Share

2

last update Last Updated: 2021-03-25 14:36:19

"Pagi, Mbok Ika...," Elora menyapa Mbok Ika yang sedang duduk di teras depan rumahnya. 

Kebiasaan Mbok Ika di pagi hari adalah duduk berjemur, sambil sarapan dengan cemilan ringan dan segelas teh tawar hangat. Mbok Ika tersenyum semringah menyambut Elora.

"El… Kamu udah sarapan belum? Ini ada combro, sama nagasari. Enak lho..." Mbok Ika memang selalu baik hati, menawarkan makanan pada Elora.

"Nagasari aku mau dong, Mbok... Kesukaan aku nih..." 

Elora mengambil sebungkus nagasari dengan gembira, sepertinya sudah lama dia tidak makan cemilan itu.

"Udah mau berangkat ke kantor? Baru jam enam kok...," tanya Mbok Ika agak heran. 

Wanita itu tahu kalau jam kantor Elora dimulai jam delapan. Dan cuma butuh waktu setengah jam dari rumah ke kantor Elora, biasanya Elora baru berangkat sekitar jam tujuh.

"Iya, Mbok... Mau berangkat lebih pagi, soalnya ada kerjaan," Elora beralasan.

"El, bantuin Mbok dulu dong... Obat bulanan Mbok udah habis, tolong beliin di apotek ya, ini resepnya..." 

Mbok Ika menyodorkan selembar kertas resep, beserta uang yang dilipat-lipat.

"Iya, Mbok... Tapi nanti sore aja ya, pulang kantor aku beliin deh... Soalnya nggak sejalan. Obatnya ini harus beli di apotek dekat rumah sakit itu kan?" Elora sudah hafal, karena sudah rutin membantu Mbok Ika membeli obat bulanannya. 

"Iya, nggak apa-apa. Bawa aja dulu resep sama uangnya. Nanti, kalo kamu udah pulang, baru beliin."

"Tapi, obatnya masih ada nggak, Mbok?"

"Nanti sore aja minumnya, yang siang ini nggak usah dulu..."

"Lha… Ya nggak boleh gitu, Mbok... Mbok semalam kok nggak bilang? Aku kan udah nanya, obatnya masih nggak? Kata Mbok, masih...," Elora mulai cerewet lagi. Memang agak susah mengurusi Mbok Ika yang suka lupa.

"Namanya juga lupa, El...," Mbok Ika menjawab dengan wajah tak berdosa.

Elora memutar otak. Kalau dia pergi ke apotek dulu, waktunya sebenarnya cukup saja untuk bolak-balik. Tapi, dia sengaja berangkat lebih pagi, karena ada hal penting yang mau dikerjakannya di kantor.

"Biar aku aja yang beliin, Mbok..." 

Mendadak, cowok penghuni kontrakan baru itu, Rico, muncul dari samping rumah Mbok Ika.

Sudah berapa lama dia mendengarkan obrolan mereka? Elora membatin. 

Cowok itu mendorong motor Vespa-nya. Dia masih memakai jaket denim biru yang sama dengan kemarin sore, dengan kaus putih berkerah di balik jaket, dan celana denim hitam. Rambutnya kali ini diikat, sehingga tak terurai lagi. Sebuah ransel warna hitam tergantung di punggungnya.

"Eh, nak Rico... Jadi ngerepotin lagi nih... Kamu mau berangkat toh?" Mbok Ika seperti agak sungkan.

"Nggak apa-apa, Mbok. Aku pake motor, nanti aku balik lagi ke sini, habis dari apotek. Masih pagi, aku nggak buru-buru kok..."

Elora jadi heran, kenapa kalau dengan Mbok Ika, cowok itu begitu ramah?

"Kalo gitu, El bareng Rico aja... El kan yang tau apoteknya di mana...," Mbok Ika mengusulkan.

Deg! Boncengan sama cowok sombong itu? Elora sudah memprotes duluan dalam hati.

"Iya, ayo..." 

Cowok itu ternyata langsung setuju. Dia menatap Elora dengan mata tajamnya. Lalu, dia naik ke motor Vespa-nya, memakai helm, dan siap berangkat.

Giliran Elora yang bingung. Kenapa cowok itu langsung setuju begitu saja? Padahal dari kemarin, dia seolah tak mengacuhkan Elora.

Elora memandang Mbok Ika yang tersenyum-senyum, sepertinya senang melihat usulnya diterima. Tapi Mbok Ika memang butuh obatnya, dan Elora juga butuh kendaraan untuk ke apotek.

"Ya udah, Mbok... Aku pergi dulu ya...," Elora berpamitan. 

Dia menghampiri motor Rico. "Nggak ada helm lagi?" tanya Elora. 

"Kamu nggak punya helm?" Rico malah balik bertanya.

Elora menghela nafas. "Ya udah, nggak apa-apa deh... Nggak lewatin jalan besar juga kok..."

Elora naik ke tempat duduk di belakang Rico. Untung cowok itu pakai tas ransel, jadi dia bisa berpegangan di tas itu, tanpa harus takut bersenggolan.

Rico menstarter motor, dan meluncur meninggalkan halaman rumah Mbok Ika. Motornya melaju pelan. Gang itu penuh dengan tetangga yang juga mulai sibuk beraktivitas pagi ini. Ada segerombolan cewek-cewek berpakaian seragam SMA di depan mereka. Pas motor Rico lewat, cewek-cewek itu seperti heboh dan berseru-seru.

"Cie, cie... Kak El...," goda cewek-cewek itu.

Elora sudah tinggal lama di daerah pemukiman ini, jadi sebagian besar penghuni sudah kenal, kecuali kalau ada orang baru. Elora tersenyum ramah pada mereka.

Ternyata, mereka juga memanggil cowok itu. "Kak Rico..."

Jadi ini yang dibilang Mia kemarin malam, bahwa cowok penghuni baru itu sudah terkenal, walaupun baru tiga hari di situ? Tapi Rico diam saja, tidak bereaksi.

"Kamu dipanggil cewek-cewek, tuh...," Elora mengingatkan. 

Dia paling tidak suka orang yang sombong dan tidak ramah. Apalagi di pemukiman itu, semuanya sudah terbiasa saling sapa. 

"Aku nggak suka cewek," Elora mendengar Rico menjawab singkat. 

Tapi jawaban itu langsung membuat Elora terperanjat. Kupingnya tidak salah dengar kan? Maksudnya apa, tidak suka cewek? Maksudnya Rico...?

Elora menelan ludah. Kenapa cowok itu harus membuka rahasianya di depan Elora? Atau mungkin, Rico bilang begitu, supaya Elora tidak berharap yang lebih dari dia, hanya karena dibonceng hari ini? Jadi, dia sengaja memberitahu rahasia pribadinya ke Elora. 

"Emang siapa juga yang tertarik sama cowok kayak dia?" Elora membatin.

Elora malah merasa jadi lebih rileks. Dia punya teman cowok seperti itu juga di kantor, biasanya mereka cenderung sensitif, lebih lembut perasaannya, dan lebih cocok kalau ngobrol dengan cewek.

Elora mengarahkan jalan menuju ke apotek langganan Mbok Ika. Cuma sepuluh menit jaraknya dari rumah. Setelah selesai membeli obat, Elora keluar dari apotek. Rico menunggu di atas motornya di luar apotek, tidak ikut masuk.

"Ini obatnya..." 

Elora memberikan kantong plastik putih berisi obat ke Rico, karena dia tidak ikut balik ke rumah Mbok Ika lagi. 

"Tolong ingatin Mbok Ika, obatnya yang pagi jangan lupa diminum ya...," Elora menitipkan pesan, biarpun tak yakin apakah Rico akan menyampaikan. Tapi, kelihatannya cowok itu peduli dengan Mbok Ika.

Rico mengangguk, dia menyimpan bungkusan itu ke dalam saku jaketnya.

"Kamu naik apa ke kantor?" Ternyata cowok itu bisa bertanya juga.

"Transjakarta…," jawab Elora singkat. 

"Aku anterin ke halte terdekat." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. 

Rico langsung menstarter motornya, dan menunggu Elora naik.

"Ini cowok aneh juga ya...," pikir Elora. "Di satu sisi, dia kayaknya cuek dan sombong, tapi ternyata dia peduli juga, mau nganterin aku... Belum lagi, tadi dia ngomong dengan jujur kalo nggak suka cewek..."

*

Elora tergesa-gesa masuk ke studio 1. Jam delapan nanti, ada syuting acara infotainment di situ. Dia yang menyusun naskahnya. Jika Raras memintanya stand by lagi, dia sudah siap. Salinan naskah ada di tangannya. Semua properti juga lengkap, tim pendukung sudah bekerja dengan baik. Dia cuma mau memastikan.

Elora melirik arlojinya, setengah jam lagi. Dia mengambil posisi di belakang crew kamera. Beberapa orang hilir mudik keluar masuk studio, menyapa dia saat melihatnya, lalu melanjutkan tugas mereka masing-masing.

Mendadak, jantung Elora berdetak kencang. Seorang pria berjaket kulit warna coklat berjalan masuk ke studio 1, diikuti oleh dua pria lain, yang satu adalah manajer artis, yang satu lagi pembawa acara infotainment. Tapi pria berjaket kulit itulah yang membuat Elora berdebar-debar. Dia juga yang jadi alasan Elora rela datang lebih awal ke kantor, untuk mempersiapkan studio, walaupun bukan sepenuhnya tanggung jawab Elora.

Namanya Elang Rajendra. Dia seorang aktor, pemain sinetron, dan bintang iklan yang sedang naik daun. Badannya tinggi dan gagah, rambutnya hitam tebal, sorot matanya tajam seperti mata elang, sesuai dengan namanya. Kulitnya tak terlalu putih, tapi kuning langsat dan bersih. Wajahnya yang oval tampak sangat manis jika tersenyum ramah, kontras dengan tatapan matanya yang tajam. Apalagi ditambah dengan dua lesung pipinya. Ah, Elora bisa puas cuma memandanginya seharian!

Elora tak ingat persis kapan dia mulai mengenal Elang Rajendra. Aktor itu sudah berkali-kali datang ke studio Max TV, entah untuk syuting infotainment, talk show, kuis, atau acara lain yang mengundang dirinya. Elang memang sangat digandrungi remaja cewek dan ibu-ibu zaman sekarang. Tapi yang Elora ingat, adalah ketika aktor itu secara khusus menyapanya, tiga tahun yang lalu, setelah selesai syuting sebuah acara talk show di studio ini. 

"Hallo, kamu Elora yang nulis script hari ini ya? Makasih ya, atas kerja kerasnya... Sampai ketemu lagi lain kali..." 

Elora masih ingat semua ucapan Elang, seolah baru terjadi kemarin. Termasuk senyum manis yang diberikan padanya. 

Di dunia kerjanya yang selalu keras, kejar-kejaran dengan waktu dan deadline, satu ucapan terima kasih itu terasa seperti oasis yang menyejukkan hatinya. Dia tak pernah menduga, seorang aktor terkenal sekelas Elang Rajendra mau mengajaknya bicara, dan menyampaikan terima kasih atas hasil kerjanya. Sejak itulah, Elora paham, kenapa aktor itu bisa punya begitu banyak penggemar. Bukan cuma karena ganteng, tapi daya tariknya yang hangat dan ramah. Dan Elora secara sadar masuk ke dalam barisan penggemarnya. 

Tiap kali aktor itu syuting di Max TV, Elora diam-diam datang ke studio lebih awal, cuma untuk memastikan semuanya sudah beres. Lalu, dari jauh, dia akan mengamati dan mengagumi sang aktor. Kedengaran menyedihkan, memang. Mau bagaimana lagi? Elora sadar, dia tak bisa berharap banyak. Tapi, dia juga tak bisa menahan keinginannya untuk melihat Elang dari dekat.

Elang dan si pembawa acara bersiap-siap, duduk di sofa yang sudah disiapkan. Elora berdiri agak di belakang kamera, berusaha tidak kelihatan. Dia selalu gugup berada di dekat idolanya. Dan saat syuting dimulai, dia bisa menonton Elang dari kamera. Wajahnya, senyumnya, tawanya, suaranya... Seandainya saja... 

Dua jam kemudian, syuting selesai. Elora buru-buru menyelinap keluar dari studio 1, mumpung Elang masih ngobrol-ngobrol, dan tidak menyadari kehadirannya. Ia berjalan ke ruangan luas dengan bilik-bilik bersekat, itu adalah ruangan kerja utama di Max TV. Para karyawan biasanya menyebutnya The Nest, atau 'sarang'. 

Elora tiba di biliknya, duduk, dan menyalakan laptopnya. Tapi, pikirannya masih melayang ke wajah Elang Rajendra. 

"Nggak bisa...!!" 

Suara teriakan keras yang mengagetkan itu asalnya dari ruangan produser eksekutif, Pak Iyan. Semua kepala di The Nest menoleh ke arah suara teriakan itu, ada juga yang sampai berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Pak Iyan, Raras, dan Bobby, supervisor tim produksi, keluar dari ruang produser.

"Kalo kayak gini terus, kita semua bisa tamat! Rating turun terus, sponsor berkurang... Terus, kita dapat uang dari mana? Hah?" Pak Iyan masih terus mengomel sambil berteriak, seperti tak peduli kalau didengar banyak orang.

"Kalian yang harus mikir, kalo masih mau kerja di sini!" bentaknya. "Kalian digaji buat mikir! Buat bikin rating naik! Kalo nggak, siap-siap aja angkat kaki dari sini...!" Lalu, lelaki paruh baya berambut perak itu berjalan keluar dari The Nest dengan wajah merah padam. 

Semua hening. Beberapa orang saling berpandangan. Raras dan Bobby kelihatan seperti habis dibom atom, wajah mereka shock dan memerah. Elora tahu, kemarahan seperti itu biasanya punya efek berantai. Pak Iyan pasti dimarahi pemimpin redaksinya, lalu dia marah ke para supervisor. Tinggal tunggu waktu saja, sebelum Raras melampiaskan amarahnya ke tim kreatif mereka.

*

"Kalo kayak gini terus, gawat El...! Karyawan bawahan kayak kita pasti yang duluan di-cut. Istilahnya, perampingan. Buat ngurangin biaya...," Mia sedang ngobrol dengan Elora sore itu, sehabis pulang kerja.

Mereka nongkrong lagi di kafe dekat kantor, yang jadi tempat favorit mereka. Buat numpang WiFi tentunya. Elora sedang mengedit naskahnya untuk acara infotainment. 

Sejak mendengar kemarahan Pak Iyan tadi siang, semua karyawan Max TV sepertinya tak bisa tenang. Sebelumnya, mereka memang sudah tahu kondisi Max TV sedang guncang. Tapi kali ini, ancaman dipecat makin di depan mata.

"Aku udah pernah cerita ke Danu. Dia nyaranin aku ngelamar jadi make-up artist aja. Aku sih emang udah kenal beberapa artis, mereka kemungkinan besar mau, kalo aku jadi juru riasnya... Cuma, jadwalnya itu lho... Mesti ngikutin maunya mereka, mau make-up kapan aja. Nggak bisa kerja eight to five kayak sekarang lagi...," curhat Mia.

"Tapi bayarannya juga lebih banyak kan, Mi..."

"Iya, sih... Tapi, aku juga mesti keluar modal sendiri buat make-up-nya."

Mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mia menyedot es cappuccino-nya.

"Kamu juga mesti siap-siap, El... Mulai cari tempat lain. Ngelamar stasiun TV lain. Yah, buat jaga-jaga aja. Kalo skenario terburuknya kita di-cut...," Mia mengingatkan dengan suara pelan.

Elora tetap memandangi layar laptop, tapi tak bisa fokus sedikit pun. Ia menyeruput teh hijau hangat dari mug di depannya.

"Aku juga bingung, Mi... Mau ke mana lagi? Aku udah pernah lamar ke sana-sini, nggak ada respon. Apalagi, syaratnya sekarang kebanyakan pake umur, di bawah 30, atau di bawah 25. Buat fresh graduate. Terus, yang udah senior kayak aku, mau dikemanain?" Elora menyuarakan kecemasannya.

"Ijazah SMK sekarang mah nggak laku... Sertifikat juga cuma kursus nulis naskah. Mau kuliah lagi, nggak ada biaya. Pusing..."

Mia memandangi Elora. "Jangan nyerah dong, El... Kamu tuh orangnya pinter, ulet... Pasti bisa dapat kerja lain."

"Yah, kalo nggak bisa kerja di stasiun TV, paling mentok-mentoknya aku serabutan lagi kayak dulu... Jadi waitress, tukang cuci piring, atau kasir, pokoknya, yang penting kerja deh...," Elora tersenyum kecut waktu mengatakannya.

"Kakakmu nggak bisa bantu? Suaminya kan punya kafe. Yah, kamu jadi apa kek di sana... Harusnya dia lebih percaya dong, sama adik sendiri," saran Mia.

Elora menggeleng lesu. "Nggak ah, Mi... Aku nggak enak, nyusahin Kak Laura. Malu aku, kalo harapin rasa kasihan mereka. Aku mau usaha sendiri..."

"Ah, gayamu, El... Kalo udah bener-bener mentok, masa masih mikir malu sama gengsi? Gengsimu tuh terlalu gede..."

Elora cuma mengangkat bahu. Mereka meneruskan kesibukan masing-masing. Elora dengan laptopnya, Mia dengan ponselnya.

Malamnya, Elora termenung di meja samping tempat tidurnya. Laptopnya masih menyala di depannya. Ia mengutak-atik beberapa dokumen yang sudah lama disimpannya di laptop. 

Elora menarik nafas dalam-dalam. Dokumen-dokumen itu adalah naskah film, yang coba-coba ditulisnya beberapa tahun lalu, sejak dia mengikuti kursus menulis naskah. Dia memang hobi menulis naskah di waktu senggang. Ada film pendek, dan kebanyakan film drama. Selama ini, dia tak pernah punya keberanian untuk mengirim naskah-naskah itu, tapi sekarang, kondisinya sudah terjepit. 

"Nothing to lose aja lah...," ia berkata dalam hati. "Kalo bener aku sampai di-cut dari Max TV, aku udah nggak tau mau gimana lagi. Aku mesti coba segala cara, buat dapat kerjaan baru. Dan yang aku paling bisa, ya cuma nulis naskah... Udah nggak ada istilah malu atau takut lagi. Kalo naskah-naskah ini ditolak, so what? Toh aku udah biasa ditolak. Pokoknya, aku harus coba."

Elora membulatkan tekadnya. Dia akan mencetak naskah-naskah itu besok, dan mengirimkan semuanya ke Production House (PH) yang terdekat dari kantor. Jika ditolak, dia akan kirim lagi ke PH lain.  Setelah mengambil keputusan itu, Elora merasa hatinya sedikit lebih ringan. Malam ini, dia bisa tidur jauh lebih nyenyak daripada sebelumnya.

Related chapters

  • Lessons of Love   3

    Elora sudah keluar rumah jam enam pagi ini, sudah pasti tujuannya cari rental untuk cetak naskahnya. Untunglah daerah sekitar rumahnya memang dekat kampus, jadi banyak rental komputer yang buka pagi. Elora masuk ke salah satu rental yang cuma beberapa blok dari rumah.Dia sudah selesai mencetak semua naskahnya. Setelah ini, tinggal dijilid satu-satu, dan siap dikirim. Pas jam makan siang, dia bisa keluar kantor sebentar untuk mengirim naskah itu.Elora terburu-buru keluar dari rental. Sudah hampir jam setengah delapan. Belum lagi, dia masih harus jalan kaki ke halte. Sepertinya dia bakal telat masuk kantor hari ini.Suara motor menderu di belakangnya. Elora menoleh."Kamu...?" ucapan Elora terhenti.Rico dan Vespa-nya berhenti di samping Elora. Cowok itu memakai jaket kulit hitam dan celana denim biru kali ini."Kamu nggak kerja?" tanya Rico, dahinya berkerut menatap Elora."Ini baru mau berangka

    Last Updated : 2021-03-25
  • Lessons of Love   4

    Hari Sabtu pagi, Elora bangun jam enam. Biasanya kalau weekend, dia bisa bangun lebih siang. Tapi gara-gara perjanjian semalam, mau tak mau dia harus bangun lebih pagi, apa lagi kalau bukan memasak sarapan untuk Rico.Karena belum sempat belanja, Elora memilih masak nasi goreng saja, dengan bahan yang ada di dapurnya, telur dadar dan ikan teri. Ia mengisi rantang secukupnya, lalu berjalan keluar rumah. Sebaiknya dia cepat-cepat, karena makin siang, kontrakan bisa makin ramai, dan dia tak mau kepergok mengantar sarapan buat Rico. Bisa tambah heboh gosip dari si Gina nanti!Elora tiba di depan kamar kontrakan Rico. Jam setengah tujuh. Untunglah dia tidak bertemu Mbok Ika. Dan untung juga, penghuni kontrakan lain sepertinya belum bangun. Ia menaruh rantang itu di atas sebuah kursi plastik, yang terdapat di depan kamar Rico. Elora baru saja mau berbalik, ketika pintu kamar mendadak terbuka.Rico berdiri di balik pi

    Last Updated : 2021-03-25
  • Lessons of Love   5

    "Kita mau ke mana?"Rico menghentikan motornya di kompleks pertokoan yang ramai, di depan sebuah bangunan dua lantai, yang kelihatan seperti kafe dengan cat warna-warni yang semarak. Elora membaca papan nama di depan bertuliskan : EZ Cafe, Cakery and Ice Cream."Mampir bentar... Ini punya temanku," jawab Rico.Ia melangkah ke pintu kafe, membukanya, dan menoleh memandang Elora. Elora mau tak mau mengikutinya masuk.Kafe itu bernuansa romantis, dengan kombinasi warna pastel yang lembut. Meja dan kursi warna-warni tertata rapi. Elora melirik arlojinya, sudah hampir jam enam sore. Pengunjung kafe lumayan ramai, hampir semua meja terisi. Mereka pasti sedang nongkrong menikmati malam minggu. Wajah-wajah ceria tampak di mana-mana, kontras sekali dengan suasana hati Elora saat ini.Rico menghampiri counter, seorang cowok bertubuh tinggi besar menyambut dengan gembira. Cowok itu kayaknya bukan orang lokal, karena kulitnya putih bersemu kemer

    Last Updated : 2021-03-25
  • Lessons of Love   6

    Elora bangun jam lima hari Minggu pagi. Dia pergi ke pasar dekat rumah untuk belanja, karena bahan makanan di dapur sudah habis. Mia belum bangun. Semalam, Mia baru pulang menjelang jam sebelas, katanya dia pergi ke Pantai Anyer bersama Danu. Karena sudah capek, Mia tidak banyak bertanya, dan mereka langsung tidur di kamar masing-masing. Pagi ini, Mia juga belum bangun. Sahabatnya itu biasanya bangun siang kalau hari libur.Elora pulang dan mulai memasak sarapan. Dia sengaja masak yang agak istimewa hari ini, udang goreng tepung dan sayur capcay. Bagaimanapun juga, dia berhutang banyak pada Rico.Jam enam lewat lima belas menit, Elora sudah melangkah ke kamar kontrakan Rico. Dia menaruh rantang di kursi depan kamar, lalu cepat-cepat pergi sebelum dipergoki siapa-siapa.Jam tujuh, Elora sarapan sendiri di ruang tamu, sambil menonton TV. Mau bangun jam berapa si Mia? Rasanya Elora sudah tak sabar untuk cerita.Sampai jam sembilan kur

    Last Updated : 2021-03-26
  • Lessons of Love   7

    "Jadi, udah ngerjain PR kamu belum?" Rico kedengaran seperti seorang Pak Guru yang sedang menagih PR dari muridnya.Sabtu pagi ini, Elora sudah menunggu di gazebo, di taman depan gang. Dan seperti biasa, Rico datang dengan mengendarai motor Vespa-nya. Ia berpakaian lebih rapi hari ini, dengan kaus berkerah warna abu-abu, celana kain hitam, dan jaket kulit warna coklat. Ia langsung duduk di samping Elora."Mmm… Yang aku suka dari diri sendiri, aku orangnya suka bantu orang lain, terus rajin..., ramah...," Elora berhenti sejenak. "Sama ceria...""Masih kurang satu. Aku bilang lima," Rico langsung protes."Aku udah nggak tau lagi...," suara Elora memelan.Rico menatap dengan mata tajamnya. "Itu pendapat kamu sendiri, atau kamu nanya orang lain?"Kenapa cowok ini bisa tahu ya?"Aku ada nanya pendapat orang lain juga... Tapi aku milih yang menurut aku sesuai aja...," Elora jujur mengakui."Jadi, k

    Last Updated : 2021-03-26
  • Lessons of Love   8

    Alarm ponsel Elora berbunyi berulang kali. Elora setengah membuka mata, baru jam setengah enam. Dia masih bisa tidur setengah jam lagi. Kepalanya rasanya masih pusing, gara-gara tequila semalam, atau gara-gara kurang tidur? Bangun jam enam belum telat kok, dia masih bisa berangkat jam tujuh.Elora tersentak bangun setengah jam kemudian. Astaga! Dia hampir lupa! Dia harus masak sarapan untuk Rico! Elora buru-buru bangun, setengah berlari ke dapur. Hari ini, dia sudah rencana masak bakmi jawa untuk sarapan. Cukup tidak ya waktunya?Jam tujuh lewat lima menit, Elora berjalan tergesa-gesa ke kontrakan, setelah selesai masak, mandi, dan ganti pakaian. Dia mau langsung berangkat ke kantor setelah menaruh sarapan Rico. Mia sudah berangkat duluan, karena pagi ini ada permintaan make-up dari seorang selebritis. Mia rupanya sudah mulai terima orderan pribadi, sesuai rencananya waktu itu.Pintu kamar Rico terbuka. Apa dia sudah menunggu s

    Last Updated : 2021-03-26
  • Lessons of Love   9

    Setelah hari Sabtu itu, Elora mendadak jadi rajin membongkar koleksi VCD film dan lagunya. Hari Minggu, dia isi dengan mendengar lagu dari VCD koleksinya, juga menonton ulang beberapa film romantis yang ada. Elora bukan kutu buku, dia punya beberapa koleksi novel, tapi semuanya lebih ke cerita detektif dan petualangan. Kenapa sih Rico harus beri PR yang susah?Sampai hari Kamis, Elora masih belum bisa memastikan pilihannya. Semua punya pesan cinta yang bagus, tapi yang benar-benar menyentuh dia? Ah, bingung!Sore itu, Elora pulang sendiri dari kantor. Mia lagi-lagi dapat pesanan make-up dari selebritis, sepertinya dia serius untuk berkarier sendiri. Mia juga bilang, dia sedang mengumpulkan uang untuk ditabung, sudah pasti untuk persiapan menikah.Sampai di rumah, Elora nongkrong lagi di depan laptop, untuk menonton film sambil makan malam. Dia baru menonton habis satu film, ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Kak Laura yang menelepon."Ya, Ka

    Last Updated : 2021-03-28
  • Lessons of Love   10

    Rencana pertunangan Trista Calista dan Elang Rajendra sudah menyebar luas di berita infotainment. Sebagai penulis naskah, Elora tentu saja yang lebih dulu tahu isi berita itu. Sepertinya, Trista dan Elang akan mengundang banyak wartawan di acaranya nanti, mereka tak berniat membuat pesta yang bersifat privat.Ya pastilah, mereka selebritis, Elora membatin. Makin banyak berita, makin bagus untuk popularitas mereka. Bahkan, mungkin bisa dapat sponsor gratis atau endorsement. Elora tahu, Trista sering mem-posting hubungannya dengan Elang di media sosial, membuat dirinya makin terkenal, dan dapat banyak endorsement. Biarpun banyak juga netizen yang menghujatnya. Mungkin mereka termasuk penggemar Elang, yang tak rela aktor kesayangan mereka menjalin hubungan dengan Trista.Setelah rencana pertunangan itu menyebar, makin ramai lagi perdebatan di media sosial. Ada yang mendukung, mengucapkan selamat. Tapi ba

    Last Updated : 2021-03-28

Latest chapter

  • Lessons of Love   28. Finale

    Elora dan Rico berjalan bergandengan tangan, menyusuri jalan berumput yang masih agak basah oleh embun. Tadi pagi jam enam, Rico sudah mengajak Elora keluar. Seperti yang dikatakannya kemarin, mereka pagi ini mau trekking mengelilingi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Mungkin tidak sampai seluruhnya, tapi Elora tahu, Rico sangat hobi trekking seperti ini. Mereka berpakaian santai, kaus, celana training panjang, sepatu kets, dan membawa ransel berisi bekal. Elora mengikat rambutnya model ekor kuda."Kamu belum pernah trekking kayak gini? Daki gunung juga nggak pernah?" tanya Rico."Belum pernah... Aku suka baca novel petualangan, tapi kalo berpetualang beneran, belum pernah," sahut Elora."Mulai sekarang, aku bakal sering ngajak kamu berpetualang. Biar kamu bisa tau banyak tempat."Elora tertawa. "Emangnya kita mau ke mana lagi?""Ya banyak..." Rico memandangnya. "Asal kamu mau, aku bisa bawa kamu ke mana aja."Ah

  • Lessons of Love   27

    Liburan akhir tahun yang dinanti-nanti Elora tiba juga. Setelah semua masalah yang terjadi, kesibukan di kantor, dan jadwal kampus yang padat, Elora merasa benar-benar perlu me-recharge energinya. Kak Laura, Colin, dan Arion, akan ikut bersama Elora dan Rico. Mia dan Danu juga. Ini pasti jadi liburan yang sangat menyenangkan.Seperti usul Rico, mereka berlibur ke Situ Gunung, bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di daerah Sukabumi. Setelah menginap di Situ Gunung selama dua malam, Elora dan Rico akan langsung ikut Mia dan Danu ke rumah Mia, di Sukabumi juga. Mereka mau menghadiri acara lamaran Mia dan Danu, yang diadakan tepat pada hari terakhir di bulan Desember ini.Mobil Jeep hitam Rico dan mobil SUV biru Colin berhenti di depan bangunan villa yang sudah mereka sewa, hari Rabu pagi. Dari villa itu, jaraknya sudah dekat ke objek-objek wisata di Situ Gunung."Waah... Segar banget udaranya...!" Mia setengah memekik, saat turun da

  • Lessons of Love   26

    Elora sudah siap dengan semua kehebohan yang muncul di kantor hari Senin. Puluhan wartawan dari berbagai media sudah stand by di gedung Max TV dari pagi, mereka menunggu konferensi pers jam sepuluh. Semua manajemen Max TV dan sejumlah petinggi dari UP-News turut hadir. Rico sudah bilang, dia sengaja tak mau hadir, supaya orang-orang tidak mengaitkan merger ini dengan Elora.Tapi sepertinya, publik sudah terlalu jatuh hati dengan pasangan itu. Semua tahu kalau Elora bekerja di Max TV, dan Rico adalah direktur utama, sekaligus ahli waris UP-News. Merger itu ibarat makin menguatkan romantisme mereka berdua.Apalagi ketika nama Max TV diumumkan diganti menjadi ER-News. Kepanjangan sebenarnya adalah Education, Recreation, and News, menurut direktur baru ER-News, Ibu Kanaya, yang sebelumnya adalah salah satu petinggi di UP-News. Tak bisa dihindari lagi, nama baru itu pun dikaitkan dengan pasangan favorit itu. Elora and Rico News, itulah kepanjangan ER-News versi

  • Lessons of Love   25

    Elora dan Rico berjalan bergandengan tangan di lorong menuju ruang ICU. Beberapa orang yang mereka lewati menoleh untuk memperhatikan mereka. Kamis sore ini, sepulang dari kantor, mereka langsung meluncur ke rumah sakit. Tante Fey yang menelepon, katanya Om Hilman sudah mulai sadar.Elora bahagia sekali mendengarnya. Dia rela izin tidak masuk kuliah hari ini, demi menjenguk Om Hilman. Dan dia juga baru sadar, ini pertama kalinya Tante Fey mau menelepon dia secara langsung. Biasanya, Kak Laura yang selalu jadi perantara.Kak Laura dan Colin sudah lebih dulu sampai. Mereka sedang duduk di ruang tunggu ICU."Hai, Kak... Hai, Colin...," sapa Elora."El…" Kak Laura langsung memeluk dan mengecup pipi Elora. Wajahnya tampak terharu."Aku sama Colin udah masuk duluan tadi. Kamu masuk sama Rico, ya..."Elora sejenak tertegun."Tante Fey yang minta," sambung Kak Laura, sambil memandang Elora dan Rico bergantian.

  • Lessons of Love   24

    Elora lebih banyak diam di dalam mobil, waktu Rico mengantarnya pulang ke rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya, antara sedih, bingung, galau, ragu... Tante Fey ingin Elora minta tolong pada Rico. Tapi Rico sudah pernah bilang, dia tidak kasihan lagi melihat kasus yang menimpa Trista. Trista pantas mendapat hukuman, katanya. Apa Rico masih mau membantu?Rico punya hati yang baik, Elora membatin. Dia pasti mau, dia tak mungkin membiarkan Om Hilman menderita seperti itu.Di sisi lain, Elora juga merasa sungkan kalau melibatkan Rico dalam masalah keluarganya. Semua ini mungkin saja berawal dari masalah dia dengan Trista. Trista yang selalu tak akur dengannya, mungkin iri melihat naskah filmnya sukses besar. Lalu semuanya jadi makin liar, seperti bola salju yang terus menggelinding makin besar, sampai-sampai Rico juga ikut terseret. Apa pantas dia minta Rico terseret lebih jauh lagi? Kenapa dia selalu bawa masalah? Kenapa selalu Rico yang menyel

  • Lessons of Love   23

    "Bukan aku yang lapor," ucap Rico dengan wajah serius.Sepulang dari kantor, Elora dan Rico mampir makan malam, di sebuah warung lesehan yang menjual seafood. Rico tak pernah gengsi atau malu untuk makan di warung pinggir jalan bersama Elora, dan itu yang bikin Elora tambah kagum. Biarpun sesekali ada saja yang memperhatikan mereka, mungkin mengenali mereka, tapi untungnya, tak pernah ada yang mengganggu.Rico sudah langsung membahas berita tentang Elang dan Trista, biarpun Elora belum tanya. Berita itu memang sudah jadi berita utama di hampir semua stasiun TV. Makin sore, beritanya makin ramai berseliweran."Biarpun aku tau, tapi karena kamu yang minta jangan nuntut Trista, aku nggak lanjutin. Aku nggak bohong, El...," lanjut Rico. Dia asyik menggigit daging ikan gurame.Elora terkejut. "Kamu bilang, kamu tau? Maksud kamu, tau soal mobil selundupan itu? Atau arisan online itu?""Dua-duanya," jawab Rico, masih dengan s

  • Lessons of Love   22

    Mereka mampir ke EZ Cafe untuk makan malam, di situ mereka bisa mengobrol dengan tenang. Zack tampak senang menyambut Elora. Dia memegang kedua bahu Elora, seolah ingin menunjukkan dukungannya."Don’t be afraid, El...," ucapnya sambil tersenyum.Elora membalas senyumnya. "Thanks, Zack..."Elora dan Rico duduk setelah memesan makanan. Rico sudah mencopot jas dan dasinya. Lalu, ia menggenggam kedua tangan Elora."Banyak yang mau aku ceritain...""Aku yang cerita duluan, Rico... Ini soal foto aku sama Elang di teras hotel," Elora buru-buru menyela.Akhirnya, Elora pun cerita semuanya yang terjadi Sabtu malam itu, di teras hotel di Bali. Bagaimana Elang tiba-tiba muncul, menggenggam tangannya, dan membuat dia bingung dengan ungkapan perasaan Elang. Tak ada yang disembunyikan Elora, termasuk jawabannya pada Elang."Aku jadi mikir..., setelah semua masalah ini, apa mungkin Elang terlibat?" Elora mengungkapkan rasa curig

  • Lessons of Love   21

    "Kalo nanti situasinya nggak baik, saya bawa Mbak El balik ke rumah Mas Rico aja...," kata Pak Tino.Pagi itu, Pak Tino datang ke rumah Kak Laura. Sebenarnya, Pak Tino datang untuk meminta Elora tidak usah masuk kantor saja hari ini. Dia curiga dengan situasi di Max TV. Tapi, Elora bersikeras tetap berangkat. Sekarang, Elora sudah duduk di jok tengah mobil Jeep putih."Lho, jangan Pak... Saya nggak enak sama Om Enrico dan Tante Sonia... Masa saya tiba-tiba seenaknya datang ke rumah mereka, cuma gara-gara masalah kayak gini?" Elora buru-buru menyela."Tapi, Pak Enrico yang bilang gitu, nggak apa-apa kok, Mbak...""Jangan, Pak... Lebih baik, saya tetap di rumah Kak Laura aja, kalo emang ada apa-apa... Tapi harusnya aman kok, paling hebohnya cuma satu hari kemarin.""Saya baru bisa yakin Mbak aman, sampai Mas Rico pulang nanti," jawab Pak Tino.Elora terdiam. Semalam Rico cuma kirim chat, memberitahu kalau me

  • Lessons of Love   20

    Elora terbangun karena merasa silau, sinar matahari menembus masuk dari tirai jendela yang terbuka sedikit."Eh, Mbak El... Udah bangun?" suara Adinda memanggil. "Sorry ya, aku berisik ya? Aku habis mandi..." Adinda berdiri di dekat meja rias, di depan cermin besar. Dia tersenyum malu-malu, rambutnya masih kelihatan basah."Nggak...," gumam Elora. "Jam berapa ya?"Rasanya malas sekali untuk bangun, kepalanya masih agak berdenyut."Jam tujuh lewat, Mbak...""Astaga!" Elora tersentak bangun. "Pesawat kita jam sepuluh kan?""Tenang, Mbak... Cuma setengah jam kok ke bandara," Adinda menenangkan Elora. "Kita masih sempat sarapan juga."Elora buru-buru bangun, padahal kepalanya masih pusing. Uh, dia selalu begitu kalau kurang tidur! Akhirnya, dia mandi dengan cepat. Lalu turun ke restoran bersama Adinda untuk sarapan.Semua anggota tim yang lain juga masih sarapan, sambil mengobrol dengan santai. Elora mulai w

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status