Selama di kelas Eritha merasa sangat gugup. Awalnya ketika memasuki kelas, ia tidak merasa bahwa ada orang yang dapat memancing traumanya kambuh. Namun baru saja ia merasa sedikit tenang, seorang pria yang entah siapa namanya, dia muncul dan membuat semua harapannya runtuh.
Kenapa harus ada pria tampan di kelasnya? Kenapa ia merasa tidak aman bahkan ketika ia berada di kelas?
Bukan maksudnya untuk mengatakan kalau murid laki-laki di kelasnya —selain pria itu— memiliki paras yang tidak tampan. Mereka semua memiliki wajah yang lumayan, tapi mereka tidak sesuai dengan pria idealnya. Sedangkan pria itu ..., astaga, Eritha bahkan sampai tak mampu berkata-kata karena penampilannya yang begitu menarik untuknya.
"Huh." Tanpa sengaja ia menghela napas terlalu keras yang akhirnya didengarkan oleh ketua kelasnya.
"Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Juanita yang sedari tadi terus memberinya perhatian penuh lantaran tanggung jawabnya sebagai ketua kelas yang menuntutnya untuk memiliki sikap mengayomi siswa di kelasnya.
Eritha menggelengkan kepala dan menyeka keringat dingin yang mulai bercucuran. "Bukan apa-apa, hanya siapa tahu kalau penampilan yang terlalu sempurna bisa menjadi bencana."
Entah dia tidak mendengarkan gumaman Eritha atau tidak mengerti ucapannya, Juanita menaikkan alis dan menatapnya dengan bingung. "Hah?"
Dengan cepat Eritha menggeleng dan menghilangkan rasa penasaran Juanita. "Tidak. Bukan apa-apa, aku hanya bergumam saja."
Tidak curiga dan tidak terlalu penasaran, itulah kelebihan Juanita yang dapat Eritha tangkap di pertemuan pertama mereka.
Sehingga tanpa bertanya lagi, Juanita langsung mengangguk dan melupakan tentang keluh teledornya beberapa waktu lalu. "Ah, begitu."
Lalu dengan mengganti tema percakapan, Juanita mengajaknya untuk berkeliling lingkungan sekolah. "Istirahat nanti, bagaimana jika kita menghabiskannya dengan berkeliling sekolah? Karena kau masih baru, pasti kau belum mengenal baik lingkungan sekolah kita."
Meskipun berkeliling bisa saja menjadi bencana jika ia bertemu pria tampan lainnya, tapi mungkin itu lebih baik daripada menahan diri untuk tetap berada di satu ruangan dengan sumber trauma.
Jujur saja, saat ini ia merasa cemas karena tidak dapat membayangkan bagaimana jika ia menunjukkan traumanya di khalayak ramai. Meskipun —saat tadi ia mencuri pandang ke arahnya— kursi pria itu ternyata jauh dari bangkunya. Namun bukankah sesuatu yang tidak terduga bisa saja terjadi? Jadi untuk meminimalisir, ia memilih untuk menghindari bahaya ancaman yang terdekat dari dirinya.
Selain itu, seperti yang dikatakan Juanita, sekolah ini cukup besar. Hingga ketika berangkat sekolah tadi, ia merasakan kesulitan untuk menemukan ruangan kantor guru.
"Ya, baiklah," jawab Eritha, yang anehnya meskipun berkeliling sekolah ini akan merepotkannya, tapi wanita itu tetap tampak senang untuk direpotkan.
Jadi dengan senyum yang lebar, dia menyambut baik jawaban darinya. "Baiklah. Ayo kita berkeliling bersama nanti."
Seperti janjinya, Juanita mengajaknya berkeliling seluruh lingkungan sekolah.
Sangkanya, ia hanya akan diberitahu letak ruang guru, rung kepala sekolah, UKS, dan Aula. Namun pada kenyataannya, Juanita mengajaknya berkeliling seluruh tempat hingga kakinya terasa sakit.
Beberapa kali ia ingin menghentikan tur tiada ujungnya ini, Eritha memanggil namanya dan mengatakan sejujurnya mengenai kakinya yang mulai terasa letih. Namun bagaimana ia bisa mengatakannya jika wanita itu tampak menjelaskan dengan sangat bersemangat? Hati nuraninya yang merasakan semangat tanggung jawab Juanita, melarang mulutnya untuk mengeluh walaupun memang begitulah kenyataan yang ia rasakan.
"Eritha, kau mendengarkanku?" tanya Juanita ketika melihatnya kehilangan fokus lantaran melamun.
"Ya, tentu saja," jawabnya ringan yang membakar kembali semangat wanita itu.
"Jangan pernah ragu kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan," ujarnya yang membuat orang mana pun pasti ingin bergantung padanya.
Lalu setelah memikirkannya matang-matang, Eritha mulai mempertimbangkan untuk menanyakan mengenai bahaya yang mengancamnya.
Untuk dapat menghindarinya, ia harus mengenali musuhnya.
"Juanita, bisakah aku bertanya?"
Dengan sangat bersemangat, Juanita mengangguk dan menantikan apa pertanyaan yang ingin ia sampaikan. "Tentu, apa yang ingin kau tanyakan? Tentang guru? Pelajaran? Denah?"
Eritha terkekeh canggung dan mengerak-gerakkan tangannya. "Bukan. Bukan itu."
"Lalu?"
Lantaran merasa malu karena setelah menjelaskan banyak hal, Eritha justru bertanya mengenai siswa tampan di kelasnya, ia pun menjadi terdiam dan mencoba memberanikan dirinya.
"Ini tentang murid kelas kita." Eritha mencoba untuk memberikan pembukaan yang bagus, tapi yang ia lakukan hanya bertanya kaku yang membuatnya semakin merasa canggung.
"Baiklah. Murid yang mana?"
Haruskah ia berkata 'yang tampan'? Jika ia berkata begitu pasti ia dikira naksir pada pria itu dan ingin mendekatinya. Padahal Eritha kan hanya ingin menghindarinya. Namun di sekolah campuran seperti ini, apakah etis untuk bertanya tentang lawan jenis?
"Murid yang ..."
Ah! Dia terlambat.
"Murid yang tadi datang terlambat. Siapa dia?"
"Ah, dia." Juanita mengangguk dan membocorkan sedikit identitasnya pada Eritha. "Pria itu namanya Arlando. Dia cukup populer karena wajahnya. Namun seperti yang kau dengardari bu guru pagi ini, dia dipanggil ke ruang kesiswaan, bahkan sangat sering bolak-balik ruangan tersebut. Jadi bisa dibilang dia sangat bermasalah. Bermasalah dengan perilaku dan juga nilai pelajarannya."
Lalu sambil berbisik, dia mengungkapkan aib pria tersebut, "Nilainya yang terburuk di dalam kelas kita."
Eritha mengangguk dalam perasaan tenang.
Ah, mungkin efek traumanya akan segera hilang setelah melihat pria itu tidak sesuai dengan ekspektasinya.
"Kenapa? Eritha tertarik padanya saat melihat dia di kelas tadi?"
Siapa sangka, meskipun ia tidak mendeskripsikannya 'yang tampan', Juanita tetap curiga juga.
Dengan tegas, Eritha menolak pemikiran Juanita yang akan membuatnya semakin dicurigai, "Tidak."
Namun di pertemuan pertamanya, Eritha menemukan satu lagi kelebihan yang disukainya dari sosok Juanita. Dia sangat simpel.
Ia kira, seperti wanita-wanita yang dikenalnya, Juanita akan menggoda dan berbantah dengannya. Namun Juanita tidak begitu.
Dia hanya mengangguk dan menjawabnya dengan santai. "Oh, benarkah begitu? Aku kira kau menyukainya. Banyak orang yang bertanya padaku tentangnya dan mereka semua tertarik padanya, jadi kukira kau pun juga begitu. Maafkan aku, karena salah paham.
Dengan tersenyum lebar, Eritha menunjukkan bahwa ia tidak merasakan adanya masalah dari prasangkanya. "Tidak masalah."
"Bagaimana jika kita membeli beberapa roti di kantin untuk mengisi perut kita?" Juanita menawarkan roti padanya yang segera Eritha terima dengan senang hati.
"Baiklah."
Ketika Eritha hendak mengambil uang untuk rotinya, Juanita justru menolak uangnya. "Tidak perlu. Kali ini biarkan aku yang membayarnya sebagai tanda persahabatan."
Karena rasa keberatan, Eritha ingin menolak kebaikan Juanita yang terlalu besar untuk pertemuan pertama mereka itu. Namun karena dia berkata tentang 'tanda persahabatan', Eritha merasa kalau ia tidak seharusnya menolak traktiran Juanita. Jadi dengan menutup kembali dompetnya, ia mengangguk setuju.
"Baiklah, tapi lain kali biarkan aku yang mentraktirmu makan. Oke?"
"Oke. Kalau begitu tunggu di sini. Biar aku saja yang masuk, karena kantinnya penuh sesak."
"Ya. Terimakasih."
Lalu begitu Juanita masuk ke dalam kantin, dia pun menghilang di dalam kerumunan siswa yang mengantri itu.
Selagi menunggu Juanita, Eritha melihat sekeliling untuk menghabiskan waktu luangnya.
Semua tampak baik-baik saja saat itu, hingga seseorang memanggil namanya. Jika dia tahu namanya, tentu dia pasti adalah orang yang ia kenal.
Jadi tanpa mencurigai apapun ia membalikkan tubuhnya dan melihat siapa yang sedang memanggilnya itu.
Namun betapa ia sangat terkejut ketika melihat pria yang tadi memanggilnya adalah pria yang sangat ingin dihindarinya.
Dengan senyum yang lebar, dia membuat jantung Eritha berdegup tak karuan hingga perlahan ia merasa mual.
"Aku mencarimu. Ternyata kau ada di sini?"
Tidak. Aku tidak bisa muntah di hari pertamaku. Aku ...
Eritha menutup mulutnya dan merasakan sebuah gejolak di dalam perutnya.
Tidak!
...****************...
Di jam istirahat, Juanita langsung menculik Eritha begitu saja. Arlando menebak, wanita itu pasti sedang mengajaknya berkeliling sambil membuatnya lelah seharian ini dengan tur keliling sekolahnya. Astaga, memiliki ketu kelas yang terlalu bersemangat juga adalah bencana tersendiri.Arlando yang terpaksa harus menunda keinginannya untuk berbicara dengan siswa baru itu pun, memilih untuk bermain basket untuk menghabiskan waktu luangnya. Apalagi sekarang di depannya sudah berdiri Eric Philip yang sangat gila basket, hingga membuat siapapun kelelahan dengan semangatnya yang berapi-api. Pria ini sangat mirip dengan Juanita, hanya mereka menggunakan metode yang berbeda untuk melelahkan sekitarnya."Aku akan beristirahat," ujarnya sambil melemparkan bola yang ada di tangannya ke arah pria tersebut dan pergi meninggalkannya bermain seorang diri."Baiklah."Lantaran kekurangan cairan tubuh, Arlando berjalan menuju kantin. Namun tak ia sangka, ia
Kriiinngg ...Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga."Halo.""Halo."Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak.""Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."
Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain.Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa.Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata.Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan h
Arlando tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sesaat yang lalu ia masih sibuk bermain basket di pagi hari bersama temannya Eric. Pertandingan individu mereka sangat ketat dan di tengah bermain, mendadak temannya kehilangan fokus lantaran ada seorang wanita yang berjalan cepat dengan gerak-gerik yang mencurigakan."Eritha," panggil Eric yang membuat Arlandi terkejut lantaran tidak menyangka wanita yang berjalan aneh itu adalah siswa baru yang sedang dipuji oleh para pria dengan kecantikannya.Meskipun namanya dipanggil, wanita itu hanya terdiam memaku, tanpa memalingkan wajah ke arah Eric. Hingga pria itu pun kembali memanggil namanya untuk kedua kali.""Eritha."Lalu perlahan wanita itu pun menoleh dan ternyata dia memang benar-benar si siswa pindahan.Kenapa dia tindak sangat aneh?Meskipun Arlando sudah melihat keanehannya di depan kantin hari itu, tapi ia tetap tak bisa terbiasa dengan ke-antikannya.
Seolah kepalanya dipukul oleh benda keras, Eritha merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia membuka matanya, sebelum dengan perlahan ia bangkit duduk di ranjang berwarna putih polos tersebut. Di mana dirinya?Aroma obat-obatan dan alkohol masuk ke dalam hidungnya, hingga ia pun tersadar bahwa ia sedang berada di UKS. Terlebih walaupun ia belum pernah melihat isi dalam UKS sekolahnya yang baru, ia sudah seharusnya tahu dimana ia sekarang. Karena jika dipikirkan matang-matang dengan kepala yang jernih, mana ada ruangan di dalam sekolah yang mempunyai ranjang selain UKS?Lalu dengan merintih samar ia menurunkan kakinya untuk berjalan meninggalkan bilik tempatnya berbaring. Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, dari luar tirai, tiba-tiba muncul seorang pria —yang memakai jubah putih dokter—, mendatanginya.Ah, dia pasti dokter UKS."Kau baik-baik saja?" tanya dokter tersebut padanya yang ia jawab dengan anggukan kepala."Ya, aku baik-baik
Arlando menatap kesal punggung guru wali kelasnya yang sekarang sedang menulis di depan kelas.Beberapa menit yang lalu, ia sengaja mencari-cari alasan untuk keluar kelas agar dapat menemui Eritha di ruang UKS. Jika ada yang berkata kalau ia melakukannya lantaran cemas, yah bisa dibilang begitu, tapi juga bisa dibilang tidak.Bagaimana ia mengatakannya ya? Ia hanya sedikit tertarik dengan wanita itu lantaran kondisi pertemuan mereka yang selalu tidak terduga. Pertama, mereka bertabrakan di depan sekolah. Kemudian, yang kedua mereka mereka bertemu di kelas dan mereka ternyata teman sekelas. Pertemuan ketiga adalah ketika mereka berbicara di depan kantin dan Eritha melarikan diri. Yang terakhir, wanita itu pingsan tiga kali di depannya. Wah, bagaimana ia bisa mengabaikan empat peristiwa aneh tersebut?Jadi dengan secuil ketertarikannya, ia pun bermaksud melihat kondisinya. Tepat di saat itu, ketika ia hendak medatanginya dan melihat keadaannya, Eritha
Awalnya tak ada yang terasa berbeda dengan sekolahnya hari itu. Seperti biasa Juanita berangkat pagi-pagi dan begitu sampai di ruangannya, seluruh ruang kelas dipenuhi suara riuh teman-temannya yang saling mengobrol satu sama lain. Meskipun ia seorang ketua kelas, Juanita tidak melewatkan jam pagi itu untuk mengobrol bersama Eritha dan Eric. Kami bertiga berbicara dengan asik, walaupun percakapan mereka terkadang bisa terdengar membosankan.Namun nuansa yang sangat biasa itu, mendadak terganggu oleh sikap aneh Arlando yang Juanita rasakan pagi itu. Pria yang selalu datang dengan menimbulkan suara berisik —lantaran sikap mudah bergaulnya yang dengan sangat mudah meraih rasa antusias 'pengikutnya'—, hari itu anehnya masuk ke dalam kelas dengan suara yang hening. Teman-teman serta para wanita yang terus merecokinya, tiba-tiba mengekorinya dengan wajah yang murung.Lalu tanpa menghiraukan orang-orang tersebut, dia duduk di kursinya dan menaruh kepal
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap
Seperti orang bodoh, Eritha berlari begitu melihat senyuman Arlando. Hingga ketika ia sudah berada di jarak yang cukup jauh dari pria itu, ia memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. "Ada apa denganmu?" Tangan Eritha menyentuh dadanya dan ia bergumam sendiri bak orang tidak waras. "Kenapa aku merasa seperti ini padahal sudah menjaga jarak dua meter. Astaga, sampai gila rasanya." "Eritha." Terdengar kembali suara Arlando yang membuatnya harus segera meneruskan pelariannya dan bergegas menuju tempat teraman bagi dirinya. Glek. "Eritha, kaukah itu? Kenapa pulang terlambat?" Senyum ibunya mendadak berubah menjadi kekhawatiran ketika dia melihat putrinya banjir keringat. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?" "Tidak apa-apa," ujar Eritha sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman lebar yang menampakkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku hanya ingin berolah raga saj
Tak pernah ia duga, mendapatkan nilai yang bagus akan jadi semenarik ini. Pagi tadi, ketika ia kira akan mendapatkan teguran dari gurunya, Arlando justru diberi sebuah hadiah oleh Bu Via. Dengan dirinya yang mendapat peringkat terburuk dan 'kekasih'nya yang mempunyai nilai tertinggi, guru wali kelasnya berharap Eritha dapat menaikkan sedikit nilai Arlando. Tentu sebagai 'kekasih'nya, Eritha tidak bisa menolak permintaan gurunya dan kini dengan berdiri dua meter dihadapannya, wanita itu mengajaknya untuk memulai pembelajaran bersama. "Ayo kita ke perpustakaan," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, lantaran semua temannya sedang melihat mereka. Nyaris Arlando menjatuhkan buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas, karena tak percaya dengan yang ia dengar. Ia kira, Eritha hanya meng-iyakannya di depan guru dan tidak menepati janjinya. Namun dia ternyata bukan wanita yang sangat konsisten dengan ucapannya, Arlando menyukai sikapnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Juanita sambil menatapnya lekat-lekat."Tenang, aku baik-baik saja. Namun hanya saja jantungku kini yang sedang tidak baik-baik saja," keluhnya atas perbuatan Juanita yang benar-benar tak terduga. "Aku benar-benar sangat terkejut saat mendengar kalau guru disiplin akan datang. Hingga aku berlari gugup karena kukira aku akan mendapat masalah besar jika sampai tertangkap. Namun siapa sangka itu adalah ulahmu. Bagaimana kau bisa menjadikan sesuatu yang mengerikan itu sebagai bahan candaan? Bahkan aku tidak bisa tertawa meskipun sudah mendengarnya darimu."Eric dan Juanita pun tersenyum dalam rasa bersalah."Maafkan aku. Kupikir dengan membubarkan semua orang, aku bisa membantumu," Jelas Juanita yang tidak dapat sepenuhnya ia pahami. "Lagipula kukira dengan membuat sedikit keributan, aku bisa menciptakan sedikit adegan romantis dan kalian bisa berlari sambil bergandengan tangan bersama."Selagi mengernyit, Eritha menatap dua temannya d
'Siapa yang pernah menyangka?' itulah kata yang tepat untuk semua situasi yang dihadapi Sheryn pagi ini. Di saat ia ingin menyudutkan Eritha dan menekannya, wanita yang belum genap pindah seminggu itu justru yang jadi menyudutkannya dan menghancurkan pertahanan teman-temannya. Lalu dalam kondisi yang memalukan tersebut, Arlando datang! Pria itu tampak ingin menyelamatkan Eritha, tapi —seperti yang dia lihat— Eritha cukup baik-baik saja untuk ditolong. Sedangkan Sheryn, ia sudah terlalu lemah untuk dilawan Arlando. Namun kebingungan yang dirasakan pria itu hanya bertahan sesaat, lantaran kondisi mendesak lainnya datang. Guru disiplin yang sesekali berkeliling untuk memastikan kondisi sekolah tertib, hari itu mendapati pertengkaran yang Sheryn mulai. Sehingga dalam hitungan detik, semua penonton bubar. Lalu dengan tidak disangka olehnya, Eritha mendorong Sheryn ke pelukan Arlando dan berlari seorang diri. Hingga, setelah
Seperti hari-hari biasanya, Arlando datang ke sekolah dan masuk ke kelasnya yang super ramai. Pagi masih terlalu awal dan jauh dari jam masuk. Jadi seberisik apapun mereka, tidak akan ada guru yang memarahi ataupun memukul meja lantaran suara mereka yang tak hanya terdengar dari dalam ruangan, tapi juga luar ruangan. "Kau sudah datang," ujar beberapa temannya yang sedikit basa-basi, meskipun sudah jelas dengan mata mereka bahwa Arlando sudah tiba di ruang kelas dan duduk di ruangannya. Eric yang duduk di belakang bangku Juanita, kini berjalan mendekatinya dan seperti biasa, dia mengajak Arlando untuk banjir keringat di lapangan basket. "Ayo kita main basket." Namun dengan ketakutan baru Arlando mengenai bau keringatnya, ia pun menolak ajakan Eric yang biasanya selalu ia terima dengan senang hati. "Jangan sekarang. Nanti saat pulang saja," ujarnya yang langsung dijawab dengan wajah cemberut Eric. "Kenapa? I
Sheryn duduk terdiam di tempatnya dengan wajah terganggu. Sudah sejak kemarin sore, ia melamun sepanjang waktu. Semua itu karena percakapan Eritha dan Arlando yang tak sengaja ia dengar. Sore itu, dari kejauhan, Sheryn melihat Eritha dan Arlando yang saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. Namun keduanya saling berkomunikasi lewat ponsel. Ia kira, itu adalah cara berpacaran abad kini dan ia dibuat kesal lantaran pemandangan yang tak ingin ia lihat itu. Hingga saat ia hendak berbalik dan mencari jalan lain untuk pulang ke rumahnya, ia tak sengaja mendengar ucapan Eritha yang posisinya lebih dekat dengannya. Dengan suaranya yang agak keras itu, Eritha mengatakan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Tentang tadi pagi, aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu. Aku hanya mengatakannya karena terlalu malu untuk mengatakan pada teman-teman kalau aku muntah di pakaianmu." Mata Sheryn pun terbelalak dan ia memandang ke arah sepasang k
Seperti yang ia minta, Eritha berjalan menuju depan sekolah dengan langkah kaki yang berat. Meskipun ia yang pertama mengajak bertemu, tetap saja ia merasa takut untuk berhadapan dengan Arlando lantaran traumanya. Dapatkah ia berbicara dengannya? Bagaimana jika pria itu lagi-lagi berulah dan mendekatinya secara tiba-tiba seperti kemarin? Membayangkannya saja membuat Eritha menjadi gelisah. Namun demi meluruskan kejadian heboh pagi ini, ia merasa perlu untuk melawan rasa takutnya. Jadi meskipun merasa takut, Eritha tetap mengarahkan jalannya menuju luar sekolah tempatnya dan pria itu akan bertemu. Dari depan gerbang, Eritha bisa melihat sosok Arlando yang menunggunya sambil bersandar di tembok sekolah. Lalu dengan suara langkahnya yang mendekat, anehnya pria itu bisa langsung menyadarinya dan berdiri tegap di depannya. "Semua orang akan melihat kita, bagaimana jika kita ke tempat yang sedikit sepi," u
Kejadian pagi tadi sungguh tidak terduga. Arlando bahkan tidak pernah merancangkan dirinya untuk menjadi pria romantis satu sekolah, yang menyatakan perasaannya di tengah orang banyak. Namun setelah mencobanya, Arlando merasakan keseruan dalam hubungan palsu tersebut. Arlando mengakui bahwa dirinyalah yang mencari masalah pertama. Ia tahu, ketika Juanita terus menginterogasi masalah di antara mereka, Eritha sangat ingin menutup pembicaraan mereka lantaran dia merasa malu dengan muntahnya kemarin. Oleh sebab itu, beberapa kali Eritha terus menampik dan memberi alasan masuk akal untuk menghentikan Juanita. Namun seperti yang ia tahu, Juanita adalah tipe ketua kelas yang cukup merepotkan. Rasa tanggung jawabnya itu yang menjadi masalahnya dan dia menjadi sangat menyebalkan. Hingga hanya Juanita seorang di antara para ketua kelas lain, yang memasuki urusan orang lain semacam ini dengan memposisikan dirinya sebagai 'hakim' lantaran jabatannya sebagai ketua kel
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap