Sebagian dari karyawan kafe Rainbows sudah mendengar desas-desus akan adanya pergantian pimpinan semenjak kemarin malam. Rasanya seperti mimpi di siang hari, mengetahui karyawan baru akan beralih status menjadi bos.
Setiap orang sibuk mengulik kilas balik perbuatan mereka terhadap Falisha. Beberapa pekerja senior mengalami peningkatan rasa cemas ketika teringat bahwa mereka pernah bersikap kasar pada Falisha.
Winata menyapu wajah cemas para karyawannya untuk terakhir kali sebelum melanjutkan perkataannya, “Sekarang, posisi saya akan digantikan oleh Nona Falisha. Saya yakin kafe ini akan berkembang lebih baik di bawah kepemimpinan seorang talenta muda yang sangat luar biasa!”
Setelah meminta maaf kepada seluruh karyawan, Winata menutup sambutan singkatnya dan mengundang Falisha untuk naik ke atas panggung.
Berdiri di atas panggung dengan lutut gemetar, Falisha membasahi kerongkongan yang terasa kering. Tatapannya tertuju pada Gallen selama bebe
Gallen menggaruk telinga dengan jari kelingking. Apa dia tidak salah dengar? Laura memintanya kembali? Mimpi saja sana!Dia bukan lelaki bodoh yang mudah untuk ditipu. Pengusiran dirinya di pesta Rosetta sudah cukup memberinya gambaran yang sangat jelas tentang sosok Laura. Gadis itu tidak benar-benar tulus mencintainya.Laura hanya menginginkan kebanggaan dari dirinya. Lupakan saja! Wanita seperti itu tidak pantas untuk dicintai sepenuh hati, apalagi sepenuh jiwa. Bisa-bisa nanti dia sakit jiwa karena dicampakkan berulang kali bila tak ada lagi kebanggaan yang mampu dia berikan kepada gadis itu.“Pulanglah! Tidak baik mempermalukan dirimu sendiri.”“Aku bukan sedang mempermalukan diriku! Aku hanya ingin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!”Laura sungguh keras kepala. Dia berusaha menggelayut di lengan Gallen. Ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap Gallen pada Falisha.Gallen berkelit sedikit menjauh
Laura mengeritkan gigi. Ia terpaksa menahan dongkol saat pengawal wanita paruh baya itu menghempaskan tangannya. “Memangnya dia pikir dia siapa?” omel Laura, menatap tajam pada punggung wanita paruh baya yang melangkah keluar kafe, “lihat saja! Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!” “Ehem!” Winata berdeham. Ia merasa risi menjadi penonton perdebatan dan tingkah konyol Laura. Terlebih lagi setelah dilihatnya Gallen hanya diam. Sikap santai lelaki itu justru membuat bulu kuduknya meremang. Akan lebih nyaman baginya bila Gallen memintanya untuk segera membereskan kekacauan itu atau memanggil petugas keamanan. Membiarkan dirinya menyaksikan semua keributan itu tanpa tahu mesti berbuat apa sungguh sebuah penyiksaan batin yang lebih menakutkan daripada tebasan pedang. “Sebaiknya Anda membiarkan masalah ini cukup sampai di sini, Nona. Silakan pulang dan tenangkan diri Anda!” “Anda siapa? Apa hak Anda mengusir saya?” “Ah, perken
“Hahaha … percuma! Sampai mati pun Gallen tidak akan pernah meninggalkan Falisha.” “Ah, jadi nama gadis itu Falisha? Cantik! Secantik orangnya.” Sebuah pukulan keras bersarang di punggung Joe. “Aakh! Laura? Kenapa kau memukulku?!” jeritnya, berusaha menjangkau ke belakang untuk mengelus bekas tepisan Laura yang terasa panas dan perih. “Mau kutambah lagi agar kamu menyadari kesalahanmu?” “Dasar wanita bar-bar! Mana ada lelaki yang tahan diperlakukan dengan kasar.” Laura mendelik. “Kamu yang memintaku datang ke sini, tapi kamu tidak membantuku sama sekali. Dasar sepupu tidak berguna!” “Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak begitu mengenal mantan pacarmu itu. Lagi pula, sebagai lelaki, aku tahu bagaimana rasanya dipermalukan.” Joe membuang napas berat, seperti menyesali sesuatu. “Menurutku, kau memang keterlaluan saat itu.” “Jadi sekarang kamu menyalahkanku?” Laura tak terima Joe melempar kesalahan kepada dirinya. Buk
“Tuan!” Willy memanggil Dirga. Lelaki itu sedang duduk di balkon kamar hotel sambil membaca koran. Ditemani segelas jus dan kudapan rendah gula yang dipesan khusus. Dirga melipat lembaran koran, menaruhnya di atas meja. “Sepertinya kau sangat menikmati peranmu sebagai seorang wanita,” ujarnya, tersenyum samar pada Willy. “Maaf, Tuan! Saya terlalu buru-buru dan tidak hati-hati.” Willy membungkuk, lalu mundur beberapa langkah. Sekilas dia melirik pada bayangan dirinya dari pantulan kaca jendela. “Ish! Saya benar-benar ceroboh!” Willy tersenyum kecut. Jarinya bergerak lincah mencabut helaian bulu mata palsu, kemudian menyimpannya ke dalam kantong baju. “Kau mendapatkan sesuatu?” Dirga meraih kembali lembaran koran dari atas meja. “Tidak salah lagi, Tuan. Dia benar-benar cucu Anda.” “Hem! Katakan!” “Dia mengelola sebuah bengkel kecil, tapi … dia tidak sesederhana kelihatannya. Saya yakin, dia tidak akan meng
Polisi itu melirik Gallen sekilas. Ayunan langkahnya mantap menghampiri ranjang pasien. “Kak Regan! Syukurlah Kakak akhirnya datang!” Bayu menyeringai pada Gallen. ‘Tamat riwayatmu sekarang!’ ejek Bayu lewat tatapan matanya, yakin bahwa Gallen akan mendapatkan pelajaran dalam waktu singkat. “Kali ini Kakak harus membalaskan dendam ayahku!” Bayu berlari menyongsong polisi itu. “Dia yang telah membuat ayahku celaka!” Telunjuk Bayu mengarah, tepat ke wajah Gallen. “Borgol dan bawa dia!” Regan memerintahkan dua anak buahnya untuk menangkap Gallen. Nada suaranya tegas dan menggelegar. Memancarkan wibawa yang menakutkan. “Tunggu! Aku yakin terjadi kesalahpahaman di sini!” Namun, dua anak buah Regan tidak menggubris protes dari Gallen. Dengan beringas mereka mendorong Gallen dan membawanya pergi dari ruangan tersebut. Bayu mengacungkan dua jempol pada Gallen, lalu memutarnya ke bawah sambil menjebil. Binar kepuasan me
Gallen tersenyum kecut begitu tubuhnya didorong paksa untuk masuk ke dalam kerangkeng besi. Dikibasnya pakaian, menghapus jejak tangan dua oknum polisi.Sesaat diamatinya ruang sempit itu. Gelap dan lembap. Miris sekali! Penegak hukum menjatuhkan vonis bersalah kepadanya sebelum sidang. Ini jelas tidak sesuai dengan peraturan.Langkah kaki mendekat. Gallen memutar kepala, mengalihkan pandangan dari dinding kelam ke lorong sempit di luar terali. Tampak Kenzie datang, didampingi seorang oknum polisi.Gallen memasang wajah datar. Dia tahu kehadiran Kenzie bertujuan untuk membebaskannya.“Anda boleh keluar sekarang!” ujar aparat polisi tersebut.Gallen meninggalkan sel tahanan sementara tanpa mengucap sepatah kata. Di zaman di mana segala norma kehilangan daya, uang memang lebih berkuasa.“Kinerjamu semakin bagus!” puji Gallen, menikmati pemandangan di luar jendela mobil.Kenzie sedikit kikuk. “Ah, i–itu … maaf. Sebenarnya aku terlambat.”“Lalu, siapa?”“Aku juga tidak tahu. Saat aku tiba,
Sial, tatapan dingin Gallen memaksa Kenzie untuk kembali mengunci mulut. Merepotkan sekali! Kalau saja Gallen tidak keukeh untuk menyembunyikan identitasnya, hal memalukan seperti ini tidak perlu terjadi.“Aku ke sini hanya untuk memenuhi undangan, bukan mengemis,” kata Gallen, tetap memasang wajah datar.“Terus saja membual!”“Hanya orang bodoh yang akan percaya pada kata-katamu.”Kedua pengawal itu tergelak serentak. Dianggapnya kejujuran Gallen tak lebih dari sebuah lelucon anak kecil yang sedang terhanyut dalam imajinasi konyol.Puas tertawa, salah satu dari mereka menepuk keras pundak Gallen, lalu berkata dengan air muka berubah serius, “Dengar, Bung! Kau boleh saja punya mimpi dan ingin merasakan cita rasa masakan mewah, tapi … tidak di sini tempatnya.”Pengawal itu memutar kepala dan mendaratkan pandangan pada papan nama ruangan yang ia jaga. Dia menyeringai sinis saat tatapannya
“Kenapa mereka belum datang?” Willy melirik arloji di pergelangan tangannya. Lebih dari satu jam dia menunggu di ruangan tertutup itu. Diraihnya ponsel di atas meja, lalu men-scroll berulang kali. “Akh, sial! Seharusnya aku meminta nomor ponsel lelaki itu tadi!” Willy menutup ponselnya dengan kesal. Dia terlalu ceroboh. Merasa yakin akan keberhasilannya dalam menyelesaikan tugas, dia lalai. “Jangan-jangan ….” Willy hengkang dari tempat duduknya. Suara gaduh di luar mengusik perhatiannya. Tiba-tiba butiran keringat mengalir deras di keningnya. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Gallen, Dirga pasti tidak akan memaafkan kesalahannya. Willy mengutuk diri sendiri lantaran terlalu terhanyut dengan pekerjaannya selama menunggu kehadiran Gallen dan Kenzie. Di luar pintu, suasana masih bersitegang. Lenon tak membiarkan Gallen mengikuti Kenzie. “Kalau begitu, silakan Anda hubungi tamu ruangan ini!” Gallen memerintah dengan nada di
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada