“Apa rumahmu masih jauh dari sini, Yonna? Tadi kata kamu sebentar lagi akan sampai,” ujar Tuan Rey memotong pembicaraan kami.
“Kenapa, Tuan? Sudah mulai bosan, ya.” Tanyaku mencoba menggodanya.
“Akh, tidak. Hanya saja punggung saya terasa sakit.”
Aku menghela nafas. “Iya saya tau, Tuan. Karena jalannya begini jadi terasa jauh, coba saja jika jalannya bagus seperti di kota pasti akan cepat sampai.”
“Nah, itu kama tau, Yon.”
“Iya, karena saya juga merasakan hal yang sama, Tuan. Punggung saya terasa sakit juga,” ujarku.
“Punggungmu sakit, Yon?” Tanya Tuan Roy.
Aku mengangguk.
“Ini, ada bantal pakai saja,” suruh Tuan Roy sambil memberikan bantal bewarna coklat tua padaku.
“Untuk saya, Tuan? Tapi,,,,”
“Sudah pakai saja,”
Rey melotot melihat Abangnya yang memperhatikan Yonna. Sedangk
“Rumahmu masih jauh dari sini?” Tanya Tuan Rey ketika melewati perkampungan itu.“Sebentar lagi, Tuan.”“Kira-kira berapa lama lagi, Yon.”“Sekitar lima menit lagi, Tuan.”“Hem... Untung saja pemandangan disini indah, jadi saya tidak terlalu bosan dengan perjalanan yang melelahkan ini.” Ujarnya sambil menguap karena mengantuk.Aku hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Tuan Rey. Tak lama kemudian aku berusaha membangunkan Tuan Roy yang dari tadi tertidur.“Tuan, Tuan...”Tuan Roy langsung membuka matanya. “Iya, Yon. Ada apa?” Tanyanya gamblang karena masih mengantuk.“Kita sudah hampir sampai, Tuan. Di depan sana itu rumah, saya.” Ujarku.Tuan Roy dengan bersemangat langsung bangun dan melihat ke kiri dan ke kanan.“Wahhhh..... Ini kampungmu, Yon? Indah sekali!” Serunya terlambat karena baru bangun.
Netraku menatap rumah tua milik ayahku dari kejauhan, tampak rumah itu masih sama seperti dulu, teringat kembali sewaktu aku kecil, aku sering berlarian mengelilingi rumah ini, tidak banyak perubahan yang ku lihat setelah meninggalkannya setahun lebih.Aku berhenti dan menunjuk rumah papan yang sudah terlihat sangat kumuh di depanku, terlihat pintunya tertutup rapat. “Ini rumah saya, Tuan.”Mata Tuan Rey membulat. “Ini?”“Benar, Tuan. Ini rumah saya, ya beginilah adanya, berharap Tuan Rey dan Tuan Roy memaklumi keadaan saya,” ujarku memberi pengertian.Tampak Tuan Roy mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Yonna. Yang terpenting kan bisa ditempati.” Ujarnya sambil tersenyum.Tuan Roy tampak biasa saja dan memaklumi keadaanku namun, berbeda halnya dengan Tuan Rey, ia terlihat sangat tidak menyukai tempat tinggalku ini.Melihat reaksi Tuan Rey yang tidak nyaman, aku langsung berkata. “Tuan Rey,
“Ya, mungkin saja, yasudah pergilah, Yon.”“Iya, Tuan.” Aku mengangguk pelan dan pergi.Sesampainya di kamar mandi, seketika ingatanku kembali ke masa dimana aku sedang dimandikan oleh ayah, saat itu aku tertawa lepas, saat gelembung sabun yang aku mainkan beterbangan.“Lagi, Yah, lagi,”“Sudah jangan lama-lama, nanti kamu masuk angin,”“Ahh,,,, Ayah! Aku masih ingin bermain sabun itu, Yah!” Teriakku waktu itu.Dengan sabar ayahku berkata. “Yonna, nanti kamu sakit jika, terlalu lama bermain air. Besok lagi ya, Nak, ya?”Dengan sedikit kecewa aku mengangguk. “Iya, ayah.”“Anak pintar,”Sambil membersihkan tubuh Daffa, tanpa terasa air mataku mengalir, sesekali aku menyeka air mata ini namun, tetap saja kenangan itu terus saja menghantui pikiran dan jiwaku.Bagaimana nanti jika ayah melihat kedatanganku, apakah ia akan se
Aku segera menyeka air mataku dan berkata untuk yang terakhir kalinya pada ayah.“Maafkan anakmu ini, Yah. Sungguh aku sangat menyesali apa yang sudah terjadi, saat itu anakmu sangat polos dan tidak tau apa-apa dengan kehidupan luar. Sekali lagi Yonna minta maaf. Yang perlu ayah tau, Yonna sangat menyayangi ayah, tidak ada mantan ayah di dunia ini.”“Tutup mulutmu dan segera pergi dari sini! Aku sudah tidak mau dengar apa pun dari mulutmu yang kotor itu! Kalau kau memang sayang denganku, tidak mungkin kau mengambil jalan yang hina itu!!”Aku bungkam, seisi kepalaku seakan ingin keluar bersamaan dengan isak tangisku.“Simpan air mata tak bergunamu itu! Aku tidak ingin melihat wajahmu yang penuh dengan sandiwara ini!” Bentaknya ketika melihatku menangis tanpa henti.Sekali lagi aku memohon. “Baiklah, Yah. Sebelum pergi, sekali lagi Yonna ingin meminta maaf dan tolong maafkan Yonna, Yah.” Pin
Dengan wajah panik dan ketakutan Rey menghampiri wanita yang pingsan itu.“Bang! Dia masih hidup, kalau begitu kita aman!” Serunya.“Memangnya siapa yang menembaknya, Rey? Aku hanya memberi tembakan peringatan ke udara, mungkin dia terkejut dan langsung pingsan.”“Akh! Aku kira Abang menembaknya.”“Mana mungkin aku menembaknya, aku hanya mengancamnya saja karena, wanita itu memang pantas di perlakukan seperti itu.” Jelas Roy.Rey mangut-mangut dan tersenyum sinis melihat wanita yang menghina mereka itu pingsan.“Ayolah, Rey. Nanti keburu malam. Kita bawa Yonna kerumah sakit.”“Ayo, Bang. Biar aku saja yang menyetir.” Pinta Rey.“Terserahmu saja, Rey. Yang terpenting kita jangan sampai kemalaman karena, aku tidak tau jalan daerah sini.”Mata Rey membulat mendengar perkataan abangnya itu. “Abang lupa?”“Ya jelas aku
Rey tak menjawab, ia terpukau dengan pemandangan yang ada di depannya, hamparan sawah yang sangat luas, dan ujung-ujung padi terlihat menguning akibat dari pantulan cahaya matahari yang hampir tenggelam.“Rey, kamu lihat langit itu,” Roy menunjuk langit yang sudah mulai gelap.“Iya, bang. Kenapa?”“Ini mendung atau memang sudah sore?” Tanyanya bingung.Rey mengangkat kedua bahunya, menandakan ia juga tidak mengerti.“Tidak tau, Bang. Mungkin memang sudah sore,”Roy melihat jam yang ada di tangannya, ia langsung terkejut bercampur heran.“Baru jam lima lewat, Rey. Tetapi mengapa sangat gelap sekali, ya. Emm,,,, kalau mendung aku rasa tidak.”Rey diam sesaat, tiba-tiba ia teringat.“Yaampun, Bang! Kita kan di kampung, jadi memang terlihat sudah gelap kalau jam segini,”Roy menatap wajah Rey tak mengerti. “Lah, apa hubungannya, Rey?”
“Yonna,,,, Yonna. Syukurlah kamu sudah sadar,”“Saya dimana, Tuan?” Tanyaku bingung.“Kamu di dalam mobil, Yonna. Kita akan pulang.”“Ayah, Tuan! Ayah saya dimana!” Seruku sambil melihat ke kiri dan ke kanan seperti orang yang kehilangan sesuatu.“Tenang, Yonna tenang.”“Tapi, Tuan. Ayah saya dimana,” ucapku setengah sadar.“Ayah kamu di kampung, kita malam ini pulang. Apa kamu lupa dengan kejadian tadi sore?” Tanya Tuan Roy.Aku terdiam, tak lama kemudian aku langsung menangis.“Tidak ada gunanya lagi saya hidup!” Seruku.Mata Tuan Rey dan Tuan Roy seketika melotot ke arahku.“Yonna! Jangan bicara seperti itu, kamu tidak diakui oleh ayahmu lagi, bukan berarti hidupmu tidak berguna. Ingat! Kamu itu seorang ibu, ingat Daffa Yonna!” Seru Tuan Roy, mencoba menyadarkanku.“Apa yang dikatakan A
“Bang, Bang,”Roy mengusap usap wajahnya. “Ada apa, Rey? Kamu ini mengganggu tidurku saja,” ucap Roy merasa sedikit kesal.Rey berdecak. “Yaelah, Bang. Memangnya kamu enggak, lapar?” Tanya Rey bingung.Roy langsung memegangi perutnya yang terasa keroncongan. “Eh, lapar sih, memangnya kita mau ngapain?”“Mau menari,” ucap Rey sambil bercanda.“Serius, Rey.”“Ya mau makan lah, Bang. Kok aneh,” ucap Rey.“Ya enggak aneh, yang aku mau tanyakan ini, memangnya ada rumah makan?”Rey menunjuk ke depan mobilnya. “Tuh baca, jelas-jelas itu bacaannya Rumah Makan.”Mata Roy melotot. “Ini enggak mimpi kan, Rey.”“Mimpi,” ucap Rey kesal.“Akh! Serius.”“Plaakkkkk....”Roy berteriak ketika sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kanannya itu. &l