi, Mbak Dini sama Mira saja ya!" tolak Nabila. "Sudah kubilang aku gak mau! Kamu itu cuma pelayan jadi jangan sok ngeboss! Panggil ownernya kemari! Aku gak suka ada pelayan yang gak sopan!" bentakku. Nabila hanya tersenyum dan itu semakin membuatku kesal. Mira mendekatiku. Kemudian berbisik ke telingaku. Seketika aku membelalakkan mataku. Benarkah yang dikatakan Mira, bahwa Nabila adalah pemilik butik ini. Gak mungkin, aku gak percaya. Cewek kampung itu bisa punya butik sebesar ini. Palingan jadi simpanan om-om. Yakin aku. "Jadi, kamu ownernya?!" tanyaku sinis. Nabila kembali tersenyum dan itu membuatku bertambah muak. "Alhamdulillah iya, Mbak. Saya minta maaf ya Mbak, saya benar-benar gak bisa melayani Mbak hari ini. Barang kali next time, Mbak Dini ke sini akan saya layani," jawab Nabila dengan lembut. Tapi di pendengaranku suaranya yang lembut itu seolah mengejekku. S
POV Dini"Jadi … aku ada kesempatan dong buat dapetin kamu lagi," ucap Erik dengan yakin. Hah, apa dia masih mengharapkan aku. Baru saja jadi janda sudah ada yang mendekati. Oh, Tuhan takdir apa yang sudah kau berikan kepadaku. "Gimana, Din?" tanya Erik lagi. "Eh … aku … anu … mmm …" Aku bingung harus menjawab apa. Kalau aku berterus terang kondisiku sekarang, jangan-jangan nanti Erik ilfeel lagi denganku. Kalau Erik dianggurin ya sayang juga rasanya. Ah bingung aku mau jawab apa. Ya Tuhan, aku ingin menghilang lagi saat ini. Doraemon datanglah batinku. "Din," panggil Erik lagi. "Eh, iya …Rik!" jawabku sedikit terkejut. "Gimana, Dini sayang …masih adakan kesempatan buat aku?""Mmm …aku gak bisa jawab sekarang, Rik! Kita jalani saja dulu. Kita juga baru ketemu lagi setelah sekian lama. Mungkin, untuk sekarang kita saling mengenal lebih dekat lagi!" jawabku ragu. "Oke …kalau itu yang kamu mau, aku terima. Aku akan pastikan kali ini kamu gak akan nolak aku lagi, karena
Pov Dini"Din, aku bolehkan sering-sering main ke rumahmu dan ngajak kamu keluar?" tanya Erik. "Boleh kok, Rik! Kenapa enggak?!" jawabku. "Syukurlah, kirain bakalan ada yang marah!" Erik menggodaku. Aku tersenyum dan menundukkan kepala. "Ya sudah kalau gitu, aku pamit dulu, ya!" "Oke, Rik! Kamu hati-hati, ya!" "Siap sayang," sahut Erik. Kemudian kami sama-sama berdiri dan berjalan beriringan. Aku mengantarkannya sampai ke depan. Kemudian Erik menghadap ke arahku. Kami saling bertatapan dan tanpa di duga Erik mengecup keningku. "Dini!!!" suara seseorang mengagetkanku dan Erik. Kami menoleh dan ternyata Bapak sudah berdiri dengan raut wajah menahan emosi. "Bapak …" ucapku dengan perasaan yang tidak karuan. Bapak pasti bakalan marah lagi nih. "Pak …perkenalkan saya Erik, saya teman dekat Dini," Erik memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan untuk menyalami Bapak. "Mmm …" jawab Bapak singkat sembari menyambut uluran tangan Erik. "Baru datang atau sudah mau pulang?" tan
"Rik … kamu di mana?" panggilku. Mataku mencari-cari sosok Erik. Kubuka lebar pintu dan masuk ke dalam.Klik. Pintu tertutup dengan sendirinya. Aku terkejut. Kucoba membuka pintu namun hasilnya nihil. "Rik, kamu di mana, Rik?" Aku merasa cemas. Kutelusuri apartemen ini. Apartemen ini cukup besar dan lengkap. Aku baru sekali ini masuk ke sini. Aku menuju ke kamar. Kemungkinan Erik pasti di sana. "Rik …kubuka pintu kamarnya. Namun kosong. Kucoba masuk ke dalam mencari di kamar mandi. Barang kali dia di dalam sana dan butuh bantuan. Saat aku mencoba membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba dari arah dalam … "Duar!!!" Erik muncul dengan tiba-tiba. Aku terlonjak kaget, sampai badanku tersentak ke belakang. "Erik, apa-apaan sih, kamu! Gak lucu tau, gak?" Erik masih tertawa. Mungkin ekspresi kagetku di matanya sangat lucu. Aku merengut seraya memutar badan. "Eits, Din, mau kemana? Aku cuma bercanda!" Erik menahan lenganku. "Bercanda kamu kelewatan! Aku udah cemas takut kamu kenapa-na
Pov Mak EsahSepulang kami dari rumah Dini, aku dan Imron mampir ke rumah Wita sekalian Imron ingin melihat keadaan Bagas. Kuceritakan semua yang terjadi kepada Wita dan Bagas. Sesekali Imron menimpali. "Alhamdulillah ya, Mas, semuanya sudah terbongkar dengan jelas. Walaupun, yah Wita kasihan juga dengan calon anak Mas, jadi korban keegoisan Ibunya!" ucap Wita. "Mas juga gak tega, Dek! Tapi, Mas juga gak bisa ngelanjuti rumah tangga sama Dini. Toh, awalnya juga Mas menikah bukan karena kemauan Mas tapi karena terpaksa!" tukas Imron. Kulihat Bagas mengangguk-anggukkan kepala seperti mendukung ucapan Imron. "Saya benar-benar gak nyangka, Mas, Dini bisa senekad itu. Dia dari dulu memang keras kepala, tapi ya … sudahlah. Setidaknya Mas udah terbebas dari perempuan sakit itu!" timpal Bagas. "Iya, Gas! Mas sangat bersyukur sekali, Allah menunjukkan semua kebenarannya. Mas sampe gak bisa berkata-kata apa-apa lagi untuk mengungkapkan kelegaan hati, Mas!" ujar Imron. "Mak juga, Le! Lega
"Sudah siap, Mak?" tanya Imron. "Sekarang, Le?" Aku balik bertanya. "Iya, Mak! Kan jemput Wita dulu terus nanti cari tempat makan dekat mesjid, jadi masih bisa solat jamaah," jelas Imron. "Oh gitu, yo wes! Mak ambil tas dulu ya!" sahutku. Saat aku akan keluar kamar, terdengar Imron berbicara dengan seseorang di depan. Siapa ya, yang datang. Aku jadi penasaran. Gegas aku ke depan. Ternyata yang datang Abil. Ku hampiri mereka yang masih berdiri di depan rumah. "Abil!" sapaku. "Eh, Mak! Apa kabar, Mak?" tanya Abil seraya mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan Abil kemudian dia mencium tanganku. "Baru datang?" tanyaku lagi. "Iya, Mak barusan saja!""Mak, Imron ajak Abil sekalian gak papa ya, Mak! Kan Abil udah kayak keluarga kita juga!" Imron meminta izin padaku. "Yo harus toh, Le. Kok sudah jauh-jauh datang gak diajak makan!" jawabku sambil tersenyum menatap Abil. "Pake mobilku aja, Im!" ujar Nabila sambil menyodorkan kuncinya mobilnya. "Gak papa nih mobilnya?" tanya Im
"Bohong kamu, dasar laki-laki bajingan!" teriak Pak Bimo. Pak Bimo kembali ingin melayangkan pukulan ke Erik namun terhenti karena tiba-tiba dokter keluar dari ruang IGD. "Kenapa, Dok?! Dini, kenapa, Dok?!" tanya Bu Ratna cemas. "Maaf, kami harus memberitahu ini. Saudari Dini harus transfusi darah. Kebetulan di rumah sakit persediaan hanya satu kantong, sedangkan kami membutuhkan tiga kantong. Tadi sudah hubungi PMI ternyata juga lagi kosong!" jelas dokter tersebut. "Saya, Dok! Golongan darah saya sama dengan Dini!" tukas Pak Bimo. "Silahkan Bapak ikuti suster ini, ya! Jadi perlu satu orang lagi!""Emang golongan darah Dini, apa Dok?" tanya Imron. "B+, Pak," jawab Dokter itu. "Saya B+, Dok!" timpal Nabila tiba-tiba. "Bil,kamu?" Imron menatap Nabila. "Iya aku B+, aku mau donorin darah aku, Im!" jawab Nabila yakin. "Makasih ya, Nduk!" ucapku pada Nabila. Tak menyangka dia mau mendonorkan darahnya walaupun Dini sudah berkata kasar padanya. Nabila tersenyum kemudian menyusul sust
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk