"Assalamu'alaikum," Terdengar suara salam dari depan. Nabila yang berada di dapur langsung menuju ke depan. "Wa'alaikummussalam!" jawab Nabila seraya membuka pintu. "Eh, Wita, Zidan dan Zakia! Masuk yuk!" ajak Abil. Zidan dan Zakia langsung menyalami Nabila. Kemudian mereka duduk di sofa. "Lho, Kakak di sini? Jam berapa datang?" tanya Wita heran melihat kehadiran Nabila sepagi ini. "Kakak nginap di sini! Imron pergi ke luar kota kemarin siang!" "Oh, pantes! Tadi sempat bingung kok Kakak udah nongol di sini!" canda Wita. Nabila tersenyum memandang Wita. "Eh, Mak mana, Kak?""Di kamar mandi kayaknya!""Zidan, Zakia udah sarapan belum?" tanya Nabila pada kedua anak Wita. "Sudah Bude! Maem pake nasi goreng! jawab Zidan. "Ih, gemes!" Nabila mencubit pelan pipi Zidan kemudian memeluk Zakia yang sedang memegang bonekanya. "Makanya Kak, cepetan ajak Mas Imron nikah biar bisa punya mainan sendiri!" celetuk Wita. "Kamu, ya! Anak dibilang mainan!""Ya, maksud Wita itu, kan, biar ada y
"Iya, Bude! Kenapa Mas Bagas?""Bagas digerebek warga dan sekarang lagi berada di kantor polisi!" ujar Bude Narsih. "Apa?! Wita langsung berdiri mendengar berita dari Bude Narsih. "Iya, Wit! Cepat nyusul sekarang, ya!""Tapi, Mas Bagas tadi udah pergi kerja, Bude! Gak mungkin Mas Bagas digerebek warga!" tukas Wita. Dia tak percaya berita yang disampaikan oleh Bude Narsih. Ini mungkin hanya kesalahpahaman saja. Gak mungkin Mas Bagas seperti itu, pikir Wita. "Sih, kamu udah pastikan itu Bagas?" Mak Esah menyela pembicaraan Bude Narsih dan Wita. "Bener, Sah! Tadi aku sempat lihat Bagas ketika dibawa ke kantor polisi. Terus aku langsung nelpon Wita.""Gimana ceritanya?" tanya Mak Esah lagi. "Mak, sebaiknya kita langsung ke kantor polisi saja, biar jelas semuanya," sela Nabila. "Bener, Sah! Mending langsung ke kantor polisi saja! Soalnya aku juga gak ngerti harus ngejelasin gimana ceritanya!" ucap Bude Narsih. "Ya, Bude! Wita langsung ke kantor polisi sekarang, makasih Bude!" jawab
"Bude, Wita mau nelepon Pak RT dulu nanyain nomor Pak Ibrahim.""Yo, Nduk! Cepat telepon Pak RT!!"Wita membuka tas dan mengambil ponselnya. Segera dia menghubungi Pak RT meminta nomor Pak Ibrahim. Setelah mendapatkan nomor Pak Ibrahim, Wita segera menghubungi mantan tetangganya itu. Panggilan pertama tidak terjawab. Wita mencoba kembali tapi nihil. Untuk ketiga kalinya masih sama, tidak terjawab. Wita menarik napas dan membuangnya kasar. Meredakan sedikit sesak di dada akan kejadian hari ini. Ditutupnya wajah dengan kedua tangan. "Kenapa, Dek?" tanya Nabila. "Gak diangkatnya, Kak!" jawab Wita. "Coba di chat, Dek! Jadi nanti pas dia gak sibuk mudah-mudahan dia membaca pesan yang kamu kirimkan," saran Nabila. "Eh, bener juga kata Kakak. Coba Wita chat dulu. Wita kemudian mencoba mengirimkan pesan pada Pak Ibrahm. [Assalamu'alaikum, Pak][Saya Wita, istri Mas Bagas][Maaf, mengganggu sebelumnya][Saya mau nanya tentang orang yang mengontrak rumah Bapak][Jika Bapak sudah membaca p
Seluruh tubuh Bu Leli basah kuyup. Ternyata Wita membawa air bekas cucian kemarin yang belum sempat di buang Mak Esah. "Dasar, benar-benar kurang ajar kamu! Lihat, saya basah kuyup gini, mana bau lagi!" protes Bu Leli. "Sengaja, Bu! Seperti itulah mulut Ibu, berbau busuk!" sahut Wita. "Bu Leli, mending ganti baju aja dulu! Nanti Ibu malah masuk angin," saran Bu Romlah, temannya Bu Leli. "Nah, bener tuh! Mending sekarang pulang ganti baju, nanti masuk angin, soalnya Ibu harus benar-benar fit sebelum polisi datang ke sini!" ujar Wita. "Saya gak takut ancaman kamu!" timpal Bu Leli. "Ya sudah , tunggu aja, sebentar lagi datang polisi!" gertak Wita padahal dia sama sekali belum melaporkan Bu Leli. "Palingan kamu gertak saja! Saya tunggu laporan kamu!" tantang Bu Leli. Namun, atas saran dari teman-temannya, Bu Leli akhirnya pulang. Mak Esah dan yang lainnya ikut masuk ke dalam rumah. Mereka kembali duduk seperti semula. "Bener-bener ya, Bu Leli. Mulutnya jahat banget!"Ical mengger
Nabila menatap kepergian Lastri sampai dia menghilang dari pandangan. Nabila menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar cerita Lastri. Bu Leli bukan hanya tetangga yang tidak baik tetapi juga ibu yang kejam. Dia tega mengusir anak gadisnya sendiri. Tak dipikirkannya bagaimana nasib anaknya di luar sana. Beruntung, Lastri bisa bertemu dengan Nabila yang bersedia membantunya. Nabila masuk ke dalam rumah. Dia duduk di sofa seraya menghela napas. "Kenapa Lastri, Kak? Tadi Wita lihat, dia masuki koper ke bagasi mobil Kakak.""Iya, kakak yang suruh! Kasihan, dia gak tau mau kemana!" jawab Nabila prihatin. "Maksudnya, Nduk?" Mak Esah ikutan nimbrung pembicaraan Nabila dan Wita. "Itu Mak, Lastri diusir Bu Leli. Katanya cuma jadi benalu dan beban di rumah," jawab Nabila. "Astaghfirullah, kok tega banget Bu Leli. Anak perempuan kok malah diusir dan dibiarkan pergi! Memang otaknya kurang sekilo kayaknya!" ucap Mak Esah geram. Dia tak menyangka Bu Leli pun bisa tega sama anaknya sendiri. "Mak
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber