Seorang lelaki dengan langkah agak terburu-buru berjalan diteras asrama seperti tengah mencari seseorang.
Kepada seorang anak iya bertanya.“Nak, Bang Mohzan nya ada disini..??”“Ada Pak..! Bang Mohzan masih dikelas.” sahut anak itu sambil menunjuk sebuah ruangan.Lelaki berpakaian rapi itu mengucapkan terima kasih dan menuju ruangan yang ditunjuk oleh anak tadi. Disana ia agak terpaku untuk menimbang, apakah ia harus menunggu atau mengetuk pintu dan permisi menemui Mohzan sebentar.Setelah berfikir sejenak, lelaki itu nampaknya memutuskan untuk menunggu saja. Ia duduk disebuah bangku panjang yang tersedia didepan ruangan itu.Didalam ruangan terdengar aktivitas belajar dan mengajar. Sekali-kali terdengar peserta bimbingan belajar bertanya kepada Mohzan. Dan Mohzanpun menjawab dan menjelaskan soal yang ditanyakan anak tersebut.Tak lama proses belajar mengajar usai. Para peserta bimbingan belajar menghambur keluar.“Sudah lebih dari dua minggu kita mencari Tuan Junara, tapi kita belum menemukan apa-apa.” Ujar Jery kepada Dika ketika mereka tengah beristirahat siang. Mereka duduk di bawah sebuah pohon yang cukup rindang di halaman samping cucian motor tempat mereka bekerja.“Sabar Jery... Kita pasti akan menemukan Tuan Junara dan keluarganya. Nanti malam kita akan coba lagi menyusuri beberapa tempat. Mana tahuan nasib baik kita bisa menemukan Tuan Junara.” Sahut Dika menghibur Jery yang terlihat mulai putus asa.Jery membuang pandangan agak jauh kedepan. Disana penglihatannya menangkap sesuatu yang membuat hatinya curiga.“Ada apa Jer..???” Dika heran melihat mata Jery melotot ke suatu arah.“Lihat Bang, sepertinya Jery mengenal ibu itu..!!” Jawab Jery sambil menunjuk seorang wanita yang tengah berbicara dengan dua orang lelaki. Tangan wanita itu menunjuk ke arah sebuah rumah.“Yang mana...??” Dika makin penasa
“Baaang..!!! ada kebakaran Baaang...!!” Teriak Jery histeris memanggil Dika.“Kebakaraan..?! Kebakaran dimana Jer..??”“Diseberang jalan Baaang..! Teriak Jery kembali berlari keluar.Dika tersentak kaget. Nasi bungkus yang tengah dia buka ia tinggalkan begitu saja. Dika segera berlari menyusul Jery yang sudah lebih dahulu keluar dari mess mereka bekerja.“Ooh, apinya sudah sangat besar.” Dika dan Jery terlihat ikut panik.Hiruk pikuk suara terdengar dari tempat kejadian yang berseberangan jalan dari tempat pencucian motor tempat Dika dan Jery bekerja.Jeritan minta tolong terdengar jelas dari dalam rumah yang terbakar itu.Lalu dua sosok tubuh manusia nampak selamat keluar dari rumah yang makin dikobari si jago merah tersebut.Sementara rumah itu kini sudah dikelilingi api. Tiupan angin yang cukup kencang menambah cepat api itu membesar.Orang yang datang tidak ada yang berani te
Tiga ambulan berkejaran dengan waktu. Tiga jiwa tengah berada diambang kematian. Sirine berteriak membuat malam itu semakin terasa mencekam. Tak lama berselang ketiga kendaraan ambulan tipe minibus itu terparkir di halaman rumah sakit yang luas. Para perawat berhamburan keluar menjemput tiga pasien yang tengah sekarat. Dengan sigap mereka menaikkan ketiga tubuh yang tergolek tak berdaya itu ke atas kereta dorong lalu membawa mereka ke ruang ICU.Memang tidak ada luka bakar yang berarti ditubuh masing-masing korban, namun nafas ketiga pasien itu hanya tinggal satu-satu. Gerakan dada mereka juga terlihat sangat lemah.Wajah-wajah para pengabdi medis terlihat tegang dan terus berusaha sekuat kemampuan yang ada. Mereka mengambil bagian tugas masing-masing untuk mempertahankan nyawa Tuan Besar Sudarta dan Dika serta Jery.Tuan Junara segera menyusul ambulan itu dengan sepeda motornya. Sedangkan Astuti dan Alpan diantar dengan sebuah mobil oleh seorang tetangga yang berbaik
Pagi itu halaman dan koridor rumah sakit agak terlihat sesak. Kebanyakan orang yang datang adalah dari insan pemburu berita. Kemunculan Tuan Junara dan Tuan Besar Sudarta yang terjadi dengan cara tiba-tiba membuat dunia seakan tersentak. Kedua sosok lelaki ini memang merupakan figur kesayangan di semua kalangan. Mereka dikenal sebagai pengusaha yang sangat ramah dan rajin berbagi.Tidak sedikit pula diantara mereka yang datang meneteskan air mata, menangis dan berdoa agar keluarga Tuan Junara segera lepas dari permasalahan yang tengah membelenggu kehidupan keluarga mereka.Karena pengunjung semakin membludak, itu tentu sangat mengganggu kegiatan dokter dan pasien di rumah sakit itu. Dengan segala pertimbangan yang matang akhirnya pihak rumah sakit membuat keputusan untuk menutup sementara pintu utama rumah sakit tersebut. Para awak media diberikan tempat disisi halaman rumah sakit itu.Disana didirikan tenda sementara dan beberapa puluh kursi palstik. Bagaimanap
Tuan Junara masih merasa enggan melepaskan rangkulannya dipundak Mohzan putranya. Ingin ia lepaskan seluruh beban rindu yang ia tanggung selama lebih dua puluh tahun lamanya.Perlahan Desma mendekat, ia berjalan perlahan sambil menundukkan kepalanya.“Mas Juna...! Maafkan Desma..!” Hanya itu yang mampu ia katakan setelah ia berada didekat Tuan Junara dan Mohzan.Tuan Junara memalingkan wajahnya yang ia benamkan dibahu Mohzan kepada Desma. Ia lepaskan rangkulan tangannya dibahu putranya itu dengan perlahan. Sejenak ditatapnya wajah Desma yang sembab karena uraian air mata.“Desma..?!”Desma mengangkat wajahnya yang tadi ia tundukkan. Rasa bersalah terukir nyata lewat pandangan matanya.“Desma istriku...!!!” Seru Tuan Junara tertahan dan memeluk Desma dengan erat.Desma juga membalas pelukan Tuan Junara. Mereka menangis dalam kebahagiaan yang telah nyata menjelma.“Semua ini bukan salah Desma..! Tapi ada
Tuan Besar Sudarta tersenyum melihat Tuan Junara datang menggandeng Mohzan. Wajahnya kini sudah terlihat segar walau masih agak lemah.“Papa..!!” Tuan Junara menyalami dan mencium punggung tangan Tuan Besar Sudarta.“Papa sudah kelihatan sehat.” Sambung Tuan Junara sumringah.“Iya.. alhamdulillah.” Sahut Tuan Besar Sudarta lirih.Mohzan mengulurkan tangan menyalami Tuan Besar Sudarta. Ia juga mencium punggung tangan lelaki tua itu.“Kakeeek..!!” Ujar Mohzan dengan suara serak.Tuan Besar Sudarta mengangkat tangan kirinya dan mengusap kepala Mohzan. Dua anak air mulai merembes dari kedua ruang matanya.“Mohzan cucuku..!!” Ucapnya lirih dan haru.“Kakek cepat sembuh yaa..” Kata Mohzan tersenyum lembut menatap Tuan Besar Sudarta.“Yaaah... Sebentar lagi Kakek akan sembuh dan bisa berkumpul dengan kalian.” Jawab Tuan Besar Sudarta penuh semangat.Tuan Bes
"Hahaha... Kau pikir kau bisa melawan aku hah..??? Dasar anak pungut tak tahu diuntung..!” Hardik Naira sambil menendang tubuh Alpan yang tergolek dilantai.Alpan kaget mendengar kata anak pungut yang dilontarkan oleh Naira kepadanya. Rasa penasarannya terjawab sudah. Pantas Naira tega ingin menghabisinya.“Katakan siapa orang tuaku sebenarnya.” Tanya Alpan lirih dengan mata menyipit yang ia sembunyikan ke lantai.Ia pura-pura seakan sudah benar-benar tidak berdaya.“Orang tuamu...???”“Buat apa kau menanyakan itu, toh sebentar lagi kau akan mati..!” Naira mendesis sinis melototkan matanya kepada Alpan.“Baik..! Jika kau tidak memberi tahu siapa orang tuaku, maka aku juga tidak akan memberi tahumu dimana aku menyembunyikan dokumen-dokumen milik Kakek.” Sahut Alpan memancing. Padahal ia sebenarnya juga tidak tahu dimana dokumen-dokumen itu kini berada.Waktu Naira dan anak buahnya mengejar diriny
"Ada tamu untukmu..!”Tuan Satya menggangguk lalu mengikuti langkah petugas polisi yang membawanya keruang khusus untuk menerima tamu bagi para tahanan.Tuan Satya memang masih menempati ruang tahanan polisi karena harus menunggu persidangan terakhir untuk mengetahui nasibnya.“Alpan..???”Tuan Satya kaget begitu melihat siapa yang datang menjenguknya. Selama ia ditahan, baru ini pertama kalinya Alpan datang menjenguknya.Alpan mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk menatap meja tempat ia melipat kedua tangannya.Tuan Satya menarik kursi didepan meja dan duduk berhadapan dengan Alpan.“Apa kabarmu..?” Tanya Tuan Satya nampak kaku.Semenjak ia mendengar berita bahwa Alpan telah bekerja sama dengan Naira merebut harta keluarganya, Tuan Satya merasa hatinya sudah tidak nyaman kepada Alpan.“Alpan sudah tahu Pa... Kalau Alpan bukan anak Papa. Alpan bukan siapa-siapa dalam keluarga besar Sudarta
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama