Liu Feng berdiri di hadapan reruntuhan yang ditinggalkan oleh pertempuran sebelumnya. Meski tubuhnya terasa berat oleh luka dan kelelahan, tekadnya tetap tidak goyah. Kegelapan yang melingkupi langit seakan menjadi pengingat bahwa perjalanannya masih jauh dari selesai.Di sekelilingnya, para murid yang selamat mulai merawat rekan-rekan mereka yang terluka. Yue Ling terlihat memimpin kelompok kecil, memastikan semua orang mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan. Namun, setiap tatapan yang ia berikan kepada Liu Feng dipenuhi oleh kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan."Kau harus istirahat," kata Yue Ling saat ia mendekati Liu Feng. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi kau tidak akan bisa melawan mereka dalam kondisi seperti ini."Liu Feng menggeleng, menatap pedangnya yang telah retak setelah menghadapi Penghancur Takdir. "Aku tidak punya waktu untuk istirahat. Mereka masih di luar sana, dan aku tahu mereka sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar. Kita ha
Kabut tebal menyelimuti jalan setapak yang sempit, menciptakan suasana mencekam di sekeliling Liu Feng dan kelompoknya. Suara langkah kaki mereka hampir tidak terdengar di atas tanah lembab, tetapi setiap gerakan terasa seperti gema yang menusuk di antara pepohonan. Yue Ling berjalan di samping Liu Feng, diam namun waspada. Di belakang mereka, beberapa murid yang tersisa mengikuti dalam formasi rapi, senjata mereka terhunus."Liu Feng," bisik Yue Ling, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kabut ini bukan kabut biasa. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi kita."Liu Feng mengangguk pelan, matanya terus mengamati setiap sudut di sekeliling mereka. "Aku merasakannya juga. Bersiaplah untuk apa pun."Suasana semakin tegang ketika suara samar seperti desahan angin terdengar dari kejauhan. Namun, angin itu tidak terasa, hanya suara yang melayang di antara mereka. Salah satu murid berhenti sejenak, menatap ke arah kegelapan yang melingkupi jalan di depan."Apa itu?" tanya murid tersebut
Perjalanan Liu Feng dan kelompoknya berlanjut di tengah tekanan yang semakin memuncak. Kabut tebal masih menyelimuti jalan setapak, tetapi kali ini terasa lebih berat, seperti memendam sesuatu yang tidak terlihat. Liu Feng memimpin dengan hati-hati, telinganya menangkap setiap suara yang tidak wajar. Yue Ling berada tepat di belakangnya, dengan tangan siaga di gagang pedangnya."Liu Feng, jejak makhluk tadi... berhenti di sini," bisik Yue Ling sambil menunjuk ke tanah yang lembab. Tidak ada tanda-tanda makhluk itu melanjutkan perjalanannya, seolah menghilang begitu saja di antara kabut.Liu Feng berjongkok, memeriksa jejak itu dengan seksama. Tanahnya tampak tidak alami—ada sisa energi gelap yang menguar dari bekas kaki makhluk itu, menyatu dengan kabut di sekeliling. Ia merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya, meskipun ia tidak menunjukkan keraguan di depan kelompoknya."Ini jebakan," gumam Liu Feng pelan. "Mereka ingin memecah perhatian kita."Tanpa peringatan, suara aneh terdengar
Langit gelap semakin menebal, menciptakan suasana mencekam di tengah perjalanan Liu Feng dan kelompoknya. Kabut yang sebelumnya hanya menyelimuti permukaan tanah kini naik lebih tinggi, menutupi pandangan mereka hingga hampir tak terlihat apa pun di depan. Suara angin yang menggema di antara pepohonan terdengar seperti bisikan, seolah mengolok-olok keberanian mereka."Tempat ini seperti memerangkap kita," kata Yue Ling dengan nada yang dipenuhi kewaspadaan. Pedangnya tergenggam erat, dan matanya terus bergerak, memperhatikan setiap sudut.Liu Feng berjalan di depan, matanya fokus pada jalan setapak yang samar. "Tempat ini memang bukan sekadar jalur biasa. Kabut ini diciptakan untuk menguji kesabaran dan mental kita."Di tengah perjalanan, mereka menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah patung besar berdiri di tengah jalan setapak, berbentuk seorang pria tua yang memegang tongkat. Wajahnya tampak penuh luka, dengan ekspresi kesedihan yang mendalam. Namun, yang paling mencolok adalah mata pa
Kabut tebal perlahan kembali menyelimuti hutan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Angin dingin berhembus, membawa aroma kematian yang memekat. Liu Feng berdiri dengan tubuh tegak, memandangi serigala bertanduk yang perlahan mendekat. Aura gelap yang memancar dari makhluk itu terasa seperti menekan dada mereka, membuat para murid yang lain gemetar di tempat. "Liu Feng, makhluk ini jauh lebih kuat dari yang lain," kata Yue Ling dengan nada bergetar. Ia menatap makhluk itu dengan pedang terangkat, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Tentu saja," balas Liu Feng dengan tenang. "Tapi dia juga punya kelemahan. Kita hanya perlu menemukan celah itu." Serigala bertanduk itu menggeram rendah, seolah mengerti kata-kata mereka. Langkahnya pelan namun mantap, setiap langkah membuat tanah di bawahnya retak. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan aneh mulai terbentuk, seolah bayangannya sendiri hidup dan bersiap menyerang. Liu Feng menarik napas dalam-dalam, merasakan energi dari Jala
Liu Feng berdiri di atas tebing curam, memandang lembah yang tertutup kabut pekat. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah dan keheningan yang menggantung. Di bawahnya, suara gemuruh air terjun memecah kesunyian, namun di balik itu, ada sesuatu yang lebih mendalam, sebuah keheningan yang menyeramkan. Ia tahu bahwa tempat ini bukanlah tempat biasa—ini adalah tempat di mana banyak cerita gelap terpendam, tempat yang menyimpan jejak sejarah yang terlupakan."Aku merasakan sesuatu di sini," gumam Liu Feng, matanya menyipit, berusaha menembus kabut. "Energi ini... tidak biasa."Shen Tao, yang berdiri di belakangnya, mengangguk dengan ekspresi serius. "Ini adalah tempat yang disebut orang-orang tua sebagai 'Kabut Pemisah Jiwa.' Banyak yang masuk ke sini, tapi sedikit yang kembali. Dan mereka yang kembali... tidak pernah menjadi diri mereka yang sama."Kata-kata Shen Tao menggantung di udara, berat dan menekan. Liu Feng mengeratkan cengkeramannya pada gagang pedang di pinggangnya.
Langit yang sebelumnya kelabu kini berubah menjadi pekat, hampir seperti malam yang turun tiba-tiba. Liu Feng berdiri diam di atas tanah berbatu, memandang bayangan raksasa yang mulai terbentuk di cakrawala. Bayangan itu bergerak perlahan, namun setiap langkahnya mengguncang bumi. Suara gemuruh yang menyertainya bukan hanya berasal dari tanah yang bergetar, tetapi juga dari suara seruan yang asing, seperti raungan makhluk purba yang penuh dengan amarah."Apa lagi ini?" pikir Liu Feng, tangannya secara refleks meraih gagang pedang di pinggangnya. Ia sudah menghadapi bayangannya sendiri, melewati ujian kabut yang melelahkan, tetapi ancaman ini terasa berbeda. Energi yang memancar dari makhluk itu begitu menekan, seperti udara yang berat di tengah badai.Saat sosok itu semakin dekat, Liu Feng mulai bisa melihat lebih jelas bentuknya. Makhluk itu menyerupai naga, tetapi dengan tubuh yang dilapisi paku tajam seperti duri-duri pohon tua. Matanya merah menyala, penuh dengan kebencian yang da
Setelah pertarungan sengit di dataran merah, Liu Feng dan rombongannya terus melanjutkan perjalanan. Luka-luka mereka telah sembuh sebagian berkat ramuan penyembuh yang mereka peroleh dari kuil kuno, tetapi rasa lelah yang menggerogoti tubuh mereka tidak bisa diabaikan. Perjalanan ini mulai terasa seperti ujian tanpa akhir, dan setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke tujuan, tetapi juga semakin berat untuk dilalui.Di malam yang sunyi, saat mereka beristirahat di sebuah lembah kecil, Shen Tao mendekati Liu Feng dengan raut wajah yang serius. "Liu Feng, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku," katanya, suaranya nyaris berbisik agar tidak membangunkan yang lain."Apa itu, Guru?" tanya Liu Feng, mengangkat alisnya."Aku telah merasakan jejak energi gelap sejak kita meninggalkan kuil kuno. Sepertinya seseorang atau sesuatu sedang mengikuti kita," Shen Tao menjelaskan sambil menatap ke arah hutan yang gelap di sekitar mereka.Liu Feng mengepalkan tangan. Ia sudah menduga ada sesuatu ya
Langit masih gelap, meskipun malam sudah terasa begitu panjang. Suara langkah pasukan di lembah terdengar seperti ritme yang tak berkesudahan. Di kejauhan, cahaya yang sebelumnya menyala terang kini memudar, menyisakan hanya sisa-sisa kilatan kecil yang membingungkan siapa saja yang melihatnya. Namun, Armand tidak peduli dengan itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan, ke arah tempat Dalkar menghilang di balik bayangan.Aveline berdiri di sebelahnya, memegang pedang dengan tangan gemetar. "Armand, apa kita benar-benar akan mengejarnya? Dia... dia terlalu kuat."Armand tidak menjawab. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan ekspresi yang sulit ditebak. Amarah, ketegangan, dan mungkin sedikit rasa takut. Tetapi di balik semua itu, ada tekad yang membara."Aku tidak punya pilihan, Aveline," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar datar. "Jika aku tidak melakukannya, tidak ada yang bisa menghentikannya."Aveline terdiam. Kata-kata Armand begitu sederhana, tetapi ada kebenaran yang t
Langit kelam menjadi saksi bisu dari kehancuran yang baru saja terjadi. Lembah yang sebelumnya penuh dengan hiruk-pikuk suara pertempuran kini berubah menjadi lautan keheningan yang mencekam. Debu dan asap memenuhi udara, menyembunyikan pandangan serta menyisakan rasa takut yang mengakar dalam hati setiap orang yang masih bertahan. Armand berdiri di atas tebing kecil, tubuhnya penuh luka dan napasnya tersengal. Di depannya, pemandangan kehancuran membentang luas. Pasukan kecilnya tersebar, beberapa tertunduk lemas di tanah, sementara yang lain mencoba membantu rekan-rekannya yang terluka. Tapi satu hal yang pasti—mereka masih hidup. "Aveline!" seru Armand dengan suara serak, matanya mencari-cari sosok yang ia kenal. Dari balik reruntuhan, Aveline muncul dengan langkah tertatih, wajahnya dipenuhi kotoran dan darah. Namun matanya tetap penuh tekad. "Aku di sini," jawabnya lemah, tapi nadanya tetap tegas. Armand bergegas mendekat, membantu Aveline berdiri. "Kau baik-baik saja?" Avel
Langit di atas bentangan pegunungan mulai berubah, dari warna jingga mentari sore menjadi abu-abu kelam yang dipenuhi awan berat. Tidak ada bintang yang berani menampakkan diri, seolah kegelapan telah mengambil alih segalanya. Angin yang biasanya membawa kehangatan dan aroma dedaunan kini terasa seperti hembusan kematian, dingin dan menusuk hingga ke tulang. Armand berdiri di atas tebing, tatapannya mengarah ke lembah di bawah yang kini dipenuhi pasukan bayangan. Wajahnya yang lelah menunjukkan keteguhan hati yang tidak tergoyahkan, tetapi di balik itu, ada ketakutan yang tak bisa ia pungkiri. Bayangan dari makhluk raksasa yang baru saja mereka hadapi masih terukir dalam pikirannya. Kekuatan seperti itu melampaui apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya, dan ia tahu, pertempuran berikutnya tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga nasib dunia. "Armand." Suara lembut namun penuh ketegasan itu membuyarkan lamunannya. Aveline melangkah mendekat, wajahnya penuh luka dan noda dar
Langit di atas markas utama Persekutuan Bayangan mendung dan penuh amarah, menggambarkan konflik yang sedang berkecamuk. Di dalam ruangan besar yang dingin dan dipenuhi ukiran gelap, para pemimpin fraksi kegelapan mulai merasa sesuatu yang aneh. Udara seolah memberat, seperti beban tak terlihat menghimpit dada mereka. Namun, mereka tak menyadari bahwa itu adalah awal dari serangan balik yang sudah lama direncanakan oleh pihak terang.Sementara itu, di sudut lain, Armand berdiri di hadapan sekumpulan prajurit yang bersiap untuk melancarkan serangan. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan meski ia tahu apa yang akan mereka hadapi adalah kekuatan yang telah berakar selama ribuan tahun. Suaranya lantang memecah kebisuan, memberikan semangat kepada mereka yang mulai dirundung keraguan."Kita mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar mereka, tetapi jangan pernah lupakan satu hal: keadilan selalu menemukan jalannya. Ingat apa yang kita perjuangkan!"Kata-katanya membakar semangat pasukan yang
Kegelapan yang pekat masih melingkupi Azlan, namun kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Beban berat yang selama ini menghimpit jiwanya mulai tergeser sedikit demi sedikit oleh percikan cahaya di dalam dirinya. Di tengah pusaran kegelapan yang nyaris menelannya, suara dari dalam hatinya menggema lebih kuat. "Bangkitlah, Azlan. Ini belum berakhir." Perlahan, tubuhnya yang sebelumnya tak berdaya mulai merespons. Ia merasakan energi hangat yang mengalir dari inti jiwanya, membakar segala ketakutan dan keraguan yang membelenggu. Ia menggerakkan jarinya, lalu tangannya, hingga akhirnya seluruh tubuhnya kembali terkontrol. Meskipun gravitasi dari pusaran energi hitam masih menariknya dengan kuat, Azlan berhasil menancapkan pedangnya ke lantai untuk menahan dirinya. Suara gesekan logam dengan batu menggema, memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap makhluk itu dengan sorot mata yang penuh dengan keberanian yang baru ia temukan. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya tegas, suaranya men
Di sebuah ruang yang terpisah dari dunia fana, suasana memanas di antara berbagai elemen yang saling berseteru. Setiap inci ruangan tampak diwarnai oleh aura konflik, dengan garis-garis energi yang menghubungkan entitas-entitas kuat di dalamnya. Di tengahnya berdiri seorang pemimpin, wajahnya terukir oleh campuran keputusasaan dan determinasi yang membara.Bayangan masa lalu terlintas dalam benaknya, mengingatkan dirinya pada perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Namun, kali ini, jalan yang dia tempuh terasa lebih berat. Setiap langkah seakan-akan dipenuhi dengan duri, menguji tekadnya untuk terus maju."Apa yang sebenarnya kau cari di sini, Azlan?" suara dingin menggema dari sisi ruangan. Suara itu milik seorang wanita dengan mata yang menyala tajam seperti pisau. Dia adalah salah satu penjaga dimensi ini, seseorang yang tidak pernah gentar menghadapi ancaman apa pun.Azlan menghela napas, mencoba mengatur emosinya yang bercampur aduk. "Aku mencari kebenaran, dan aku tidak akan b
Kehancuran yang disebabkan oleh pertempuran besar itu meninggalkan jejak yang begitu nyata. Lembah yang sebelumnya penuh dengan kehidupan kini hanya menyisakan tanah hangus dan retakan yang menganga. Angin yang bertiup membawa aroma tajam abu dan debu, menciptakan suasana yang sepi dan menyesakkan. Zhao Feng berdiri di tengah kawah besar, tubuhnya dipenuhi luka dan napasnya masih tersengal. Pedang yang ia genggam kini tampak redup, seperti kehilangan sebagian besar cahayanya. Namun, meski kelelahan menyelimuti seluruh tubuhnya, tatapannya tetap terarah ke depan, mencari sesuatu. “Guru…” bisiknya pelan, namun hanya keheningan yang menjawab. Ia menurunkan pedangnya dan menghapus keringat serta darah yang menetes dari dahinya. Gurunya, yang sempat muncul di tengah pertempuran, kini menghilang seperti embun yang lenyap saat matahari terbit. Tidak ada jejak yang tersisa, tidak ada petunjuk yang menunjukkan keberadaannya. “Apakah itu hanya bayangan… ataukah benar-benar dia?” Zhao Feng m
Di dalam kegelapan yang pekat, Zhao Feng berdiri tak bergerak. Keringat dingin membasahi wajahnya, namun genggaman tangannya pada pedang suci tak goyah sedikit pun. Suara makhluk yang barusan berbicara masih menggema di pikirannya, membuat semua yang ia lakukan terasa seperti permainan yang sudah dirancang sebelumnya.Namun, meski kegelapan memeluknya dengan erat, ada cahaya kecil yang tetap bersinar dari pedangnya. Cahaya itu memancar pelan, seakan mencoba meyakinkan dirinya bahwa tidak semua telah hilang.“Aku tidak boleh berhenti di sini,” gumam Zhao Feng pada dirinya sendiri. “Jika aku menyerah sekarang, segalanya akan benar-benar berakhir.”Bayangan-bayangan yang tadi menyelimuti tempat itu mulai muncul kembali, kali ini dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Mereka tidak menyerang langsung, melainkan bergerak dengan pola yang menyerupai tarian mematikan, membuat Zhao Feng merasa semakin tertekan.Namun, di saat itu juga, sebuah suara lembut terdengar di telinganya, suara yang tak
Cahaya matahari pagi menembus dedaunan hutan yang lebat, menyinari lapisan embun yang menempel pada rumput liar. Di tengah kesunyian alam, seorang pria berdiri dengan pandangan tajam ke arah cakrawala yang dihiasi awan kelabu. Langit, seolah mencerminkan isi hatinya, tampak gelisah, bergemuruh dengan suara yang mengancam. Zhao Feng menarik napas dalam, aroma tanah basah bercampur angin dingin yang menyegarkan paru-parunya. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya penuh gejolak. Di tangannya tergenggam pedang yang tidak hanya melambangkan kekuatan, tetapi juga beban tanggung jawab yang luar biasa. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur," gumamnya pelan, tetapi cukup keras untuk didengar oleh bayangan yang bersembunyi di kejauhan. Langkah kaki terdengar dari belakang, dan suara lembut yang familiar memanggil, "Zhao Feng, apakah kau yakin dengan keputusanmu? Jalan ini akan mengubah segalanya." Luo Xue, dengan jubah putihnya yang tertiup angin, mendekat perlahan. Wajahnya yang bias