Hari pun sudah menjelang malam.Keheningan meliputi hampir di seluruh lantai gedung yang sebagian besar pegawainya telah beranjak pulang menuju ke rumah mereka masing-masing, hanya menyisakan beberapa yang masih lembur di ruang kerja mereka.Namun berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lantai 37, lantai dimana ruang CEO berada. Suara-suara pukulan dan erangan kesakitan terdengar lirih dari balik pintu ruang milik Jaxton Quinn."Berhenti."Perintah dengan nada dingin itu seketika membuat dua orang lelaki berbadan besar berhenti memukuli seorang lelaki dengan wajah serta tubuh yang babak belur."Apa sekarang kau masih ingin bertanya dimana Nona Audriana?"Bagas menatap nyalang kepada Geovan dengan matanya yang bengkak akibat hantaman pengawal berbadan besar."Brengsek kau, Geovan! Audriana adalah kekasihku! Apa hakmu melarangku untuk menjemputnya?!" Geram Bagas dengan sisa-sisa tenaganya.Tawa mengejek Geovan pun terdengar. "KEKASIHMU?? Dasar bodoh! Mr. Jaxton akan membunuhmu s
Nasib seseorang tidak ada yang tahu, ungkapan ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana jalan hidup Audriana saat ini.Kemarin dirinya begitu penuh tekad, ambisi dan harapan, ketika mendatangi gedung perkantoran 37 lantai yang merupakan Gedung Quinn Entertainment.Audriana menaruh begitu banyak asa pada interview hari itu, mengira jalannya untuk bekerja dan menghasilkan uang dimudahkan dengan potong jalur karena koneksi dari Bagas, pacarnya yang juga bekerja sebagai staf keuangan di sana.Namun semua bayangan indah itu pun serta-merta sirna, ketika kakinya melangkah masuk ke dalam ruangan Jaxton Quinn, sang CEO bejat yang telah menjebaknya hingga kini ia pun terperangkap dalam dunia gelap tanpa cahaya ini.Tanpa merasa curiga, Audriana meminum teh hangat yang disuguhkan di hadapannya yang ternyata telah diteteskan obat tidur. Lalu ia pun tak mengetahui apa yang terjadi setelahnya.Saat tersadar dirinya telah berada di atas ranjang tanpa busana apa pun, bersama Jaxton Qui
Audriana merasakan tubuhnya seakan melayang. Aroma tajam rempah-rempah bercampur kayu-kayuan yang maskulin, yang sejak kemarin terasa familier ini terus menyapa hidungnya. Tubuhnya yang berayun-ayun bagai berada dalam buaian tak juga membuat kedua matanya yang terpejam itu bergerak membuka. Ia terlalu lelah. Melayani nafsu bejat Jaxton Quinn yang seakan tak ada akhirnya itu, membuat Audriana pada akhirnya bahkan tak mampu menggerakkan kedua pahanya yang gemetar untuk berdiri. Hingga akhirnya makhluk bejat yang telah menggunakan tubuhnya sebagai pelampias nafsu itu pun menggendongnya turun dari dalam mobil sejak di parkiran VIP, menaiki lift khusus CEO untuk menuju ke lantai 37. Setelah berkali-kali menggagahi Audriana di dalam mobil yang melaju di jalan tol hingga puas, akhirnya Jaxton pun memerintahkan supirnya untuk bergerak menuju Gedung Quinn Entertainment. Waktu telah menunjukkan pukul 9 pagi ketika mereka tiba di gedung itu, telah melewati satu setengah jam dari jam
"Uuhh..." Audriana melengkungkan tubuhnya yang telah polos hanya terbalut keringat. Kedua tangannya yang dibelenggu borgol yang menyatu dengan kepala ranjang, terus bergerak-gerak tak terkendali hingga menimbulkan gesekan luka lecet di pergelangannya. "Aaakkh....!!" Jeritan Audriana yang terdengar sangat merdu di telinga Jaxton itu membuat sudut bibir pink pucatnya tersenyum. Netra hijau cemerlangnya memandangi gadis yang sedang menggelinjang seperti kepanasan di atas ranjang. Sebuah vibrator dengan setelan getaran paling tinggi menancap di dalam lubang sempit Audriana, bergetar dengan suara dengungnya yang erotis. Tentu saja ini semua merupakan ulah bejat Jaxton. Audriana tak berdaya untuk melepas alat bantu seks sialan itu dari bagian bawah tubuhnya, karena kedua tangan dan kakinya terborgol di ranjang merah menyala yang berada di dalam sebuah ruang rahasia. Sudah tiga puluh menit Jaxton hanya diam tegak berdiri di samping ranjang, melihat wanitanya yang cantik itu menggeli
Sinar matahari yang menembus dari sela-sela daun yang berayun ringan ditiup angin, membuat gadis yang terlelap itu akhirnya membuka kedua matanya. Silau sekali. Audriana mengernyit dan menadahkan tangannya di kepala, berusaha menghalau cahaya kemilau keemasan yang sejenak membuat pandangannya mengabur. Namun beberapa detik kemudian, manik bening beriris hitam itu pun seketika membelalak sempurna. "Dimana ini?" gumannya, ketika maniknya menatap sejauh pandang dan hanya menemukan pantai dengan pasirnya yang seputih mutiara serta air laut yang biru jernih. Jejeran nyiur yang terlihat kontras namun berdiri tegak di pinggir pantai, membuat suasana teduh meskipun matahari sedang bersinar terik. Suara deburan ombak yang bergulung dan pecah di atas pasir seakan mampu memberikan kedamaian serta ketenangan bagi siapa pun yang mendengarnya. Sejenak Audriana begitu takjub dengan lukisan alam yang membuatnya terpukau. Sudah lama sekali ia tidak berlibur ke pantai, namun baru sekali ini ia
Dengan satu tangan yang berada di belakang kepala Audriana, Jaxton memagut bibir manis itu dengan penuh gairah. Lidahnya yang basah dan hangat terus mengembara, menyapu seluruh isi mulut Audriana tanpa melewatkan setitik pun. Sementara satu tangannya yang lain tak berhenti bergerilya di pusat inti gairah Audriana yang lembut. Awalnya hanya untuk mengusap-usap secara perlahan, namun kemudian jari telunjuknya dengan nakal menyusuri lipatan labia Audriana dengan gerakan naik-turun yang seduktif, menghantarkan gelenyar-gelenyar aneh serta sensasi yang membuat gadis itu merinding. Lagi-lagi Jaxton membuat Audriana kehabisan pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh paru-parunya. Ganasnya kecupan lelaki itu membuat Audriana megap-megap kehabisan napas. "Ummpp... mmpph!!" Audriana berusaha melepaskan bibirnya dari terkaman Jaxton yang sebuas hewan liar, namun lelaki itu selalu saja tak memperdulikan dirinya yang sudah hampir pingsan. Kunang-kunang mulai beterbangan di kepalanya yang mu
Audriana terbangun dari lelapnya ketika merasakan kecupan-kecupan lembut yang menghujani kulit punggungnya yang telanjang.Posisinya yang tidur telungkup, belum juga berubah sejak beberapa jam yang lalu ketika Jaxton menghujaninya dari belakang. Karena kelelahan, Audriana pun tertidur setelahnya."Hai, Baby."Audriana terkikik geli ketika Jaxton menjulurkan lidahnya untuk menggelitiki bagian dalam daun telinganya."Jaxton, stop! Haha... geli!!!"Dengan satu sentakan, lelaki itu pun membalikkan tubuh sensual yang selalu membuatnya tergila-gila, hingga kini mereka pun saling berhadapan satu sama lain.Jaxton memandangi Audriana lekat tanpa putus, dengan netra hijau cemerlangnya yang penuh damba.Ia tidak tahu jika ternyata dirinya bisa memperlakukan seorang wanita dengan lembut tanpa mengurangi kepuasan dahsyat yang ia peroleh ketika bercinta.Dan bonusnya, Jaxton juga bisa melihat senyuman Audriana. Yang ternyata berkali lipat jauh lebih cantik dari tangisan ketakutannya.Lalu Jaxton m
Audriana menata meja makan dengan menaruh piring berisi beberapa potong sandwich daging asap dan telur goreng.Ia juga menuangkan dua gelas jus jeruk dari kemasan karton yang diambilnya dari kulkas, juga beberapa potong buah anggur dan kiwi.Setelah semua dirasa sempurna, gadis itu pun hendak menghempaskan dirinya di kursi makan di samping Jaxton, namun ia malah memekik kaget. Belum sempat bokongnya menyentuh kursi, dua lengan besar itu mendadak menangkap pinggang Audriana dan mengangkat tubuhnya dengan begitu mudah, seakan dirinya tak lebih berat dari selembar kertas."Duduklah di sini." Suara maskulin itu mengalun di leher Audriana yang dikecup Jaxton, setelah lelaki itu mendudukkan Audriana di pangkuannya."Dan suapi aku."Audriana pun mendelik sebal mendengar perintah itu.Jaxton memang bersikap jauh lebih lembut dari sebelum-sebelumnya, namun sebenarnya sikap seperti itu malah menimbulkan debaran aneh pada jantung Audriana. Ia juga jengah karena selalu dipandangi lekat sebegitu
Angin semilir yang meniupkan dedaunan yang berjatuhan dari atas pohon, membawa serta titik embun yang turun dari langit. Udara dingin yang kemudian disusul oleh hujan telah menjadi kebiasaan di Jakarta beberapa hari ini. Hari ini Audriana terlihat cantik sekali, meskipun gaun hitam yang sedang ia kenakan sangat kental dengan nuansa berkabung yang muram. Gadis itu berjalan dengan perlahan menyusuri jalan setapak dari batu, yang dibentuk seperti sebuah batang pohon yang ditebang. Langkah kakinya yang mengayun anggun,seolah tak terpengaruh oleh sekumpulan batu nisan yang berjejer rapi di samping kanan dan kirinya. Payung hitam yang terkembang di atas kepalanya melindungi wanita itu dari tetes-tetes halus air hujan, yang sedikit demi sedikit mulai membasahi bumi. Tujuan Audriana adalah sebuah nisan yang berada di ujung kompleks pemakaman. Ia telah menyiapkan buket bunga mawar putih yang segar, keharumannya yang alami menguar membelai indra penciuman, berbaur dengan aroma tanah sert
Jaxton mengemudikan mobilnya menuju sebuah rumah yang terpencil di desa Buleleng. Jarak yang cukup jauh dari hotel tempatnya menginap, membuatnya membutuhkan waktu hampir dua jam untuk sampai di sana. Lokasi yang diberikan si penelepon misterius itu ternyata adalah sebuah rumah besar dua lantai seperti villa. Jaxton menghentikan mobilnya tak jauh dari pagar tinggi yang membatasi rumah mewah tersebut. Baru saja ia hendak turun dari mobilnya, namun tiba-tiba saja pagar tinggi itu pun bergerak membuka secara otomatis. Jaxton pun melajukan mobilnya memasuki pekarangan. Ada lima orang bodyguard yang berjaga di depan rumah, mereka langsung menghampiri Jaxton untuk menggeledah tubuhnya. "Silahkan masuk, Mr. Jaxton Quinn. Kehadiran Anda sudah ditunggu di dalam," ucap salah seorang bodyguard itu, setelah merasa yakin bahwa Jaxton tidak membawa senjata. Jaxton mengawasi keadaan sekitarnya dalam satu sapuan pandangan, sebelum akhirnya ia pun berjalan memasuki pintu rumah ganda yang juga d
"Jadi dia salah satu dari mantanmu yang selusin itu?!" Kania menggaruk tengkuknya sambil meringis. Kenapa kebetulan yang sama sekali tidak diharapkan ini bisa terjadi sih?Baru saja mereka bertengkar karena mantannya yang lebih banyak dari satu regu tim sepak bola itu, eeh... malah ketemu pula dengan salah satunya! "I-iyaa sih. K-kamu nggak marah kan? Dia itu sudah menikah kok." Kania menoleh ke arah Geovan dengan perasaan was-was dan takut-takut. "Ck... apa bedanya menikah atau tidak?! Jadi kalau belum menikah, kalian mau 'reunian' lagi? Mengulang masa-masa lalu lagi? Begitu??" "Yaa enggaklaah... maksud aku--" Kania sontak terdiam, ketika Geovan menaruh telunjuknya di bibir gadis itu. "Diam." Kania pun langsung mengatupkan rapat-rapat kedua bibirnya dan mengangguk patuh. Sorot dari manik hitam Geovan yang tajam membuat nyalinya seketika ciut. Lelaki itu mengambil keranjang belanja Kania dan menggerakkan dagunya sekilas, memberikan gestur agar Kania mengikutinya. Geovan berjal
"Halo, putriku." Lisa membelalakkan mata ketika melihat sosok ibunya yang telah duduk di sofa dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Lipstik merah menyala yang terpulas di bibir penuh Fiona membuat penampilan wanita berusia empat puluh empat tahun itu semakin terlihat cantik dan elegan, meskipun sinar licik dan berbahaya terpantul dari sorot mata birunya. "Apa yang Mama lakukan di rumahku?!" Sentak Lisa dengan wajah membeku karena menahan rasa kesal. "Tak seharusnya Mama keluar begitu saja dengan santai dari RSJ!" Fiona tertawa pelan. "Tentu saja aku bisa, Khalissa Rininta. Putriku yang sangat cantik, tapi sayangnya tidak berguna!" Sedetik kemudian wajah tawanya pun berubah menjadi seringai menakutkan bagai dua topeng dengan sisi yang berbeda. "Sudah kubilang jangan pernah menyentuh Jaxton! Tapi dasar bodoh, kau tetap saja berusaha membunuhnya." Fiona mendengus meremahkan, seraya menatap sebuah foto berpigura yang sejak tadi berada di tangannya. "Lihatlah, karena kebodoha
"Apa?? Bom?!" Kania membelalakkan matanya dengan sempurna mendengar penuturan Geovan. "Jadi hari ini kamu hampir tidak selamat karena terkena ledakan bom?!" "Ck. Jangan remehkan kekasihmu, Kania. Aku tidak semudah itu untuk dikalahkan," decak Geovan yang melirik sekilas ke arah Kania, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Saat ini Geovan dan Kania berada di dalam mobil, dengan lelaki itu yang menyetir. Mereka baru saja keluar dari rumah sakit untuk mengobati luka yang terbuka di pinggang Geovan. Sebenarnya dokter menyarankan untuk rawat inap 1-2 hari agar luka yang dijahit itu benar-benar sembuh sempurna, namun tentu saja Geovan menolaknya. Mana mungkin ia bisa betah hanya diam di tempat tidur tanpa melakukan apapun seharian? Memangnya si otor gaje yang tim rebahan?! "Bukan begitu!" Sambar Kania sambil bersungut-sungut. "Aku sangat cemas, tahu! Aku hanya tidak menyangka kalau tugas seorang ajudan seorang CEO ternyata cukup berbahaya juga." Geovan kembali melirik
Sudah satu jam Kania berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, namun gadis itu tak dapat menyembunyikan keresahannya karena sejak pagi tadi belum ada kabar apa pun dari Geovan. Tepatnya sejak lelaki itu pamit untuk mencari seseorang yang bernama PH, yang katanya adalah pelaku penusukan terhadap Mr. Quinn. Kania melihat jam dinding dan berdecak. Aaahhh, kenapa ia sangat khawatir?? Bahkan sejak meeting tadi pagi yang akhirnya dihadiri oleh Mr. Quinn yang telah pulih, Kania tidak bisa memfokuskan pikirannya sama sekali. Gadis itu mengalihkan tatapannya untuk memandangi cermin di atas meja rias. Maniknya tertuju pada seuntai kalung berliontion bunga tulip yang menggantung di lehernya. Jemarinya pun sontak terulur untuk mengelus kalung emas putih dengan taburan berlian di bagian bunganya. Bibir tipis sewarna jingga itu pun melengkungkan sebuah senyuman manis, kala pikirannya mengingat apa yang terjadi tadi pagi. Seketika wajah cant
"HUEEEEKKK!!" Audriana menatap Jaxton dengan cemas. Sejak tadi jemarinya terus mengurut tengkuk kekasihnya atau menepuk lembut punggung lelaki itu, berusaha memberikan sedikit rasa nyaman untuk morning sickness yang diderita Jaxton. Jaxton memuntahkan isi perutnya yang baru saja diisi menu sarapan pagi hari ini. Semua yang telah ia telan dengan susah payah atas desakan Audriana. Butuh hampir satu jam baginya untuk menelan sereal plus buah, dan hanya butuh kurang dari lima menit untuk memuntahkan semuanya di wastafel kamar mandi. Lelaki itu menyandarkan kepalanya di atas pundak Audriana dengan manja, setelah sedikit demi sedikit rasa mual itu perlahan agak memudar. "Sudah lebih enakan?" Tanya Audriana sembari mengelap bibir pucat Jaxton dengan tissue.Satu tangannya yang lain mengelus rambut coklat gelap lelaki itu. "Maaf ya, seharusnya aku yang mengalami morning sickness, bukannya kamu." Jaxton menggeleng meski matanya masih terpejam rapat. Bersandar di pundak mungil Audriana
"Bagaimana kalau aku tidak mau, Kania? Bagaimana kalau aku tidak mau melepasmu?" Kania pun menelan ludahnya yang seperti menelan air satu galon saking gugupnya. Ini... apa maksudnya, sih?? Pertanyaan Pak Geovan yang ambigu, atau dia saja yang mudah terbawa perasaan?? Tawa kaku pun keluar dari mulut Kania yang mendadak terasa kering. "Pak Geovan ini bicara apa sih, kok bahasanya nyerempet-nyerempet gitu?? Ketularan saya deh pasti!" Sergahnya sembari membuang muka. Wajah mereka yang terlalu dekat membuat Kania merona. Sialnya, napas hangat Geovan justru kini berhembus mengenai kulit leher Kania dan membuatnya bergidik. "Aku bukan cuma ketularan kamu, Kania. Tapi kayaknya malah sudah kecanduan kamu deh." Lagi-lagi Geovan mengeluarkan kalimat-kalimat yang membikin wajah Kania semakin memerah. Tak biasanya lelaki itu berkata manis nan merayu, justru biasanya Kania yang begitu. Kekehan pelan pun menguar dari bibir Geovan. "Nggak nyangka. Kamu kalau digoda balik ternyata malah m
Di dalam mobil, Kania dan Geovan hanya diam dan tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Yaitu Kania yang terus memandang keluar jendela, sedangkan Geovan yang fokus menyetir. Tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk memecahkan keheningan itu. Baik Kania maupun Geovan sama-sama terlalu gengsi dan egois untuk memulai pembicaraan. Hingga akhirnya mobil Geovan telah sampai di hotel, masih tetap tak ada satu kata pun yang keluar di antara mereka. Kania membanting pintu mobil dengan wajah ditekuk, lalu berjalan begitu saja meninggalkan Geovan yang hanya bisa menghela napas pelan. Rasanya seperti sedang mengemong anak kecil saja! Lelaki itu pun kemudian sengaja berjalan tepat di belakang Kania menuju kamar mereka, yang memang posisinya bersebelahan. Namun di tengah jalan, tiba-tiba saja seseorang menegur dan menepuk pelan pundak Geovan. "Belinda?" Kania yang berada tepat di depan Geovan pun otomatis menoleh ke belakangnya, saat mendengar suara Geovan. Dia meli