Wita dan Bagas masih menikmati liburan di rumah Bu Erna. Anak-anak mereka sepertinya betah, apalagi Eyang mereka sangat memanjakan Zidan dan Zakia. Maklum, hanya mereka saja cucu yang dimiliki Bu Erna karena Bagas sendiri anak tunggal. Seperti hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas, Bu Erna belum kembali dari mengajak jalan Zidan dan Zakia. Tadi mereka pamitnya berenang, sekalian mau bermain di taman. Wita terlihat mondar mandir gelisah. Karena sudah terlalu lama Ibu mertua dan anak-anaknya pergi. Wita menghampiri Bagas yang duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Mas, apa gak sebaiknya kamu telponin Ibu! Aku kuatir nanti malah anak-anak bikin Ibu repot," pinta Wita. Bagas menatap istrinya dan sejurus kemudian dia tersenyum. Dia sudah paham watak istrinya. Selalu merasa tidak enak pada Ibunya. Takut anak-anak menyusahkan Eyangnya. "Kamu kayak gak tau Ibu aja, Dek! Setiap kita ke sini pasti kan gitu. Kita disuruh diam di rumah, dan Ibu yang ngemong anak-
"Hei …kamu apa-apaan?! Tiba-tiba datang Ibu Erna dan Bude Sri. Mereka menggandeng Zidan dan Zakia. Segera menghampiri Bagas dan laki-laki itu "Gak, Bu kita bercanda kok! Iya, kan, Gas?" jawab lelaki itu. "Bercanda apaan?! Saya liat kamu udah mau mukul ke arah wajah Bagas, " timpal Bu Erna. Bu Erna menatap lelaki di hadapannya sembari berpikir, sepertinya pernah liat tapi lupa di mana. "Mbak, tolong bawa Zakia dan Zidan ke dalam, ya!" pinta Bu Erna. "Iya!" jawab Bude Sri singkat. Bergegas dia menggandeng kedua anak Bagas dan menuju ke dalam. Sesampai di dalam, Bude Sri malah terkejut melihat Wita yang sedang mengintip. Wita memberikan kode agar Bude Sri pura-pura tidak tahu. Kemudian Bude Sri menghampiri Wita. "Kamu ngapain? Kok main petak umpet gitu?" tanya Bu Sri. "Itu lho, Bude! Temannya Mas Bagas itu kasar banget. Tadi dia udah ngedorong Mas Bagas dan barusan berniat mukulin Mas Bagas. Wita dah mau keluar tapi keburu Ibu yang datang, ya udah Ibu saja yang menghadapi lelaki
"Kamu tunggu perintah dari aku yah, nanti aku kabari kamu," jawab Dini. "Tapi, Din, aku udah gak sabaran pingin sama kamu!" ujar lelaki itu sambil memegang lengan Dini. "Sabar, toh kamu udah pernah nyicip juga, kan? Yah, walau saat itu aku sama sekali gak menikmatinya karena situasinya aku lagi sakit," timpal Dini. Laki-laki yang ternyata Erik itu melepaskan pegangannya pada Dini, kemudian Dini segera duduk kembali di hadapannya. "Udah dong, jangan ingat itu lagi. Aku benar-benar gak tau kamu lagi hamil. Tapi kamu seharusnya berterima kasih sama aku. Kamu, kan juga bilang bahwa kamu gak menginginkan anak itu.""Iya, tapi gak gitu juga caranya! Ya udahlah gak usah dibahas. Intinya aku cuma ingin balas dendam sama mereka yang udah nyakitin hati aku!" ucap Dini geram. "Tenang, Din! Aku pasti bantuin kamu. Apapun yang kamu perintahkan aku bakal ngelakuin. Yang penting hati kamu senang!" Dini tersenyum puas. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Biarlah aku sedikit berkorban ya
Wita bergegas ke depan. Diikuti Bagas yang juga penasaran. "Assalamu'alaikum," terdengar kembali suara salam dari depan. "Wa'alaikummussalam," jawab Wita dan Bagas berbarengan. Wita kemudian membuka pintu. Dan terlihat di hadapannya seorang wanita dan membawa seorang anak perempuan yang berumur sekitar lima tahunan. "Maaf, Mbak ini siapa, ya?" tanya Wita kebingungan. Karena dia sama sekali tidak mengenal wanita yang sekarang berdiri di hadapannya. Kemudian Wita melirik Bagas yang berada di samping Bagas. Namun, Bagas hanya mengedikkan bahunya sebagai tanda dia pun tak mengetahui siapa wanita ini. "Maaf, Mbak mengganggu pagi-pagi! Saya lagi cari rumah kontrakan. Apa, Mbak bisa bantu saya?" tanya wanita itu. Wita memperhatikan wanita ini. Sepertinya dia termasuk orang yang berada. Dilihat dari cara berpakaian dan barang-barang yang dibawanya. "Oh, rumah kontrakan! Kalau di sini gak ada, Mbak! Coba Mbak keluar dari gang ini masuk gang sebelah. Kalau gak salah minggu lalu, setau sa
Tak lama, terlihat Nabila keluar dari sebuah ruangan. Matanya melirik kesana kemari mencari-cari. Pas tatapannya bersirobok dengan Ical, Nabila tersenyum kemudian melangkahkan kaki menuju Ical yang sedang duduk. Ical yang melihat Nabila yang sedang berjalan ke arahnya, spontan berdiri dan ikutan melangkah ke Nabila juga. "Udah lama nunggu, Cal?" tanya Nabila setelah mereka saling menghampiri. "Gak, belum lama kok! Aku tadi nunggu di cafe sekalian ngopi," jawab Ical. "Oh gitu, kamu kalau ngopi di sebelah, masukin aja ke bill aku. Aku udah langganan kok!" "Timbang segelas kopi, sampe minta bayari, malu-maluin aja kamu, Bil," jawab Ical. "Lah, kamu gimana, sih? Kan kamu lagi sama aku, wajar dong makan minum kamu aku yang tanggung."Ical tersenyum, memandang Nabila. Umur mereka berdua memang sebaya dan dulu satu sekolah. Sering berdebat dan berantem. Sifat Ical yang suka jahili Imron, membuat Nabila sering bertengkar dengannya karena Nabila yang sering membela Imron yang dianggap Ic
"Astaghfirullah …spontan Ical mengucap. Bagaimana tidak, dihadapannya sudah ada Anisa yang memandang tepat di depan wajahnya. "Walah, Mas, kek habis liat setan, sampe ngucap segala!" gerutu Anisa. "Lah, kaget toh Mbak! Tiba-tiba Mbak udah ada di depan gitu!" balas Ical tak mau kalah. "Saya tu lucu aja liat ekspresi wajah Mas. Timbang minum kopi sampe merem-merem gitu!" jelas Anisa"Oh …ini kopinya enak, Mbak. Jadi saya begitu menghayati makanya sampe merem," Ical meletakkan minumannya di atas meja lobi. "Mas mau nanya? Masnya siapa Mbak Nabila? Pacarnya ya? Kalau suami gak mungkin, karena saya tau Mbak Nabila belum menikah." Anisa kemudian duduk di sebelah Ical. Ical sedikit menggeser duduknya agar tak terlalu berdekatan dengan Anisa. "Kok malah menjauh, Mas?" Anisa heran. "Gak papa, Mbak. Belum halal!" jawab Ical iseng. "Ya kalau gitu dihalalin aja, Mas!" Anisa menjawab santai. "Hah …yang bener aja, Mbak main halalin anak gadis orang!" Ical menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sekitar setengah jam, Nabila dan Ical sampai di rumah Mak Esah. Waktu menunjukkan pukul satu siang. Tadi, sebelum ke rumah Mak Esah, mereka sempatkan dulu solat zuhur di mesjid. Sesampainya Nabila dan Ical di depan rumah Mak Esah, terlihat Imron sudah berada di depan teras sambil membawa koper kecil. Nabila segera turun dari mobil dan menghampiri Imron. "Sudah mau pergi?" tanya Nabila. "Iya, pas banget kamu nyampe, masih bisa ketemu," jawab Imron. Ical keluar dari mobil dan mendekati mereka. "Pa kabar, Pak Imron!" canda Ical. Mereka berdua bersalaman. "Alhamdulillah, Pak Ical sendiri bagaimana kabarnya?" Imron balik bertanya sambil tersenyum. "Oh saya baik juga. Sangat baik sekali malah!" sahut Ical. Nabila menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Imron dan Ical bertanya kabar menggunakan bahasa formal. "Halah, apaan kalian berdua. Geli dengernya, tau!" protes Nabila. Imron dan Ical saling pandang dan mereka berdua akhirnya tertawa. "Loh, beneran dong, Bil, aku manggil calon s
Imron tersentak dari tidurnya. Tubuh dan wajahnya penuh keringat. Diraihnya ponsel yang diletakkannya di atas nakas. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. "Astaghfirullah," gumam Imron. Dia baru menyadari bahwa semua yang terjadi tadi hanya mimpi. Namun kenapa begitu nyata kejadiannya. Entah kenapa hati Imron menjadi gelisah. Segera dia ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan solat tahajud. Dan memohon agar mereka sekeluarga selalu dalam lindungan Allah. Sore tadi, Imron baru saja sampai di lokasi untuk mengontrol bawahannya sekaligus menilai kinerja mereka. Setelah makan malam tadi, Imron sempat berkumpul dulu dengan timnya di sini untuk acara meeting besok pagi. Entah mungkin karena kecapekan atau apa sampe terbawa mimpi buruk. Setelah selesai tahajud, Imron melanjutkan dengan tilawah. Qur'an memang tidak pernah ketinggalan, selalu berada di dalam tas ranselnya. Hati Imron sedikit merasa tenang tidak gelisah seperti tadi. Dianggapnya saja sebagai bunga tidur. Im