Ny. Beatrice berusaha mengatur napasnya juga mengontrol detak jantungnya yang semakin kencang saat melihat pistol yang terpasang di celananya. “Apa yang kau bicarakan? Kau tidak lihat, aku seharian di toko kue. Seharusnya kalau menuduh, harus ada bukti.” Dia juga tetap menjaga nada tenangnya agar bisa mengelabui suaminya. Suaminya yang merupakan seorang komandan polisi, sangat sering bertugas pada malam hari, hingga membuatnya tak pernah tahu apa yang istrinya lakukan saat jam 12 malam.
“Lalu kartu-kartu itu? Kenapa ada di sini?” Tn. Edgar masih tidak percaya dengan penjelasan Ny. Beatrice.
“Ya, aku hanya ingin melepas penat. Aku bermain dengan karyawanku di sini. Ya… dengan taruhan kecil tapi itu tidak membebankan mereka." Ny. Beatrice terus mencari-cari alasan yang aman.
Mata Tn. Edgar masih menajam seperti tatapan awal saat dia membuka pintu ruangan itu. “Kau masih tidak mau mengakuinya?”
Walau takut, Ny. Beatrice tetap bersikap angkuh karena jika dia merubah ekspresi yang dia tunjukkan di awal, pasti kebohongannya akan berantakan. “Terserah kau mau percaya atau tidak. Pekerjaanku masih banyak.” Ny. Beatrice langsung melangkah pergi sambil membawa sekotak kue kering yang sudah dia siapkan tadi. Daripada rahasianya terbongkar, dan peluru menancap di jantungnya, lebih baik cepat-cepat melarikan diri saja. Lari ke tempat persembunyiannya.
Tn. Edgar memang mendiamkan Ny. Beatrice, tapi orang suruhannya sudah bersiap di depan toko untuk mengikuti ke mana, istrinya akan pergi.
***
Suara gemericik air, terdengar meramaikan rumah Tn. Owen yang sunyi. Rumahnya yang hanya sepetak, membuat suara sekecil apapun masih bisa terdengar di seluruh ruangan. Suara air itu, berasal dari kamar mandi. Cora si gadis kuat itu, tengah memandikan ayahnya yang sudah rapuh. Dengan gosokan yang lembut dan senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya, Cora membersihkan tubuh ayahnya dengan telaten.
"Kenapa kau memakai baju lengan panjang? Jadi basah semua," heran Tn. Owen sambil menggulungkan lengan baju Cora.
"Tidak apa, ayah. Sebentar lagi aku juga mandi," jawab Cora. Dia langsung menahan tangan ayahnya agar dia tak melihat bekas lebam yang masih membekas di sana. Lebam itu sudah satu minggu, pasti warnanya tambah terlihat jelas sekarang.
"Pasti Axel memukulimu lagi ya?" tebak Tn. Owen.
Cora memperlihatkan senyum tipisnya. "Tubuhku dari baja ayah, aku tidak sakit sama sekali. Jangan khawatir, sekarang buka mulutmu ayah." Cora kini memasukkan sikat gigi ke dalam mulut ayahnya, lalu menggosok deretan gigi putih milik Tn. Owen, seolah menyumpal mulut ayahnya agar tak membahas tentang itu, lebih dalam lagi. Setelah seluruh kerak gigi juga noda-noda di giginya dibersihkan, Tn. Owen membuang bekas odol dimulutnya lalu berkumur. Tak lupa, Cora mengeringkan badan Tn. Owen dengan handuk sebelum membalutnya dengan pakaian.
Di sela-sela Cora yang sedang mengganti tabung oksigen, tangan ayahnya tiba-tiba memegang tangannya. Tangan pucat itu, membuat Cora menolehkan kepalanya menatap Tn. Owen, dengan senyumannya. “Kenapa ayah?”
"Maafkan ayah. Ayah tidak bisa melindungimu," sesal Tn. Owen yang merasa gagal menjadi ayah untuk Cora. Dia hanya bisa membuat hidup Cora selalu menderita, ditambah dia yang tak bisa berbuat apapun saat melihat gadis kecilnya disiksa oleh Axel.
Melihat ekspresi sedih ayahnya, membuat Cora langsung memeluk tubuh kurus Tn. Owen. "Ini bukan salah siapa-siapa. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, itu melukaiku. Kau sudah berjanji untuk tidak membahas ini lagi, kan?"
Tn. Owen memberikan sentuhan lembut untuk membelai pipi Cora. "Aku senang kau bisa lahir ke dunia, walau aku tidak bisa memilikinya seutuhnya."
Tunggu, bukankah sebuah pernikahan bisa membuat kita memiliki pasangan kita seutuhnya? Kenapa Tn. Owen masih belum merasa memiliki istrinya sendiri? Atau mungkin, karena kepergian istrinya yang membuat tak bisa memilikinya lagi? Sepertinya pertanyaan terakhir yang menjadi jawabannya. Ibu Cora yang sudah meninggal 20 tahun lalu tepat di hari kelahiran Cora, membuatnya sangat kehilangan dan menimbulkan perkataan yang mengiris hati itu. "Ibu seutuhnya milikmu, ayah. Sampai kapanpun." Cora memberikan usapan pada punggung ayahnya, agar bisa melarutkan rasa sedih itu. Pasti sangat menyiksa rasanya, menahan perpisahan selama itu.
Tn. Owen tersenyum. "Aku mau melihat ibu?”
“Ayah…” Cora mencegah Tn. Owen agar tak membicarakan hal yang tak bisa ia terima juga. Andai ibunya masih ada, pasti dia bisa merasakan hidup bahagia dalam keluarga yang harmonis.
Tn. Owen tersenyum pahit. “Mmm... Cepat obati lukamu, tubuhmu juga terasa hangat.”
"Baik, ayah. Aku akan ke apotek, nanti."
Selepas meminumkan obat untuk ayahnya, juga menunggunya hingga tertidur, Cora langsung bergegas ke apotek. Berbekal kertas dengan tulisan tangan Finn, yang berisi nama obat-obatan yang harus dia beli. Nama obat-obatan asing itu harus segera dia beli agar tubuhnya bisa sembuh total sebelum Axel membawanya ke perjudian itu lagi. Walau para algojo sudah mengurangi kekuatan mereka, bukan berarti itu tidak sakit, ya. Selama ini hanya balsam yang mengobati luka memarnya dan obat sakit gigi untuk menghilangkan rasa nyerinya. Itu dulu, sebelum mendapat pukulan seganas itu.
Sambil menyalakan walkman dengan lagu-lagu favoritnya, dia berjalan di bawah senja menuju apotek yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia sangat menikmati senja yang indah itu, apalagi dengan udara yang bersih karena jarang ada kendaraan yang lewat. Saat jam pulang kerja seperti sekarang saja, kelihatannya masih tetap sepi.
"Nona, kau mencari obat apa?" tanya apoteker, setelah Cora memasuki apotek tujuannya.
"Ini." Cora memberikan kertasnya tadi.
“Tunggu sebentar, ya.” Apoteker itu langsung mengambil obat-obatan yang tertera di sana.
"Jangan lupa obat penurun demam. Aku lupa menuliskan itu." Suara yang terdengar berat, tiba-tiba lewat di telinganya. Tanpa menolehpun, Cora sudah tahu siapa dia.
“Tambah obat demam ya,” pinta Cora pada apoteker. Kemudian dia menoleh pada Finn dengan wajah datarnya. “Memang di dekat rumahmu tidak ada apotek? Atau…” Ekspresi curiga, kini merubah wajah datar Cora tadi. “Kau menguntitku ya?”
“Aku hanya ingin memastikan kalau kau benar-benar membeli obat yang kutulis,” jawabnya sambil tersenyum.
“Ya tapi, kau tidak perlu sampai menguntitku seperti ini. Aku bisa melaporkanmu ke polisi kalau kau begini terus,” ancam Cora. Jujur semakin hari, perhatian Finn yang berlebihan itu membuatnya sangat risih.
“Kalau kau berani melakukan itu, pasti seseorang di rumahmu sudah tertangkap. Dan masalah kekerasan ini, akan cepat selesai.” Setelah mengatakan perkataan yang membuat Cora kicep, Finn membalikkan badannya lalu melangkah pergi. Dia keluar dari apotek dan kembali masuk ke mobilnya. Sejak pulang dari kampus, dia memang sudah mengikuti Cora. Nama yang sudah menjadi target pantaunya, akan terus dia kejar sampai dia bisa menyelesaikannya dan membuat gadis itu berhasil lepas dari penderitaannya. Tekadnya yang besar itulah yang membuatnya rela mengawasi Cora seharian. Bukan hanya untuk mencari tahu tempat tinggal Cora, tapi juga memastikan kesembuhannya.
Setelah perjalanan yang cukup lama, akhirnya Finn sampai juga di rumahnya saat matahari sudah tak terlihat lagi. Begitu dia melangkah masuk, dia langsung bertemu dengan ayahnya yang terlihat akan meninggalkan rumah.
“Ayo ikut ayah.” Tn. Edgar langsung menarik Finn. Finn mengikuti tarikan tangan ayahnya itu yang berakhir di mobil milik Tn. Edgar. Mobilpun langsung melaju ke jalanan. “Masakan eropa?” tanya Tn. Edgar menawarkan makan malam.
Finn mengangguk menyetujui tawaran ayahnya itu. “Ibu pergi lagi ya?” Biasanya, Ny. Beatrice-lah yang menyiapkan makan malam yang memang merupakan aktivitas wajib di keluarga Finn. Hanya di saat itulah mereka bisa berkumpul dengan formasi lengkap. Selepas makan, ritual selanjutnya adalah berbincang-bincang hangat menceritakan bagaimana hari mereka juga masalah apa yang dihadapi di hari itu. Tentu waktu sesingkat itu, tak membuat mereka saling tahu rahasia apa saja yang sedang ditutupi satu sama lain.
“Ya. Aku juga ingin membahas itu denganmu. Kau ada bukti lagi?”
“Kau sudah tahu tempat yang sering ibu datangi?”
“Itu hanya rumah biasa.” Orang suruhan Tn. Edgar yang mengikuti Ny. Beatrice tadi, melaporkan kalau dia hanya mendatangi sebuah rumah. Bahkan orang suruhan itu juga menyelundup ke dalam rumah tersebut dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
“Tidak, tidak. Mungkinkah ada tempat lain?” Finn mencoba berpikir keras di sepanjang perjalanan. Dia sangat yakin dengan kecurigaannya pada ibunya yang akhir-akhir ini coba dia bongkar. Kecurigaan itu bermula saat ibunya yang sering terlihat meninggalkan rumah saat jam 12 malam. Dia melihatnya sendiri, ketika dia begadang karena tugas. Setelah itu, keanehan-kanehan lain juga mulai sering ia temui, contohnya ibunya yang tiba-tiba saja memiliki banyak bodyguard padahal ibunya itu sering bepergian sendirian. Yang paling mencurigakan adalah, omzet toko kue kering ibunya tiba-tiba meledak hingga miliaran. Padahal kalau dilihat, tokonya tidak begitu ramai. Lalu uang-uang itu dari mana?
Kini mereka telah sampai di restoran untuk mengisi perut mereka. Setelah memilih tempat duduk, pelayan langsung mendatangi mereka dengan membawa buku menu. Mereka kompak memesan steak untuk dinner kali ini.
Sambil menunggu makanan datang, mereka melanjutkan obrolan di mobil tadi. “Kau pernah mengikutinya saat malam?” Tn. Edgar yang pertama kali membuka obrolan itu.
“Tidak ayah.”
“Coba nanti malam kau ikuti ibumu.”
Finn berdecak. “Kenapa kau tidak menyuruh anggota polisimu saja?”
“Jadi, kau tidak mau?” kecewa Tn. Edgar.
“Aku sebentar lagi lulus ayah. Waktuku harus kugunakan sebaik mungkin. Aku sampai rela begadang untuk menyelesaikan semuanya,” jelas Finn. Dia sangat ingin menyelidiki apa yang sedang dilakukan ibunya sekarang, tapi dia benar-benar kekurangan waktu untuk melakukannya. Pagi dia harus kuliah, kadang juga harus mengisi jadwal piket di UKS lalu siang sampai sore dia harus magang di rumah sakit. Biasanya sepulang dari rumah sakit dia tidur sebentar, sebelum bangun lagi untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya saat tengah malam sampai pagi tiba. Tak ada waktu lagi, bahkan tidurpun hanya 3-5 jam saja.
“Bukankah hari ini kau libur magang? Lalu dari mana kau?” tanya Tn. Edgar dingin.
“Aku…”
“Kau memnemukan korban KDRT lagi?” tebak Tn. Edgar. Tatapan tajam yang seolah mengintimidasi, seperti mengisyaratkan ketidaksukaannya pada tindakan mulia Finn itu. “Kau lebih mementingkan orang lain daripada dirimu sendiri?” tembaknya kemudian.
“Kita di sini untuk makan ayah.”
“Tidak. Kita di sini untuk menyelesaikan masalah keluarga kita.”
Finn menghembuskan napasnya lalu membalas tatapan tajam dengan tatapan yang mengutarakan pemberontakan di hatinya. “Aku ingin memberantas semua masalah KDRT di sekitarku. Aku tidak mau melihat orang lain sama seperti ibu. Aku juga tidak mau ada orang sepertimu, yang tega memukuli istrinya sendiri.”
“Kenapa kau terus mengungkit itu?” tanya Tn. Edgar tak suka. Pembicaraan mengenai KDRT yang pernah ibunya alami dulu, selalu membuat Finn geram. Perlakuan kasar itu, tak pernah sedikitpun memunculkan perasaan bersalah pada diri Ayahnya. Sangat malas rasanya bila harus melawan orang berhati batu seperti dia. “Lagipula itu memang kesalahan ibumu sendiri, kan?” Tn. Edgar kembali memberikan pembelaan untuk dirinya sendiri. Finn tersenyum kecut. Bosan mendengar semua kalimat pembelaan yang selalu menyudutkan itu. “Kalau begitu, kenapa kau memaksa untuk tetap menikahi seorang pejudi, lalu melarangnya berjudi? Kau bisa menikahi wanita lain, ayah.” Skakmat dari Finn itu, membuat Tn. Edgar kembali mengingat awal mula pernikahannya dengan Ny. Beatrice. Jika kalian berharap pernikahan mereka diawali oleh kisah yang romantis, kalian salah besar. Tn. Edgar bukan tipe pria yang tiba-tiba jatuh cinta pada pandang pertama. Hal yang memotivasi untuk rencananya a
“Kau pasti sangat kelelahan ya? Tinggallah di sini dulu…” manja Ny. Yara sambil mengelus dada sixpack Axel. Elusan itu langsung ditepis kasar oleh Axel. Tubuhnya yang sudah sangat lelah akibat Ny. Yara yang meminta ronde tambahan sebanyak 5 kali, membuatnya kesal. Padahal perjanjian untuk check bernominal 100 juta tadi, hanya untuk satu permainan. Jika dia berlama-lama di sini, ronde ketujuh pasti akan terjadi juga. “Aku harus pulang, sayang. Ada sesuatu yang harus aku urus.” Berulang kali Ny. Yara menarik baju yang akan Axel kenakan, tak mau melepas peliharaannya. “Aku akan menambah uangnya, sayang…” “Besok lagi ya.” Sekali lagi memberikan penolaknnya dan mempercepat gerakan tangannya agar baju itu segera menutupi tubuh sexy-nya yang menggoda. Kepala Ny. Yara yang sudah kliyengan karena efek alkohol, membuatnya tak bisa menguasai dirinya dan kehilangan kesadarannya. Dia memang memiliki kebiasaan meminum alkohol saat sedang berhubungan.
“Aku antar ya.” Setelah anggukan Cora, Finn langsung menggandeng Cora, ke mobilnya. Dia juga membukakan pintu untuk gadis malang itu, lalu turut masuk ke mobil. Goresan pada pipi itu, menuntutnya untuk mengambil plester, perban dan obat merah untuk Cora, sebelum melajukan mobilnya. “Kau bisa sendiri?” Cora mengangguk, mengambil tiga benda itu. Karena kesedihannya tadi, dia sampai melupakan luka di pipinya juga rasa perih yang seharusnya ia rasakan. Dan karena telah sadar, rasa perih yang terlupakan itu mulai terasa. Sambil meringis menahannya, perlahan ia mengoleskan obat merah ke pipinya untuk membuat lukanya kering. Step selanjutnya, dia memotong perban sepanjang goresan dari pisau tadi, yang panjangnya dari bawah mata hingga mendekati mulutnya. Memang goresannya tidak terlalu dalam, tetapi tetap ada reaksi sakit yang dihasilkan. Step terakhir, dia memasang plester untuk merekatkan perban itu. Finn sengaja mendiamkan Cora. Sengaja memberikan waktu untuk menen
Setelah berpamitan dengan Finn, Cora langsung berlari cepat masuk ke rumahnya. Ketika membuka pintu, kekhawatiran yang membuatnya sangat terburu-buru itu, memang benar karena Axel yang sudah menggendong ayahnya.“Kau datang rupanya. Kupikir Ayah akan menggantikanmu malam ini,” santai Axel dengan seringaian iblisnya. Dia mengembalikan ayahnya ke kursi rodanya, sebelum menatap ke Cora lagi. “Waah… Potonganmu bagus juga,” kekehnya sambil memperlihatkan raut mengejeknya pada Tn. Owen.Sebelum Cora datang, terjadi pertikaian kecil di antara ayah dan anak yang membuat ketegangan di rumah itu. Axel adalah pihak yang paling geram karena mengetahui alasan Tn. Owen yang menjeburkan dirinya di perjudian itu, yaitu untuk membuat Axel mati perlahan karena pukulan dari algojo. Axel yang tak terima itu, langsung membongkar korban judi yang ia pakai, yaitu Cora. Dan kata-kata pamungkas malam ini yang terlontar dari mulut Axel adalah, ‘K
Suasana malam selalu identik dengan tidur. Malam hari, tepatnya pukul 10 malam sampai 2 pagi, kita bisa mendapatkan hasil tidur yang maksimal. Juga, bisa memproduksi hormon pertumbuhan dan perbaikan dalam tubuh dengan sempurna. Tetapi waktu tidur terbaik itu tak bisa Finn nikmati. Belum sembuh memar-memar di tubuhnya, kini dia harus menjalani magang di rumah sakit dan dipaksa begadang oleh shift malamnya. Kemarin setelah Finn dipukuli sampai babak belur, dia tidak pulang. Kondisi wajahnya tentu akan menghebohkan keluarganya. Hotel menjadi pilihannya untuk mengungsi. Karena tak melindungi wajahnya, bonyok-bonyok parah yang kini masih membekas di mata, mulut, juga pipinya. Untung dia adalah asisten dokter di ruang operasi, dengan masker yang menutupi wajah hancurnya yang mungkin bisa menakuti para pasiennya.Setelah operasi yang dikerjakan sukses, Finn kini bisa beristirahat dan bisa memanfaatkan waktu untuk mengobati lukanya. Dia juga sudah mengganti bajunya dan
Cora tengah bersiap-siap di kamarnya untuk pergi memenuhi undangan Shea. Setelah menembak seharian bersama Shea, yang berakhir kemenangan di pihak Shea, membuat ini sebagai hukuman. Hukuman untuk makan malam bersamanya. Shea juga bilang ada yang ingin dibicarakan bersamanya. Tentu saja kesempatan ini tidak akan disia-siakannya. Dengan begini, dia bisa sekalian mengajak Axel seolah ini adalah usahanya untuk mendekatkan Axel dengan Shea. Penampilannya sudah siap, kini dia menghampiri Axel di ruang TV. “Axel,” panggil Cora.“Hmm?” dehem Axel, dengan pandangan tak teralihkan dari TV.“Shea mengajakku makan malam. Kau mau ikut?” ajak Cora.Dengan senyuman lebar, Axel menyambut ajakan itu. Ternyata bualan yang dia berikan, menghasilkan juga. Misinya untuk mendekati Shea setelah lama berpisah, dilancarkan oleh Cora. “Tentu saja. Sekarang? Di mana?”"Di rumahnya. Sebentar, dia sudah mengirimkan alamatnya." Cora memb
Malam ini Cora sedang berada di salon, mencoba berbagai jenis wig. Itu dilakukannya agar penyamarannya berjalan dengan lancar. Penyamaran untuk menutupi identitasnya di meja judi Zero O’Clock. Tawaran Tn. Owen cukup membuat Cora tergiur. Selain untuk mencoba peruntungannya, pilihannya kali ini juga bisa menjadi langkah awal pemberontakannya pada semua penderitaan yang dirasakannya selama ini.“Bagaimana kalau begini?” tanya karyawati salon, di model rambut ketiga yang terpasang dirambut Cora. Rambut lurus panjang sepinggang dengan warna hitam dan ombre abu-abu di bawahnya, terlihat cocok untuk Cora.“Ya, aku suka ini.” Cora tampak berbeda sekarang. Dia yang memang sudah memiliki wajah cantik, kini menjadi sangat-sangat cantik. “Oh iya tolong berikan riasan yang membuat wajah asliku berbeda.”“Sepertinya dengan rambutmu sekarang, ini cocok untukmu.” Karyawati itu menunjukkan foto Lisa Blackpink di MV Money, me
Sebuah belaian lembut berusaha membangunkan Cora. Belaian yang berasal dari tangan halus Ny. Beatrice. Namun bukannya bangun dengan tenang, Cora malah terperanjat kaget dari tidurnya. Di otaknya, dia masih mengingat kasarnya perlakuan Axel. Apalagi ditambah ancaman yang tadi malam Tn. Edgar berikan, sampai terbawa mimpi. Ancaman yang dia dapat karena berani masuk ke kehidupannya. Tn. Edgar dengan tegas menyuruh Cora jauh-jauh dari Finn terutama Ny. Beatrice. Belum jelas, apa alasan Semua ancaman itu diberikan pada Cora."Hey, tenanglah. Apa aku terlalu keras membangunkanmu?" tanya Ny. Beatrice khawatir."Tidak apa, aku hanya mimpi buruk tadi," kata Cora sambil terkekeh.Ny. Beatrice terus membelai lembut rambut Cora mencoba menenangkan gadis yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Entah kenapa, tatapan mata Ny. Beatrice yang begitu tenang membuat Cora percaya untuk menceritakan masalah yang sedang ia tutupi."Suamimu tidak suka aku terlalu dekat dengan
“Siapa yang menolongmu?” tanya Ny. Beatrice pada Axel. Dia datang karena Rexy yang meneleponnya. Kalau tidak ada Ny. Beatrcie mungkin sampai pagi Cora masih memberontak sambil menangis kencang. Hanya ibunya yang bisa menenangkan Cora.“Tn. Edgar,” jawab Axel.“Edgar?” kaget Ny. Beatrice mendengar nama mantan suaminya itu. “Apa tujuannya?”“Entahlah. Saat setengah tubuhku sudah terkena api karena di bakar oleh Shea, tiba-tiba ada yang masuk sambil menyemprotkan alat pemadam kebakaran. Ternyata dia adalah Tn. Edgar. Setelah aku diobati dan tubuhku membaik, dia menyelamatkanku karena dia menganggapku sebagai anaknya. Itu agak aneh tapi, memang begitu,” jelas Axel, sesuai kejadian sesungguhnya.Ny. Beatrice sangat malas mendengar nama Tn. Edgar yang ternyata masih ada di sekeliling mereka. Dia sudah tidak bisa lagi mempercayai mantan suami
“Sakha ditemukan tertembak di cafe-nya. Siapa yang menembak masih dalam penyelidikan karena tidak ada rekaman CCTV. Kenapa?” tanya komandan polisi bername tag ‘Edgar’.“Sakha itu anak buah Tn. Warren. Aku sangat yakin kematiannnya juga sangat berhubungan dengan dia,” duga Axel. Dia sengaja datang ke kantor polisi yang sedang menyelidiki kasus kematian Sakha. Kebetulan yang mengomandani kasus itu adalah Tn. Edgar. Kini mereka sedang berdebat di ruangan komandan Edgar.“Apa yang kau bicarakan? Permainan itu sudah selesai dan sudah diambil alih oleh Cora. Sebaiknya kau membantuku menemukan di mana tempat baru perjudian itu,” kata Tn. Edgar membantah dugaan Axel.“Tn. Warren tidak akan semudah itu melepas bisnis besarnya. Pasti dia sedang merencanakan sesuatu,” kata Axel menekankan dugaan yang pasti terjadi itu.“Bisa kau jelaskan ap
Ny. Beatrice kembali dengan membawa makanan sehat. Dia memilih menu ayam dengan sandwich. Ibu hamil memang harus menjaga makannya untuk kesehatan bayinya. “Sayang, ayo turun, makanannya sudah datang!” panggil Ny. Beatrice dari bawah.“Ibu! Tolong aku!” sahut Cora dari atas.Ny. Beatrice sangat khawatir dan langsung berlari ke atas. “Astaga… Kalian sudah baikan rupanya,” kaget Ny. Beatrice ketika melihat anak dan menantunya sedang berpelukan. Tidak, yang benar Rexy sedang memeluk Cora seerat-eratnya.“Ibu, dia membuatku sesak napas,” keluh Cora.Ny. Beatrice terkekeh. “Nanti lagi bermesraannya. Sekarang makan dulu.”“Ayo makan, sayang.” Rexy langsung menggendong Cora membawanya turun ke meja makan.“Aku bisa jalan sendiri, Rexy!” Cora masih terus mengomel.&
Cora baru membuka matanya saat hari sudah memasuki siang hari. Saat dia hendak mengucek matanya yang tertutup bunga tidur, namun tangannya tertahan kain yang terikat di ujung sandaran kasur. Jangankan mau memukul perutnya lagi, mengangkat tangannya saja sangat susah. “Astaga…” keluhnya. Cora kemudian menyisir pandangan dan menemukan Rexy yang sedang tidur di sofa tak jauh dari ranjang. “Rexy!” panggilnya.Rexy masih tidur. Suara Cora tadi ternyata tidak berhasil masuk ke telinga Rexy.“Rexy!” Kali ini Cora menambah volume teriakannya.Akhirnya Rexy mendengar panggilan itu dan membuatnya terbangun . Dia menegakkan duduknya dan langsung melihat Cora. “K-kenapa?” tanyanya canggung.“Lepaskan tanganku,” pinta Cora.“Kau tidak boleh memukul perutmu lagi,” larang Rexy.
5 menit, tentubukan waktu yang lama untuk di tunggu.Mereka sudah mendapat hasildari test pack itu. 2 garis biru terlihat jelas pada alat itu.Ny. Beatrice tidak tahu harus menempatkan dirinya bagaimana. Haruskah senang atau malah sedih?“Apa? Aku tidak hamil, kan?” tanya Cora berharap rahimnya masih kosong.“Kau, hamil sayang,”jawab Ny. Beatrice.Rexy tersenyum lebar mendengarnya. Dia akhirnya berhasil mengikat Cora sepenuhnya.Berbeda dengan Cora yang langsung mematung mendengar perkataan itu. Bukan mimpi, janin bayi memang mengisi rahimnya sekarang. Ia tidak mau harapan untuk bisa bersanding dengan pria lain hilang karena hal ini. Kembali lagi, dia tidak mau seumur hidup bersama Rexy seperti ketakutannya selama sebulan pernikahannya ini. Hal lain yang membuatnya tak bisa menerima kehamilannya adalah nama Max yang masih terukir di
Satu bulan kemudian“Kapal pesiarnya sudah jadi bu. Kau mau melihatnya?” tawar Finn.“Tentu saja.”Finn dan Ny. Beatrice langsung berangkat ke pulau yang waktu itu Cora dan Rexy datangi, menggunakan mobilnya. Seusai 5 jam perjalanan darat dan 30 menit perjalanan laut, mereka telah sampai. Di sekitar pulau itu sudah ada kapal pesiar yang sangat mewah terparkir. Tak hanya itu ada beberapa kapal kecil dan jet ski yang nantinya akan digunakan juga untuk penyerangan.“Kau mau mulai dari mana?” tanya Finn yang sudah naik ke kapal pesiarnya.“Ruang senjata dulu,” pinta Ny. Beatrice.“Ayo, itu ada di lantai bawah.” Finn menuntun ke sebuah pintu yang bisa mengakses ke lantai paling bawah. Biasanya ruangan itu digunakan untuk menyimpan sekoci darurat, tapi kali ini ruangan itu digunakan untuk menyimpan banyak
*Flashback“Jangan ikut campur. Mulai sekarang kau harus tetap di rumah. Bagaimanapun caranya kau harus lulus karena aku sudah memilihkan kampus terbaik di Australia untuk S2-mu.”“Apa maksudmu? Kau memintaku melepas Cora begitu saja setelah merenggut semua keluarganya?”“Shea…”“Kau lupa? Kita sudah membunuh kakaknya!”“Ini demi kebaikanmu.” Kemudian 2 orang bodyguard datang lalu berdiri di samping kanan dan kiri Shea.“Apalagi ini?”“Mereka akan mengikutimu setiap kau keluar rumah untuk ke kampus. Kau tidak boleh kemana-mana selain ke kampus. Mana ponselmu?”“Kau juga mau men
Cora, Rexy, dan Finn tak menghabiskan banyak waktu, hanya mengobrol sebentar sekedar menjelaskan sedikit cara yang akan dilakukan nanti. Setelah 2 jam, Cora dan Rexy pamit pulang sedangkan Finn masih ingin di markas snipernya. Perjalanan dengan perahu selama 30 menit juga 5 jam perjalanan dengan mobil membuat mereka baru sampai saat malam hari sekitar jam sepuluhan.Sebelum ke apartemennya, Rexy memang sudah berencana untuk mampir ke cafe judi. Tetapi melihat Cora masih tertidur pulas, membuatnya tak tega membangunkannya. Akhirnya dia menggantikan Cora untuk mengatur kaset-kasetnya.“Kau, bukannya pemain ya?” bingung Yoland melihat ada pengunjung yang sudah datang padahal masih belum waktunya.“Aku sekarang sudah menikah dengan Cora. Dan Cora sedang tidur jadi aku yang akan mengatur kasetnya,” jawab Rexy.“Oh Cora sudah menikah. Kalau begitu silahkan masuk.” Yoland
Masalah yang satu persatu mencuat, semakin membuat Finn pusing. Di sangat menyesal menghilang sesaat untuk memberikan pelajaran pada Cora. Perbuatan cerobohnya membuat sang adik kembali merasa menderita. “Cora ternyata sudah menikah. Tapi Cora sepertinya tak menginginkan pernikahan itu terjadi,” ungkap Finn menceritakan kondisi Cora sekarang kepada ibunya. Mereka sedang berada di tepi kolam renang di rumah Ny. Beatrice. “Kenapa menikah kalau Cora tidak mau?” heran Ny. Beatrice.“Alasan dari keduanya sangat membingungkan. Rexy bilang diancam Axel dan Cora bilang dia menikah untuk mendapat perlindungan. Tapi Cora terlihat sangat sedih. Aku sempat melihat matanya sangat lebam,” jelas Finn sambil mengingat wajah Cora setelah dia bilang sudah memiliki suami.“Aku jadi penasaran dengan Rexy, itu.”“Kau mau bertemu?”