Gallen bergeming. Air mukanya tak beriak. Beragam hinaan yang ditujukan kepadanya dianggapnya sekadar angin lalu. “Aku ingin surat-suratnya selesai malam ini juga.”
“Wah, dia pasti benar-benar sudah gila! Apa dia pikir uang dua milyar itu cuma seharga permen?”
“Jangan tertipu! Dia sedang berpura-pura untuk menutupi rasa malu.”
Silang pendapat antara para pengunjung kafe terdengar seperti dengungan lebah.
“Anak muda! Berhenti bermain-main denganku! Kalau kau tidak punya uang, pergilah! Tapi sebelum itu, berlututlah pada Nona Bella dan bayar kompensasi yang dia minta!”
Alis Gallen mengerut. “Bukankah aku meminta Anda untuk segera menyiapkan surat-suratnya? Aku akan membayar tunai setelah Anda menandatangani jual-beli.”
“Siapkan saja, Pak! Jika dia tidak mampu membayar, Anda bisa menuntutnya!”
Bram semakin bersemangat memprovokasi Winata. Dia ingin melihat kehancuran
“Hahaha … sudah kuduga kau tidak akan punya uang sebanyak itu!” Tawa Bram membahana ketika dilihatnya Gallen masih tegak bergeming di tempatnya, menatap tak berkedip pada dokumen yang baru saja ditandatangani oleh Winata. “Kalian lihat! Lelaki tak tahu diri ini pada akhirnya hanya mempermalukan dirinya sendiri!” Bram berteriak lantang, mengumumkan pada dunia bahwa Gallen sungguh terlihat menyedihkan. “Benar-benar bodoh!” “Ya. Dia seperti katak di bawah tempurung!” Semakin riuh kalimat bernada cemooh mengudara dari bibir para penjilat itu. Gallen masih bersikap acuh tak acuh. Setia menunggu sampai orang-orang itu merasa lelah. Setelah bisik-bisik mulai sedikit hening, Gallen mengeluarkan selembar cek dari kantongnya. Dia menuliskan angka sesuai dengan jumlah yang diminta, lalu menyerahkan cek itu kepada Winata. Di saat semua tercengang dengan apa yang dilakukannya, Gallen sudah selesai membubuhkan tanda tangannya pada su
Hati Gallen dipenuhi perasaan was-was sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Falisha tak mengatakan apa pun saat dia menyerahkan kafe yang baru dibelinya pada gadis itu. Namun, dia sangat yakin selaksa tanya menggayuti benak Falisha.Gadis itu pasti bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan uang untuk melunasi pembelian harga kafe. Apakah dia harus berterus terang tentang jati diri dan kekayaannya? Tidak! Belum waktunya. Dia harus memutar otak untuk menemukan alasan yang tepat agar Falisha tidak curiga.Tepat seperti dugaannya, setibanya di rumah, Falisha langsung menarik lengan Gallen ke dapur.“Kak, ceritakan padaku! Dari mana Kakak mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Falisha, tatapannya penuh selidik. “Kakak tidak merampok atau melakukan sesuatu yang ilegal, kan?”Gallen tersedak ludahnya sendiri. “Apa di matamu kakakmu ini punya tampang kriminal?”“B–bukan begitu maksudku, Kak. Kakak hanya m
Bram berdiri di balkon kamarnya. Mulutnya mengepulkan gumpalan asap putih tebal. Saling berkejaran menggapai angkasa. Sudah tak terhitung puntung rokok berserakan di atas lantai. Namun, otaknya masih belum juga menemukan jawab atas serangkaian tanya tentang Gallen.Dia yakin pernah melihat lelaki itu sebelumnya, tetapi bukan di kampus Falisha. Selama ini Falisha selalu meninggalkan kelas dan pulang bersama teman dekatnya. Itu seorang perempuan, bukan Gallen.‘Ah, aku ingat sekarang!’Hati Bram berseru girang. Dibantingnya sisa rokok yang masih menyala ke atas lantai, dipelintirnya dengan kaki. Tepukan keras dari kedua tangannya mendarat di atas pagar pembatas balkon.“Ya, tidak salah lagi! Lelaki itu mantan pacar Laura, sepupu Joe!”Bram menyeringai licik. Bola matanya memancarkan kilat misterius. Terlintas ide di kepalanya untuk menghubungi Joe, dan dia mengeksekusi lintasan pikiran itu dalam hitungan detik.
Sebagian dari karyawan kafe Rainbows sudah mendengar desas-desus akan adanya pergantian pimpinan semenjak kemarin malam. Rasanya seperti mimpi di siang hari, mengetahui karyawan baru akan beralih status menjadi bos.Setiap orang sibuk mengulik kilas balik perbuatan mereka terhadap Falisha. Beberapa pekerja senior mengalami peningkatan rasa cemas ketika teringat bahwa mereka pernah bersikap kasar pada Falisha.Winata menyapu wajah cemas para karyawannya untuk terakhir kali sebelum melanjutkan perkataannya, “Sekarang, posisi saya akan digantikan oleh Nona Falisha. Saya yakin kafe ini akan berkembang lebih baik di bawah kepemimpinan seorang talenta muda yang sangat luar biasa!”Setelah meminta maaf kepada seluruh karyawan, Winata menutup sambutan singkatnya dan mengundang Falisha untuk naik ke atas panggung.Berdiri di atas panggung dengan lutut gemetar, Falisha membasahi kerongkongan yang terasa kering. Tatapannya tertuju pada Gallen selama bebe
Gallen menggaruk telinga dengan jari kelingking. Apa dia tidak salah dengar? Laura memintanya kembali? Mimpi saja sana!Dia bukan lelaki bodoh yang mudah untuk ditipu. Pengusiran dirinya di pesta Rosetta sudah cukup memberinya gambaran yang sangat jelas tentang sosok Laura. Gadis itu tidak benar-benar tulus mencintainya.Laura hanya menginginkan kebanggaan dari dirinya. Lupakan saja! Wanita seperti itu tidak pantas untuk dicintai sepenuh hati, apalagi sepenuh jiwa. Bisa-bisa nanti dia sakit jiwa karena dicampakkan berulang kali bila tak ada lagi kebanggaan yang mampu dia berikan kepada gadis itu.“Pulanglah! Tidak baik mempermalukan dirimu sendiri.”“Aku bukan sedang mempermalukan diriku! Aku hanya ingin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!”Laura sungguh keras kepala. Dia berusaha menggelayut di lengan Gallen. Ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap Gallen pada Falisha.Gallen berkelit sedikit menjauh
Laura mengeritkan gigi. Ia terpaksa menahan dongkol saat pengawal wanita paruh baya itu menghempaskan tangannya. “Memangnya dia pikir dia siapa?” omel Laura, menatap tajam pada punggung wanita paruh baya yang melangkah keluar kafe, “lihat saja! Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!” “Ehem!” Winata berdeham. Ia merasa risi menjadi penonton perdebatan dan tingkah konyol Laura. Terlebih lagi setelah dilihatnya Gallen hanya diam. Sikap santai lelaki itu justru membuat bulu kuduknya meremang. Akan lebih nyaman baginya bila Gallen memintanya untuk segera membereskan kekacauan itu atau memanggil petugas keamanan. Membiarkan dirinya menyaksikan semua keributan itu tanpa tahu mesti berbuat apa sungguh sebuah penyiksaan batin yang lebih menakutkan daripada tebasan pedang. “Sebaiknya Anda membiarkan masalah ini cukup sampai di sini, Nona. Silakan pulang dan tenangkan diri Anda!” “Anda siapa? Apa hak Anda mengusir saya?” “Ah, perken
“Hahaha … percuma! Sampai mati pun Gallen tidak akan pernah meninggalkan Falisha.” “Ah, jadi nama gadis itu Falisha? Cantik! Secantik orangnya.” Sebuah pukulan keras bersarang di punggung Joe. “Aakh! Laura? Kenapa kau memukulku?!” jeritnya, berusaha menjangkau ke belakang untuk mengelus bekas tepisan Laura yang terasa panas dan perih. “Mau kutambah lagi agar kamu menyadari kesalahanmu?” “Dasar wanita bar-bar! Mana ada lelaki yang tahan diperlakukan dengan kasar.” Laura mendelik. “Kamu yang memintaku datang ke sini, tapi kamu tidak membantuku sama sekali. Dasar sepupu tidak berguna!” “Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak begitu mengenal mantan pacarmu itu. Lagi pula, sebagai lelaki, aku tahu bagaimana rasanya dipermalukan.” Joe membuang napas berat, seperti menyesali sesuatu. “Menurutku, kau memang keterlaluan saat itu.” “Jadi sekarang kamu menyalahkanku?” Laura tak terima Joe melempar kesalahan kepada dirinya. Buk
“Tuan!” Willy memanggil Dirga. Lelaki itu sedang duduk di balkon kamar hotel sambil membaca koran. Ditemani segelas jus dan kudapan rendah gula yang dipesan khusus. Dirga melipat lembaran koran, menaruhnya di atas meja. “Sepertinya kau sangat menikmati peranmu sebagai seorang wanita,” ujarnya, tersenyum samar pada Willy. “Maaf, Tuan! Saya terlalu buru-buru dan tidak hati-hati.” Willy membungkuk, lalu mundur beberapa langkah. Sekilas dia melirik pada bayangan dirinya dari pantulan kaca jendela. “Ish! Saya benar-benar ceroboh!” Willy tersenyum kecut. Jarinya bergerak lincah mencabut helaian bulu mata palsu, kemudian menyimpannya ke dalam kantong baju. “Kau mendapatkan sesuatu?” Dirga meraih kembali lembaran koran dari atas meja. “Tidak salah lagi, Tuan. Dia benar-benar cucu Anda.” “Hem! Katakan!” “Dia mengelola sebuah bengkel kecil, tapi … dia tidak sesederhana kelihatannya. Saya yakin, dia tidak akan meng
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada