Desma membalikkan badan dan melangkah kedalam rumah. Dari balik daun pintu kamar Astuti terdengar suara memanggil. "Desma..! Sini kamu..!"
"Iya Ma..!" Jawab Desma mendekati daun pintu kamar ibu mertuanya yang sedikit terbuka. "Masuk..!" Terdengar suara perintah dari Astuti.Desma mendorong pelan daun pintu agar terbuka lebih lebar lalu ia perlahan mendekati Astuti yang nampak sedang asyik menyuruh Bik Sumi menurunkan beberapa pakaian yang dipajang didalam lemari kaca.
Sebuah gaun berwarna krem dengan belah dada rendah sudah berada ditangannya. Dan diatas sebuah meja berwana hitam telah tertumpuk pula beberapa kotak perhiasan.
"Coba kamu pakai gaun ini..! Ini Mama beli dua minggu yang lalu di Paris. Belum pernah dipakai sama sekali. Sepertinya cocok dengan ukuran badanmu..!" Ujar Astuti sambil menyodorkan gaun itu pada Desma. Sikapnya nampak manis dan tidak seperti biasa.
Desma menerima agak sedikit ragu. Melihat modelnya saja sudah membuat bulu kuduk Desma tegak berdiri. Gaun dengan belahan dada rendah jelas-jelas memamerkan kedua payudaranya. Bagian rok yang juga berbelah sampai ke pangkal paha pasti akan membuat syur mata lelaki yang memandang. Ditambah lagi gaun itu tanpa lengan dan sangat ketat tentu saja seperti memakai busana namun telanjang.
Tapi karena tidak ingin membuat Ibu mertuanya marah, Desma tetap menerima gaun itu dan mencobanya.
"Nah seperti itu kamu nampak berkelas..!" Seru Astuti nampak senang.ia mengelilingi dan mematut penampilan baru Desma menantunya.Astuti lalu menyuruh Desma memakai perhiasan mulai dari kalung, gelang dan beberapa cincin yang semuanya terbuat dari logam mulia bermata berlian yang harganya mungkin melebihi harga 10 unit bus kota.
Satu persatu perhiasan itu dipakaikan Bik Sumi ke tubuh Desma. Mulai dari kalung, kemudian gelang dan jam tangan, lalu terakhir sebuah cincin bermata berlian besar yang dipakai dijari telunjuk. Astuti memandang dengan puas. Senyumnya mengembang menghiasi bibirnya yang dilapisi lipstik buatan negara Paris.
Astuti menyuruh Desma bercermin disebuah kaca besar yang ada disudut ruangan itu. Desma menutup matanya lalu beberapa saat kemudian ia membukanya perlahan dan mencoba menyaksikan penampilan barunya dalam pantulan cermin besar itu.
"Ya Allah..!!!" Desma nampak terkejut melihat dirinya didalam cermin. Sepasang buah dadanya yang putih ranum menyembul diantara belahan gaun yang rendah. Pahanya sebelah kanan juga menyembul ketika kakinya melangkah karena bagian bawah kanan gaun itu memang berbelah sampai ke pangkal paha. Sebuah kancing berkilau disematkan disitu untuk mempermanis penampilan si pemakai busana itu.
Desma meraba perhiasan yang bergantungan ditubuhnya. Ia merasa risih memakai itu semua. "Disaat banyak orang menahan lapar, aku tidak pantas memamerkan kemewahan seperti ini." Protes bathin Desma.
"Bagaimana..? Kamu suka..?" Tanya Astuti mendekati Desma yang nampak bengong dihadapan cermin."Maa..! Maafkan Desma. Sepertinya Desma tidak cocok dengan busana seperti ini. Busana ini terlalu mengumbar aurat Ma. Apalagi perhiasan ini. Sungguh tidak baik rasanya dipakai sementara masih banyak orang yang menahan lapar diluar sana Ma." Ucap Desma pelan dan berhati-hati agar Ibu mertuanya tidak tersinggung.
Wajah Astuti langsung berubah menjadi merah padam. Sikapnya yang tadi manis kini berubah bengis. Kemarahan jelas terpancar dari pandangan matanya yang menyorot tajam.
"Hei Desma..! Kamu tahu tidak hah...?! Kemana saja kamu melangkah banyak kamera yang menyorot penampilanmu. Wajah dan penampilanmu akan dilihat banyak orang di seluruh Indonesia bahkan dunia. Kamu itu istri pengusaha kaya yang memiliki banyak perusahaan bahkan stasiun televisi. Kamu mau mempermalukan keluarga kami hah..?! Hardik Astuti dengan sangat marah sambil menunjuk wajah menantunya.
"Oke kalau kamu tidak mau memakau gaun ini, siniii... cepat buka..!!" Astuti berteriak marah dan menarik gaun yang dipakai Desma. Desma kemudian menanggalkan gaun itu dan menggantinya dengan pakaian yang ia kenakan semula. Semua perhiasan kini juga sudah teronggok diatas meja hitam.
Bik Sumi bergegas pergi meninggalkan kamar itu karena ketakutan melihat kemarahan Nyonya besarnya. Suasana semakin tidak kondusif.
Desma menatap lembut wajah Ibu mertuanya yang terbungkus emosi. Perlahan Desma berkata " Ma, sebenarnya manusia itu dihargai bukan karena hartanya Ma. Tapi tergantung bagaimana kita menghargai orang lain. Justru karena keluarga kita selalu tampil diberbagai berita dan acara di televisi, semua mata memandang kita. Orang kaya tentu akan senang melihatnya Ma. Tapi bagaimana dengan orang miskin yang mungkin saja sedang menahan lapar. Mereka akan sedih Ma. Jika memang kita banyak rejeki, apakah tidak lebih baik kita membantu mereka. Atau sekurang-kurangnya kita membatasi diri untuk tidak tampil bermegahan dihadapan orang-orang yang sedang meratapi nasibnya yang kurang beruntung."
Kata-kata Desma bukannya membuat dingin hati Astuti. Wejangan menantunya itu seakan menguliti dirinya.
"Hei...!! Pintar sekali kamu menceramahi aku. Kamu pikir kami tidak pernah bersedekah hah..?? Semua masyarakat tahu berapa triliun uang yang keluarga kami hamburkan untuk membantu orang-orang miskin. Kalau toh mereka masih kelaparan itu berarti mereka yang malas berusaha dan selalu mengharap bantuan." Bantah Astuti sengit. Ia tidak terima dengan apa yang diucapkan Desma.
Desma kehilangan akal memberikan pengertian kepada Ibu mertuanya itu. Astuti memang terkenal sombong dan kalau toh dia memberi kepada orang lain, maka itu harus disiarkan di televisi dan media sosial. Ia tidak suka orang lain membantahnya. Astuti ingin semua orang menyanjung dan memujanya.
"Baik .! Kalau kamu merasa keberatan dengan aturan dirumah ini maka detik ini juga kamu harus keluar dari rumah ini..!" Suara bentakan Astuti menggelegar bagaikan sebuah bom molotov meledak.
"Maa..! Mama bicara apa..?" Desma terperanjat mendengar ultimatum yang dikumandangkan Ibu mertuanya itu. Namun Astuti sudah seperti kesetanan. Ia meraih lalu mendorong tubuh Desma keluar kamarnya. Dan bukan sampai disitu saja, Astuti kemudian menyeret Desma sampai ke pintu pagar, lalu dengan kasar ia kembali mendorong tubuh Desma keluar.
"Maaaa..!!!" Desma menangis dan memanggil Astuti berkali-kali.
Dua orang petugas satpam yang bertugas dipintu gerbang nampak terkejut. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa."Tutup dan kunci pintu pagar..!!" Perintah Astuti tegas kepada mereka. Kedua satpam itu dengan berat hati melaksanakan perintah Astuti.
"Jangan coba-coba menceritakan kejadian ini kepada siapapun...!" Tambah Astuti mengancam kedua satpam itu lalu pergi meninggalkan Desma yang berulang kali memanggilnya.Setelah berulang kali memanggil Ibu mertuanya tapi tetap tidak diindahkan Astuti, Desma kemudian perlahan bangkit dan mulai berjalan tanpa alas kaki. Ia memutuskan untuk pergi dari keluarga itu. Desma juga tidak berkeinginan untuk menemui Arjuna suaminya atau Tuan Besar Sudarta ayah mertuanya. Desma tidak mau kehadirannya dirumah itu hanya membuat ketidaknyamanan terhadap Ibu mertuanya.
Dengan menggunakan sehelai selendang tipis Desma menutup wajahnya dan meninggalkan tempat itu. Ia tidak mau dilihat orang atau wartawan apalagi sampai masuk berita yang tentu akan mencoreng nama baik keluarga suaminya. Desma memandang cincin dijarinya. Satu-satunya harta berharga yang ia punya hanya cincin itu.
Lalu dengan menumpang ojek Desma kemudian mencari toko yang bisa membeli cincin itu. Walaupun terpaksa Desma harus menjualnya. Ia pun memahami bahwa cincin itu hanya bisa dijual dengan harga jauh dibawah standar. Tapi setidaknya itu bisa menyelamatkan hidupnya saat ini.
*********Dengan bermodalkan hasil penjualan cincin pernikahannya dengan Arjuna, Desma memulai hidup baru yang lebih mandiri. Ia menyewa sebuah warung kecil dipinggiran kota Jakarta dan mulai membuka usaha sarapan pagi.Berbagai menu makanan ia sediakan disana. Mulai dari lontong, lotek, nasi goreng, mi rebus serta mi goreng.Seminggu membuka usaha barunya sudah mulai banyak pelanggan yang datang. Desma mulai disibukkan aktifitas barunya sehingga sedikit demi sedikit ia bisa melupakan kesedihan hatinya karena berpisah dengan Arjuna suaminya.Menurutnya, ia memang tidak pantas berada disamping Arjuna yang hanya akan memberi dampak buruk kepada keluarga suaminya itu. Dengan berdiri sendiri Desma bebas mengatur kehidupannya sendiri. Kebiasaannya yang suka menolong orang-orang yang membutuhkan tidak sesuai dengan prinsip ibu mertuanya. Tapi sekarang ia bebas melakukan aksi sosial tanpa ada lagi yang melarang.Setiap pagi Desma sela
Desma sudah pindah ke warungnya yang baru. Bersamanya kini telah tinggal ibu tua yang ternyata bernama Ibu Aisyah. Desma menganggap Ibu Aisyah seperti ibu kandungnya sendiri. Kini Ibu Aisyah tidak kuma dan lusuh lagu. Desma membelikan beberapa potong pakaian untuknya. Selain itu Desma juga melarang Bu Aisyah memanggil namanya dengan embel-embel 'Ibu'."Cukup panggil Desma saja." Ucap Desma ketika mereka mulai tinggal bersama.Ibu Aisyah sangat bahagia diperlakukan sangat baik oleh Desma. Ia merasa punya keluarga sekarang. Hidupnya yang biasa sunyi tanpa perhatian, kini telah berubah. Sebuah kehidupan yang tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya.Desma tidak pernah keberatan menyayangi dirinya bahkan Desma dengan penuh kasih merawatnya ketika ia jatuh sakit.Ibu Aisyah juga sangat menyayangi Desma.Bulan ke bulan perut Desma nampak semakin membesar. Ibu Aisyah terkadang merasa sudah tidak sabar menanti calon
Ibu Aisyah kini punya kegiatan baru. Setiap pagi siang dan malam ia sibuk merawat cucunya dan juga Desma. Untuk dua minggu ke depan mereka memutuskan untuk menutup warung tempat usaha mereka agar Ibu Aisyah lebih fokus mengurus bayi mungil yang baru dilahirkan Desma dan juga merawat ibunya.Sudah seminggu lebih usia si bayi namun Desma belum juga menemukan nama yang cocok untuk putranya itu. Beberapa orang kenalan yang datang menyumbangkan nama tapi belum satupun yang dirasa berkenan dihati Desma dan Ibu Aisyah. Sedangkan waktu terus saja berlalu. Bayi yang sementara dipanggil si Buyung itu memperlihatkan pertumbuhan yang sangat cepat.Pada hari ke empat puluh Desma bermimpi bertemu dengan seorang orang tua berjenggot putih. Ketika terbangun ia menceritakan mimpinya itu kepada Ibu Aisyah."Lalu apa yang dilakukan orang tua berjenggot putih itu kepada cucuku..? Tanya Bu Aisyah ingin tahu."Beliau memanggilk
"Ayooo kejar Ranggaa... Tendaaang..!! Hahha.. kamu hebat juga..!" Mohzan menyoraki Rangga yang sedang bermain dilapangan bola. Rangga yang baru saja berhasil menjebol gawang lawan nampak tertawa bahagia. Ia mengacungkan jempol tangannya kepada Mohzan yang terus memberi semangat dipinggir lapangan. Anak itu baru berumur 13 tahun, kemampuannya bermain bola sudah diatas rata-rata teman sebayanya.Kesebelasan Rangga nampak berpelukan ditengah lapangan. Wasit meniup pluit dan permainan bola kembali dimulai.Sekarang bola dikuasai oleh adit kesebelasan lawan. Adit mengoper kepada Ryan. "Oper kembali ke Adit Yaaan...! Ya ya begitu.... Tendang Diiiit...!!! Hahhaha gooool...!!!" Mohzan berteriak senang melihat adik-adik angkatnya bermain.Kedua kesebelasan bermain penuh semangat. Keringat membanjiri tubuh kecil mereka. Mohzan kemudian memberi isyarat untuk menyudahi permainan. Anak-anak dari kedua kesebelasan itu membubarkan diri dan ber
Adzan magrib sudah berkumandang dari pengeras suara di sebuah mesjid yang tidak begitu jauh dari bangunan kosong tempat tinggal para tuna wisma dan anak jalanan.Mohzan dan rombongannya baru saja memasuki bangunan yang agak tua itu. Bangunan terbengkalai itu nampaknya akan dibangun sebuah Mall. Tapi karena pihak pengelola tidak bisa menyelesaikan izin membuat bangunan dari pemerintah, maka bangunan besar itu sampai kini terbengkalai begitu saja. Karena kosong, tempat itu akhirnya menjadi rumah bagi para tuna wisma.Hari sudah mulai gelap pertanda malam akan segera menjelang. Puluhan anak-anak jalanan nampak tengah berwudhu dengan air yang ada didalam beberapa drum plastik. Drum plastik itu memang sengaja digunakan untuk menampung air hujan. Air itu digunakan oleh mereka yang tinggal disana untuk mandi dan keperluan sehari-hari. Tapi jika musim panas tiba, maka sudah barang tentu mereka tidak bisa menampung air. Tapi syukurlah tidak jauh dari gedung tu
Assalamualaikum..!""Waalaikumsalam" Desma dan nenek Aisyah serempak menjawab salam dari Mohzan yang sudah berdiri diambang pintu. Pakaian dan wajahnya sedikit kotor juga kusut."Dari mana Nak, kok terlambat pulang. Berkali-kali mama telponin tapi tidak ada jawaban. Chat juga centang satu." Desma memberondong pertanyaan pada putranya dengan nada cemas."Maaf Ma, hp Mohzan abis baterai.Tadi Mohzan ke gedung tua, disana tidak bisa ngecas hp." Sahut Mohzan menjelaskan sambil mencium punggung tangan ibunya. "Ooh.." Jawab Desma dengan perasaan lega."Neneeeek...!! Nenek pasti rindu kan sama cucu nenek yang ganteng ini.." Ujar Mohzan lalu mendekati nenek Aisyah yang sedang duduk diatas sebuah kursi dihadapan meja makan. Diatas meja makan nampak beberapa piring dan mangkuk berisi makanan. Sepertinya nenek Aisyah baru saja selesai makan malam.Nenek Aisyah mengembangkan kedua tangannya bersiap menyambut tubuh
Beberapa anak yang agak besar nampak tengah sibuk menyisihkan barang-barang bekas. Mereka mengelompokkan sesuai jenis masing-masing. Ada botol bekas, tutup botol, kaleng minuman, sendok plastik dan beberapa barang lainnya. Semua barang-barang itu sudah dicuci bersih dan dihamparkan di atas sehelai terpal berwarna biru tua."Sudah kering semua ?""Sudah Bang !" Jawab Aditya mewakili yang lain."Oke, yang ini dipotong seperti ini. Potongan yang atas kumpulin sebelah sini dan yang potongan bawah masukkan kedalam kardus ini." Mohzan memberi komando."Mau kita jadikan apa botol-botol ini Bang ?" Rangga nampak belum memahami tujuan Mohzan."Sebagian kita jadikan tempat menyimpan pernak-pernik seperti koin, jarum, benang dan banyak - barang kecil lainnya." Mohzan memaparkan dengan sabar."Terus nanti disambung dengan apa Bang ?" Rangga masih penasaran dan bertanya kembali."Sambungnya pakai ini !" Ujar Rangga memperlihatkan satu ikat resleting ber
Setelah semua rombongan membubarkan diri dan meninggalkan tempat itu, Mohzan memerintahkan adik-adiknya mengangkat semua kardus-kardus yang sudah tertumpuk menggunung. Beberapa karung beras juga ada disana.Kemudian mereka berkumpul didalam gedung tua. Satu persatu kardus itu mereka buka."Waaah... Ada baju..!" Seru Jery bersorak gembira. "Nah ini celana." Seru yang lainnya. Ada juga selimut, tikar dan makanan berupa mi instan, beras, sarden, kue-kue, susu dan banyak macam lainnya.Mohzan tersenyum bahagia melihat adik-adiknya bergembira. Tawa lepas mereka terdengar riang gembira. Walaupun banyak barang-barang yang mereka terima, namun mereka tidak nampak berebut apalagi bertengkar.Semua barang-barang itu disusun rapi disudut ruangan. Walaupun mereka anak-anak jalanan, tapi Mohzan mengajari mereka untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian."Bang lapar, ayo masak Bang..!" Seru Yuda menggoyang-goyang lengan Arya."Dik, masak nasi ya... Yuda sudah
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama