Aku membenamkan wajahku di bantal, meskipun pagi sudah datang aku tidak sanggup untuk pergi ke kantor. Dengar, Noah memelukku malam itu. Ia hanya berniat untuk menenangkanku. Aku yang mendadak sadar saat itu tiba-tiba mendorong tubuh Noah ‘Bapak mau niat ganjen ya, jangan manfaatin kesempatan dalam kesempitan dong pak’ ucapku dan berlalu pergi begitu saja. Aku menyesali itu sekarang, dan hari ini aku tidak punya wajah untuk datang ke kantor.
“Ona?. Nak? Kamu kok belum ke kantor?. Kamu sakit?” tanya mama masuk ke dalam kamarku. Aku bergumam karena wajahku masih terbenam di bantal. “Kamu ngomong apa nak?. Mamam nggak denger jelas” ucap mamaku menarik bantal. Aku sempat menahan bantal itu, tapi mama dengan sekuat tenaga menarik bantal itu “Ona?, kamu demam ya?” tanya mama.
Saat itu mataku memang agak sembab, aku menangis semalaman. Aku menggelengkan kepalaku “Enggak ma, Ona baik-baik aja” ucapku. Mama memeriksa suhu tubuhku, memang aku tidak demam. Ia duduk dis
Belajar dari kesalahan, aku menitipkan pesan pada Karin untuk memberitahu Noah kalau buk Elisa ingin ngobrol denganku. Aku duduk di depan buk Elisa dengan canggung, kebetulan saat itu pengunjung kantin tidak terlalu banyak. Biasanya mendekati sore memang banyak para karyawan yang hanya sekedar duduk untuk menikmati minuman mereka. Kantin ini hampir seperti café di dalam kantor kurasa. “Hmm, apa yang kamu dengar tadi. Tolong simpan dengan baik, ayah saya sudah mempekerjakan kamu cukup lama, jadi saya bisa mempercayai kamu kan?” tanya buk Elisa padaku. Aku menganggukkan kepalaku mantap “Iya buk, saya mengerti” ucapku. “Saya nggak habis fikir, udah kehabisan akal saya buat bujuk Noah. Hmm apa saya bisa minta bantuan kamu untuk membujuk Noah?” buk Elisa menatapku dengan lekat, aku sampai terperangah dibuatnya “Ha? ma..maaf buk. Saya tidak yakin” jawabku. Sudah kuduga aku akan terjebak situasi yang seperti ini. “Melihat Noah yang memberanikan diri memanggil kamu, meskipun
Senam itu menyesakkan, tapi sekarang jantungku malah senam sendiri. Di ruang tamu, dengan langit-langit loteng berhiaskan lampu Kristal. Jendela kaca yang lebar memperlihatkan pemandangan kota malam diluar sana, kini aku duduk di depan Noah. Pria menyebalkan itu tengah serius membaca beberapa file. “Ada yang bisa saya bantu lagi pak? Yang ini sudah selesai!” ucapku. Noah melihat hasil kerja yang aku letakkan di sampingnya “Good, Kau boleh tidur sekarang! Ini sudah larut, aku akan selesaikan yang terakhir ini,”ucap Noah. “Bapak yakin tidak mau saya bantu? Biar lebih cepat pak” ucapku. Noah mengangkat wajahnya, lihatlah raut wajah dengan mata yang menatapku kesal itu kembali terbentuk. Seperti Noah yang biasanya “Saya kadang ragu kalau kamu punya telinga Ona, atau telinga kamu itu palsu ya? Terbuat dari plastiK atau semacamnya mungkin?” sindir Noah padaku
Andri memaksa untuk mengantarkanku menuju Café yang diminta Rosy. Aku sudah menolak karena segan, tapi Andri tetap memaksa. Kebetulan saat itu aku tidak membawa motor, karena Andri yang menjemputku ke rumah dengan mobilnya “Duh, maaf ya An. Nggak biasanya istri atasan aku ngajak ketemuan kayak gini” ucapku.“Iya, udah kamu nggak usah nggak enakkan gitu. Aku juga kadang suka dapat panggilan mendadak dari atasan. Nanti kamu pulang aku jemput yah?” tawar Andri. Aku menggelengkan kepalaku tegas “Nggak usah, aku bisa sendiri kok. Tenang aja!” ucapku. Lagi-lagi terjadi perdebatan kecil, tapi kali ini aku bisa meyakinkan Andri dan dia pun mengalah padaku.Aku melangkah masuk ke dalam café, mataku menyapu setiap sudut café. Aku mendapati Rosy ada di meja tengah, dan ia tengah sibuk melihat ponselnya. “Maaf
Rose sedang memulihkan diri di rumah karena patah tulang ringan. Itu hanya seminggu setelah masa-masa indah, karena Sean terstimulasi oleh hasil akhir ujian tengah semesternya dan mengantarnya ke sekolah. Satu-satunya keuntungan adalah dia memiliki sopir untuk menjemput dan mengantarnya selama cedera. Rose belum beradaptasi dengan kehidupan awal. Dia tidur grogi untuk dua kelas. Dalam keadaan linglung, dia samar-samar merasakan seseorang di depan matanya. Ketika dia membuka matanya, ruang kelas kosong. Hanya Matthew dari Kelas 5 yang berdiri di depannya dan menatapnya dengan cemberut. Rose ingat bahwa Matthew dan Andrew menekannya seperti bukit hari itu, hampir sekarat, dan merasakan lengannya sakit lagi. Dia mendongak dan saling menatap miring. "Mengapa kamu di sini?" Matthew memandang rendah Rose, yang cuek dan frustrasi. Senang melihatnya tanpa jalan memutar, tetapi tidak mungkin. Siapa yang membiarkan dirinya memuk
Author Note :) WAJIB BACAAA!!!Hai, ini aku Shanin (Ana). Orang bilang kesan pertama itu penting, jadi aku mencoba untuk mengenal kalian secara virtual (wkwkkw). Aku muncul dengan anak pertamaku, yang sudah pasti tiada bapak karena aku momy tunggal yang berjuang sendirian (Lol).Aku mau menegaskan kalau novel ini selalu direvisi, nggak cukup sekali karena aku orang yang lupaan + ceroboh. Contoh kecil aja setiap kali aku mau bikin tulisan ikan Tongkol itu kadang suka ketulis Kont----, nah nah nah gitu tuu (wkwkwk)Harapan kecil, kalian ngedukung Shanin, kasih saran, dan ninggalin komen yang berkualitas demi mental Shanin. Kalau misal kalian nggak suka nih ceritaku, yaudah gpp skipp, jangan ninggalin komen yang bikin aku overthingking, terus ampe nggak makan, nggak tidur, makan hati lah pokoknya.Karena suatu saat aku mau kalian kayak "hah, itu Shanin udah terbitin novelnya? udah ada buku nya? serius
Singapura 17.25_____Wanita berusia 25 tahun itu menghela nafas berat, matanya menyapu kasar seluruh pemandangan yang ada di depannya. Seolah-olah ia ingin membungkus habis pemandangan indah taman Merlion Park (Mermaid and Lion) di senja hari.langit berwarna jingga bak buah persik yang semakin matang. Menikmati waktu dengan diri sendiri seperti ini bagi Leona sangatlah langka. Seluruh harinya dari senin hingga minggu habis di isi dengan pekerjaan. Jika minggu seharusnya berlibur, ia justru berkutat dengan file pekerjaan. Mengapa? hanya sebuah kebiasaan kecil seperti mengerjakan PR sekolah lebih awal. Intinya tidak ada beban untuk malam ketika ia mengistirahatkan tubuhnya dalam dunia mimpi.Leona Marcelo namanya, orang-orang dikantor memanggilnya Ona, semua tau nama belakangnya ialah Marcello, tapi tidak jika ia dirumah. Ibunya dengan terang-terangan membenci nama belakangnya. Nama yang di iringi dari nama ayahnya.Kejadian ironis yang pernah Leon
Leona POVRumah Leona dipagi yang luar biasa_______________Ketika beberapa orang terbangun dari tidurnya dengan bunyi Alrm, atau dibangunkan oleh orang lain, tidak denganku. Aku tersadar dari mimpi yang bahkan terkadang buruk dengan kebiasaan setiap pagi dari nenekku. Kebiasaan bahwa nenek menyalakan Tv, mencari saluran berita dan membuat volume Tv menyala cukup keras. Sanggup membuatku terbangun yang memiliki kamar dilantai dua rumahku.Sudah menjadi rutinitasku bangun sepagi ini, Ya memang inilah periuk nasiku. Bangun lebih awal agar aku bisa berdandan layaknya seorang sekretaris sebelum berangkat bekerja. Aku lebih nyaman memakai blouse klasik sebagai atasan, dan rok span pensil sepanjang lutut sebagai bawahan. Jelas blus aku masukkan kedalam rok, dan memberi ikat pinggang dengan ukuran talinya tidak terlalu besar.Riasan diwajahku hanya berupa cushion biasa, sedikit mascara pelentik bulu mata
Leona POVBurung saja kadang punya sayap yang patah__________Bagiku segala permintaan bossku itu sebuah perintah. Aku mengenakkan gaun putih polos, dengan bagian pundakku yang terbuka. Aku tidak membiarkan leherku kosong, tentu kalung mutiara aku jadikan sebagai aksesoris. Sementara Rambutku, aku biarkan tergerai setelah aku style spiral."Aku pergi" ucapku kepada orang rumah, sekedar memberitahu kalau supir pak Ling sudah datang menjemputku. Mereka selalu memuji dandananku, aku rasa tidak ada hal yang spesial dariku. Sepanjang perjalanan aku bercerita beberapa hal dengan supir pribadi pak Ling, kami sudah cukup dekat untuk sekedar berbagi kisah. Namanya pak Ed, dia berusia 38 th. Namun masih belum menikah karena beliau belum menemukan orang yang cocok. Ya memang terkadang jodoh datang tidak mengenal usia."Terimakasih pak Ed" ucapku turun dari mobil. Aku menarik nafas dalam, rasanya sudah tidak terhitung berapa kali aku
Rose sedang memulihkan diri di rumah karena patah tulang ringan. Itu hanya seminggu setelah masa-masa indah, karena Sean terstimulasi oleh hasil akhir ujian tengah semesternya dan mengantarnya ke sekolah. Satu-satunya keuntungan adalah dia memiliki sopir untuk menjemput dan mengantarnya selama cedera. Rose belum beradaptasi dengan kehidupan awal. Dia tidur grogi untuk dua kelas. Dalam keadaan linglung, dia samar-samar merasakan seseorang di depan matanya. Ketika dia membuka matanya, ruang kelas kosong. Hanya Matthew dari Kelas 5 yang berdiri di depannya dan menatapnya dengan cemberut. Rose ingat bahwa Matthew dan Andrew menekannya seperti bukit hari itu, hampir sekarat, dan merasakan lengannya sakit lagi. Dia mendongak dan saling menatap miring. "Mengapa kamu di sini?" Matthew memandang rendah Rose, yang cuek dan frustrasi. Senang melihatnya tanpa jalan memutar, tetapi tidak mungkin. Siapa yang membiarkan dirinya memuk
Andri memaksa untuk mengantarkanku menuju Café yang diminta Rosy. Aku sudah menolak karena segan, tapi Andri tetap memaksa. Kebetulan saat itu aku tidak membawa motor, karena Andri yang menjemputku ke rumah dengan mobilnya “Duh, maaf ya An. Nggak biasanya istri atasan aku ngajak ketemuan kayak gini” ucapku.“Iya, udah kamu nggak usah nggak enakkan gitu. Aku juga kadang suka dapat panggilan mendadak dari atasan. Nanti kamu pulang aku jemput yah?” tawar Andri. Aku menggelengkan kepalaku tegas “Nggak usah, aku bisa sendiri kok. Tenang aja!” ucapku. Lagi-lagi terjadi perdebatan kecil, tapi kali ini aku bisa meyakinkan Andri dan dia pun mengalah padaku.Aku melangkah masuk ke dalam café, mataku menyapu setiap sudut café. Aku mendapati Rosy ada di meja tengah, dan ia tengah sibuk melihat ponselnya. “Maaf
Senam itu menyesakkan, tapi sekarang jantungku malah senam sendiri. Di ruang tamu, dengan langit-langit loteng berhiaskan lampu Kristal. Jendela kaca yang lebar memperlihatkan pemandangan kota malam diluar sana, kini aku duduk di depan Noah. Pria menyebalkan itu tengah serius membaca beberapa file. “Ada yang bisa saya bantu lagi pak? Yang ini sudah selesai!” ucapku. Noah melihat hasil kerja yang aku letakkan di sampingnya “Good, Kau boleh tidur sekarang! Ini sudah larut, aku akan selesaikan yang terakhir ini,”ucap Noah. “Bapak yakin tidak mau saya bantu? Biar lebih cepat pak” ucapku. Noah mengangkat wajahnya, lihatlah raut wajah dengan mata yang menatapku kesal itu kembali terbentuk. Seperti Noah yang biasanya “Saya kadang ragu kalau kamu punya telinga Ona, atau telinga kamu itu palsu ya? Terbuat dari plastiK atau semacamnya mungkin?” sindir Noah padaku
Belajar dari kesalahan, aku menitipkan pesan pada Karin untuk memberitahu Noah kalau buk Elisa ingin ngobrol denganku. Aku duduk di depan buk Elisa dengan canggung, kebetulan saat itu pengunjung kantin tidak terlalu banyak. Biasanya mendekati sore memang banyak para karyawan yang hanya sekedar duduk untuk menikmati minuman mereka. Kantin ini hampir seperti café di dalam kantor kurasa. “Hmm, apa yang kamu dengar tadi. Tolong simpan dengan baik, ayah saya sudah mempekerjakan kamu cukup lama, jadi saya bisa mempercayai kamu kan?” tanya buk Elisa padaku. Aku menganggukkan kepalaku mantap “Iya buk, saya mengerti” ucapku. “Saya nggak habis fikir, udah kehabisan akal saya buat bujuk Noah. Hmm apa saya bisa minta bantuan kamu untuk membujuk Noah?” buk Elisa menatapku dengan lekat, aku sampai terperangah dibuatnya “Ha? ma..maaf buk. Saya tidak yakin” jawabku. Sudah kuduga aku akan terjebak situasi yang seperti ini. “Melihat Noah yang memberanikan diri memanggil kamu, meskipun
Aku membenamkan wajahku di bantal, meskipun pagi sudah datang aku tidak sanggup untuk pergi ke kantor. Dengar, Noah memelukku malam itu. Ia hanya berniat untuk menenangkanku. Aku yang mendadak sadar saat itu tiba-tiba mendorong tubuh Noah ‘Bapak mau niat ganjen ya, jangan manfaatin kesempatan dalam kesempitan dong pak’ ucapku dan berlalu pergi begitu saja. Aku menyesali itu sekarang, dan hari ini aku tidak punya wajah untuk datang ke kantor. “Ona?. Nak? Kamu kok belum ke kantor?. Kamu sakit?” tanya mama masuk ke dalam kamarku. Aku bergumam karena wajahku masih terbenam di bantal. “Kamu ngomong apa nak?. Mamam nggak denger jelas” ucap mamaku menarik bantal. Aku sempat menahan bantal itu, tapi mama dengan sekuat tenaga menarik bantal itu “Ona?, kamu demam ya?” tanya mama. Saat itu mataku memang agak sembab, aku menangis semalaman. Aku menggelengkan kepalaku “Enggak ma, Ona baik-baik aja” ucapku. Mama memeriksa suhu tubuhku, memang aku tidak demam. Ia duduk dis
Aku antusias sekali ketika Andri dengan senang hati menerima tawaranku untuk bertemu di café, belum lagi hariku cukup indah karena tidak ada pekerjaan yang harus aku selesaikan di hari libur dan anehnya Noah tidak mengganggu ku seperti biasa. “Jadi, katanya mau ada hal penting yang mau kamu omongin. Aku jadi penasaran?” ucap Andri memulai percakapan ketika pelayan café sudah meletakkan pesanan kami.“Hmm sebenarnya malu mau ngomong sih, tapi aku mau nanya serius” ucapku agak ragu. Andri menyipitkan matanya “Wah, aku sampai berdebar. Kamu mau nyatain cinta ya?” Andri menggodaku. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat “Bukan, bukan gitu. Andri kamu mah…” aku mengeluh. Sudah menjadi kebiasaan untuk Andri disaat gemas malah mengusap pucuk kepalaku “Ya terus mau ngomong apa?. Bilang aja aku dengerin kok” Andri meyakinkanku.
Aku selalu mengulangi sampai dua kali, untuk memeriksa isi tasku sebelum aku pulang dari kantor. Itu karena aku sering kelupaan dan terkadang sesuatu yang penting malah tertinggal. “Leona?” sapa Noah padaku. Aku memutar badanku melihat Noah. Kantor sudah sepi, sepertinya hanya aku dan Noah yang masih tertinggal “Iya Pak?” jawabku.“Kamu mau makan malam dimana?” tanya Noah, sejenak aku melihat jam di tanganku, sudah cukup sore “Dirumah pak, seperti biasa. Saya pikir bapak sudah pulang” ucapku. Aku merasa agak berbeda, raut wajah Noah tidak seperti biasanya. Ia tersenyum tipis dan membuatku semakin yakin kalau hari itu Noah memang berbeda “Kamu ada acara ?” tanya nya lagi.Aku melengkungkan alisku “Tidak pak, saya langsung pulang” ucapku. Ingin rasanya aku bertanya pada Noah, apa dia dalam ma
Tidak ada waktu untuk istirahat, aku kembali ke rutinitas kantor yang melelahkan. Andaikan saja aku diberi waktu istirahat setelah pulang dari Korea, tapi dengan tegas aku mendapatkan pesan dari Noah ‘Ona, kamu tidak punya alasan untuk bermalas-malasan yah, datang tepat waktu ke kantor’ isi pesan itu. “Arghhh aku ingin memiliki satu hari yang akan ku habiskan dengan tidur panjang” keluhku menyandarkan kepalaku ke kursi. Karin yang sedang memperbaiki lipstiknya disampingku berdehem “Emang kamu udah siap mati?. Pengen banget tidur panjang” ucapnya. Aku membelalakkan mataku sambil memukul pundak Karin pelan “Hus, ngomongnya kok gitu sih” ucapku kesal. “Awww, kok nyalahin aku. Kan kamu yang bilang mau tidur panjang, kalau nggak koma ya mati dong” ucap Karin membela diri. Aku me
Aroma wangi, seperti bunga. Aku sering sekali rasanya mencium aroma seperti ini, perlahan aku membuka mataku, aku menguap sambil merenggangkan tubuhku. Tidurku nyenyak sekali, rasa kantuk ku terbayar lunas. “Kok aku kenal aroma ini ya?, kayak aroma Noah deh” gumamku. Aku masih setengah sadar dan menikmati renggangan tubuhku. Sampai mendadak Noah keluar dari arah kamar mandi dan seperti yang waktu itu kulihat, ia hanya mengenakan handuk, “Arghhh Bapak?” teriakku kaget langsung mengganti posisiku duduk.Noah mendadak berhenti dengan pose ia sedang menyisir rambutnya yang basah dengan jemari tangannya, mata kami saling beradu tatap untuk sesaat “Apa?” tanya Noah padaku. Aku melengkungkan alisku “Bapak ngapain dikamar saya?. Bapak mandi di kamar saya?, memangnya air dikamar mandi bapak nggak ada?” tanyaku.“Loh?