Pov Author"Pak, kita gak bisa diam gini saja, Pak! Ludes semua harta kita kalau begini caranya!" gerutu Bu Ratna. Pak Bimo hanya diam mendengar ocehan istrinya sambil sesekali memijat pelipisnya. Setelah kepulangan Bu Erna dan rombongan, istrinya tidak berhenti mengoceh. Pak Bimo tidak tau harus melakukan apa lagi. Pikirannya benar-benar buntu. Daripada dia harus masuk penjara, biarlah hidup biasa saja. Tapi ocehan dan gerutu istrinya, Bu Ratna menambah beban pikirannya. Pak Bimo tau istrinya dan Dini memang tidak pernah hidup susah. Selama ini mereka sudah nyaman hidup bergelimang harta. Namun dia bisa apa. Harta yang mereka nikmati memang bukanlah hak mereka. Jadi wajar saja, jika sewaktu-waktu akan diambil pemiliknya. "Pak …denger gak Ibu ngomong?! Kok cuma diam saja dari kemarin! Usaha, Pak …usaha!" Kembali Bu Ratna mengoceh. Pak Bimo menghela napas kasar. Dia kemudian menatap istrinya yang tengah duduk di hadapannya itu. "Bu, Bapak bisa usaha apa? Ibu mau, Bapak masuk penjara
Imron melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Abil masih fokus ke gawainya, membalas pesan kliennya kalau dia akan datang sedikit terlambat. Setelah urusannya selesai, Abil menatap ke arah Imron. "Kenapa ngeliatinnya gitu? Terpesona ya?" goda Imron sambil menggerakkan alisnya. "Apaan sih?" Abil tersenyum kecil dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. "Bil, kamu …mmm sabar nunggu, kan?""Nungguin apa?" tanya Abil pura-pura tidak mengerti. "Nungguin aku! Soalnya, kan urusan perceraian aku belum selesai. Aku kuatir kamunya merasa dipermainkan! Belum lagi anggapan orang kalau kamu itu pelakor! Aku benar-benar gak enak jadinya sama kamu!"Abil kembali menatap Imron sambil tersenyum. "Aku kan udah bilang dari awal, kalau aku bakal nungguin kamu sampe kapan pun, karena aku udah yakin sama hati aku dan juga sama kamu, Im! Masalah orang mau bilang aku pelakor atau apa terserah mereka saja, yang tau sebenarnya kan kita. Yah, hitung-hitung nimbun pahala aja kalau mereka ngomongin aku, t
"Ish …sama siapa?! Dari tadi kok plin plan gitu!" bentak Abil. "Saya disuruh sama temen saya, Rizal!" jawab pengemudi itu. "Rizal …?" Abil dan Imron menyebutkan nama Rizal secara bersamaan. Mereka berdua saling berpandangan. "Im, kamu kenal yang namanya Rizal?" tanya Abil. "Gak, kamu?" Imron balik bertanya. Abil menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Lalu Abil beralih menatap pengemudi itu. "Kami gak kenal yang namanya Rizal jadi kamu gak usah bohong!" cecar Abil. "Beneran, Mbak! Saya diminta tolong sama teman saya Rizal buat ngikutin Mas ini!" tunjuk pengemudi itu ke arah Imron. "Hah! Ngikutin aku?!" Imron bertanya dengan wajah terkejut. "Apa urusannya Rizal itu nyuruh kamu ngikutin Imron?' Kembali Abil bertanya. "Saya gak ngerti, Mbak saya cuma disuruh temen. Katanya dia penasaran siapa sebenarnya lelaki yang sekarang dekat sama Lastri!""Lastri …?" Kembali Abil dan Imron berbarengan menyebut nama Lastri. "Apaan sih? Jadi bingung aku!" Imron menggaruk-garuk kepalanya. "
'Dini …benarkah itu Dini?' "Din, kamu …beneran Nak, ini kamu?" tanya Bu Ratna dengan nada tak percaya. Bagaimana tidak. Dini yang sempat trauma karena pemerkosaan yang dilakukan Erik, sekarang berdiri di depan Bu Ratna dengan penampilan yang tak disangka-sangka. Bu Ratna masih memandang Dini tanpa berkedip. Dia masih merasa seperti mimpi melihat Dini yang selama ini hanya berkurung diri di kamar, namun sekarang Dini sangat berbeda. Dini kembali memakai pakaiannya sebelum menikah dengan Imron. Kulitnya yang putih sangat cocok dengan dress di bawah lutut motif floral tanpa lengan. Tas selempang warna pastel dan flat shoes warna senada dengan tas. Rambutnya dikuncir kuda, dengan make up natural membuat Dini seperti anak SMA. "Bu, itu Dini mau pergi! Coba kamu bilangin deh sama anakmu itu! Jangan sampe kejadian lagi kayak kemarin. Apalagi dia keluar dengan baju kayak gitu!" keluh Pak Bimo. "Din, kamu mau pergi kemana?" Bu Ratna bertanya seraya melangkah mendekati Dini. "Dini cuma m
Wita dan Bagas masih menikmati liburan di rumah Bu Erna. Anak-anak mereka sepertinya betah, apalagi Eyang mereka sangat memanjakan Zidan dan Zakia. Maklum, hanya mereka saja cucu yang dimiliki Bu Erna karena Bagas sendiri anak tunggal. Seperti hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas, Bu Erna belum kembali dari mengajak jalan Zidan dan Zakia. Tadi mereka pamitnya berenang, sekalian mau bermain di taman. Wita terlihat mondar mandir gelisah. Karena sudah terlalu lama Ibu mertua dan anak-anaknya pergi. Wita menghampiri Bagas yang duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Mas, apa gak sebaiknya kamu telponin Ibu! Aku kuatir nanti malah anak-anak bikin Ibu repot," pinta Wita. Bagas menatap istrinya dan sejurus kemudian dia tersenyum. Dia sudah paham watak istrinya. Selalu merasa tidak enak pada Ibunya. Takut anak-anak menyusahkan Eyangnya. "Kamu kayak gak tau Ibu aja, Dek! Setiap kita ke sini pasti kan gitu. Kita disuruh diam di rumah, dan Ibu yang ngemong anak-
"Hei …kamu apa-apaan?! Tiba-tiba datang Ibu Erna dan Bude Sri. Mereka menggandeng Zidan dan Zakia. Segera menghampiri Bagas dan laki-laki itu "Gak, Bu kita bercanda kok! Iya, kan, Gas?" jawab lelaki itu. "Bercanda apaan?! Saya liat kamu udah mau mukul ke arah wajah Bagas, " timpal Bu Erna. Bu Erna menatap lelaki di hadapannya sembari berpikir, sepertinya pernah liat tapi lupa di mana. "Mbak, tolong bawa Zakia dan Zidan ke dalam, ya!" pinta Bu Erna. "Iya!" jawab Bude Sri singkat. Bergegas dia menggandeng kedua anak Bagas dan menuju ke dalam. Sesampai di dalam, Bude Sri malah terkejut melihat Wita yang sedang mengintip. Wita memberikan kode agar Bude Sri pura-pura tidak tahu. Kemudian Bude Sri menghampiri Wita. "Kamu ngapain? Kok main petak umpet gitu?" tanya Bu Sri. "Itu lho, Bude! Temannya Mas Bagas itu kasar banget. Tadi dia udah ngedorong Mas Bagas dan barusan berniat mukulin Mas Bagas. Wita dah mau keluar tapi keburu Ibu yang datang, ya udah Ibu saja yang menghadapi lelaki
"Kamu tunggu perintah dari aku yah, nanti aku kabari kamu," jawab Dini. "Tapi, Din, aku udah gak sabaran pingin sama kamu!" ujar lelaki itu sambil memegang lengan Dini. "Sabar, toh kamu udah pernah nyicip juga, kan? Yah, walau saat itu aku sama sekali gak menikmatinya karena situasinya aku lagi sakit," timpal Dini. Laki-laki yang ternyata Erik itu melepaskan pegangannya pada Dini, kemudian Dini segera duduk kembali di hadapannya. "Udah dong, jangan ingat itu lagi. Aku benar-benar gak tau kamu lagi hamil. Tapi kamu seharusnya berterima kasih sama aku. Kamu, kan juga bilang bahwa kamu gak menginginkan anak itu.""Iya, tapi gak gitu juga caranya! Ya udahlah gak usah dibahas. Intinya aku cuma ingin balas dendam sama mereka yang udah nyakitin hati aku!" ucap Dini geram. "Tenang, Din! Aku pasti bantuin kamu. Apapun yang kamu perintahkan aku bakal ngelakuin. Yang penting hati kamu senang!" Dini tersenyum puas. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Biarlah aku sedikit berkorban ya
Wita bergegas ke depan. Diikuti Bagas yang juga penasaran. "Assalamu'alaikum," terdengar kembali suara salam dari depan. "Wa'alaikummussalam," jawab Wita dan Bagas berbarengan. Wita kemudian membuka pintu. Dan terlihat di hadapannya seorang wanita dan membawa seorang anak perempuan yang berumur sekitar lima tahunan. "Maaf, Mbak ini siapa, ya?" tanya Wita kebingungan. Karena dia sama sekali tidak mengenal wanita yang sekarang berdiri di hadapannya. Kemudian Wita melirik Bagas yang berada di samping Bagas. Namun, Bagas hanya mengedikkan bahunya sebagai tanda dia pun tak mengetahui siapa wanita ini. "Maaf, Mbak mengganggu pagi-pagi! Saya lagi cari rumah kontrakan. Apa, Mbak bisa bantu saya?" tanya wanita itu. Wita memperhatikan wanita ini. Sepertinya dia termasuk orang yang berada. Dilihat dari cara berpakaian dan barang-barang yang dibawanya. "Oh, rumah kontrakan! Kalau di sini gak ada, Mbak! Coba Mbak keluar dari gang ini masuk gang sebelah. Kalau gak salah minggu lalu, setau sa