"Sudah siap, Mak?" tanya Imron. "Sekarang, Le?" Aku balik bertanya. "Iya, Mak! Kan jemput Wita dulu terus nanti cari tempat makan dekat mesjid, jadi masih bisa solat jamaah," jelas Imron. "Oh gitu, yo wes! Mak ambil tas dulu ya!" sahutku. Saat aku akan keluar kamar, terdengar Imron berbicara dengan seseorang di depan. Siapa ya, yang datang. Aku jadi penasaran. Gegas aku ke depan. Ternyata yang datang Abil. Ku hampiri mereka yang masih berdiri di depan rumah. "Abil!" sapaku. "Eh, Mak! Apa kabar, Mak?" tanya Abil seraya mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan Abil kemudian dia mencium tanganku. "Baru datang?" tanyaku lagi. "Iya, Mak barusan saja!""Mak, Imron ajak Abil sekalian gak papa ya, Mak! Kan Abil udah kayak keluarga kita juga!" Imron meminta izin padaku. "Yo harus toh, Le. Kok sudah jauh-jauh datang gak diajak makan!" jawabku sambil tersenyum menatap Abil. "Pake mobilku aja, Im!" ujar Nabila sambil menyodorkan kuncinya mobilnya. "Gak papa nih mobilnya?" tanya Im
"Bohong kamu, dasar laki-laki bajingan!" teriak Pak Bimo. Pak Bimo kembali ingin melayangkan pukulan ke Erik namun terhenti karena tiba-tiba dokter keluar dari ruang IGD. "Kenapa, Dok?! Dini, kenapa, Dok?!" tanya Bu Ratna cemas. "Maaf, kami harus memberitahu ini. Saudari Dini harus transfusi darah. Kebetulan di rumah sakit persediaan hanya satu kantong, sedangkan kami membutuhkan tiga kantong. Tadi sudah hubungi PMI ternyata juga lagi kosong!" jelas dokter tersebut. "Saya, Dok! Golongan darah saya sama dengan Dini!" tukas Pak Bimo. "Silahkan Bapak ikuti suster ini, ya! Jadi perlu satu orang lagi!""Emang golongan darah Dini, apa Dok?" tanya Imron. "B+, Pak," jawab Dokter itu. "Saya B+, Dok!" timpal Nabila tiba-tiba. "Bil,kamu?" Imron menatap Nabila. "Iya aku B+, aku mau donorin darah aku, Im!" jawab Nabila yakin. "Makasih ya, Nduk!" ucapku pada Nabila. Tak menyangka dia mau mendonorkan darahnya walaupun Dini sudah berkata kasar padanya. Nabila tersenyum kemudian menyusul sust
Setelah beberapa saat, Dini dipindahkan ke ruang rawat inap. Dini masih terlihat lemah dan pucat. Aku yang melihat kondisi Dini merasa kasihan juga. Kenapa hal ini bisa terjadi padanya.Pak Bimo memilih ruang rawat VIP, biar Dini merasa nyaman juga. Dini terbaring tak berdaya masih dengan transfusi darah. "Din, gimana perasaan kamu, Nak?" tanya Bu Ratna. Dini tak bersuara. Dia hanya meneteskan air mata sambil memandang Ibunya. Kemudian menatap Pak Bimo. Setelah itu dia menatap kami satu persatu. Namun, saat menatap Nabila, tatapannya berhenti. Dini kemudian menunjuk Nabila dengan telunjuknya. Aku dan Imron saling berpandangan tak mengerti maksud Dini apa. Nabila pun mengernyitkan dahinya. Apa maksud Dini menunjuk Nabila????Dini kemudian memberi tanda agar Bu Ratna mendekat. Kemudian dia membisikkan sesuatu kepada Bu Ratna. Bu Ratna terlihat meradang. "Maaf, Mbak Nabila! Bisa kita bicara di luar?!" ajak Bu Ratna. "Ada apa, Bu? Kenapa tiba-tiba Ibu ngajak Mbak Nabila keluar?" tany
Hampir sebulan setelah kejadian musibah yang menimpa Dini. Semenjak itu, hanya sekali Pak Bimo menelepon, mengabari bahwa Dini telah keluar dari rumah sakit. Dan setelah hari itu kami tidak pernah berkomunikasi. Imron pun sepertinya tidak berniat untuk bertanya kabar Dini. Sekarang, dia lebih fokus kepekerjaannya dengan jabatannya yang baru. Alhamdulillah, dengan jabatan yang baru ini, Imron tidak perlu sering ke luar kota. Dia bisa lebih sering di rumah menemaniku. Ekonomi Imron pun semakin baik. Dia juga mendapat fasilitas mobil kantor. Aku bersyukur dengan keadaan kami sekarang. Imron pun sudah mengurus perceraian dengan Dini. Tinggal persidangan terakhir dan putusan. Dini tidak pernah sekalipun datang ke persidangan dan itu sangat mempermudah proses perceraian Imron. "Assalamu'alaikum," Terdengar suara salam dari depan. "Wa'alaikummussalam," jawabku. Aku yang sedang berada di kamar bergegas ke depan untuk melihat siapa gerangan yang datang. Kubuka pintu, dan terlihat Nabila y
"Mak, Pak Bimo juga meminta tolong pada Imron!""Minta tolong apa?" tanyaku.Imron menundukkan kepala. Seperti beban untuk mengatakannya. "Apa, Im?" tanyaku lagi. Bertambah rasa penasaran di hatiku. "Mmm … Pak Bimo bilang kalau bisa perceraiannya ditunda. Karena menurut Pak Bimo hal itu bikin nambah pikiran Dini!" jawab Imron. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Pak Bimo. Dia hanya memikirkan perasaan anaknya saja. Tidak memikirkan perasaan kami yang sudah dibohongi oleh anaknya selama ini. Mimpi apa aku bisa berhubungan dengan keluarga Dini. "Kan tinggal putusan akhir saja, kan Im?" tanyaku memastikan. "Iya, Mak! Imron udah bilang juga sama Pak Bimo, seperti itu. Seandainya pun belum putusan akhir, Imron juga gak bakalan merubah tekad untuk bercerai dengan Dini!" jawab Imron tegas. "Terus, apa kata Pak Bimo?" tanyaku penasaran. "Pak Bimo gak ngomong apa-apa, Mak, cuma diam saja. Tapi, dia juga meminta Imron agar bisa nengokin Dini. Kata Pak Bimo, mungkin dengan kedatangan Imron
"Mmm …tapi, Mak, Imron ada permintaan. "Apa, Le?" tanyaku penasaran. Bagas dan Wita pun memandang ke arah Imron. "Mmm …itu …"Kenapa Imron jadi gugup gitu ya. Aku kok jadi curiga. Sebenarnya apa permintaan Imron. "Apaan, Mas? tanya Wita dengan nada tak sabar. "Mas mau …mau ngajak Abil juga, gimana? Boleh, kan?" tanya Imron malu-malu. "Oalah, Mas …Mas, kirain apa! Ya, jelas bolehlah, Mas. Malah Wita senang kalau Kak Abil bisa ikutan!" jawab Wita bersemangat. "Iyo, Le. Mak juga senang kok, jika Abil mau ngikut," timpalku. "Alhamdulillah, kalau begitu. Nanti Imron kasih tau Abil secepatnya," jawab Imron. Wita dan Bagas pulang sebelum magrib. Mereka ternyata membawa lauk untukku dan Imron. Sekalian memberitahukan tentang rencana ingin mengunjungi Bu Erna, Ibunya Bagas. Alhamdulillah, jadi aku tidak perlu memasak. Setelah solat isya dan mengaji, aku merebahkan diri di ranjang. Sambil memegang tasbih kulantunkan bacaan zikir dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Mak, udah tidur ya?"T
Oh ya, Pak kenalkan ini besan saya, mertua Wita," ucapku sambil menunjuk Ibunya Bagas yang berdiri di belakangku. Ketika Ibunya Bagas mendekati Pak Bimo, mereka berdua saling terkejut dan bertatapan lama. "Mbak Erna?" ucap Pak Bimo tersentak. Begitu juga dengan Ibunya Bagas. "Kamu?""Pak! Kamu kenal dengan Ibu ini?!" tanya Bu Ratna. Pak Bimo diam membisu. Terlihat wajahnya yang seketika berubah pucat dan cemas. Ada apa dengan Pak Bimo. Apakah dia telah mengenal Ibunya Bagas sebelum ini. Kenapa raut wajahnya menyiratkan ketakutan. Kutatap wajah Dek Erna. Bertolak belakang dengan Pak Bimo, justru wajahnya menunjukkan emosi yang menggebu. Seperti menyimpan kemarahan yang telah lama. "Ternyata, kita ketemu lagi ya, Bim?" Ibunya Bagas mendekati Pak Bimo yang malahan melangkah mundur. "Bu, Ibu kenal sama mertua Mas Imron?" Bagas bertanya dengan nada heran melihat perilaku yang tak biasa dari Pak Bimo. "Tentu saja Ibu kenal, Gas! Sangat mengenal malah!" jawab Ibunya dengan nada sinis.
"Mbak pasti bohong! Mbak cuma mau nakut-nakuti saya saja, kan? Mbak gak punya bukti dan saksi! Itu hanya rekayasa Mbak, biar saya menyerahkan harta tersebut!" balas Pak Bimo dengan nada tak yakin. "Saya gak bohong! Kalau kamu gak percaya, mau saya hubungi mantan Kades kampung Sejahtera yang telah kamu sogok?!""A …apa? Mbak sudah tahu?" jawab Pak Bimo terbata-bata. "Tentu saja! Makanya saya bilang mau bawa kasus ini ke ranah hukum, dan kamu malah meremehkan saya!"Pak Bimo semakin terlihat gelisah. Wajahnya berkeringat padahal cuaca cukup adem. Aku yakin, dia sangat keberatan harus mengembalikan harta itu. Namun di sisi lain, dia takut bakalan di penjara. "Ja …jadi mau Mbak gimana?" tanya Pak Bimo akhirnya dengan nada pasrah. "Saya mau kamu kembalikan semua yang kamu ambil!" jawab Ibu Bagas lantang. "A …apa?! Gak bisa gitu, Mbak! Selama ini saya sudah bersusah payah membangunnya dari nol, mana mungkin saya harus kembalikan semuanya!" Pak Bimo tak terima. "Benar itu! Suami say
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk