"Mak, yang apa-apaan! Coba liat gamis Dini, tuh! Itu gamis mahal dan favorit Dini, Mak! Kenapa, sampe kena luntur gitu?" tanya Dini murka.
Kuambil gamis yang dilempar Dini ke arahku dan memeriksa gamis tersebut. Hanya kena luntur sedikit di bagian bawah, itu pun tidak terlalu kelihatan.
"Sedikit cuma, Din. Lagipula ini bagian bawah, gak bakal keliatan juga," jawabku.
"Sedikit, kata Mak! Gamis itu mahal, Mak! Enak aja, Mak ngomong!" cecar Dini emosi.
Mm … Mak minta maaf, mak gak tau, sewaktu nyuci minggu lalu, kayaknya mak masuki ke mesin cuci. Gak tau kalau ada yang luntur." jawabku.
"Kan, sudah pernah Dini bilang, kalau gamis-gamis Dini, dicuci pake tangan, jangan masukin ke mesin cuci! Mak ngerti gak sih!" bentak Dini.
Kulihat kemarahan di wajah Dini. Ya Allah, apa sebegitu besarnya kesalahanku, hanya gara-gara gamis ini, Dini membentakku.
Kulihat Wita berdiri tak jauh dari pintu belakang. Mungkinkah dia mendengar bentakan Dini.
Wita berjalan memasuki dapur dan mendekat ke arahku. Menggumpal gamis tadi dan melempar kembali ke Dini.
"Apaan, kamu!" Dini terkejut.
Wita mendekat, kemudian tiba-tiba melayangkan satu tamparan ke pipi Dini.
Kubekap mulutku. Tak menyangka Wita melakukan itu. Dini tak kalah terkejut. Dia memegang pipinya yang mungkin terasa panas. Kelihatan jejak tangan Wita di pipinya.
"Ka– kamu! Beraninya kamu menampar aku!" pekik Dini.
"Apa?! Mau nambah lagi?" ujar Wita dengan mata melotot.
"Itu belum seberapa, dibanding perlakuanmu pada Mak! Seperti anak yang tidak punya etika! Apa tidak pernah diajari cara menghormati orang tua! Apa perlu, aku yang turut mengajarimu! Bukan hanya kau jadikan babu, tapi Mak kau perlakukan dengan sangat tidak sopan! Kau bentak seenak perutmu!" ucap Wita murka.
"Sudah kubilang, bukan urusanmu!" sahut Dini sambil mengelus pipinya yang kelihatan memerah.
"Tentu saja urusanku! Dia, orang yang kau bentak-bentak, kau maki-maki, dia Ibuku sekaligus Ibu suamimu! Kau menyakitinya, sama saja menyakitiku dan mas Imron!" balas Wita.
Aku hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Aku tau, Wita bermaksud membela. Tapi, aku kuatir ini akan membuat hubungan Wita dan Imron bermasalah. Aku tak mau hubungan persaudaraan mereka, menjadi renggang karena hal ini. Sebab selama ini mereka berdua sangat dekat.
"Kuperingatkan! Jangan, pernah perintah Mak lagi! Urus dirimu sendiri! Cukup sampai hari ini perlakuanmu terhadap Mak!" ucap Wita lagi.
"Kau, denger ya! Aku akan bales perbuatanmu ini! Lihat saja nanti!" ancam Dini seraya berlalu.
Wita berbalik memandangku dengan rasa kasihan. Dia mendekat dan langsung memelukku.
"Maaf, Mak, Wita emosi! Dini dah benar-benar kelewatan, gak bisa lagi ditolerir!"
Kurasakan bahunya berguncang. Wita menangis. Aku tahu, pasti dia menyesal. Tapi, memang sikap Dini keterlaluan sekali.
"Sudahlah, Nduk! Mak tau, kamu cuma mau membela, Mak. Tapi, lain kali jangan pake kekerasan. Mak kuatir, Dini mengadu macam-macam pada masmu, dan kalian jadi bertengkar," ujarku.
"Mas Imron, pasti mengerti, Mak! Wita yakin setelah tau alasannya, pasti mas Imron, akan memarahi istrinya itu," ucap Wita yakin.
"Ya, sudah! Sekarang, mending kamu balik dulu, Nduk! Kasian, anak-anakmu ditinggal terlalu lama. Bagas juga pasti nungguin kamu."
"Ta— tapi. Mak, gimana?" tanya Wita bingung.
"Mak, gak apa-apa. Setelah ini, mak mau solat dulu dan istirahat. Sore nanti, masmu pulang,"
Wita mengangguk lalu menyalamiku dan berpamitan.
Selepas kepergian Wita, aku bereskan meja makan. Lalu aku bersiap untuk menunaikan ibadah zuhur.
***
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara salam dari depan. Aku yang lagi menyetrika beranjak menuju ke depan dan membuka pintu. Ternyata Imron yang datang.
"Wa'alaikumsalam, sudah pulang, Le? Kata Dini, sore baru pulang, kok udah nyampe?" tanyaku heran.
"Iya, Mak. Kebetulan hari ini gak muat barang, jadi, Imron bisa cepat pulang. Kangen sama Dini dan sama Makku yang paling cantik," goda Imron sambil menowel hidungku.
Aku terkekeh dengan perlakuan Imron. Kemudian Imron mencium tanganku dengan takzim dan memelukku.
"Mak, lagi ngapain? Dini, mana? Kok gak kelihatan dari tadi?" ujar Imron seraya melepas pelukan.
"Mak lagi nyetrika pakaian. Kalau Dini, mungkin di kamar, Le," jawabku.
"Mak, kok nyetrika? Bukannya, Dini yang biasanya ngerjain?" tanya Imron menyelidik.
Oh, eh, itu, Mak yang pingin, biar badan ada geraknya juga," jawabku gugup.
"Ooh … gitu. Yo wes, Mak, Imron mau nemuin, Dini dulu, ya."
Aku mengangguk. Imron berlalu ke kamar sedangkan aku melanjutkan menyetrika pakaian.
Mak! Mak!" Kudengar Imron memanggil. Tergopoh-gopoh aku datang mendapati Imron yang berdiri sambil menggandeng Dini yang memegang pipi.
Apa mungkin, Dini sudah mengadu pada Imron, kalau Wita sudah menamparnya.
"Mak, kata Dini, Wita dah nampar Dini, apa betul itu Mak?" tanya Imron.
"I— itu. Iya benar, tapi … "
"Kenapa, Wita berani nampar kakak iparnya? Biar, Imron suruh Wita kesini! Dia harus menjelaskan alasan perbuatannya pada Dini!" potong Imron.
Imron segera mengambil gawai dari dalam saku celananya. Menghubungi nomor Wita dan menghidupkan speaker telepon.
"Halo," jawab Wita.
"Dek, sekarang juga, kamu ke rumah! Penting!" perintah Imron.
"Iya, Mas, Wita segera ke sana," balas Wita.
Panggilan langsung dimatikan oleh Imron. Imron menatap Dini dan aku bergantian.
"Ada yang mau bantu jelasin, kenapa Wita nekat seperti itu? Biasanya Wita gak pernah bersikap kasar sama orang," ucap Imron.
Aku hanya bisa menunduk. Bingung mau mengatakan sebenarnya. Nanti ujung-ujungnya diantara mereka pasti bertengkar.
"Mak, sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Imron lagi. Nada bicaranya sedikit melunak tidak seperti tadi, kelihatan sekali emosinya.
"Sebenarnya ta—"
"Udah, mas, nanti, mas dengar sendiri, adik mas itu bicara," potong Dini.
Aku kembali menunduk. Ekor mataku menangkap kalau Imron sedang memperhatikanku. Ya Allah, semoga jangan sampai ada pertengkaran. Damaikanlah mereka ya Allah.
Tak berapa lama, Wita sampai juga di rumahku. Ternyata Bagas, suami Wita ikut serta.
"Assalamu'alaikum," ucap Wita dan Bagas berbarengan.
"Wa'alaikumsalam," jawabku dan Imron. Kulihat wajah Dini sudah seperti jeruk purut, masam.
"Apa kabar, mas?" tanya Wita sembari mencium tangan Imron. Bergantian dengan Bagas yang ikut menyalami Imron.
"Alhamdulillah, mas sehat. Mana anak-anakmu, Zidan, Zakia?" tanya Imron.
"Dititip sama bude sebelah mas, soalny tadi Zidan sama Zakia pada tidur," jelas Wita.
"Duduk, Dek, Bagas." Imron mempersilahkan keduanya duduk. Aku pun ikut duduk di sebelah Wita yang berhadapan dengan Imron. Kuperhatikan wajah Dini yang memandang Wita dengan penuh kebencian.
"Mas, dengar dari Dini, tadi kamu menamparnya, apa benar, Dek? Dan apa alasannya, sampe kamu, main tangan kek gitu? Wita, yang Mas kenal selama ini, tidak pernah kasar kepada orang."
Kulihat Wita menghela napas. Di sampingnya, Bagas menggenggam tangan Wita, seolah memberi kekuatan.
"Jadi gini, Mas. Sebelumnya Wita minta maaf karena lancang telah menampar, Mbak Dini. Tapi, alasan di balik itu semua karena, Wita gak terima, Mbak Dini membentak-bentak Mak dan memperlakukan Mak seperti babu!" jelas Wita dengan napas memburu.
Kening Imron berkerut, tanda tak mengerti apa maksud ucapan Wita.
"Babu?" tanya Imron bingung.
"Iya, babu. Mbak Dini, sering nyuruh-nyuruh Mak, seenak hatinya. Wita gak terima, Mas."
Tatapan Imron beralih ke Dini meminta penjelasan.
"Gak, Mas, itu gak bener. Mas, tau sendiri, kan selama ini Dini yang melakukan semuanya. Jangan percaya omongan adikmu ini, Mas. Dia hanya ingin kita bertengkar." Dini membela diri.
Ya, Tuhan. Pandainya dia berkelit, menyudutkan Wita, seolah-olah Wita yang bersalah.
"Mas, kalau gak percaya ucapan Wita, tanya sama, Mak. Tadi itu, Dini benar-benar sudah kelewat batas," ujar Wita.
"Mak, Imron minta, Mak jujur. Sebenarnya apa yang terjadi sampai Wita menampar Dini."
Semua mata tertuju padaku. Aku bingung. Disatu sisi, jika aku jujur, Imron pasti bertengkar dengan Dini, kalau tidak jujur, Wita yang akan dipersalahkan. Ya, Tuhan bagaimana ini?
" Mak," panggil Imron lagi.
"Itu … mmm … sebenarnya ….
"Sebenarnya, apa Mak?" desak Imron."Mas, maaf, saya ikut campur!" Bagas menyela ucapan Imron."Ya, Gas. Bicaralah, mas juga sudah pusing ini.""Gini aja, Mas. Kita gak perlu lagi cari apa masalahnya. Yang jelas, itu sudah terjadi. Saya yakin, itu hanya salah paham saja. Sekarang ini, sebaiknya kita sudahi saja. Saya akan meminta Wita, minta maaf pada Mbak Dini dan saya janji, Wita gak akan mengulangi perbuatannya lagi," ucap Bagas lagi.Wita mendelik ke arah Bagas tanda tak setuju. Yang ditatap terlihat santai."Huh, enak saja hanya minta maaf! Kamu gak tau, Gas, istrimu itu bar-b
Pagi ini, sengaja aku belanja di tukang sayur keliling. Kebetulan hanya sayur dan bumbu saja yang belum ada."Eh, Mak Esah. Udah lama, gak kelihatan belanja di sini? tanya Bu Leli, tetangga depan rumahku." Iya, Bu, cuma beli sayur aja," jawabku basa-basi.Sebenarnya aku malas menanggapi omongan Bu Leli. Soalnya, dia terkenal akan gosipnya. Aku berusaha menghindar dengan orang yang satu ini. Bisa merusak iman dan ibadah kalau bergaul lama-lama dengan Bu Leli. Apalagi, aku ini sudah berumur."Eh, Mak Esah, mau nanya nih, kemarin lusa, saya ada dengar suara berantem di rumah Mak Esah. Siapa yang berantem, Mak?" tanya Bu Leli sam
Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras."Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya."Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas.Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal.
Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanj
POV Wita Namaku Wita. Aku seorang ibu rumah tangga, dan mempunyai sepasang anak. Suamiku, mas Bagas seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di daerah kami. Selain itu, kami mempunyai toko kelontong kecil-kecilan di depan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Walaupun seadanya, Alhamdulillah cukup untuk kami sekeluarga. Aku mengenal mas Bagas, lima tahun yang lalu. Kala itu, aku mengajar di salah satu sekolah dasar swasta sebagai tenaga kontrak. Awal aku mengenal mas Bagas, karena kami bertemu disalah satu lomba cerdas cermat dan kami berdua sebagai guru pembimbing. Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah. Alhamdulillah, tak lama kami menikah, aku hamil. Semenjak aku hamil, mas Bagas memintaku untuk resig
POV Wita 2Selesai membuatkan teh untuk mas Bagas, kutaruh di meja makan. Segera kusiapkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk mas Bagas.Tak lama, kulihat Mas Bagas sudah rapi dengan seragamnya. Dia menuju ke meja makan. Mas Bagas menarik kursi dan duduk."Wah … nasi goreng, makasih ya, Bun," ucap Mas Bagas.Dia memang selalu seperti itu. Berusaha menyenangkan hatiku apalagi kalau aku sedang galau."Sama-sama, Yah," jawabku sembari duduk di hadapan Mas Bagas.Kuperhatikan wajah Mas Bagas. Aku ber
Lidah Menantu 10Pov Wita 3Aku mengernyitkan dahi. Penasaran apa yang akan dikatakan Bu Leli."Itu, Wit. Tentang kakak iparmu itu, Dini!"Hah, Dini, tentang Dini. Jadi tambah bingung. Masalah apa lagi ini."Gini lho, Wit! Tempo hari, Dini ada belanja tuh ke tukang sayur keliling. Terus dia alih-alih ngomongin kamu," jelas Bu Leli."Ngomongin gimana, Bu?" tanyaku penasaran."Iya, ngomongin kamu. Katanya dia sama kamu tuh gak akur, terus kamu itu kasar. Terus katanya lagi Bag
Kembali Pov Mak EsahPagi ini aku berencana akan menelepon Bagas untuk meminta bantuannya. Sengaja kutelepon pagi-pagi karena yang aku tau pagi kayak gini, Wita pasti sibuk di dapur.Kuambil gawai di atas nakas samping ranjang. Kutekan nomor Bagas. Tak lama panggilan tersambung."Assalamu'alaikum, Mak." Panggilan teleponku dijawab Bagas."Wa'alaikumsalam, Gas.""Ada apa, Mak?" tanya Bagas.Mungkin dia keheranan aku menelepon langsung ke nomornya, karena biasanya aku melalui Wita."Gas, Wita ada di dekat kamu atau di dapur?" aku balik bertanya."Dekat Bagas, Mak," jawab Bagas lagi."Coba kamu keluar dulu menghindar dari Wita, mak gak mau Wita tau masalah ini!" ujarku."Nggeh, Mak,"
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini
Nabila melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul setengah lima sore. Sebentar lagi waktunya pulang. Nabila mencoba menghubungi Hesti yang sekarang sedang berada di ruang packing. "Ya, Bil! Ada apa?""Kamu masih di ruang packing?" tanya Nabila. "Iya, kenapa?""Ntar mampir tolong temui Lastri, ya! Bilang dia nanti pulang tunggu aku!""Oh, oke ntar aku sampein!""Makasih ya, Hes!""Sama-sama!"Panggilan diputus Nabila. Kemudian Nabila mematikan laptopnya. Kepalanya sedikit pusing. Dia tidak mengerti, hari ini bertubi-tubi kejadian menimpanya dan keluarga Mak Esah. Dimulai dari penggerebekan Bagas, Bu Leli yang melabrak dan sekarang pesan teror. Tapi entah kenapa hati Nabila merasa hanya dia yang mampu melakukannya. Apakah karena dendam dan sakit hati. Bukankah dia seharusnya bersyukur dia tidak dilaporkan karena menipu, kenapa dia harus berbuat sejauh ini. Mungkin dia merasa iri kami saling menerima dan berbagi. Dia tidak ingin kami bahagia, pikir Nabila. Ponselnya yang ber
Setelah memastikan Bagas baik-baik saja, Bu Erna, Wita dan Gilang pulang ke rumah Mak Esah. Sebelum ke rumah Mak Esah, Wita mampir ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil keperluan anak-anaknya. Kemudian mereka segera menuju ke rumah Mak Esah. Dalam perjalanan, ponsel Wita berdering. Diliriknya layar benda pipih tersebut. "Siapa?" tanya Bu Erna. "Gak tau, Bu! Nomornya gak kenal!" jawab Wita. "Angkat saja! Kalau orang iseng dimatikan saja!" titah Bu Erna. Wita menganggukkan kepala menyetujui usul ibu mertuanya. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Wita. "Wa'alaikummussalam, ini dengan Mbak Wita ya?" tanya orang yang menelepon. "Iya, benar! Maaf, dengan Bapak siapa, ya?" tanya Wita penasaran. "Saya Ibrahim, Mbak! Pemilik kontrakan gang Delima."Wita terkejut tiba-tiba mendapat telepon dari orang yang dicari-carinya. "Pak Ibrahim, Masya Allah, Pak! Saya nelponi Bapak dari tadi.""Maaf ya, Mbak! Hape yang biasa dipake itu ketinggalan! Saya lagi di kampung orang tua saya. Kebetula
Nabila mampir menjemput Ical sebelum menuju ke butik. Sampai di rumah Ical, dia bertemu dengan Pak Yudha dan istrinya beserta Aisyah, anak dari Ical. "Darimana, Bil?" tanya Pak Yudha. Nabila menghampiri Pakdenya dan mencium tangannya dengan takzim. Setelahnya beralih ke Budenya. Kemudian dia mencium Aisyah yang sedang berada dalam pangkuan istri Pak Yudha. "Dari rumah Mak Esah! Sekarang mau ke butik, Pakde!" jawab Nabila. "Oh, dari rumah Mak Esah. Eh, gimana itu menantunya yang terkena masalah? Pakde yakin Bagas difitnah! Anaknya baik gitu, kok!" ujar Pak Yudha yakin. "Iya benar, Bagas itu udah ganteng, soleh, baik hati lagi, gak mungkin dia ngelakuin hal memalukan itu!" timpal istrinya. "Benar tebakan Pakde dan Bude! Bagas memang difitnah. Kami sekarang mencoba mencari saksi dan bukti untuk membebaskan Bagas. Mohon doanya ya Pakde, Bude!" pinta Nabila. "Aamiin!" Pak Yudha dan istrinya kompak menimpali. "Aisyah ikut tante, yuk! Jalan-jalan kita!" ajak Nabila. Aisyah menggelengk