Liu Feng berdiri di atas tebing curam, memandang lembah yang tertutup kabut pekat. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah dan keheningan yang menggantung. Di bawahnya, suara gemuruh air terjun memecah kesunyian, namun di balik itu, ada sesuatu yang lebih mendalam, sebuah keheningan yang menyeramkan. Ia tahu bahwa tempat ini bukanlah tempat biasa—ini adalah tempat di mana banyak cerita gelap terpendam, tempat yang menyimpan jejak sejarah yang terlupakan."Aku merasakan sesuatu di sini," gumam Liu Feng, matanya menyipit, berusaha menembus kabut. "Energi ini... tidak biasa."Shen Tao, yang berdiri di belakangnya, mengangguk dengan ekspresi serius. "Ini adalah tempat yang disebut orang-orang tua sebagai 'Kabut Pemisah Jiwa.' Banyak yang masuk ke sini, tapi sedikit yang kembali. Dan mereka yang kembali... tidak pernah menjadi diri mereka yang sama."Kata-kata Shen Tao menggantung di udara, berat dan menekan. Liu Feng mengeratkan cengkeramannya pada gagang pedang di pinggangnya.
Langit yang sebelumnya kelabu kini berubah menjadi pekat, hampir seperti malam yang turun tiba-tiba. Liu Feng berdiri diam di atas tanah berbatu, memandang bayangan raksasa yang mulai terbentuk di cakrawala. Bayangan itu bergerak perlahan, namun setiap langkahnya mengguncang bumi. Suara gemuruh yang menyertainya bukan hanya berasal dari tanah yang bergetar, tetapi juga dari suara seruan yang asing, seperti raungan makhluk purba yang penuh dengan amarah."Apa lagi ini?" pikir Liu Feng, tangannya secara refleks meraih gagang pedang di pinggangnya. Ia sudah menghadapi bayangannya sendiri, melewati ujian kabut yang melelahkan, tetapi ancaman ini terasa berbeda. Energi yang memancar dari makhluk itu begitu menekan, seperti udara yang berat di tengah badai.Saat sosok itu semakin dekat, Liu Feng mulai bisa melihat lebih jelas bentuknya. Makhluk itu menyerupai naga, tetapi dengan tubuh yang dilapisi paku tajam seperti duri-duri pohon tua. Matanya merah menyala, penuh dengan kebencian yang da
Setelah pertarungan sengit di dataran merah, Liu Feng dan rombongannya terus melanjutkan perjalanan. Luka-luka mereka telah sembuh sebagian berkat ramuan penyembuh yang mereka peroleh dari kuil kuno, tetapi rasa lelah yang menggerogoti tubuh mereka tidak bisa diabaikan. Perjalanan ini mulai terasa seperti ujian tanpa akhir, dan setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke tujuan, tetapi juga semakin berat untuk dilalui.Di malam yang sunyi, saat mereka beristirahat di sebuah lembah kecil, Shen Tao mendekati Liu Feng dengan raut wajah yang serius. "Liu Feng, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku," katanya, suaranya nyaris berbisik agar tidak membangunkan yang lain."Apa itu, Guru?" tanya Liu Feng, mengangkat alisnya."Aku telah merasakan jejak energi gelap sejak kita meninggalkan kuil kuno. Sepertinya seseorang atau sesuatu sedang mengikuti kita," Shen Tao menjelaskan sambil menatap ke arah hutan yang gelap di sekitar mereka.Liu Feng mengepalkan tangan. Ia sudah menduga ada sesuatu ya
Langit mulai memerah saat fajar menjelang, namun tidak ada rasa lega yang menyelimuti hati Liu Feng. Setelah peristiwa pengkhianatan Qi Lian, situasi semakin mencekam. Shen Tao masih terbaring lemah, sementara kelompok kecil mereka kini hanya tersisa segelintir orang. Beban tanggung jawab di bahu Liu Feng terasa semakin berat, tetapi ia tahu bahwa tidak ada waktu untuk menyerah.Liu Feng duduk di samping Shen Tao yang terbaring di atas hamparan dedaunan. Luka Shen Tao begitu parah sehingga bahkan ramuan penyembuh terbaik pun hanya mampu menahan kematian yang mengintai. "Guru, kau harus bertahan," bisik Liu Feng dengan suara lirih.Shen Tao membuka matanya perlahan, menatap muridnya dengan senyum lemah. "Liu Feng, tugas ini kini ada di tanganmu," katanya. "Aku tak akan mampu melanjutkan perjalanan. Tapi kau harus menemukan Qi Lian dan menghentikannya sebelum dia membuka segel kegelapan yang terlarang."Kata-kata Shen Tao seperti pisau yang menancap di hati Liu Feng. Ia tahu bahwa gurun
Liu Feng menatap puncak kegelapan yang menjulang di kejauhan, jantungnya berdegup cepat di dalam dada. Angin dingin yang berhembus membawa bisikan yang samar, seolah-olah dunia ini sendiri memperingatkan mereka tentang bahaya yang menunggu. Xiao Ling berdiri di sisinya, wajahnya penuh ketegangan."Qi Lian tahu kita mendekat," kata Liu Feng, suaranya rendah tetapi penuh tekad. "Dia tidak akan membiarkan kita melangkah lebih jauh tanpa perlawanan."Xiao Ling mengangguk pelan. "Dia tahu kelemahan kita sekarang. Kita kehilangan banyak hal—orang-orang yang kita percaya, sumber daya, bahkan kepercayaan diri. Tapi kita tidak bisa mundur. Dunia ini membutuhkan kita."Langkah mereka menuju puncak dimulai dengan kehati-hatian. Medan berbatu dan jurang-jurang curam memaksa mereka untuk bergerak perlahan. Namun, bahaya terbesar tidak datang dari tanah di bawah kaki mereka, melainkan dari bayangan-bayangan yang bergerak cepat di sekeliling mereka."Liu Feng," bisik Xiao Ling tiba-tiba. "Kau meliha
Di bawah langit yang berwarna merah darah, Liu Feng menatap tajam ke arah Qi Lian yang berdiri dengan tenang di depan portal besar yang memancarkan energi gelap. Di sekitar mereka, tanah retak, dan kabut hitam perlahan merayap, menyelimuti segalanya. Xiao Ling berdiri di samping Liu Feng, napasnya memburu, sementara tubuhnya mulai memancarkan cahaya pelindung untuk menghalau kabut tersebut."Qi Lian," seru Liu Feng, suaranya menggema di udara tegang. "Tutup portal itu sebelum semuanya terlambat!"Namun, Qi Lian hanya tersenyum dingin. "Kalian bodoh kalau berpikir aku akan mundur sekarang. Segel yang membatasi kekuatan kegelapan telah terbuka. Sebentar lagi, kekuatan sejati akan membanjiri dunia ini. Dan aku, pemimpinnya, akan menjadi penguasa segalanya."Liu Feng mengepalkan tangannya dengan keras, pedangnya berkilauan dengan energi biru yang memancar. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini!"Sebelum Qi Lian bisa menjawab, Liu Feng melompat maju dengan serangan penuh kek
Hembusan angin malam yang dingin merambat melalui celah-celah reruntuhan, membawa bau darah, debu, dan kehancuran. Liu Feng berdiri diam di tengah puing-puing pertempuran, memandangi tempat di mana portal kegelapan pernah berdiri. Di sekelilingnya, tanah yang sebelumnya subur kini berubah menjadi tandus, retak seperti kaca yang pecah. Kabut gelap yang tadinya mendominasi perlahan-lahan memudar, namun jejak energi yang tersisa tetap menghantui udara.Xiao Ling duduk bersimpuh di dekatnya, matanya memandangi luka-luka yang memenuhi tubuh Liu Feng. Tangannya yang kecil bergetar saat dia menyalurkan energi penyembuh ke dalam luka-luka tersebut. Namun, meski tubuh Liu Feng perlahan pulih, tatapan kosong di matanya menunjukkan luka yang lebih dalam, luka yang tidak bisa sembuh hanya dengan sihir penyembuhan."Ini bukan akhir," bisik Xiao Ling, suaranya lirih tapi tegas. "Qi Lian mungkin telah pergi, tapi aku yakin dia masih memiliki rencana lain."Liu Feng menarik napas dalam-dalam, mencoba
Langit malam di atas pegunungan berselimut bintang, seolah memandang rendah pada pertempuran sengit yang terjadi di bawahnya. Di tengah lembah, Liu Feng berdiri tegak, tubuhnya dipenuhi luka. Namun, matanya menyala dengan semangat yang tak tergoyahkan. Di depannya, seorang pria bertopeng dengan aura gelap yang memancar dari tubuhnya menatap dingin, mengangkat pedang hitam yang seolah menyerap cahaya di sekitarnya. "Dunia ini penuh dengan kebohongan," suara pria bertopeng itu berat, bergema di antara tebing-tebing, "Hanya dengan menghancurkannya, kita bisa membangun dunia baru." Liu Feng mengepalkan tangannya, mengabaikan rasa sakit yang menyengat. "Kebohongan hanya bisa dilawan dengan kebenaran. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan segalanya!" Tiba-tiba, angin malam berubah menjadi badai. Energi di sekitar mereka bergolak, menciptakan pusaran yang menyerap daun-daun kering dan debu. Pria bertopeng itu menyerang lebih dulu, pedangnya meluncur cepat seperti kilat. Liu Feng melomp
Langit masih gelap, meskipun malam sudah terasa begitu panjang. Suara langkah pasukan di lembah terdengar seperti ritme yang tak berkesudahan. Di kejauhan, cahaya yang sebelumnya menyala terang kini memudar, menyisakan hanya sisa-sisa kilatan kecil yang membingungkan siapa saja yang melihatnya. Namun, Armand tidak peduli dengan itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan, ke arah tempat Dalkar menghilang di balik bayangan.Aveline berdiri di sebelahnya, memegang pedang dengan tangan gemetar. "Armand, apa kita benar-benar akan mengejarnya? Dia... dia terlalu kuat."Armand tidak menjawab. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan ekspresi yang sulit ditebak. Amarah, ketegangan, dan mungkin sedikit rasa takut. Tetapi di balik semua itu, ada tekad yang membara."Aku tidak punya pilihan, Aveline," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar datar. "Jika aku tidak melakukannya, tidak ada yang bisa menghentikannya."Aveline terdiam. Kata-kata Armand begitu sederhana, tetapi ada kebenaran yang t
Langit kelam menjadi saksi bisu dari kehancuran yang baru saja terjadi. Lembah yang sebelumnya penuh dengan hiruk-pikuk suara pertempuran kini berubah menjadi lautan keheningan yang mencekam. Debu dan asap memenuhi udara, menyembunyikan pandangan serta menyisakan rasa takut yang mengakar dalam hati setiap orang yang masih bertahan. Armand berdiri di atas tebing kecil, tubuhnya penuh luka dan napasnya tersengal. Di depannya, pemandangan kehancuran membentang luas. Pasukan kecilnya tersebar, beberapa tertunduk lemas di tanah, sementara yang lain mencoba membantu rekan-rekannya yang terluka. Tapi satu hal yang pasti—mereka masih hidup. "Aveline!" seru Armand dengan suara serak, matanya mencari-cari sosok yang ia kenal. Dari balik reruntuhan, Aveline muncul dengan langkah tertatih, wajahnya dipenuhi kotoran dan darah. Namun matanya tetap penuh tekad. "Aku di sini," jawabnya lemah, tapi nadanya tetap tegas. Armand bergegas mendekat, membantu Aveline berdiri. "Kau baik-baik saja?" Avel
Langit di atas bentangan pegunungan mulai berubah, dari warna jingga mentari sore menjadi abu-abu kelam yang dipenuhi awan berat. Tidak ada bintang yang berani menampakkan diri, seolah kegelapan telah mengambil alih segalanya. Angin yang biasanya membawa kehangatan dan aroma dedaunan kini terasa seperti hembusan kematian, dingin dan menusuk hingga ke tulang. Armand berdiri di atas tebing, tatapannya mengarah ke lembah di bawah yang kini dipenuhi pasukan bayangan. Wajahnya yang lelah menunjukkan keteguhan hati yang tidak tergoyahkan, tetapi di balik itu, ada ketakutan yang tak bisa ia pungkiri. Bayangan dari makhluk raksasa yang baru saja mereka hadapi masih terukir dalam pikirannya. Kekuatan seperti itu melampaui apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya, dan ia tahu, pertempuran berikutnya tidak hanya akan menentukan nasibnya, tetapi juga nasib dunia. "Armand." Suara lembut namun penuh ketegasan itu membuyarkan lamunannya. Aveline melangkah mendekat, wajahnya penuh luka dan noda dar
Langit di atas markas utama Persekutuan Bayangan mendung dan penuh amarah, menggambarkan konflik yang sedang berkecamuk. Di dalam ruangan besar yang dingin dan dipenuhi ukiran gelap, para pemimpin fraksi kegelapan mulai merasa sesuatu yang aneh. Udara seolah memberat, seperti beban tak terlihat menghimpit dada mereka. Namun, mereka tak menyadari bahwa itu adalah awal dari serangan balik yang sudah lama direncanakan oleh pihak terang.Sementara itu, di sudut lain, Armand berdiri di hadapan sekumpulan prajurit yang bersiap untuk melancarkan serangan. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan meski ia tahu apa yang akan mereka hadapi adalah kekuatan yang telah berakar selama ribuan tahun. Suaranya lantang memecah kebisuan, memberikan semangat kepada mereka yang mulai dirundung keraguan."Kita mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar mereka, tetapi jangan pernah lupakan satu hal: keadilan selalu menemukan jalannya. Ingat apa yang kita perjuangkan!"Kata-katanya membakar semangat pasukan yang
Kegelapan yang pekat masih melingkupi Azlan, namun kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Beban berat yang selama ini menghimpit jiwanya mulai tergeser sedikit demi sedikit oleh percikan cahaya di dalam dirinya. Di tengah pusaran kegelapan yang nyaris menelannya, suara dari dalam hatinya menggema lebih kuat. "Bangkitlah, Azlan. Ini belum berakhir." Perlahan, tubuhnya yang sebelumnya tak berdaya mulai merespons. Ia merasakan energi hangat yang mengalir dari inti jiwanya, membakar segala ketakutan dan keraguan yang membelenggu. Ia menggerakkan jarinya, lalu tangannya, hingga akhirnya seluruh tubuhnya kembali terkontrol. Meskipun gravitasi dari pusaran energi hitam masih menariknya dengan kuat, Azlan berhasil menancapkan pedangnya ke lantai untuk menahan dirinya. Suara gesekan logam dengan batu menggema, memecah keheningan yang mencekam. Ia menatap makhluk itu dengan sorot mata yang penuh dengan keberanian yang baru ia temukan. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya tegas, suaranya men
Di sebuah ruang yang terpisah dari dunia fana, suasana memanas di antara berbagai elemen yang saling berseteru. Setiap inci ruangan tampak diwarnai oleh aura konflik, dengan garis-garis energi yang menghubungkan entitas-entitas kuat di dalamnya. Di tengahnya berdiri seorang pemimpin, wajahnya terukir oleh campuran keputusasaan dan determinasi yang membara.Bayangan masa lalu terlintas dalam benaknya, mengingatkan dirinya pada perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Namun, kali ini, jalan yang dia tempuh terasa lebih berat. Setiap langkah seakan-akan dipenuhi dengan duri, menguji tekadnya untuk terus maju."Apa yang sebenarnya kau cari di sini, Azlan?" suara dingin menggema dari sisi ruangan. Suara itu milik seorang wanita dengan mata yang menyala tajam seperti pisau. Dia adalah salah satu penjaga dimensi ini, seseorang yang tidak pernah gentar menghadapi ancaman apa pun.Azlan menghela napas, mencoba mengatur emosinya yang bercampur aduk. "Aku mencari kebenaran, dan aku tidak akan b
Kehancuran yang disebabkan oleh pertempuran besar itu meninggalkan jejak yang begitu nyata. Lembah yang sebelumnya penuh dengan kehidupan kini hanya menyisakan tanah hangus dan retakan yang menganga. Angin yang bertiup membawa aroma tajam abu dan debu, menciptakan suasana yang sepi dan menyesakkan. Zhao Feng berdiri di tengah kawah besar, tubuhnya dipenuhi luka dan napasnya masih tersengal. Pedang yang ia genggam kini tampak redup, seperti kehilangan sebagian besar cahayanya. Namun, meski kelelahan menyelimuti seluruh tubuhnya, tatapannya tetap terarah ke depan, mencari sesuatu. “Guru…” bisiknya pelan, namun hanya keheningan yang menjawab. Ia menurunkan pedangnya dan menghapus keringat serta darah yang menetes dari dahinya. Gurunya, yang sempat muncul di tengah pertempuran, kini menghilang seperti embun yang lenyap saat matahari terbit. Tidak ada jejak yang tersisa, tidak ada petunjuk yang menunjukkan keberadaannya. “Apakah itu hanya bayangan… ataukah benar-benar dia?” Zhao Feng m
Di dalam kegelapan yang pekat, Zhao Feng berdiri tak bergerak. Keringat dingin membasahi wajahnya, namun genggaman tangannya pada pedang suci tak goyah sedikit pun. Suara makhluk yang barusan berbicara masih menggema di pikirannya, membuat semua yang ia lakukan terasa seperti permainan yang sudah dirancang sebelumnya.Namun, meski kegelapan memeluknya dengan erat, ada cahaya kecil yang tetap bersinar dari pedangnya. Cahaya itu memancar pelan, seakan mencoba meyakinkan dirinya bahwa tidak semua telah hilang.“Aku tidak boleh berhenti di sini,” gumam Zhao Feng pada dirinya sendiri. “Jika aku menyerah sekarang, segalanya akan benar-benar berakhir.”Bayangan-bayangan yang tadi menyelimuti tempat itu mulai muncul kembali, kali ini dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Mereka tidak menyerang langsung, melainkan bergerak dengan pola yang menyerupai tarian mematikan, membuat Zhao Feng merasa semakin tertekan.Namun, di saat itu juga, sebuah suara lembut terdengar di telinganya, suara yang tak
Cahaya matahari pagi menembus dedaunan hutan yang lebat, menyinari lapisan embun yang menempel pada rumput liar. Di tengah kesunyian alam, seorang pria berdiri dengan pandangan tajam ke arah cakrawala yang dihiasi awan kelabu. Langit, seolah mencerminkan isi hatinya, tampak gelisah, bergemuruh dengan suara yang mengancam. Zhao Feng menarik napas dalam, aroma tanah basah bercampur angin dingin yang menyegarkan paru-parunya. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya penuh gejolak. Di tangannya tergenggam pedang yang tidak hanya melambangkan kekuatan, tetapi juga beban tanggung jawab yang luar biasa. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur," gumamnya pelan, tetapi cukup keras untuk didengar oleh bayangan yang bersembunyi di kejauhan. Langkah kaki terdengar dari belakang, dan suara lembut yang familiar memanggil, "Zhao Feng, apakah kau yakin dengan keputusanmu? Jalan ini akan mengubah segalanya." Luo Xue, dengan jubah putihnya yang tertiup angin, mendekat perlahan. Wajahnya yang bias