Inda_melKami semua menoleh ke sumber suara. Aku dan Imron terkejut melihatnya. Ya Allah kenapa jadi begini? Dini keluar dengan hanya menggunakan daster tanpa lengan. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya pucat dan terlihat lebih tirus. Dia memandang kami semua yang ada di ruang tamu. Tatapannya berhenti ke arah Bagas. "Gas, kamu datang?" tanya Dini seraya melangkah dan ingin langsung menghambur ke arah Bagas. Spontan ibunya Bagas langsung menghadang Dini dengan berdiri di depan Bagas. "Apaan kamu? Kok malah dekati Bagas?!" tanya Ibunya Bagas dengan nada ketus. "Ibu siapa? Saya gak ada urusan sama Ibu! Minggir! jawab Dini tak kalah ketus. Astaghfirullah, anak itu. Sudah diberi cobaan bukannya sadar malah semakin menjadi-jadi. Sikapnya tidak sopan sama sekali kepada orang yang lebih tua. "Din, ini Ibunya Bagas!" jelasku. Dini menatapku dengan raut wajah tak suka. Dia melengos tak mengindahkan ucapanku. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati. "Saya gak percaya! Gas, tolong usir Ibu i
"Bu, Bagas masih penasaran dari tadi. Apa bener Ibu punya bukti dan saksi atas kejahatan Paklek Bimo? Seingat Bagas Ibu pernah bilang, kan kalau susah mau menuntutnya. Wita memandang dengan tatapan heran. Bingung mungkin karena Bagas memanggil Pak Bimo dengan sebutan Paklek. "Sebenarnya Ibu hanya mencoba menggertak Paklekmu itu. Ternyata nyalinya masih seperti dulu. Dasar pengecut! Nyali seujung kuku sok mau maling!" ujar Ibunya Bagas dengan nada sedikit emosi. "Bu, ini …maksudnya apa? Kenapa Ibu menyebut Pak Bimo, Bapaknya Dini dengan sebutan Paklek? Wita bingung nih, Bu?!" tanya Wita penasaran. "Eh iya, Ibu lupa jelasin sama kamu, Nduk! Jadi, ternyata Bapaknya Dini itu adalah adik tiri ayahnya Bagas. Dia itu dulunya sudah mengambil tanpa izin seluruh warisan untuk ayahnya Bagas. Ibu pernah cerita, kan sama kamu Nduk, yang Ibu harus bersusah-payah mencari uang untuk Bagas sampe menahan lapar. Itu semua karena dia. Tapi, Alhamdulillah, Ibu berhasil mengambil sebagian warisan yang
Ternyata tetangga depan rumah, Bu Leli yang datang. "Mana Imron?" tanya Bu Leli tanpa basa-basi atau ngucapin salam. "Ada di dalam. Emang Bu Leli ada perlu apa sama Imron?" tanyaku penasaran. Jujur aku benar-benar heran tiba-tiba Bu Leli ke sini nanyain Imron. Karena semenjak Dini kami antar waktu itu, Bu Leli tak pernah memijakkan kakinya di rumahku. "Saya mau ngomong, penting! Dah, cepat panggil Imron!" ucapnya dengan nada memerintah. "Bentar saya panggilkan, silahkan masuk, Bu!" ajakku. Bu Leli langsung masuk dan duduk di sofa. Aku segera menuju dapur untuk memanggil Imron. "Im, ada Bu Leli," ucapku. Imron mengernyitkan dahinya. Dia menghentikan tangannya yang akan mengambil nasi. "Tumben, Mak!" ujar Imron heran. "Iya, Mak juga heran. Tapi, pas Mak nanya tadi katanya mau ngomong penting sama kamu!" jawabku. Imron segera berdiri dan melangkah ke depan. Aku menyusul di belakangnya. "Bu Leli, ada apa, Bu?" tanya Imron sembari duduk. Aku pun ikut duduk di sebelah Imron."Im,
"Lagi di mana?! Kamu ndak papa kan, Le?! tanyaku cemas karena mendengar suara Imron yang panik. "Ndak, Mak. Imron gak papa! Cuma sekarang Imron lagi di rumah sakit.""Hah! Apa? Kamu kenapa toh, Le?" tanyaku lagi. Hatiku dilanda kecemasan. Pikiranku sudah berkelana yang tidak-tidak. Ya Allah lindungi anakku. "Mak, tenang! Mak minum dulu!" Abil menyodorkan segelas air kepadaku. "Biar Abil yang ngomong, Mak!" Aku langsung menyodorkan hapeku. "Im, ni aku Abil. Kamu lagi dimana?" Kulihat Abil menganggukkan kepalanya. Entah apa yang mereka bicarakan aku pun tak tau. Pikiran dan hatiku sudah tidak karuan. "Oh gitu, ya sudah nanti aku yang ngabari ke Ibunya sekalian nanti bareng Mak juga kesana," ucap Abil di telepon. "Oke, kamu urus gih di sana! Kami langsung otw ya!"Abil menyudahi percakapannya dengan Imron. Dan menyodorkan kembali hapeku. "Imron kenapa, Bil?" tanyaku dengan nada cemas. Abil tersenyum memandangku kemudian menggenggam tanganku. "Imron gak papa, Mak!""Tapi tadi bi
Bibirnya terantuk ke bagian belakang kursi Abil. Yah, sedikit jontor dan merah. Mungkin ini peringatan kali ya dari Allah agar mulut itu dijaga sedikit jangan terlalu julid ke orang. "Kamu gimana sih, Bil?! Memble nih bibir saya!" sungut Bu Leli sambil meringis menahan sakit di bibirnya. "Maaf, Bu gak sengaja. Tiba-tiba aja ada kucing lewat. Spontan saya langsung ngerem," jelas Abil sambil berusaha untuk tidak tertawa. Kemudian Abil kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang. "Maaf …maaf! Kebangetan kamu!" gerutu Bu Leli"Ya sudah! Jadi Ibu maunya apa?" tanya Abil. "Kamu harus tanggung jawab!""Tanggung jawab apa?" tanya Abil kebingungan. "Yah …tanggung jawab karena kamu sudah buat bibir saya sakit," jawab Bu Leli. "Jadi, Bu Leli mau berobat. Ya udah sekalian nanti pas di rumah sakit kita cek.""Gak, saya gak mau tanggung jawab itu, yang lain saja!""Yang lain …? Yang lain itu maksudnya gimana ya, Bu?""Saya mau kamu belikan bubur ayam kalau udah sampe di rumah sakit nanti!
Dokter itu memeriksa Lastri dengan raut wajah serius. Aku masih memperhatikan Bu Leli yang masih menatap dokter tersebut. "Alhamdulillah Mbak, gak ada luka serius. Bisa langsung pulang hari ini!" ujar Dokter itu. "Makasih ya, Dok!" ucap Lastri. "Sama-sama. Nanti jangan lupa tebus obatnya ya, biar cepat kering lukanya."Lastri menganggukkan kepala tanda mengerti. Dan tak berapa lama dokter pergi meninggalkan kami. Lastri kemudian menatap Ibunya yang masih fokus ke arah Dokter itu. "Bu, Ibu kenapa sih?! Dokternya risih tuh diliatin melulu!" ucap Lastri sebal. "Haduh Lastri …ganteng banget dokter itu. Ibu kok ya jadi kepingin …""Ibu! Apaan sih?!" bentak Lastri. "Ah, kamu ganggu aja! Beneran Las, Ibu naksir sama tuh dokter."Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Bu Leli. Naksir …gak salah tuh. Umur udah mau kepala enam juga kok ya naksir berondong. Pusing juga tuh dokter, kok bisa-bisanya ditaksir sama mak-mak. "Ibu, ingat umur! Udah bau tanah juga! Mikir pintu kubur sudah d
"Abil …!"ucapku tak percaya. "Kamu kurang ajar ya! Berani kamu nampar saya! Saya ini orang yang lebih tua! Harusnya kamu hormat sama saya!" teriak Bu Leli yang membuat kami jadi pusat perhatian orang-orang di rumah sakit ini. "Saya akan menghormati orang yang pantas dihormati tapi itu bukan Ibu! Mulut Ibu itu udah keterlaluan! Seenaknya saja memfitnah dan mencaci-maki Imron sekeluarga! Noh, dikamar mandi ada cermin. Silahkan bercermin dulu, apakah pantas Ibu dihormati! Dan satu lagi, kalau Ibu masih buat masalah dengan saya dan keluarga Mak, saya gak segan-segan melaporkan Ibu ke polisi! Ini sudah pernah saya bilang juga sama Ibu, kan?! Sekali lagi …ingat sekali lagi, saya pastikan Ibu nginap di penjara!" ujar Abil penuh emosi. Aku tidak menyangka Abil menampar Bu Leli. Tapi baguslah. Mewakili aku yang memang sudah geram dengan kelakuannya Bu Leli. "Nabila, udah Dek! Kita ke ruangan Mas aja yuk!" ajak Riza. Kami beranjak pergi menuju ruangan Riza, sedangkan Bu Leli masih terman
Kami bertiga tidak menanggapi pertanyaan dari orang tersebut yang ternyata Erik. Malas rasanya harus berurusan dengan dia. "Yuk, Mak masuk!" ajak Abil. Aku menganggukkan kepala. Baru saja aku menaiki mobil dan Abil menyusul, Erik kembali memegang bahu Abil. Abil membalikkan badan, menatap tajam pada Erik. Imron yang sudah masuk ke mobil kembali keluar. "Kenapa buru-buru? Kita belum bertegur sapa! Kok main pergi saja?!" ucap Erik"Kami gak ada urusan dengan kamu, Bung. Jadi mending kamu juga gak usah ganggu kami!" ujar Imron. "Siapa kamu? Berani-beraninya ngelarang saya! Terserah saya dong, mau ngapain?!" timpal Erik lagi. "Kamu tuh gak ada kapok-kapoknya ya! Berhenti ganggu kami! Muak lihat mukamu itu!" umpat Abil. "Kamu …masa bisa muak lihat mukaku yang ganteng ini? Bukannya kamu malah terpesona ya?" Erik mengedipkan sebelah matanya. "Hiiy …najis," ucap Abil sambil mengedikkan bahunya."Jangn bilang najis, nanti kamu malah jatuh cinta sama saya, Nabila Saraswati yang tambah men
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk