"Sebenarnya, apa Mak?" desak Imron.
"Mas, maaf, saya ikut campur!" Bagas menyela ucapan Imron.
"Ya, Gas. Bicaralah, mas juga sudah pusing ini."
"Gini aja, Mas. Kita gak perlu lagi cari apa masalahnya. Yang jelas, itu sudah terjadi. Saya yakin, itu hanya salah paham saja. Sekarang ini, sebaiknya kita sudahi saja. Saya akan meminta Wita, minta maaf pada Mbak Dini dan saya janji, Wita gak akan mengulangi perbuatannya lagi," ucap Bagas lagi.
Wita mendelik ke arah Bagas tanda tak setuju. Yang ditatap terlihat santai.
"Huh, enak saja hanya minta maaf! Kamu gak tau, Gas, istrimu itu bar-bar, kek preman pasar! Aku gak terima, hanya dengan permintaan maaf saja," timpal Dini.
"Heh, kamu pikir, aku sudi apa minta maaf sama kamu!" balas Wita.
"Bunda! Jaga sikap! tegur Bagas pada Wita.
Wita terdiam dan menunduk.
"Sudahlah, Nak. Dak usah diperpanjang lagi. Jangan bertengkar lagi, cukup!" ucapku.
"Ya, sudahlah, Mak. Imron juga gak mau gara-gara ini, bikin pertengkaran saja. Din, kalau emang, kamu gak terima, mas yang minta maaf sama kamu, atas nama Wita! Bagaimanapun, Wita adik mas, saudara mas."
"Mas, jangan kek gitu, Mas," ucap Wita lirih.
"Bunda, minta maaf gih, sama Mbak Dini," pinta Bagas.
Wita hanya menunduk lalu menghela napas.
"Maaf, Mbak! ucap Wita tak rela.
"Gak denger, kamu ngomong apa?" ujar Dini ketus.
"Aku, minta maaf!" ulang Wita.
"Oke, karena aku adalah ipar yang baik hati, aku akan maafin kamu, tapi inget, jangan kurang ajar lagi, kamu!" Dini tersenyum mengejek.
"Mas, Wita minta maaf juga sama Mas. Semoga suatu saat nanti, Mas ngerti, kenapa Wita kek gini. Wita sama Mas Bagas pamit dulu, kuatir anak-anak nyariin," pamit Wita.
"Ya, Dek. Mas juga minta maaf, jika ada sikap dari Dini yang tidak berkenan dihati kamu," ucap Imron.
Dini memanyunkan bibirnya, mendengar Imron berkata seperti itu.
Aku merasa lega. Setidaknya pertengkaran yang kukuatirkan tidak terjadi. Memang masih terlihat di wajah Wita dan Dini ketidakpuasan, tapi mungkin karena memandang Imron, mereka berusaha meredamnya.
Wita dan Bagas pun pamit. Tinggal kami bertiga. Tak lama, Imron masuk ke kamar, ingin mandi katanya.
Aku dan Dini masih duduk di ruang tamu.
"Mak, Dini cuma mau bilang, Mak jangan pernah ngomong macam-macam tentang Dini, sama Mas Imron! Kalau gak, Wita yang akan Dini buat sengsara!" ancam Dini pelan.
Aku mengernyitkan keningku. Kenapa, jadi Wita yang dibawa-bawa, apa maksud Dini.
"Maksud kamu, apa Din? Kenapa, Wita yang jadi sasaran kamu?" tanyaku penasaran.
"Jujur, Mak, Dini gak suka sama Wita. Sikapnya kelewatan dan gak sopan sama Dini. Bagas, salah pilih istri sepertinya."
Aku terkejut dengan ucapan Dini. Dak salah, bukannya dia sendiri, yang tidak sopan dan sudah kelewat batas. Kenapa juga bawa-bawa Bagas.
"Terserah, kamu Din! Mak mau ke kamar dulu!" ucapku.
Aku beranjak meninggalkan Dini seorang diri. Tak kuhiraukan, ucapannya yang ngelantur itu. Biarlah dia mau bilang apa. Aku hanya bisa berdoa, semoga anak-anakku, selalu akur dan rumah tangganya langgeng.
***
Hari ini, hari kedua Imron di rumah. Dini dan Imron berpamitan tadi ingin makan di luar. Imron mengajakku serta, tapi, aku menolak. Biarlah mereka memiliki waktu pribadi berdua, aku tidak mau mengganggu.
Setelah solat isya dan mengaji sebentar, kuputuskan untuk beristirahat saja. Hari ini cukup melelahkan. Ada dan tidak ada Imron, semuanya aku yang mengerjakan. Dini akan berpura-pura kecapekan dan menyuruh aku berbohong di depan Imron, agar aku menyuruhnya istirahat. Jadi, dia tetap terhindar dari pekerjaan di rumah ini. Dan entah kenapa, bodohnya aku mengikuti kemauan Dini.
Beruntung tadi Imron membantu. Anakku itu memang tidak segan-segan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dari dulu, kedua anakku memang sudah kuajari untuk tidak berpangku tangan.
Baru saja mataku terpejam, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Gegas kuambil gelas di atas nakas. Ternyata airnya kosong. Aku beranjak dari pembaringan lalu keluar menuju dapur.
Kuambil air dari dispenser, dan meneguknya. Saat ingin mengisi air kembali, mataku mendapati bungkusan obat di tong sampah.
Kuambil bungkusan itu. Kubaca keterangannya. Aku terkejut. Bukannya ini pil kb. Tapi, siapa yang meminum ini. Dini, kan ingin hamil, gak mungkin dia minum obat ini.
Pikiranku jadi tak tentu. Kusimpan bungkusan itu. Besok akan kutanyakan pada Dini. Kenapa bisa ada pil kb di tong sampah.
Aku kembali ke kamar. Kepalaku tiba-tiba pusing memikirkan temuanku tadi.
Drrt drrt drrt. Gawaiku bergetar. Kulihat ada panggilan masuk. Ternyata Wita.
"Assalamu'alaikum, Nduk." Kujawab panggilan dari Wita.
"Wa'alaikumsalam, Mak. Mak dah tidur? Wita ganggu Mak, ya?"
"Belum, mak belum tidur. Nih, tadi habis ambil air di dapur. Tenggorokan mak kerasa kering gitu".
"Ooh, banyak minum memang, Mak kalau tenggorokan terasa kering," balas Wita.
"Ada apa, Nduk? Tumben nelpon malam-malam," tanyaku.
" Gak, Mak. Cuma mau nanya kabar, Mak aja. Wita juga sekalian mau curhat sama, Mak,"
Curhat, tumben Wita mau curhat. Biasanya jarang sekali, dia seperti ini. Sebenarnya ada apa.
"Curhat apa, Nduk? Tumben?" tanyaku lagi.
"Mak, Mas Imron dan Dini ada di rumah, gak?" Wita balik bertanya.
"Dak ada, mereka berdua keluar sehabis isya tadi. Ada apa sih, Nduk," tanyaku penasaran.
"Anu, Mak. Entah ini perasaan Wita saja, atau memang karena Wita sudah gak respek sama Dini. Tapi, Wita kepikiran. Wita perhatikan, ketika kita ngumpul kemarin, pandangan Dini tu gak lepas dari Mas Bagas. Padahal, ada Mas Imron di sebelah nya. Wita sebenarnya gak mau suudzon, Mak. Tapi kelihatan banget, kayak tertarik gitu," jelas Wita.
Kuingat kejadian kemarin. Memang seingatku Dini duduk berhadapan dengan Bagas. Tapi aku tidak terlalu memperhatikan pandangan Dini.
"Mmm … mungkin itu perasaanmu saja, Wit. Dak usah terlalu dipikirkan. Berbaik sangka saja pada Allah. Dan banyakin berdoa. Jadi pikiran kita tu, gak negatif terus," nasehatku.
"Iya, Mak. Mungkin ini perasaan, Wita saja. Mak, sehatkan?"
"Alhamdulillah, sehat," jawabku.
"Alhamdulillah, kalau, Mak sehat. Makasih ya, Mak. Hati Wita agak tenang jadinya."
"Iya, Wit, sama-sama. Kalau kamu ada masalah apa, jangan sungkan bilang ke Mak, ya."
"Iya, Mak. Mak, udah dulu, ya. Wita mau bikinin susu Zakia dulu. Assalamu'alaikum," ucap Wita.
"Iya, Nduk. Wa'alaikumsalam." jawabku.
Telepon dimatikan. Jadi bertambah masalah yang mengganggu pikiranku. Akhirnya kurebahkan tubuhku diranjang.
***
Pagi tadi, setelah sarapan, Imron pamit berangkat kerja lagi. Dini, setelah mengantar kepergian Imron tadi, tidak keluar dari kamar.
Aku memilih mencuci piring bekas sarapan tadi. Sambil mencuci piring, baru aku teringat pil kb semalam. Gegas aku ke kamar dan mengambil bungkusan obat itu.
Sesaat aku akan mengetuk pintu kamar Dini, terdengar Dini lagi berbicara ditelepon. Niat hati tidak bermaksud menguping, tapi, Dini menyebut nama Bagas dan Wita. Ku dengar dengan seksama apa yang dibicarakannya. Dini menyebut, akan membalas dan membuat Wita menderita karena sudah merebut apa yang seharusnya dia miliki. Aku tidak tau dia berbicara dengan siapa.
Niatku ingin menanyakan pil KB tadi kuurungkan. Kepalaku tiba- tiba pusing. Kenapa, Dini kelihatan dendam sekali pada Wita. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa maksud Dini. Berbagai pertanyaan bermunculan di pikiranku.
Aku harus cari cara untuk mengetahuinya. Sebelum, Dini melakukan perbuatan yang bisa merugikan Wita. Aku gak mau, Wita menderita.
Pagi ini, sengaja aku belanja di tukang sayur keliling. Kebetulan hanya sayur dan bumbu saja yang belum ada."Eh, Mak Esah. Udah lama, gak kelihatan belanja di sini? tanya Bu Leli, tetangga depan rumahku." Iya, Bu, cuma beli sayur aja," jawabku basa-basi.Sebenarnya aku malas menanggapi omongan Bu Leli. Soalnya, dia terkenal akan gosipnya. Aku berusaha menghindar dengan orang yang satu ini. Bisa merusak iman dan ibadah kalau bergaul lama-lama dengan Bu Leli. Apalagi, aku ini sudah berumur."Eh, Mak Esah, mau nanya nih, kemarin lusa, saya ada dengar suara berantem di rumah Mak Esah. Siapa yang berantem, Mak?" tanya Bu Leli sam
Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras."Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya."Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas.Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal.
Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanj
POV Wita Namaku Wita. Aku seorang ibu rumah tangga, dan mempunyai sepasang anak. Suamiku, mas Bagas seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di daerah kami. Selain itu, kami mempunyai toko kelontong kecil-kecilan di depan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Walaupun seadanya, Alhamdulillah cukup untuk kami sekeluarga. Aku mengenal mas Bagas, lima tahun yang lalu. Kala itu, aku mengajar di salah satu sekolah dasar swasta sebagai tenaga kontrak. Awal aku mengenal mas Bagas, karena kami bertemu disalah satu lomba cerdas cermat dan kami berdua sebagai guru pembimbing. Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah. Alhamdulillah, tak lama kami menikah, aku hamil. Semenjak aku hamil, mas Bagas memintaku untuk resig
POV Wita 2Selesai membuatkan teh untuk mas Bagas, kutaruh di meja makan. Segera kusiapkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk mas Bagas.Tak lama, kulihat Mas Bagas sudah rapi dengan seragamnya. Dia menuju ke meja makan. Mas Bagas menarik kursi dan duduk."Wah … nasi goreng, makasih ya, Bun," ucap Mas Bagas.Dia memang selalu seperti itu. Berusaha menyenangkan hatiku apalagi kalau aku sedang galau."Sama-sama, Yah," jawabku sembari duduk di hadapan Mas Bagas.Kuperhatikan wajah Mas Bagas. Aku ber
Lidah Menantu 10Pov Wita 3Aku mengernyitkan dahi. Penasaran apa yang akan dikatakan Bu Leli."Itu, Wit. Tentang kakak iparmu itu, Dini!"Hah, Dini, tentang Dini. Jadi tambah bingung. Masalah apa lagi ini."Gini lho, Wit! Tempo hari, Dini ada belanja tuh ke tukang sayur keliling. Terus dia alih-alih ngomongin kamu," jelas Bu Leli."Ngomongin gimana, Bu?" tanyaku penasaran."Iya, ngomongin kamu. Katanya dia sama kamu tuh gak akur, terus kamu itu kasar. Terus katanya lagi Bag
Kembali Pov Mak EsahPagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung."Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas."Wa'alaikumsalam, Gas.""Ada apa, Mak?" tanya Bagas.Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita."Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya."Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi."Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku."Nggeh, Mak,"
"Mak, sebelumnya Bagas minta maaf. Memang seharusnya sedari awal, Bagas jujur terutama pada Wita," ucap Bagas."Jadi, Le kamu sama Dini?" tanyaku memastikan."Sebenarnya Dini mantan pacar Bagas, Mak," jelas Bagas.Aku menghela napas. Berarti dugaanku tidak salah."Dini yang selingkuh dan mutusin Bagas karena waktu itu kan Bagas belum jadi PNS, masih honorer." lanjut Bagas."Jadi, Wita benar-benar gak tau masalah ini? Pantas saja Dini begitu memusuhi dan membenci Wita," ucapku lagi."Wita gak tau apa-apa Mak. Lagipula semenjak putus sam
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk