Pemandangan macam apa ini?
Di pagi hari yang masih tergolong cerah, seorang wanita duduk di pinggir lapangan sambil menatap kosong ke arah depan. Wanita itu tidak lain adalah Eritha Yessie yang baru-baru ini membuatnya merasa geram.
"Hei, Eritha." Dengan berlaku seolah ramah, Nora menyisir lembut rambut Eritha dengan jemarinya dan menjambaknya rambut wanita itu untuk sedikit mengintimidasi dirinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Anehnya, wanita itu sama sekali tidak bergerak ataupun melawan, hingga ia sedikit menggerakkan tangannya yang mencengkram erat rambut panjang Eritha. "Jawab aku."
Namun Eritha bersikap terlalu tenang, bahkan tidak menunjukkan perlawanan seperti yang bisa dia lakukan.
"Tinggalkan aku kali ini. Kumohon," jawabnya dengan masih sibuk melamun dalam pikirannya.
Tidak suka diacuhkan begitu saja, Nora membuat masalah lain dengan melemparkan uang ke tanah. "Belikan aku roti."
Namun Eritha bukan siswi biasa, dia tidak begitu mudah takut dengan ucapan Nora, yang selalu ditakuti dan dipatuhi oleh seluruh siswi sekolah tersebut.
"Tidak mau. Belilah makananmu sendiri," tolak Eritha dengan nada bosan dan malas, yang membuat Nora semakin geram.
Hanya, seperti sebelum-sebelumnya, Eritha tidak menanggapinya dan hanya menatap kosong ke depan seolah dia sudah setengah mati.
Hingga tibalah gerombolan wanita menakutkan yang dilihatnya.
Melihat wajahnya yang kesal lantaran tidak dihiraukan, para wanita itu mencoba menghadapi Eritha dan berseru menakutkan padanya.
"Hei, Eritha. Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja?!"
Tidak seperti ketika Eritha membantah dirinya, kali ini wanita itu membalas perlakuan para bawahannya tidak dengan hanya gumaman saja.
Wanita itu mendelik ke arah gerombolan yang sudah menang jumlah itu, lalu membuat mereka takut dengan sorotan mata buas.
Hingga entah bagaimana, para bawahannya yang tidak berguna itu langsung menunduk takut ketika berkontak mata dengannya.
"Lalu kenapa?! Kenapa jika Nora ada di sini?!" amuknya yang membuat para pengecut itu semakin bernyali menciut.
Sungguh memalukan.
"Aku bahkan bukan bawahannya, lalu kenapa aku dilarang untuk diam saja yang menjadi hakku?!" Kini pandangan penuh amarah itu beralih pada Nora, yang sedikit pun tidak merasa takut pada sorot matanya itu.
"Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu? Kau pikir aku akan takut?"
"Tidak." jawab Eritha dengan suara lirih yang bercampur getir. "Kau tidak akan takut."
Lalu Nora membalas Eritha dengan tatapan mata yang dingin dan menyeramkan. "Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Karena aku tidak takut," sahut Nora dengan suara yang dalam. "Seperti kau yang tidak merasa takut padaku, aku pun tidak takut padamu."
Lalu dengan kecepatan tangannya, Eritha menjambak rambur Nora tanpa memberinya kesempatan untuk mengelak. Hingga dalam hitungan detik, tangan Eritha sudah menguasai rambutnya yang diikat dengan ekor kuda dan menariknya kasar.
"Ah!" jeritnya ketika Nora merasa seluruh rambutnya nyaris tercabut dari kepalanya. "Apa yang kau lakukan?!"
Lucunya, gerombolan yang selalu menunjukkan rasa hormat padanya dan takut padanya itu, mereka hanya terdiam mematung ketika Eritha menarik-narik rambutnya dan tidak memberikan perlawanan apapun.
Mereka hanya menampakkan rasa khawatir mereka dari ekspresi wajahnya. Namun rasa khawatir itu tampak palsu ketika mereka bahkan tidak berusaha untuk melepaskannya.
"Apa yang kulakukan?" Eritha mengulang kembali pertanyaannya dan tersenyum licik padanya. "Aku hanya ingin membuktikan kalau aku tidak takut padamu."
"Ah!" Sekali lagi Nora menjerit ketika kepalanya yang sudah merasa pusing dengan cengkraman tangan Eritha, kini diguncang-guncang dengan sangat kasar.
"Apakah terasa sangat sakit? Sesakit itukah?" tanya Eritha yang secara harga diri tidak dapat ia jawab dengan jujur. "Ini juga rasa yang kurasakan ketika kau menjambak rambutku dan menyusahkanku."
Lalu dengan rasa bangga, Eritha menyombongkan sikap setia kawan yang membuat Nora sangat muak dengannya. "Aku tidak melawan, bukan karena tidak dapat melawan. Namun aku mencoba untuk menghargai pertemanan kita di masa lalu. Bagaimana pun sebelum hubungan kita memburuk, kita adalah teman yang sangat baik bagi satu sama lain. Jadi aku tidak menghiraukan perlakuan kasarmu."
"Berhenti bicara seolah kau peduli dengan temanmu," sahut Nora yang merasa geli ketika melihat wanita itu menjunjung tinggi nilai persahabat, setelah menusuknya dari belakang. "Kau hanyalah seorang penipu, kau tahu?"
"Terserah padamu saja," jawabnya sambil menatap Nora lekat-lekat. "Hanya saja kau sudah kehilangan waktu untuk memperbaiki sikapmu. Aku tidak bisa bersabar lagi, tidak, lebih tepatnya aku tidak memiliki waktu untuk bersabar padamu. Sebagai kawan aku akan memberimu pelajaran."
Entah apa yang dibicarakan dan dikatakannya, Eritha tiba-tiba melepaskan rambutnya dan menyerangnya dengan satu tamparan kuat hingga suara dari pukulan itu terdengar sangat nyaring.
Plak!
Nora memegang pipinya yang mungkin saat ini menjadi kemerahan dan menatap Eritha dalam geram.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Sudah jelas, aku menamparmu," jawabnya sangat ringan.
Ia merasa tidak terima dengan tamparan yang ia rasakan, tapi dengan pipi yang terasa panas itu, Nora merasa terlalu malu untuk banyak berbicara.
Eritha berjalan mendekatinya, "Beberapa waktu yang lalu aku merasa tidak beruntung dengan kondisi keluargaku. Namun kini aku merasa lebih baik dan sangat beruntung. Karena berkat kondisi ini, aku setidaknya bisa membalasmu satu kali saja."
"Kalian." Sekarang Eritha berbicara dengan para pengikutnya dan menendang ringan uangnya —yang ia lemparkan tadi— ke arah mereka. "Ambil uang ini, bos kalian sepertinya lapar jadi belikan dia roti."
Lalu dengan ketakutan yang ekstrim, pengikutnya yang mengintimidasi semua orang itu, tiba-tiba melunak bagaikan hewan jinak. Tanpa memiliki harga diri, mereka benar-benar memungut uangnya dan mengangguk dengan gemetar. "Baiklah."
Eritha menepuk Nora yang masih terdiam kaku, lalu mengatakan hal yang tidak dapat dimengerti oleh Nora.
"Ini adalah salam perpisahanku. Aku harap kau hidup dengan lebih baik." Sambil melirik ke arah kelompok pengikutnya, Eritha menunjuk mereka secara tidak langsung. "Biar kuperingatkan kau untuk yang terakhir kalinya, kau tidak cocok dengan hal norak seperti ini. Jadi sadarlah dan berhenti bermain seolah kau adalah preman wanita."
Dengan gaya yang sangat keren, Eritha kembali menyapa sekumpulan pengecut itu, "Teman-teman, kuucapkan selamat tinggal dan kuharap kita tidak akan bertemu lagi."
Kemudian Eritha menoleh ke arahnya dan menunjuk Nora, "Kau juga, kuharap kita tidak akan bertemu lagi."
Seusai mengatakan salam yang masih terdengar misterius itu, Eritha pergi meninggalkan mereka tanpa sedikit pun berbalik.
Tidak pernah Nora sangka, ucapannya bukan hanya sebuah isapan jempol belaka.
Karena setelah hari itu, Nora tidak melihatnya lagi. Baik di kelas, maupun asrama.
Hingga guru wali kelasnya menyampaikan kabar menggantikan wanita itu, yang menyatakan bahwa Eritha sudah tidak bersekolah lagi di sana. Dia sudah pindah ke sekolah lain.
...****************...
Kepindahan orang tua Erita adalah sebuah peristia yang tidak terelakkan. Erita tahu betapa ia seharusnya bersyukur dan mendukung ayahnya dalam promosi yang didapatkannya. Atas dasar pemikiran tersebut, Eritha memilih untuk menjadi pihak yang mengerti orang tuanya, setelah selama ini orang tuanya yang terus-menerus mencoba mengerti dan juga selalu memahami dirinya.Dengan berbicara empat mata, ia menyatakan kesediaannya untuk pindah dan sebelum ia merubah pikirannya, ayahnya segera memproses kepindahannya. Sehingga hanya berselang beberapa hari setelah pengambilan keputusannya yang sangat besar tersebut, ia beserta keluarganya sudah siap untuk pindah ke tempat baru yang tentu sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh ayahnya.Pindahan yang ada di bayangannya Eritha, ternyata sangat berbeda dalam kenyataannya. Ia kira, ia akan mengemasi beberapa hal dan orang tuanya harus menyewa angkutan untuk membawa sejumlah perabotan. Namun kenyataannya sangat bertolak b
Hari pertama sekolah Eritha akhirnya tiba. Mungkin terlalu berlebihan mengatakan bahwa 'ini hari pertamanya sekolah', mengingat sekarang bukan bulan Juli dan dia sudah dibangku kelas tiga. Namun melihat Eritha berangkat ke sekolah setiap hari, setelah selama ini ia selalu mengirimkan putrinya ke sekolah asrama, membuatnya merasa sangat senang.Hingga ia tak bisa menahan rasa antusiasnya dan bangun sangat awal untuk membuatkan bekal bagi putri semata wayangnya."Apa yang ibu lakukan? Sekarang masih terlalu pagi." Eritha mendekatinya sambil menggosok matanya yang masih enggan terbuka."Astaga, maafkan Ibu. Ibu pasti memasak dengan sangat berisik," ujar ibu Eritha dengan wajah yang merasa bersalah.Namun putrinya menggelengkan kepala dan menampik suara berisik yang timbul ketika pisau dapurnya berantukan dengan talenan kayu yang mengalasi sayurannya."Kenapa sudah bangun? Pergilah ke kamarmu dan lanjutkan tidurmu sebentar lagi," peri
Kenapa ia membawanya?Aliando menatap ponsel yang kemarin dijatuhkan seorang wanita yang tidak sengaja ia temui di depan sekolah. Entah apa yang membuat wanita itu berlari pergi begitu saja, hingga dia tidak mengambil ponselnya yang terjatuh.Wanita yang aneh. Tidak biasanya orang membuang ponselnya dan pergi begitu saja.Namun dibandingkan wanita itu, Aliando merasa dirinya yang lebih aneh.Kenapa dia harus membawa ponselnya di saat ia sendiri tidak kenal siapa pemiliknya. Kemarin gadis itu bahkan tidak memakai seragam sekolahnya, yang berarti kemungkinan untuk bertemu di sekolah sangat kecil. Terlebih, sekalipun dia murid sekolahnya, Arlando belum tentu dapat bertemu dengannya mengingat murid di sekolah tersebut sangat banyak.Jadi selagi memasukkan telepon genggam tersebut ke dalam saku, ia bergumam atas kemustahilan pertemuan mereka kembali."Tidak mungkin. Aku pasti tidak akan bertemu wanita itu lagi. Jika bertemu, mak
Selama di kelas Eritha merasa sangat gugup. Awalnya ketika memasuki kelas, ia tidak merasa bahwa ada orang yang dapat memancing traumanya kambuh. Namun baru saja ia merasa sedikit tenang, seorang pria yang entah siapa namanya, dia muncul dan membuat semua harapannya runtuh.Kenapa harus ada pria tampan di kelasnya? Kenapa ia merasa tidak aman bahkan ketika ia berada di kelas?Bukan maksudnya untuk mengatakan kalau murid laki-laki di kelasnya —selain pria itu— memiliki paras yang tidak tampan. Mereka semua memiliki wajah yang lumayan, tapi mereka tidak sesuai dengan pria idealnya. Sedangkan pria itu ..., astaga, Eritha bahkan sampai tak mampu berkata-kata karena penampilannya yang begitu menarik untuknya."Huh." Tanpa sengaja ia menghela napas terlalu keras yang akhirnya didengarkan oleh ketua kelasnya."Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Juanita yang sedari tadi terus memberinya perhatian penuh lantaran tanggung jawabnya sebagai ketua k
Di jam istirahat, Juanita langsung menculik Eritha begitu saja. Arlando menebak, wanita itu pasti sedang mengajaknya berkeliling sambil membuatnya lelah seharian ini dengan tur keliling sekolahnya. Astaga, memiliki ketu kelas yang terlalu bersemangat juga adalah bencana tersendiri.Arlando yang terpaksa harus menunda keinginannya untuk berbicara dengan siswa baru itu pun, memilih untuk bermain basket untuk menghabiskan waktu luangnya. Apalagi sekarang di depannya sudah berdiri Eric Philip yang sangat gila basket, hingga membuat siapapun kelelahan dengan semangatnya yang berapi-api. Pria ini sangat mirip dengan Juanita, hanya mereka menggunakan metode yang berbeda untuk melelahkan sekitarnya."Aku akan beristirahat," ujarnya sambil melemparkan bola yang ada di tangannya ke arah pria tersebut dan pergi meninggalkannya bermain seorang diri."Baiklah."Lantaran kekurangan cairan tubuh, Arlando berjalan menuju kantin. Namun tak ia sangka, ia
Kriiinngg ...Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga."Halo.""Halo."Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak.""Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."
Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain.Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa.Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata.Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan h
Arlando tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sesaat yang lalu ia masih sibuk bermain basket di pagi hari bersama temannya Eric. Pertandingan individu mereka sangat ketat dan di tengah bermain, mendadak temannya kehilangan fokus lantaran ada seorang wanita yang berjalan cepat dengan gerak-gerik yang mencurigakan."Eritha," panggil Eric yang membuat Arlandi terkejut lantaran tidak menyangka wanita yang berjalan aneh itu adalah siswa baru yang sedang dipuji oleh para pria dengan kecantikannya.Meskipun namanya dipanggil, wanita itu hanya terdiam memaku, tanpa memalingkan wajah ke arah Eric. Hingga pria itu pun kembali memanggil namanya untuk kedua kali.""Eritha."Lalu perlahan wanita itu pun menoleh dan ternyata dia memang benar-benar si siswa pindahan.Kenapa dia tindak sangat aneh?Meskipun Arlando sudah melihat keanehannya di depan kantin hari itu, tapi ia tetap tak bisa terbiasa dengan ke-antikannya.
Seperti orang bodoh, Eritha berlari begitu melihat senyuman Arlando. Hingga ketika ia sudah berada di jarak yang cukup jauh dari pria itu, ia memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. "Ada apa denganmu?" Tangan Eritha menyentuh dadanya dan ia bergumam sendiri bak orang tidak waras. "Kenapa aku merasa seperti ini padahal sudah menjaga jarak dua meter. Astaga, sampai gila rasanya." "Eritha." Terdengar kembali suara Arlando yang membuatnya harus segera meneruskan pelariannya dan bergegas menuju tempat teraman bagi dirinya. Glek. "Eritha, kaukah itu? Kenapa pulang terlambat?" Senyum ibunya mendadak berubah menjadi kekhawatiran ketika dia melihat putrinya banjir keringat. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?" "Tidak apa-apa," ujar Eritha sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman lebar yang menampakkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku hanya ingin berolah raga saj
Tak pernah ia duga, mendapatkan nilai yang bagus akan jadi semenarik ini. Pagi tadi, ketika ia kira akan mendapatkan teguran dari gurunya, Arlando justru diberi sebuah hadiah oleh Bu Via. Dengan dirinya yang mendapat peringkat terburuk dan 'kekasih'nya yang mempunyai nilai tertinggi, guru wali kelasnya berharap Eritha dapat menaikkan sedikit nilai Arlando. Tentu sebagai 'kekasih'nya, Eritha tidak bisa menolak permintaan gurunya dan kini dengan berdiri dua meter dihadapannya, wanita itu mengajaknya untuk memulai pembelajaran bersama. "Ayo kita ke perpustakaan," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, lantaran semua temannya sedang melihat mereka. Nyaris Arlando menjatuhkan buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas, karena tak percaya dengan yang ia dengar. Ia kira, Eritha hanya meng-iyakannya di depan guru dan tidak menepati janjinya. Namun dia ternyata bukan wanita yang sangat konsisten dengan ucapannya, Arlando menyukai sikapnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Juanita sambil menatapnya lekat-lekat."Tenang, aku baik-baik saja. Namun hanya saja jantungku kini yang sedang tidak baik-baik saja," keluhnya atas perbuatan Juanita yang benar-benar tak terduga. "Aku benar-benar sangat terkejut saat mendengar kalau guru disiplin akan datang. Hingga aku berlari gugup karena kukira aku akan mendapat masalah besar jika sampai tertangkap. Namun siapa sangka itu adalah ulahmu. Bagaimana kau bisa menjadikan sesuatu yang mengerikan itu sebagai bahan candaan? Bahkan aku tidak bisa tertawa meskipun sudah mendengarnya darimu."Eric dan Juanita pun tersenyum dalam rasa bersalah."Maafkan aku. Kupikir dengan membubarkan semua orang, aku bisa membantumu," Jelas Juanita yang tidak dapat sepenuhnya ia pahami. "Lagipula kukira dengan membuat sedikit keributan, aku bisa menciptakan sedikit adegan romantis dan kalian bisa berlari sambil bergandengan tangan bersama."Selagi mengernyit, Eritha menatap dua temannya d
'Siapa yang pernah menyangka?' itulah kata yang tepat untuk semua situasi yang dihadapi Sheryn pagi ini. Di saat ia ingin menyudutkan Eritha dan menekannya, wanita yang belum genap pindah seminggu itu justru yang jadi menyudutkannya dan menghancurkan pertahanan teman-temannya. Lalu dalam kondisi yang memalukan tersebut, Arlando datang! Pria itu tampak ingin menyelamatkan Eritha, tapi —seperti yang dia lihat— Eritha cukup baik-baik saja untuk ditolong. Sedangkan Sheryn, ia sudah terlalu lemah untuk dilawan Arlando. Namun kebingungan yang dirasakan pria itu hanya bertahan sesaat, lantaran kondisi mendesak lainnya datang. Guru disiplin yang sesekali berkeliling untuk memastikan kondisi sekolah tertib, hari itu mendapati pertengkaran yang Sheryn mulai. Sehingga dalam hitungan detik, semua penonton bubar. Lalu dengan tidak disangka olehnya, Eritha mendorong Sheryn ke pelukan Arlando dan berlari seorang diri. Hingga, setelah
Seperti hari-hari biasanya, Arlando datang ke sekolah dan masuk ke kelasnya yang super ramai. Pagi masih terlalu awal dan jauh dari jam masuk. Jadi seberisik apapun mereka, tidak akan ada guru yang memarahi ataupun memukul meja lantaran suara mereka yang tak hanya terdengar dari dalam ruangan, tapi juga luar ruangan. "Kau sudah datang," ujar beberapa temannya yang sedikit basa-basi, meskipun sudah jelas dengan mata mereka bahwa Arlando sudah tiba di ruang kelas dan duduk di ruangannya. Eric yang duduk di belakang bangku Juanita, kini berjalan mendekatinya dan seperti biasa, dia mengajak Arlando untuk banjir keringat di lapangan basket. "Ayo kita main basket." Namun dengan ketakutan baru Arlando mengenai bau keringatnya, ia pun menolak ajakan Eric yang biasanya selalu ia terima dengan senang hati. "Jangan sekarang. Nanti saat pulang saja," ujarnya yang langsung dijawab dengan wajah cemberut Eric. "Kenapa? I
Sheryn duduk terdiam di tempatnya dengan wajah terganggu. Sudah sejak kemarin sore, ia melamun sepanjang waktu. Semua itu karena percakapan Eritha dan Arlando yang tak sengaja ia dengar. Sore itu, dari kejauhan, Sheryn melihat Eritha dan Arlando yang saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. Namun keduanya saling berkomunikasi lewat ponsel. Ia kira, itu adalah cara berpacaran abad kini dan ia dibuat kesal lantaran pemandangan yang tak ingin ia lihat itu. Hingga saat ia hendak berbalik dan mencari jalan lain untuk pulang ke rumahnya, ia tak sengaja mendengar ucapan Eritha yang posisinya lebih dekat dengannya. Dengan suaranya yang agak keras itu, Eritha mengatakan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Tentang tadi pagi, aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu. Aku hanya mengatakannya karena terlalu malu untuk mengatakan pada teman-teman kalau aku muntah di pakaianmu." Mata Sheryn pun terbelalak dan ia memandang ke arah sepasang k
Seperti yang ia minta, Eritha berjalan menuju depan sekolah dengan langkah kaki yang berat. Meskipun ia yang pertama mengajak bertemu, tetap saja ia merasa takut untuk berhadapan dengan Arlando lantaran traumanya. Dapatkah ia berbicara dengannya? Bagaimana jika pria itu lagi-lagi berulah dan mendekatinya secara tiba-tiba seperti kemarin? Membayangkannya saja membuat Eritha menjadi gelisah. Namun demi meluruskan kejadian heboh pagi ini, ia merasa perlu untuk melawan rasa takutnya. Jadi meskipun merasa takut, Eritha tetap mengarahkan jalannya menuju luar sekolah tempatnya dan pria itu akan bertemu. Dari depan gerbang, Eritha bisa melihat sosok Arlando yang menunggunya sambil bersandar di tembok sekolah. Lalu dengan suara langkahnya yang mendekat, anehnya pria itu bisa langsung menyadarinya dan berdiri tegap di depannya. "Semua orang akan melihat kita, bagaimana jika kita ke tempat yang sedikit sepi," u
Kejadian pagi tadi sungguh tidak terduga. Arlando bahkan tidak pernah merancangkan dirinya untuk menjadi pria romantis satu sekolah, yang menyatakan perasaannya di tengah orang banyak. Namun setelah mencobanya, Arlando merasakan keseruan dalam hubungan palsu tersebut. Arlando mengakui bahwa dirinyalah yang mencari masalah pertama. Ia tahu, ketika Juanita terus menginterogasi masalah di antara mereka, Eritha sangat ingin menutup pembicaraan mereka lantaran dia merasa malu dengan muntahnya kemarin. Oleh sebab itu, beberapa kali Eritha terus menampik dan memberi alasan masuk akal untuk menghentikan Juanita. Namun seperti yang ia tahu, Juanita adalah tipe ketua kelas yang cukup merepotkan. Rasa tanggung jawabnya itu yang menjadi masalahnya dan dia menjadi sangat menyebalkan. Hingga hanya Juanita seorang di antara para ketua kelas lain, yang memasuki urusan orang lain semacam ini dengan memposisikan dirinya sebagai 'hakim' lantaran jabatannya sebagai ketua kel
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap