"Kau puas dengan kekalahanmu?" sindir seseorang di belakang Axel. Suaranya yang lembut, menandakan pemiliknya adalah seorang perempuan.
Kekesalan Axel yang sudah mereda karena menerima uang dari penonton, kembali merasukinya. Sindiran pedas itu tak bisa dia terima begitu saja. Terang saja, sifat gengsi yang membuatnya tak mau mengakui kekalahannya adalah penyebabnya. Dia bahkan sudah mengumpulkan tenaganya agar bisa langsung memberikan tonjokan pada wanita sombong itu setelah dia menoleh. Tangannya sudah menggenggam keras, dan siap untuk aksinya.
Axel membalikkan tubuhnya dan langsung mengetahui pemilik suara itu. Dia adalah Ny. Yara, lawan mainnya tadi. Axel menahan dulu emosinya karena ternyata Ny. Yara tidak datang sendirian. Ada beberapa bodyguard yang berjaga tepat di pintu keluar dan mengawasinya. Itu membuatnya terpaksa harus menyembunyikan tangan kirinya yang masih terkepal di belakang punggungnya. "Menurutmu aku puas?"
Ny. Yara tersenyum sambil melirik ke kantong plastik yang masih Axel bawa di tangan kanannya. “Oh iya. Aku lupa memberimu hadiah.”
“Untuk apa?”
Ny. Yara menatap dalam mata Axel. Gerak geriknya terlihat seperti orang kelaparan yang sedang melihat makanan lezat di depannya. Sangat terlihat jelas, dia berulang-ulang kali menggigit bibir bawahnya dan mengeluarkan lidahnya, menjilat bibirnya sendiri.
"Kalau kau memberiku hadiah hanya untuk menghinaku, lebih baik tidak usah," ketus Axel. Dia semakin tak sabar untuk menghujani wajah Ny. Yara dengan pukulan yang ditahannya.
Ny. Yara terkekeh. "Kenapa kau menganggapnya begitu?" Dia memotong jarak dengan Axel agar lebih dekat dengannya juga bisa lebih jelas melihat detail barang yang akan dia beli. Tangannya mulai mengusap dada bidang Axel untuk memastikan ini memang barang bagus dan berkualitas. "Bagaimana jika kalimatnya menjadi...” Bibirnya mendekat ke telinga Axel untuk melanjutkan perkataannya. “Aku memberimu hadiah karena kau seorang pemenang," bisiknya.
"Pemenang?" tanya Axel yang semakin heran dengan perlakuan Ny. Yara itu. Kepolosannya membuat dia tidak peka dengan semua kode yang Ny. Yara berikan.
Ny. Yara tersenyum gemas karena Axel yang tak kunjung mengerti apa keinginannya. Belaian lembut dari tangannya di pipi Axel, mempertegas maksud Ny. Yara yang mencoba menggodanya. "Kau sudah memenangkan hatiku. Kurasa semua penonton memilihmu karena ketertarikan mereka padamu juga," godanya, sambil masih memberi sentuhan-sentuhan pada setiap sudut badan Axel.
Sekarang Axel mulai memahami tujuan wanita tua berjiwa muda ini. Dia meraih tangan Ny. Yara lalu mengusapnya lembut. Tidak apa jika dia menjatuhkan harga dirinya sekarang, karena ini bisa membawa keuntungan yang besar baginya. Bukan hanya mendapat uang jajan, dia juga bisa mendapat trik agar bisa memenangkan perjudian yang baru dia geluti. "Jadi, kau menyukaiku?"
Ny. Yara melepas genggaman tangan Axel lalu bertepuk tangan beberapa kali yang membuat seorang bodyguard datang dengan membawa sebuah kotak berwarna hitam. Setelah kotak hitam itu beralih ke tangan Ny. Yara, bodyguard itu kembali ke tempatnya berdiri tadi. Kotak itu dibuka lalu sengaja diperlihatkan tepat di depan wajah Axel. Di sana, terlihat sebuah kunci mobil. "Aku ingin dirimu. Hanya untuk bersenang-senang, kau mau?" tawarnya penuh harap.
Axel memperhatikan kunci mobil, yang terlihat berbeda dari kunci mobil pada umumnya itu. Dia menduga, pasti sebuah mobil mewah yang sedang ditawarkannya.
"Semua ada bayarannya, sayang. Tidak usah khawatir." Ny. Yara terus berusaha untuk mendapatkan Axel sepenuhnya.
Tentu saja ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Dorongan pada diri Axel yang mengharuskannya untuk menunjukkan kehebatannya sebagai anak dari pejudi hebat, membuatnya tak ragu dengan keputusannya. "I'm your's.”
Ny. Yara tersenyum puas. “Kalau begitu, besok kita akan mulai berkencan.” Sebelum pergi, tak lupa dia memasukkan kartu namanya di saku Axel. Kartu nama yang menunjukkan nomer telepon pribadinya juga kediamannya. Alamat yang tertulis di sana membuat Axel seolah mendapat hadiah lagi dari Ny. Yara. Hadiah yang lebih besar dari mobil mewah yang dia dapat.
***
"Hei! Cepat bangun! Jangan bertingkah, biaya kuliahmu mahal!" Bentakan dari Axel, mengagetkan Cora yang baru saja bisa tertidur setelah berusaha menentukan posisi yang tepat untuk mengurangi rasa nyeri di seluruh tubuhnya. Posisi tidurnya yang seperti janin di perut, membuat Axel tidak tega untuk menendangnya seperti biasa. Akting Cora kali ini gagal, membuat Axel yakin Cora memang sedang kesakitan. Tidak salah kalau Axel selama ini tega karena dia pikir, Cora tidak merasa sakit sama sekali.
Cora ingin langsung bangun dari tidurnya tapi, hanya sekedar meluruskan kakinya saja, dia sudah merasa kesakitan. Sakit yang teramat sangat. "Iya sebentar..." kata Cora lirih. Dia terus berusaha menggerakkan kakinya yang mati rasa juga punggunggnya yang terasa sangat remuk.
“Aku tunggu di bawah.” Hari ini Axel tak berbuat kasar. Dia sengaja melakukannya karena melihat Cora kesakitan seperti sekarang sudah cukup baginya. Bahkan lebih dari cukup.
Cora meluruskan kedua kakinya terlebih dahulu lalu berhenti sejenak, menguasai tubuhnya yang terus terasa ngilu saat tulang-tulangnya bergerak. Walau hanya tergeser satu centi, rasa yang dihasilkan sungguh luar biasa. Setelah itu dia berusaha menegakkan punggungnya agar bisa berganti menjadi posisi terduduk. Dia kembali berhenti, sebelum membuat tubuhnya berdiri, dan sekarang dia harus kembali melawan rasa sakitnya untuk melangkah ke kamar mandi.
Setelah mandi, Cora masih harus bersiap-siap untuk menentukan pakaian yang membuatnya terlihat baik-baik saja. Dia sempat berkaca di cermin, ternyata luka memar itu seperti merubah kulit putihnya menjadi biru. Alhasil ia harus memilih memakai kemeja panjang dan juga celana panjang. Penderitaannya tidak berhenti sampai di situ. Dia masih harus berusaha menuruni tangga untuk menggapai mobil Axel. Perlahan dia menuruni satu demi satu anak tangga. Bukan hanya satu tangga, tapi tiga. Itu karena rumahnya terletak di lantai 4 dan bangunan ini belum disediakan lift.
Setelah perjuangan panjangnya, akhirnya Cora berhasil masuk ke mobil baru Axel. Walaupun mobil ini terlihat mewah karena interiornya, Cora tak tertarik untuk menganguminya.
“Lama sekali. Kau sengaja membuatku menunggu ha?! Kau pikir kau siapa? Ratu? Jangan bermimpi, bodoh. Kau itu hanya jalang, bahkan seharusnya pantat kotormu itu tidak cocok berada di mobil berkelas seperti ini…” Axel terus mengumpat dan mencemooh Cora karena merasa kesal telah menunggu lama.
Cora langsung mengambil walkman lalu memasangkannya di kedua telinganya, berusaha mengacuhkan kata-kata pedas dari mulut Axel. Hingga volumenya kini berada di titik maksimal. Masa bodoh bila telinganya rusak karena ini. Lebih baik dia tuli daripada harus mendengarkan perkataan-perkataan menyakitkan itu.
Setelah 15 menit, Cora sudah berada di depan gerbang 'Bernice University'. Dia langsung membuka pintu mobil agar bisa cepat-cepat pergi dari sana. Tetapi bukan axel namanya jika tidak memberikan siksaan untuk Cora. Dia menarik rambut Cora, membuatnya duduk kembali. "Ingat, jangan berbicara pada siapapun. Apalagi bila ada yang bertanya tentang lukamu.” Terakhir, Axel menoyor kepala Cora hingga terbentur ke kaca mobil. “Cepat keluar.”
“Baiklah.” Cora hanya memasang wajah datar menanggapinya. Dia keluar dari mobil lalu berjalan tertatih agar bisa lebih dalam memasuki gedung universitasnya.
Ternyata para mahasiswa baru, sudah berkumpul di barisannya masing-masing. Dia langsung mempercepat langkahnya karena proses pengenalan lingkungan kampus akan segera dimulai. “Jauh sekali,” keluhnya saat melihat barisan jurusan kedokteran yang terletak di paling ujung. Itu membuatnya harus mengerahkan tenaga ekstra.
Cora sudah berhasil menggapai barisannya tepat saat mahasiswa senior sudah memberikan sambutannya. Ketika mengedarkan pandangannya ke barisannya dan barisan lain, dia baru sadar ada yang ketinggalan. Topi ulang tahun berbentuk kerucut adalah persyaratan hari ini yang tidak boleh ketinggalan. “Astaga… Jika aku dihukum karena ini, tulangku bisa patah,” keluhnya lagi.
Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Cora dari belakang. Dia berbalik dan mendapati seorang pria yang juga merupakan salah satu mahasiswa baru di sana. "Ini, aku membawa dua."
Ternyata masih ada malaikat penolong untuknya. "Terimakasih," ucap Cora menerima topi itu.
Pria itu kemudian berpindah di samping Cora. Satu jurusan memang harus membentuk 2 banjar, dan kebetulan barisan di samping Cora masih kosong. "Perkenalkan aku Finn," kata Finn memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya
"Aku Cora," balas Cora sambil menjabat tangan Finn.
"Senang berkenalan denganmu." Finn tersenyum.
Cora membalas senyuman lebar Finn dengan senyuman tipis.
Finn memperhatikan senyuman Cora dan merasakan ada keanehan dengan gadis itu. Dia terlihat seperti menahan sesuatu. "Kau tidak apa?"
Cora langsung menggeleng cepat. “Aku baik-baik saja.” Dia kini berusaha mengacuhkan Finn. Bahaya jika Finn tahu apa yang dia alami sebelumnya.
"Semua duduk lalu tulis nama jurusan di lengan kalian masing-masing!" perintah mahasiswa senior.
“Siap kak!” sahut semua mahasiswa serempak.
Jika Cora duduk secara perlahan, pasti rasa sakitnya bisa ketahuan oleh Finn. Setelah diam sejenak, Cora sengaja menjatuhkan tubuhnya berpura-pura kepeleset.
“Hati-hati Cora,” khawatir Finn sambil membantu Cora membenarkan posisi duduknya.
“Ada apa ini?” tanya seorang mahasiswi senior yang menghampiri mereka karena melihat Cora terjatuh.
“Hanya kepeleset,” jawab Finn. Mahasiswi itu hanya mengangguk lalu berjalan pergi. Untung Finn mengenal senior itu. Jika tidak, Cora pasti dalam masalah karena kegaduhan yang dia buat tadi.
Cora hendak melinting lengan kemejanya tapi terhenti karena teringat luka memarnya. Tak mau semua orang tahu, dia memilih untuk menulis nama jurusannya di punggung tangannya.
Finn yang baru saja selesai menulis nama jurusannya di lengannya, tak sengaja melirik ke arah Cora. "Kenapa kau menulis di situ?"
“Aku…”
Finn mengira, Cora tidak bisa menekuk lengan kemeja hitamnya yang memang panjang. “Aku bantu ya.”
"Tidak usah…" Cora mencoba menahannya tetapi lengan kemejanya sudah terangkat dan memperlihatkan rahasianya.
“Cora?”
Cora langsung memanjangkan lengan kemejanya, kemudian mengangkat tangannya.
“Kenapa?” tanya senior yang melihat Cora mengangkat tangannya. Dia adalah senior yang tadi menghampirinya saat jatuh.
“Saya mau ke toilet,”ijin Cora.
Senior itu mengangguk. “Jangan lama-lama.”
Cora berusaha berdiri, melawan nyeri yang masih dia rasakan. Tanpa disuruh, Finn langsung membantu Cora berdiri. Finn juga berniat untuk mengantar Cora ke toilet. Pikir Finn, Cora pasti sangat membutuhkan bantuannya mengingat dia baru saja terjatuh tadi.
“Aku bisa sendiri,” tolak Cora lalu bergegas pergi meninggalkan Finn.
Entah kenapa, Finn merasa curiga dengan Cora dan memutuskan untuk mengikutinya.
Kecurigaan Finn terjawab ketika melihat Cora yang berjalan menuju UKS, bukan ke toilet. Dia langsung berlari mendekati ruang UKS itu. Ketika dia mengintip dari pintu, dia melihat gadis itu mengambil balsem. Sebelum balsem itu dioleskan ke luka memarnya, Finn langsung berlari untuk menahannya. "Luka memar seharusnya dikompres air es dulu," cegahnya.
Cora sangat terkejut karena kedatangan Finn. “Finn, kenapa kau…”
"Ada yang bisa kubantu?" tanya petugas UKS yang baru saja datang. Petugas itu melihat lengan Cora dengan bekas biru itu. "Astaga! Kenapa bisa seperti ini?!” kagetnya. Dia langsung bergegas menyiapkan obat untuk Cora.
Finn mengambil balsem dari tangan Cora lalu mengembalikannya ke kotak obat. “Duduklah.”
Cora menuruti Finn, duduk di brangkar. Pasrah. Hanya itu yang menggambarkan dirinya saat ini. Dia sudah gagal menyembunyikan kondisi lengannya pada Finn.
Finn duduk di sebelah Cora sambil membolak-balik lengan Cora, berusaha mencari tahu apa penyebab luka itu.
"Kau jangan salah paham dulu, ayah dan kakakku adalah orang yang baik. Dia tidak pernah menyakitiku," tegas Cora, mencegah Finn agar tidak berpikir yang aneh-aneh. Tanpa dia sadari, perkataan itu malah membuka rahasianya sendiri.
Finn terkekeh. “Aku bahkan tidak mengatakan apapun.”
Benar juga. Cora jadi menyesali perkataan yang dia keluarkan tadi. Seharusnya dia menuruti kata Axel. Andai dia bungkam saja, pasti Finn tidak semakin mencurigainya. “Ya, bisa saja kau berpikir seperti itu,” alihnya sambil tersenyum kikuk.
Petugas UKS kembali dengan membawa beberapa obat dan baskom berisi air es.
“Kembalilah ke barisan Finn. Petugas UKS akan mengurusku,” usir Cora.
“Aku menunggumu saja,” tolak Finn dengan nada polosnya. Cora ingin langsung mendorong Finn saja rasanya. Menurutnya Finn terlalu ikut campur. Kalau begini dia lebih baik memilih dihukum senior, daripada aman dari hukuman tapi dikejar-kejar olehnya. Topi kerucut itu mengantarkannya pada petaka.
“Kau kenapa? Bagaimana bisa kau terluka separah ini?” tanya petugas UKS yang di sela aktivitasnya mengobati luka Cora, mulai dari mengompresnya dengan air es, menyemprotkan cairan yang sangat dingin saat menyentuh kulit, dan terakhir baru mengoleskan balsem.
“Aku kecelakaan. Tubuhku menabrak mobil, lalu...” Cora berpikir sejenak untuk memberikan alasan yang lebih aman. “Tubuhku beberapa kali menghantam aspal. Ya seperti itu,” lanjutnya.
Finn hanya tersenyum mendengar penjelasan Cora. Dia tahu Cora sedang berbohong. Tanpa bertanyapun, ia sudah tahu penyebab pasti memar itu. Apalagi melihat Cora yang sama sekali tidak meringis seperti kebanyakan orang jika baru saja terkena luka memar separah ini. Dia menyimpulkan, memarnya itu karena KDRT dan Cora sudah terbiasa dipukuli sampai seperti itu.
Hari baru telah dimulai. Harapan Cora untuk hari ini, semoga lebih baik dari kemarin. Lebam-lebam kemarin, warnanya sudah berubah lebih pekat dibanding kemarin. Rasa sakitnya sedikit berkurang berkat petugas UKS, walaupun hanya berkurang 10% . Tidurnya juga lebih nyenyak dari satu jam dari kemarin. Memang tubuhnya masih terasa nyeri, tapi Cora tetap harus menyiapkan sarapan untuk seisi rumah. Dia membuat makanan simpel seperti beberapa roti bakar dengan gurihnya margarin dan juga semangkok bubur untuk ayahnya. Semua itu sudah tercepak rapi di atas meja makan. Langkah selanjutnya, dia membuatkan 3 gelas susu untuk masing-masing anggota keluarganya. Tn. Owen juga sudah menghampiri meja makan dengan kursi rodanya. “Kau pucat, apa kau sakit?” tanyanya yang menyadari kondisi Cora yang tampak kurang fit. “Aku hanya kelelahan sedikit,” bohong Cora sambil tersenyum tipis. Tn. Owen tetap memberikan tatapan curiga. Dia mendekatkan bubur buatannya ke a
Setelah menyapa keluarganya sesaat, dan juga mengembalikan uang dari ayahnya kemarin, kini Axel menidurkan tubuhnya yang sudah terasa lemas di ranjangnya. Berhubungan 3 ronde dengan wanita ganas itu bukan pilihan yang bagus. Ny. Yara yang memiliki julukan Woman on Top, sudah menjawab bagaimana panasnya permainan semalam. Permainan yang juga merenggut perjakanya. Energi Axel yang sangat kuat apalagi soal pukul memukul, saat ini benar-benar habis. Melayani nafsu Ny. Yara yang sangat buas, membuatnya menjadi lemah tak berdaya. “Wanita itu luar biasa…” gumam Axel sambil terkekeh. Foto di mana Ny. Yara duduk di kursi Zero O'clock, sedari tadi menyita perhatiannya. Semua yang dia lakukan, hingga tak ragu menjadikan dirinya barang paling hina, tentunya tidak gratis. Dia meminta sebuah bocoran tentang perjudian itu agar dia juga bisa tersenyum lebar karena kemenangannya, seperti Ny. Yara di foto itu. Sore nanti, bocoran dari Ny. Yara akan segera dia dapat
"Kau mau? Ini enak Finn..." tawar Hazel sambil menyodorkan ice cream rasa coklat yang tengah dinikmatinya. Wanita bernama Hazel itu adalah kekasih Finn yang juga mahasiswa baru sama seperti Cora. Dia sangat cantik juga imut dengan rambut panjang yang juga berponi. Senyumnya yang tercetak di bibir tipisnya, pasti membuat semua pria ingin mendapatkan gadis secantik itu juga. Sebenarnya Finn yang waktu itu berada di barisan mahasiswa baru, hanya ingin mengobatinya rasa rindunya pada Hazel yang baru saja pulang dari London setelah lulus dari bangku SMA-nya. "Ini masih pagi, sayang. Jangan makan itu dulu, nanti kau bisa flu," omel Finn sambil berusaha mengambil ice cream itu dari tangan Hazel. "Tiiidaak! Ini enak…" Hazel berlari kecil agar Finn tidak bisa merampas ice creamnya. Saking takutnya makanan favoritnya diambil, ia sampai tidak melihat jalan menurun di depannya yang membuatnya terjatuh. Brak!Pantat Hazel terduduk keras di lantai. Ice cream
Ny. Beatrice berusaha mengatur napasnya juga mengontrol detak jantungnya yang semakin kencang saat melihat pistol yang terpasang di celananya. “Apa yang kau bicarakan? Kau tidak lihat, aku seharian di toko kue. Seharusnya kalau menuduh, harus ada bukti.” Dia juga tetap menjaga nada tenangnya agar bisa mengelabui suaminya. Suaminya yang merupakan seorang komandan polisi, sangat sering bertugas pada malam hari, hingga membuatnya tak pernah tahu apa yang istrinya lakukan saat jam 12 malam. “Lalu kartu-kartu itu? Kenapa ada di sini?” Tn. Edgar masih tidak percaya dengan penjelasan Ny. Beatrice. “Ya, aku hanya ingin melepas penat. Aku bermain dengan karyawanku di sini. Ya… dengan taruhan kecil tapi itu tidak membebankan mereka." Ny. Beatrice terus mencari-cari alasan yang aman. Mata Tn. Edgar masih menajam seperti tatapan awal saat dia membuka pintu ruangan itu. “Kau masih tidak mau mengakuinya?” Walau takut, Ny. Beatrice tetap bersikap angkuh karena
“Kenapa kau terus mengungkit itu?” tanya Tn. Edgar tak suka. Pembicaraan mengenai KDRT yang pernah ibunya alami dulu, selalu membuat Finn geram. Perlakuan kasar itu, tak pernah sedikitpun memunculkan perasaan bersalah pada diri Ayahnya. Sangat malas rasanya bila harus melawan orang berhati batu seperti dia. “Lagipula itu memang kesalahan ibumu sendiri, kan?” Tn. Edgar kembali memberikan pembelaan untuk dirinya sendiri. Finn tersenyum kecut. Bosan mendengar semua kalimat pembelaan yang selalu menyudutkan itu. “Kalau begitu, kenapa kau memaksa untuk tetap menikahi seorang pejudi, lalu melarangnya berjudi? Kau bisa menikahi wanita lain, ayah.” Skakmat dari Finn itu, membuat Tn. Edgar kembali mengingat awal mula pernikahannya dengan Ny. Beatrice. Jika kalian berharap pernikahan mereka diawali oleh kisah yang romantis, kalian salah besar. Tn. Edgar bukan tipe pria yang tiba-tiba jatuh cinta pada pandang pertama. Hal yang memotivasi untuk rencananya a
“Kau pasti sangat kelelahan ya? Tinggallah di sini dulu…” manja Ny. Yara sambil mengelus dada sixpack Axel. Elusan itu langsung ditepis kasar oleh Axel. Tubuhnya yang sudah sangat lelah akibat Ny. Yara yang meminta ronde tambahan sebanyak 5 kali, membuatnya kesal. Padahal perjanjian untuk check bernominal 100 juta tadi, hanya untuk satu permainan. Jika dia berlama-lama di sini, ronde ketujuh pasti akan terjadi juga. “Aku harus pulang, sayang. Ada sesuatu yang harus aku urus.” Berulang kali Ny. Yara menarik baju yang akan Axel kenakan, tak mau melepas peliharaannya. “Aku akan menambah uangnya, sayang…” “Besok lagi ya.” Sekali lagi memberikan penolaknnya dan mempercepat gerakan tangannya agar baju itu segera menutupi tubuh sexy-nya yang menggoda. Kepala Ny. Yara yang sudah kliyengan karena efek alkohol, membuatnya tak bisa menguasai dirinya dan kehilangan kesadarannya. Dia memang memiliki kebiasaan meminum alkohol saat sedang berhubungan.
“Aku antar ya.” Setelah anggukan Cora, Finn langsung menggandeng Cora, ke mobilnya. Dia juga membukakan pintu untuk gadis malang itu, lalu turut masuk ke mobil. Goresan pada pipi itu, menuntutnya untuk mengambil plester, perban dan obat merah untuk Cora, sebelum melajukan mobilnya. “Kau bisa sendiri?” Cora mengangguk, mengambil tiga benda itu. Karena kesedihannya tadi, dia sampai melupakan luka di pipinya juga rasa perih yang seharusnya ia rasakan. Dan karena telah sadar, rasa perih yang terlupakan itu mulai terasa. Sambil meringis menahannya, perlahan ia mengoleskan obat merah ke pipinya untuk membuat lukanya kering. Step selanjutnya, dia memotong perban sepanjang goresan dari pisau tadi, yang panjangnya dari bawah mata hingga mendekati mulutnya. Memang goresannya tidak terlalu dalam, tetapi tetap ada reaksi sakit yang dihasilkan. Step terakhir, dia memasang plester untuk merekatkan perban itu. Finn sengaja mendiamkan Cora. Sengaja memberikan waktu untuk menen
Setelah berpamitan dengan Finn, Cora langsung berlari cepat masuk ke rumahnya. Ketika membuka pintu, kekhawatiran yang membuatnya sangat terburu-buru itu, memang benar karena Axel yang sudah menggendong ayahnya.“Kau datang rupanya. Kupikir Ayah akan menggantikanmu malam ini,” santai Axel dengan seringaian iblisnya. Dia mengembalikan ayahnya ke kursi rodanya, sebelum menatap ke Cora lagi. “Waah… Potonganmu bagus juga,” kekehnya sambil memperlihatkan raut mengejeknya pada Tn. Owen.Sebelum Cora datang, terjadi pertikaian kecil di antara ayah dan anak yang membuat ketegangan di rumah itu. Axel adalah pihak yang paling geram karena mengetahui alasan Tn. Owen yang menjeburkan dirinya di perjudian itu, yaitu untuk membuat Axel mati perlahan karena pukulan dari algojo. Axel yang tak terima itu, langsung membongkar korban judi yang ia pakai, yaitu Cora. Dan kata-kata pamungkas malam ini yang terlontar dari mulut Axel adalah, ‘K
“Siapa yang menolongmu?” tanya Ny. Beatrice pada Axel. Dia datang karena Rexy yang meneleponnya. Kalau tidak ada Ny. Beatrcie mungkin sampai pagi Cora masih memberontak sambil menangis kencang. Hanya ibunya yang bisa menenangkan Cora.“Tn. Edgar,” jawab Axel.“Edgar?” kaget Ny. Beatrice mendengar nama mantan suaminya itu. “Apa tujuannya?”“Entahlah. Saat setengah tubuhku sudah terkena api karena di bakar oleh Shea, tiba-tiba ada yang masuk sambil menyemprotkan alat pemadam kebakaran. Ternyata dia adalah Tn. Edgar. Setelah aku diobati dan tubuhku membaik, dia menyelamatkanku karena dia menganggapku sebagai anaknya. Itu agak aneh tapi, memang begitu,” jelas Axel, sesuai kejadian sesungguhnya.Ny. Beatrice sangat malas mendengar nama Tn. Edgar yang ternyata masih ada di sekeliling mereka. Dia sudah tidak bisa lagi mempercayai mantan suami
“Sakha ditemukan tertembak di cafe-nya. Siapa yang menembak masih dalam penyelidikan karena tidak ada rekaman CCTV. Kenapa?” tanya komandan polisi bername tag ‘Edgar’.“Sakha itu anak buah Tn. Warren. Aku sangat yakin kematiannnya juga sangat berhubungan dengan dia,” duga Axel. Dia sengaja datang ke kantor polisi yang sedang menyelidiki kasus kematian Sakha. Kebetulan yang mengomandani kasus itu adalah Tn. Edgar. Kini mereka sedang berdebat di ruangan komandan Edgar.“Apa yang kau bicarakan? Permainan itu sudah selesai dan sudah diambil alih oleh Cora. Sebaiknya kau membantuku menemukan di mana tempat baru perjudian itu,” kata Tn. Edgar membantah dugaan Axel.“Tn. Warren tidak akan semudah itu melepas bisnis besarnya. Pasti dia sedang merencanakan sesuatu,” kata Axel menekankan dugaan yang pasti terjadi itu.“Bisa kau jelaskan ap
Ny. Beatrice kembali dengan membawa makanan sehat. Dia memilih menu ayam dengan sandwich. Ibu hamil memang harus menjaga makannya untuk kesehatan bayinya. “Sayang, ayo turun, makanannya sudah datang!” panggil Ny. Beatrice dari bawah.“Ibu! Tolong aku!” sahut Cora dari atas.Ny. Beatrice sangat khawatir dan langsung berlari ke atas. “Astaga… Kalian sudah baikan rupanya,” kaget Ny. Beatrice ketika melihat anak dan menantunya sedang berpelukan. Tidak, yang benar Rexy sedang memeluk Cora seerat-eratnya.“Ibu, dia membuatku sesak napas,” keluh Cora.Ny. Beatrice terkekeh. “Nanti lagi bermesraannya. Sekarang makan dulu.”“Ayo makan, sayang.” Rexy langsung menggendong Cora membawanya turun ke meja makan.“Aku bisa jalan sendiri, Rexy!” Cora masih terus mengomel.&
Cora baru membuka matanya saat hari sudah memasuki siang hari. Saat dia hendak mengucek matanya yang tertutup bunga tidur, namun tangannya tertahan kain yang terikat di ujung sandaran kasur. Jangankan mau memukul perutnya lagi, mengangkat tangannya saja sangat susah. “Astaga…” keluhnya. Cora kemudian menyisir pandangan dan menemukan Rexy yang sedang tidur di sofa tak jauh dari ranjang. “Rexy!” panggilnya.Rexy masih tidur. Suara Cora tadi ternyata tidak berhasil masuk ke telinga Rexy.“Rexy!” Kali ini Cora menambah volume teriakannya.Akhirnya Rexy mendengar panggilan itu dan membuatnya terbangun . Dia menegakkan duduknya dan langsung melihat Cora. “K-kenapa?” tanyanya canggung.“Lepaskan tanganku,” pinta Cora.“Kau tidak boleh memukul perutmu lagi,” larang Rexy.
5 menit, tentubukan waktu yang lama untuk di tunggu.Mereka sudah mendapat hasildari test pack itu. 2 garis biru terlihat jelas pada alat itu.Ny. Beatrice tidak tahu harus menempatkan dirinya bagaimana. Haruskah senang atau malah sedih?“Apa? Aku tidak hamil, kan?” tanya Cora berharap rahimnya masih kosong.“Kau, hamil sayang,”jawab Ny. Beatrice.Rexy tersenyum lebar mendengarnya. Dia akhirnya berhasil mengikat Cora sepenuhnya.Berbeda dengan Cora yang langsung mematung mendengar perkataan itu. Bukan mimpi, janin bayi memang mengisi rahimnya sekarang. Ia tidak mau harapan untuk bisa bersanding dengan pria lain hilang karena hal ini. Kembali lagi, dia tidak mau seumur hidup bersama Rexy seperti ketakutannya selama sebulan pernikahannya ini. Hal lain yang membuatnya tak bisa menerima kehamilannya adalah nama Max yang masih terukir di
Satu bulan kemudian“Kapal pesiarnya sudah jadi bu. Kau mau melihatnya?” tawar Finn.“Tentu saja.”Finn dan Ny. Beatrice langsung berangkat ke pulau yang waktu itu Cora dan Rexy datangi, menggunakan mobilnya. Seusai 5 jam perjalanan darat dan 30 menit perjalanan laut, mereka telah sampai. Di sekitar pulau itu sudah ada kapal pesiar yang sangat mewah terparkir. Tak hanya itu ada beberapa kapal kecil dan jet ski yang nantinya akan digunakan juga untuk penyerangan.“Kau mau mulai dari mana?” tanya Finn yang sudah naik ke kapal pesiarnya.“Ruang senjata dulu,” pinta Ny. Beatrice.“Ayo, itu ada di lantai bawah.” Finn menuntun ke sebuah pintu yang bisa mengakses ke lantai paling bawah. Biasanya ruangan itu digunakan untuk menyimpan sekoci darurat, tapi kali ini ruangan itu digunakan untuk menyimpan banyak
*Flashback“Jangan ikut campur. Mulai sekarang kau harus tetap di rumah. Bagaimanapun caranya kau harus lulus karena aku sudah memilihkan kampus terbaik di Australia untuk S2-mu.”“Apa maksudmu? Kau memintaku melepas Cora begitu saja setelah merenggut semua keluarganya?”“Shea…”“Kau lupa? Kita sudah membunuh kakaknya!”“Ini demi kebaikanmu.” Kemudian 2 orang bodyguard datang lalu berdiri di samping kanan dan kiri Shea.“Apalagi ini?”“Mereka akan mengikutimu setiap kau keluar rumah untuk ke kampus. Kau tidak boleh kemana-mana selain ke kampus. Mana ponselmu?”“Kau juga mau men
Cora, Rexy, dan Finn tak menghabiskan banyak waktu, hanya mengobrol sebentar sekedar menjelaskan sedikit cara yang akan dilakukan nanti. Setelah 2 jam, Cora dan Rexy pamit pulang sedangkan Finn masih ingin di markas snipernya. Perjalanan dengan perahu selama 30 menit juga 5 jam perjalanan dengan mobil membuat mereka baru sampai saat malam hari sekitar jam sepuluhan.Sebelum ke apartemennya, Rexy memang sudah berencana untuk mampir ke cafe judi. Tetapi melihat Cora masih tertidur pulas, membuatnya tak tega membangunkannya. Akhirnya dia menggantikan Cora untuk mengatur kaset-kasetnya.“Kau, bukannya pemain ya?” bingung Yoland melihat ada pengunjung yang sudah datang padahal masih belum waktunya.“Aku sekarang sudah menikah dengan Cora. Dan Cora sedang tidur jadi aku yang akan mengatur kasetnya,” jawab Rexy.“Oh Cora sudah menikah. Kalau begitu silahkan masuk.” Yoland
Masalah yang satu persatu mencuat, semakin membuat Finn pusing. Di sangat menyesal menghilang sesaat untuk memberikan pelajaran pada Cora. Perbuatan cerobohnya membuat sang adik kembali merasa menderita. “Cora ternyata sudah menikah. Tapi Cora sepertinya tak menginginkan pernikahan itu terjadi,” ungkap Finn menceritakan kondisi Cora sekarang kepada ibunya. Mereka sedang berada di tepi kolam renang di rumah Ny. Beatrice. “Kenapa menikah kalau Cora tidak mau?” heran Ny. Beatrice.“Alasan dari keduanya sangat membingungkan. Rexy bilang diancam Axel dan Cora bilang dia menikah untuk mendapat perlindungan. Tapi Cora terlihat sangat sedih. Aku sempat melihat matanya sangat lebam,” jelas Finn sambil mengingat wajah Cora setelah dia bilang sudah memiliki suami.“Aku jadi penasaran dengan Rexy, itu.”“Kau mau bertemu?”