Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain.
Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa.
Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?
Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.
Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata.
Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan hal yang tidak jelas dan mulai berimajinasi yang berlebihan.
Bagaimana jika ia pura-pura sakit saja dan pulang ke rumah? Atau ia membolos saja dan pergi ke tempat lain agar orang tuanya tidak merasa khawatir, serta mengira dirinya sedang bersekolah?
Namun akal sehatnya menyahut semua ide pikiran tak jelas itu dan menghalaunya jauh-jauh.
Jika ia pura-pura sakit dan pulang ke rumah, besok ia pasti harus datang ke sekolah juga. Jadi ia hanya menunda untuk menghindari kenyataan yang harus ia hadapi cepat atau lambat.
Lalu mengenai membolos, baiklah, orang tuanya akan merasa tenang sesaat. Mereka akan mengira dirinya berada di sekolah dan bisa menghadapi traumanya. Namun jika ia membolos terus, tentu saja pihak sekolah akan menghubunginya dan akan bertanya mengenai keadaannya. Lalu orang tuanya akan bertanya padanya dan ia harus menjawab apa? 'Takut pada satu pria', begitu? Orang tuanya pasti akan menjadi sangat khawatir, dan tak hanya itu, masalah traumanya bisa menjadi membesar dan ia akan dianggap anak nakal di sekolah.
Sambil menggelengkan kepala, Eritha membantah ide gagasannya yang gila. Lalu menatap sekolah dengan selagi menguatkan diri.
"Baiklah, aku pasti bisa. Aku akan baik-baik saja," gumamnya yang kemudian langsung runtuh dalam sekejap ketika ia mulai membayangkan ada pria itu di dalam gedung sekolah tersebut.
Mendadak langkah yang ia harapkan akan menjadi langkah kaki yang keren dan berwibawa, menjadi langkah jalan seorang pengecut yang terus-menerus menghela napas selagi menatap ke bawah.
Bagaimana ia bisa menjalani harinya jika ia sudah menjalani awal harinya dengan lemas seperti ini?
Ia merasa dunianya sudah runtuh dan nyaris seperti khiamat. Bahkan jika memikirkan khiamat, ia pasti akan menyambut kejadian menakutkan itu dengan gembira. Karena jika orang lain takut khiamat akibat memiliki banyak hal yang ingin dilakukan, sebaliknya Eritha merasa senang dunia akan berakhir sebab ia merasa ingin bersembunyi dari hari esoknya yang tiada harapan.
Namun sayang sekali, khiamat tidak bisa menyelamatkan Eritha. Bahkan ketika wanita itu memasuki sekolahnya, ia tidak bisa menghindarkan dirinya dari sosok Arlando yang sedang bermain basket di lapangan depan.
Dengan mengalihkan wajahnya ke arah lain, Eritha sedang mencoba untuk menutupi identitasnya dari pria itu. Tak hanya memalingkan wajah, Eritha juga berjalan secepat mungkin dengan kakinya agar jika sedapat mungkin, ia dapat melewati lapangan itu tanpa menarik banyak perhatian.
"Eritha," sapa seorang pria yang jika ia teliti baik-baik, suara tersebut berasal dari arah lapangan basket.
Kakinya berhenti di tempat dan dengan mengerutkan dahi, ia meratapi nasib paginya.
Dengan semua strategi yang dimilikinya, bagaimana masih ada orang yang mengenalinya? Apakah ada nama di belakang kepalanya? Ataukah ia berjalan dengan sangat aneh?
"Eritha," panggil pria itu sekali lagi yang membuatnya mau tak mau harus menanggapi sapaan ramah yang diberikan padanya.
Semoga bukan pria itu. Semoga bukan dia.
Perlahan Eritha menengok ke arah lapangan basket dan menatap pria ramah yang sedang menegur sapa dirinya.
Sontak ia menghela napas lega, ketika melihat pria yang menyapanya adalah Eric Philip, teman sekelasnya yang duduk di bangku belakang Eritha.
"Ah, Eric. Selamat pagi."
"Selamat pagi." Eric menunjukkan senyumnya yang menawan, yang membuat wanita sekitarnya tersenyum penuh arti.
Yah, Eric adalah pria yang cukup tampan. Melihat bagaimana para wanita melirik ke arahnya, bisa dibilang dia cukup tampan. Namun melihat trauma Eritha tidak terpengaruh oleh pesonanya, maka hanya ada satu jawaban untuk itu.
Eric bukan pria tipenya. Meskipun dia cukup tampan, tapi dia bukan laki-laki yang masuk dalam kategori menarik baginya.
'Hah, andai semua pria tampan sepertinya. Ia tidak perlu mengkhawatirkan traumanya lagi.'
Baru ia berpikir demikian, ekor mata Eritha menangkap sosok Arlando yang berdiri tak jauh dari Eric. Pria itu juga menatapnya, mungkin dia berharap akan mendapat sapaan pagi sebagai teman satu kelas. Namun bagaimana ia bisa menyapa jika jantungnya berdegup sekeras ini?
Eritha pun yang menghadapi gejolak traumanya, kini ingin menangis di dalam hati lantaran pria tampan itu membuat Eritha takut kalau akan ada sesuatu yang salah pada jantungnya karena bergetar sekencang ini.
Lalu tanpa tahu bagaimana kedalaman perasaannya, Eric menatap Eritha dan Arlando secara bergantian.
Di dalam hati, ia berharap pria itu tak salah paham. Walaupun ternyata dia salah paham juga.
Dengan gaya yang berusaha perhatian, Eric menarik Arlando untuk mendekatinya.
'Jangan! Kumohon, jangan!' ucapnya dalam hati ketika langkah mereka semakin mendekat dan kedua pria itu tak jauh lagi dari posisinya.
"Eritha. Kau pasti sudah pernah melihatnya, kan?" ujar Eric dengan sedikit basa-basi untuk sebuah tujuan, yaitu memperkenalkan mereka.
'Aku sudah melihatnya dan aku tidak berharap akan melihat pria itu lagi, jadi bawa dia pergi dari hadapanku.'
Namun karena ia hanya dapat mengungkapkannya dalam benaknya saja, Eric terus membawa Arlando semakin mendekat hingga Eritha bertanya-tanya seberapa dekat lagi dia akan membawanya.
"Dia teman sekelas kita. Namun karena semua orang ingin berkenalan denganmu, kalian pasti belum berkenalan," ujarnya dengan bangga, seolah sedang membantunya memperluas pertemanan.
'Hentikan, aku tidak ingin berkenalan dengannya. Jadi jangan perkenalkan kami.'
Lalu mereka pun akhirnya berdiri di depannya dan tanpa sadar Eritha mulai menahan napas.
Rasa mual memenuhi dirinya dan kini ia mulai merasa berkunang-kunang.
"Perkenalkan, dia Arlando." Eric terus melanjutkan perkenalannya tanpa menyadari bahwa Eritha sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk tetap berdiri tegak.
Lalu dengan serangan mendadak, pria yang memicu traumanya itu, dia mengulurkan tangannya yang membuat Eritha merasa semakin sakit kepala, "Aku sudah mendengar perkenalanmu kemarin, jadi salam kenal."
Dengan lengannya yang lunglai, Eritha ingin menjabat tangan pria itu. Namun yang terjadi ia langsung tak sadarkan diri bahkan sebelum ia berhasil meraih tangannya.
"Eritha. Eritha," seru Arlando yang masuk ke dalam telinganya sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran.
'Diamlah! Jangan berlagak peduli. Lagipula aku jadi begini karena kau!"
...****************...
Arlando tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sesaat yang lalu ia masih sibuk bermain basket di pagi hari bersama temannya Eric. Pertandingan individu mereka sangat ketat dan di tengah bermain, mendadak temannya kehilangan fokus lantaran ada seorang wanita yang berjalan cepat dengan gerak-gerik yang mencurigakan."Eritha," panggil Eric yang membuat Arlandi terkejut lantaran tidak menyangka wanita yang berjalan aneh itu adalah siswa baru yang sedang dipuji oleh para pria dengan kecantikannya.Meskipun namanya dipanggil, wanita itu hanya terdiam memaku, tanpa memalingkan wajah ke arah Eric. Hingga pria itu pun kembali memanggil namanya untuk kedua kali.""Eritha."Lalu perlahan wanita itu pun menoleh dan ternyata dia memang benar-benar si siswa pindahan.Kenapa dia tindak sangat aneh?Meskipun Arlando sudah melihat keanehannya di depan kantin hari itu, tapi ia tetap tak bisa terbiasa dengan ke-antikannya.
Seolah kepalanya dipukul oleh benda keras, Eritha merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia membuka matanya, sebelum dengan perlahan ia bangkit duduk di ranjang berwarna putih polos tersebut. Di mana dirinya?Aroma obat-obatan dan alkohol masuk ke dalam hidungnya, hingga ia pun tersadar bahwa ia sedang berada di UKS. Terlebih walaupun ia belum pernah melihat isi dalam UKS sekolahnya yang baru, ia sudah seharusnya tahu dimana ia sekarang. Karena jika dipikirkan matang-matang dengan kepala yang jernih, mana ada ruangan di dalam sekolah yang mempunyai ranjang selain UKS?Lalu dengan merintih samar ia menurunkan kakinya untuk berjalan meninggalkan bilik tempatnya berbaring. Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, dari luar tirai, tiba-tiba muncul seorang pria —yang memakai jubah putih dokter—, mendatanginya.Ah, dia pasti dokter UKS."Kau baik-baik saja?" tanya dokter tersebut padanya yang ia jawab dengan anggukan kepala."Ya, aku baik-baik
Arlando menatap kesal punggung guru wali kelasnya yang sekarang sedang menulis di depan kelas.Beberapa menit yang lalu, ia sengaja mencari-cari alasan untuk keluar kelas agar dapat menemui Eritha di ruang UKS. Jika ada yang berkata kalau ia melakukannya lantaran cemas, yah bisa dibilang begitu, tapi juga bisa dibilang tidak.Bagaimana ia mengatakannya ya? Ia hanya sedikit tertarik dengan wanita itu lantaran kondisi pertemuan mereka yang selalu tidak terduga. Pertama, mereka bertabrakan di depan sekolah. Kemudian, yang kedua mereka mereka bertemu di kelas dan mereka ternyata teman sekelas. Pertemuan ketiga adalah ketika mereka berbicara di depan kantin dan Eritha melarikan diri. Yang terakhir, wanita itu pingsan tiga kali di depannya. Wah, bagaimana ia bisa mengabaikan empat peristiwa aneh tersebut?Jadi dengan secuil ketertarikannya, ia pun bermaksud melihat kondisinya. Tepat di saat itu, ketika ia hendak medatanginya dan melihat keadaannya, Eritha
Awalnya tak ada yang terasa berbeda dengan sekolahnya hari itu. Seperti biasa Juanita berangkat pagi-pagi dan begitu sampai di ruangannya, seluruh ruang kelas dipenuhi suara riuh teman-temannya yang saling mengobrol satu sama lain. Meskipun ia seorang ketua kelas, Juanita tidak melewatkan jam pagi itu untuk mengobrol bersama Eritha dan Eric. Kami bertiga berbicara dengan asik, walaupun percakapan mereka terkadang bisa terdengar membosankan.Namun nuansa yang sangat biasa itu, mendadak terganggu oleh sikap aneh Arlando yang Juanita rasakan pagi itu. Pria yang selalu datang dengan menimbulkan suara berisik —lantaran sikap mudah bergaulnya yang dengan sangat mudah meraih rasa antusias 'pengikutnya'—, hari itu anehnya masuk ke dalam kelas dengan suara yang hening. Teman-teman serta para wanita yang terus merecokinya, tiba-tiba mengekorinya dengan wajah yang murung.Lalu tanpa menghiraukan orang-orang tersebut, dia duduk di kursinya dan menaruh kepal
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap
Kejadian pagi tadi sungguh tidak terduga. Arlando bahkan tidak pernah merancangkan dirinya untuk menjadi pria romantis satu sekolah, yang menyatakan perasaannya di tengah orang banyak. Namun setelah mencobanya, Arlando merasakan keseruan dalam hubungan palsu tersebut. Arlando mengakui bahwa dirinyalah yang mencari masalah pertama. Ia tahu, ketika Juanita terus menginterogasi masalah di antara mereka, Eritha sangat ingin menutup pembicaraan mereka lantaran dia merasa malu dengan muntahnya kemarin. Oleh sebab itu, beberapa kali Eritha terus menampik dan memberi alasan masuk akal untuk menghentikan Juanita. Namun seperti yang ia tahu, Juanita adalah tipe ketua kelas yang cukup merepotkan. Rasa tanggung jawabnya itu yang menjadi masalahnya dan dia menjadi sangat menyebalkan. Hingga hanya Juanita seorang di antara para ketua kelas lain, yang memasuki urusan orang lain semacam ini dengan memposisikan dirinya sebagai 'hakim' lantaran jabatannya sebagai ketua kel
Seperti yang ia minta, Eritha berjalan menuju depan sekolah dengan langkah kaki yang berat. Meskipun ia yang pertama mengajak bertemu, tetap saja ia merasa takut untuk berhadapan dengan Arlando lantaran traumanya. Dapatkah ia berbicara dengannya? Bagaimana jika pria itu lagi-lagi berulah dan mendekatinya secara tiba-tiba seperti kemarin? Membayangkannya saja membuat Eritha menjadi gelisah. Namun demi meluruskan kejadian heboh pagi ini, ia merasa perlu untuk melawan rasa takutnya. Jadi meskipun merasa takut, Eritha tetap mengarahkan jalannya menuju luar sekolah tempatnya dan pria itu akan bertemu. Dari depan gerbang, Eritha bisa melihat sosok Arlando yang menunggunya sambil bersandar di tembok sekolah. Lalu dengan suara langkahnya yang mendekat, anehnya pria itu bisa langsung menyadarinya dan berdiri tegap di depannya. "Semua orang akan melihat kita, bagaimana jika kita ke tempat yang sedikit sepi," u
Sheryn duduk terdiam di tempatnya dengan wajah terganggu. Sudah sejak kemarin sore, ia melamun sepanjang waktu. Semua itu karena percakapan Eritha dan Arlando yang tak sengaja ia dengar. Sore itu, dari kejauhan, Sheryn melihat Eritha dan Arlando yang saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. Namun keduanya saling berkomunikasi lewat ponsel. Ia kira, itu adalah cara berpacaran abad kini dan ia dibuat kesal lantaran pemandangan yang tak ingin ia lihat itu. Hingga saat ia hendak berbalik dan mencari jalan lain untuk pulang ke rumahnya, ia tak sengaja mendengar ucapan Eritha yang posisinya lebih dekat dengannya. Dengan suaranya yang agak keras itu, Eritha mengatakan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Tentang tadi pagi, aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu. Aku hanya mengatakannya karena terlalu malu untuk mengatakan pada teman-teman kalau aku muntah di pakaianmu." Mata Sheryn pun terbelalak dan ia memandang ke arah sepasang k
Seperti orang bodoh, Eritha berlari begitu melihat senyuman Arlando. Hingga ketika ia sudah berada di jarak yang cukup jauh dari pria itu, ia memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. "Ada apa denganmu?" Tangan Eritha menyentuh dadanya dan ia bergumam sendiri bak orang tidak waras. "Kenapa aku merasa seperti ini padahal sudah menjaga jarak dua meter. Astaga, sampai gila rasanya." "Eritha." Terdengar kembali suara Arlando yang membuatnya harus segera meneruskan pelariannya dan bergegas menuju tempat teraman bagi dirinya. Glek. "Eritha, kaukah itu? Kenapa pulang terlambat?" Senyum ibunya mendadak berubah menjadi kekhawatiran ketika dia melihat putrinya banjir keringat. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berkeringat sebanyak ini?" "Tidak apa-apa," ujar Eritha sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman lebar yang menampakkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku hanya ingin berolah raga saj
Tak pernah ia duga, mendapatkan nilai yang bagus akan jadi semenarik ini. Pagi tadi, ketika ia kira akan mendapatkan teguran dari gurunya, Arlando justru diberi sebuah hadiah oleh Bu Via. Dengan dirinya yang mendapat peringkat terburuk dan 'kekasih'nya yang mempunyai nilai tertinggi, guru wali kelasnya berharap Eritha dapat menaikkan sedikit nilai Arlando. Tentu sebagai 'kekasih'nya, Eritha tidak bisa menolak permintaan gurunya dan kini dengan berdiri dua meter dihadapannya, wanita itu mengajaknya untuk memulai pembelajaran bersama. "Ayo kita ke perpustakaan," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan, lantaran semua temannya sedang melihat mereka. Nyaris Arlando menjatuhkan buku yang hendak ia masukkan ke dalam tas, karena tak percaya dengan yang ia dengar. Ia kira, Eritha hanya meng-iyakannya di depan guru dan tidak menepati janjinya. Namun dia ternyata bukan wanita yang sangat konsisten dengan ucapannya, Arlando menyukai sikapnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Juanita sambil menatapnya lekat-lekat."Tenang, aku baik-baik saja. Namun hanya saja jantungku kini yang sedang tidak baik-baik saja," keluhnya atas perbuatan Juanita yang benar-benar tak terduga. "Aku benar-benar sangat terkejut saat mendengar kalau guru disiplin akan datang. Hingga aku berlari gugup karena kukira aku akan mendapat masalah besar jika sampai tertangkap. Namun siapa sangka itu adalah ulahmu. Bagaimana kau bisa menjadikan sesuatu yang mengerikan itu sebagai bahan candaan? Bahkan aku tidak bisa tertawa meskipun sudah mendengarnya darimu."Eric dan Juanita pun tersenyum dalam rasa bersalah."Maafkan aku. Kupikir dengan membubarkan semua orang, aku bisa membantumu," Jelas Juanita yang tidak dapat sepenuhnya ia pahami. "Lagipula kukira dengan membuat sedikit keributan, aku bisa menciptakan sedikit adegan romantis dan kalian bisa berlari sambil bergandengan tangan bersama."Selagi mengernyit, Eritha menatap dua temannya d
'Siapa yang pernah menyangka?' itulah kata yang tepat untuk semua situasi yang dihadapi Sheryn pagi ini. Di saat ia ingin menyudutkan Eritha dan menekannya, wanita yang belum genap pindah seminggu itu justru yang jadi menyudutkannya dan menghancurkan pertahanan teman-temannya. Lalu dalam kondisi yang memalukan tersebut, Arlando datang! Pria itu tampak ingin menyelamatkan Eritha, tapi —seperti yang dia lihat— Eritha cukup baik-baik saja untuk ditolong. Sedangkan Sheryn, ia sudah terlalu lemah untuk dilawan Arlando. Namun kebingungan yang dirasakan pria itu hanya bertahan sesaat, lantaran kondisi mendesak lainnya datang. Guru disiplin yang sesekali berkeliling untuk memastikan kondisi sekolah tertib, hari itu mendapati pertengkaran yang Sheryn mulai. Sehingga dalam hitungan detik, semua penonton bubar. Lalu dengan tidak disangka olehnya, Eritha mendorong Sheryn ke pelukan Arlando dan berlari seorang diri. Hingga, setelah
Seperti hari-hari biasanya, Arlando datang ke sekolah dan masuk ke kelasnya yang super ramai. Pagi masih terlalu awal dan jauh dari jam masuk. Jadi seberisik apapun mereka, tidak akan ada guru yang memarahi ataupun memukul meja lantaran suara mereka yang tak hanya terdengar dari dalam ruangan, tapi juga luar ruangan. "Kau sudah datang," ujar beberapa temannya yang sedikit basa-basi, meskipun sudah jelas dengan mata mereka bahwa Arlando sudah tiba di ruang kelas dan duduk di ruangannya. Eric yang duduk di belakang bangku Juanita, kini berjalan mendekatinya dan seperti biasa, dia mengajak Arlando untuk banjir keringat di lapangan basket. "Ayo kita main basket." Namun dengan ketakutan baru Arlando mengenai bau keringatnya, ia pun menolak ajakan Eric yang biasanya selalu ia terima dengan senang hati. "Jangan sekarang. Nanti saat pulang saja," ujarnya yang langsung dijawab dengan wajah cemberut Eric. "Kenapa? I
Sheryn duduk terdiam di tempatnya dengan wajah terganggu. Sudah sejak kemarin sore, ia melamun sepanjang waktu. Semua itu karena percakapan Eritha dan Arlando yang tak sengaja ia dengar. Sore itu, dari kejauhan, Sheryn melihat Eritha dan Arlando yang saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. Namun keduanya saling berkomunikasi lewat ponsel. Ia kira, itu adalah cara berpacaran abad kini dan ia dibuat kesal lantaran pemandangan yang tak ingin ia lihat itu. Hingga saat ia hendak berbalik dan mencari jalan lain untuk pulang ke rumahnya, ia tak sengaja mendengar ucapan Eritha yang posisinya lebih dekat dengannya. Dengan suaranya yang agak keras itu, Eritha mengatakan hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Tentang tadi pagi, aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu. Aku hanya mengatakannya karena terlalu malu untuk mengatakan pada teman-teman kalau aku muntah di pakaianmu." Mata Sheryn pun terbelalak dan ia memandang ke arah sepasang k
Seperti yang ia minta, Eritha berjalan menuju depan sekolah dengan langkah kaki yang berat. Meskipun ia yang pertama mengajak bertemu, tetap saja ia merasa takut untuk berhadapan dengan Arlando lantaran traumanya. Dapatkah ia berbicara dengannya? Bagaimana jika pria itu lagi-lagi berulah dan mendekatinya secara tiba-tiba seperti kemarin? Membayangkannya saja membuat Eritha menjadi gelisah. Namun demi meluruskan kejadian heboh pagi ini, ia merasa perlu untuk melawan rasa takutnya. Jadi meskipun merasa takut, Eritha tetap mengarahkan jalannya menuju luar sekolah tempatnya dan pria itu akan bertemu. Dari depan gerbang, Eritha bisa melihat sosok Arlando yang menunggunya sambil bersandar di tembok sekolah. Lalu dengan suara langkahnya yang mendekat, anehnya pria itu bisa langsung menyadarinya dan berdiri tegap di depannya. "Semua orang akan melihat kita, bagaimana jika kita ke tempat yang sedikit sepi," u
Kejadian pagi tadi sungguh tidak terduga. Arlando bahkan tidak pernah merancangkan dirinya untuk menjadi pria romantis satu sekolah, yang menyatakan perasaannya di tengah orang banyak. Namun setelah mencobanya, Arlando merasakan keseruan dalam hubungan palsu tersebut. Arlando mengakui bahwa dirinyalah yang mencari masalah pertama. Ia tahu, ketika Juanita terus menginterogasi masalah di antara mereka, Eritha sangat ingin menutup pembicaraan mereka lantaran dia merasa malu dengan muntahnya kemarin. Oleh sebab itu, beberapa kali Eritha terus menampik dan memberi alasan masuk akal untuk menghentikan Juanita. Namun seperti yang ia tahu, Juanita adalah tipe ketua kelas yang cukup merepotkan. Rasa tanggung jawabnya itu yang menjadi masalahnya dan dia menjadi sangat menyebalkan. Hingga hanya Juanita seorang di antara para ketua kelas lain, yang memasuki urusan orang lain semacam ini dengan memposisikan dirinya sebagai 'hakim' lantaran jabatannya sebagai ketua kel
Setelah paginya yang sangat romantis, Eritha harus menerima tatapan pahit dari banyak wanita.Baiklah, ia memang pernah mendengar dari beberapa orang yang mengatakan bahwa Arlando adalah seorang idola sekolah. Meskipun menurut sumber informasinya, Arlando hanya memiliki wajah sebagai modalnya. Namun parasnya yang rupawan itu mampu menyihir para wanita sehingga tergila-gila padanya. Begitu pula dengan Eritha yang selalu dibuat mual dan pusing setiap kali dia mendekat.Hanya tetap saja, perang mental ini terlalu berlebihan untuknya. Bagaimana ia harus bertahan ketika dalam hitungan detik ia dibenci tidak hanya segelintir siswa, tapi banyak siswa sekaligus?Terlebih dari semua hal kenapa ia hanya dapat memberikan alasan tak masuk akal tersebut? Alih-alih menulis konflik yang lebih masuk akal?Kini dengan kata-katanya, ia terjerat oleh para penggemarnya dan juga Arlando yang menetapkan kalau hari ini adalah hari pertama mereka.Mengap