"Kamu tunggu perintah dari aku yah, nanti aku kabari kamu," jawab Dini. "Tapi, Din, aku udah gak sabaran pingin sama kamu!" ujar lelaki itu sambil memegang lengan Dini. "Sabar, toh kamu udah pernah nyicip juga, kan? Yah, walau saat itu aku sama sekali gak menikmatinya karena situasinya aku lagi sakit," timpal Dini. Laki-laki yang ternyata Erik itu melepaskan pegangannya pada Dini, kemudian Dini segera duduk kembali di hadapannya. "Udah dong, jangan ingat itu lagi. Aku benar-benar gak tau kamu lagi hamil. Tapi kamu seharusnya berterima kasih sama aku. Kamu, kan juga bilang bahwa kamu gak menginginkan anak itu.""Iya, tapi gak gitu juga caranya! Ya udahlah gak usah dibahas. Intinya aku cuma ingin balas dendam sama mereka yang udah nyakitin hati aku!" ucap Dini geram. "Tenang, Din! Aku pasti bantuin kamu. Apapun yang kamu perintahkan aku bakal ngelakuin. Yang penting hati kamu senang!" Dini tersenyum puas. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Biarlah aku sedikit berkorban ya
Wita bergegas ke depan. Diikuti Bagas yang juga penasaran. "Assalamu'alaikum," terdengar kembali suara salam dari depan. "Wa'alaikummussalam," jawab Wita dan Bagas berbarengan. Wita kemudian membuka pintu. Dan terlihat di hadapannya seorang wanita dan membawa seorang anak perempuan yang berumur sekitar lima tahunan. "Maaf, Mbak ini siapa, ya?" tanya Wita kebingungan. Karena dia sama sekali tidak mengenal wanita yang sekarang berdiri di hadapannya. Kemudian Wita melirik Bagas yang berada di samping Bagas. Namun, Bagas hanya mengedikkan bahunya sebagai tanda dia pun tak mengetahui siapa wanita ini. "Maaf, Mbak mengganggu pagi-pagi! Saya lagi cari rumah kontrakan. Apa, Mbak bisa bantu saya?" tanya wanita itu. Wita memperhatikan wanita ini. Sepertinya dia termasuk orang yang berada. Dilihat dari cara berpakaian dan barang-barang yang dibawanya. "Oh, rumah kontrakan! Kalau di sini gak ada, Mbak! Coba Mbak keluar dari gang ini masuk gang sebelah. Kalau gak salah minggu lalu, setau sa
Tak lama, terlihat Nabila keluar dari sebuah ruangan. Matanya melirik kesana kemari mencari-cari. Pas tatapannya bersirobok dengan Ical, Nabila tersenyum kemudian melangkahkan kaki menuju Ical yang sedang duduk. Ical yang melihat Nabila yang sedang berjalan ke arahnya, spontan berdiri dan ikutan melangkah ke Nabila juga. "Udah lama nunggu, Cal?" tanya Nabila setelah mereka saling menghampiri. "Gak, belum lama kok! Aku tadi nunggu di cafe sekalian ngopi," jawab Ical. "Oh gitu, kamu kalau ngopi di sebelah, masukin aja ke bill aku. Aku udah langganan kok!" "Timbang segelas kopi, sampe minta bayari, malu-maluin aja kamu, Bil," jawab Ical. "Lah, kamu gimana, sih? Kan kamu lagi sama aku, wajar dong makan minum kamu aku yang tanggung."Ical tersenyum, memandang Nabila. Umur mereka berdua memang sebaya dan dulu satu sekolah. Sering berdebat dan berantem. Sifat Ical yang suka jahili Imron, membuat Nabila sering bertengkar dengannya karena Nabila yang sering membela Imron yang dianggap Ic
"Astaghfirullah …spontan Ical mengucap. Bagaimana tidak, dihadapannya sudah ada Anisa yang memandang tepat di depan wajahnya. "Walah, Mas, kek habis liat setan, sampe ngucap segala!" gerutu Anisa. "Lah, kaget toh Mbak! Tiba-tiba Mbak udah ada di depan gitu!" balas Ical tak mau kalah. "Saya tu lucu aja liat ekspresi wajah Mas. Timbang minum kopi sampe merem-merem gitu!" jelas Anisa"Oh …ini kopinya enak, Mbak. Jadi saya begitu menghayati makanya sampe merem," Ical meletakkan minumannya di atas meja lobi. "Mas mau nanya? Masnya siapa Mbak Nabila? Pacarnya ya? Kalau suami gak mungkin, karena saya tau Mbak Nabila belum menikah." Anisa kemudian duduk di sebelah Ical. Ical sedikit menggeser duduknya agar tak terlalu berdekatan dengan Anisa. "Kok malah menjauh, Mas?" Anisa heran. "Gak papa, Mbak. Belum halal!" jawab Ical iseng. "Ya kalau gitu dihalalin aja, Mas!" Anisa menjawab santai. "Hah …yang bener aja, Mbak main halalin anak gadis orang!" Ical menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sekitar setengah jam, Nabila dan Ical sampai di rumah Mak Esah. Waktu menunjukkan pukul satu siang. Tadi, sebelum ke rumah Mak Esah, mereka sempatkan dulu solat zuhur di mesjid. Sesampainya Nabila dan Ical di depan rumah Mak Esah, terlihat Imron sudah berada di depan teras sambil membawa koper kecil. Nabila segera turun dari mobil dan menghampiri Imron. "Sudah mau pergi?" tanya Nabila. "Iya, pas banget kamu nyampe, masih bisa ketemu," jawab Imron. Ical keluar dari mobil dan mendekati mereka. "Pa kabar, Pak Imron!" canda Ical. Mereka berdua bersalaman. "Alhamdulillah, Pak Ical sendiri bagaimana kabarnya?" Imron balik bertanya sambil tersenyum. "Oh saya baik juga. Sangat baik sekali malah!" sahut Ical. Nabila menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Imron dan Ical bertanya kabar menggunakan bahasa formal. "Halah, apaan kalian berdua. Geli dengernya, tau!" protes Nabila. Imron dan Ical saling pandang dan mereka berdua akhirnya tertawa. "Loh, beneran dong, Bil, aku manggil calon s
Imron tersentak dari tidurnya. Tubuh dan wajahnya penuh keringat. Diraihnya ponsel yang diletakkannya di atas nakas. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. "Astaghfirullah," gumam Imron. Dia baru menyadari bahwa semua yang terjadi tadi hanya mimpi. Namun kenapa begitu nyata kejadiannya. Entah kenapa hati Imron menjadi gelisah. Segera dia ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan solat tahajud. Dan memohon agar mereka sekeluarga selalu dalam lindungan Allah. Sore tadi, Imron baru saja sampai di lokasi untuk mengontrol bawahannya sekaligus menilai kinerja mereka. Setelah makan malam tadi, Imron sempat berkumpul dulu dengan timnya di sini untuk acara meeting besok pagi. Entah mungkin karena kecapekan atau apa sampe terbawa mimpi buruk. Setelah selesai tahajud, Imron melanjutkan dengan tilawah. Qur'an memang tidak pernah ketinggalan, selalu berada di dalam tas ranselnya. Hati Imron sedikit merasa tenang tidak gelisah seperti tadi. Dianggapnya saja sebagai bunga tidur. Im
"Assalamu'alaikum," Terdengar suara salam dari depan. Nabila yang berada di dapur langsung menuju ke depan. "Wa'alaikummussalam!" jawab Nabila seraya membuka pintu. "Eh, Wita, Zidan dan Zakia! Masuk yuk!" ajak Abil. Zidan dan Zakia langsung menyalami Nabila. Kemudian mereka duduk di sofa. "Lho, Kakak di sini? Jam berapa datang?" tanya Wita heran melihat kehadiran Nabila sepagi ini. "Kakak nginap di sini! Imron pergi ke luar kota kemarin siang!" "Oh, pantes! Tadi sempat bingung kok Kakak udah nongol di sini!" canda Wita. Nabila tersenyum memandang Wita. "Eh, Mak mana, Kak?""Di kamar mandi kayaknya!""Zidan, Zakia udah sarapan belum?" tanya Nabila pada kedua anak Wita. "Sudah Bude! Maem pake nasi goreng! jawab Zidan. "Ih, gemes!" Nabila mencubit pelan pipi Zidan kemudian memeluk Zakia yang sedang memegang bonekanya. "Makanya Kak, cepetan ajak Mas Imron nikah biar bisa punya mainan sendiri!" celetuk Wita. "Kamu, ya! Anak dibilang mainan!""Ya, maksud Wita itu, kan, biar ada y
"Iya, Bude! Kenapa Mas Bagas?""Bagas digerebek warga dan sekarang lagi berada di kantor polisi!" ujar Bude Narsih. "Apa?! Wita langsung berdiri mendengar berita dari Bude Narsih. "Iya, Wit! Cepat nyusul sekarang, ya!""Tapi, Mas Bagas tadi udah pergi kerja, Bude! Gak mungkin Mas Bagas digerebek warga!" tukas Wita. Dia tak percaya berita yang disampaikan oleh Bude Narsih. Ini mungkin hanya kesalahpahaman saja. Gak mungkin Mas Bagas seperti itu, pikir Wita. "Sih, kamu udah pastikan itu Bagas?" Mak Esah menyela pembicaraan Bude Narsih dan Wita. "Bener, Sah! Tadi aku sempat lihat Bagas ketika dibawa ke kantor polisi. Terus aku langsung nelpon Wita.""Gimana ceritanya?" tanya Mak Esah lagi. "Mak, sebaiknya kita langsung ke kantor polisi saja, biar jelas semuanya," sela Nabila. "Bener, Sah! Mending langsung ke kantor polisi saja! Soalnya aku juga gak ngerti harus ngejelasin gimana ceritanya!" ucap Bude Narsih. "Ya, Bude! Wita langsung ke kantor polisi sekarang, makasih Bude!" jawab
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk