"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur.
Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! Semoga tidak mengecewakan, ya walaupun sudah kecewa sih karena ia menikahi lelaki bisu ... tapi ia akan berusaha untuk melengkapi kekurangan sang suami. Rela tidak rela, mereka sudah saling mengikat janji di hadapan sang pencipta juga. Mendengar penuturan sang nyonya yang masih bersikukuh tetap memasakan makanan untuk tuannya itu, mereka hanya bisa patuh saja. Takut-takut jika masih melawan mereka malah di pecat oleh Lyra. "Nyonya! Kenapa di dapur?!" Teriakan itu kembali membuat Lyra memutar bola matanya malas, ayolah dirinya hanya ingin memasak bukan ngajak perang dunia kok. "Bi Elia kalo gak bisa diem aku lempar pisau, mau?" ancam Lyra seraya mengacungkan pisau yang tadi ia buat memotong daging. Wanita paruh baya itu hanya bisa mengelus dadanya sabar, Lyra ini kelakuannya sungguh tidak bisa di tebak. "Baiklah, tapi nyonya nanti kita yang dimarah tuan Devan jika nyonya kelelahan," ucap Elia berusaha memberikan pengertian. Lyra hanya menggidikan bahunya acuh. "Yaudah nanti gantian aku marahin aja ribet bener," ucapnya dengan santai seraya kembali memotong daging tersebut. Ia berniat membuat chicken katsu untuk makan malam, tentu dengan menu lain. Tiga wanita tadi hanya saling pandang lalu menghela nafas lelah. "Aku sudah memperingati tadi, tapi tetap saja kekeh untuk memasak," ujar Astri yang paham dengan tatapan Elia. "Yasudah kalian bantu saja, pastikan nyonya tidak kenapa-kenapa aku masih sayang dengan pekerjaanku," ucap Elia yang hanya di angguki oleh keduanya. "Ragil kamu bantu pak Bambang di depan buat rapihin taman ya, biar saya sama Astri yang bantuin nyonya," titah Elia yang hanya di angguki oleh gadis itu. Meskipun sebelum pergi wanita ah gadis muda itu tampak melirik ke arah majikan barunya, menatap sinis pada Lyra. Akan ku pastikan wanita itu tidak akan lama di sini–batin Ragil kemudian gadis itu berlalu meninggalkan dapur. "Nyonya mau dibantu apa, biar kami bisa bantu?" tanya Astri yang tak enak hati melihat majikannya menyiapkan semuanya sendiri. Lyra yang tadi fokus mengadoni ayam kini beralih menatap sumber suara, tampak dua orang yang berdiri di belakangnya. Ia menatap tak suka ke arah keduanya. Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Jangan panggil gitu, panggil Lyra aja aku gak suka dipanggil nyonya kayak gitu Bi ...," kata Lyra dengan sebal. Tolong sebenarnya siapa yang menciptakan panggilan seperti ini?! Dan ya, Lyra tidak suka dipanggil seperti itu karena rasanya ia tampak tua sekali, apalagi dua orang ini lebih tua darinya bahkan seusia sang bunda sepertinya. "Tidak bisa nyonya, nanti kamu yang dimarahi oleh tuan Devan nyonya," balas Elia, bagaimanapun juga ia adalah kepala pelayan disini, jadi sudah tugasnya untuk mengarahkan yang lain agar sopan kepada tuan rumah ini. Lyra hanya bisa menghela nafas lelah, ia menatap jengah ke arah dua wanita paruh baya itu. "Panggil nama saja atau apa saja yang penting jangan nyonya, aku merasa tua sekali saat kalian memanggilku nyonya tau! Kalian bisa memanggilku seperti itu jika ada pak Devan atau keluarga saja, jika hanya kita panggil nama saja, paham?" tutur Lyra dengan tegas, ini sudah menjadi rumahnya jadi bebas dirinya bukan ingin berlaku seperti apa. Keduanya saling tatap lalu secara bersamaan menghembuskan nafas lelah, baiklah sepertinya mereka kalah dengan nyonya mudanya ini. "Baiklah," balas mereka serempak dengan pasrah, dari pada harus membuat nyonya mereka ini kesal dan tidak mau keluar dari kamar seperti tadi. Sontak senyum manis langsung mengembang di bibir tipis Lyra, semudah itu sebenernya membuat Lyra bahagia. Pemikiran dan juga mood Lyra ini memang naik turun, walaupun sudah menginjak kepala dua tapi ia tetap saja gadis yang masih labil. "Baiklah, Bi Astri bisa tolong bantu buatin sup? Lalu Bi Elia bisa bantu untuk memasak ini? Aku mau buat sausnya dulu," titah Lyra yang langsung di angguki oleh keduanya dengan semangat. Mereka dengan kompak berkutata dengan alat dapur, sesekali candaan dan obrolan Lyra selipkan dalam kegiatan dapurnya ini agar tidak begitu membosankan, tentu itu dibalas sedikit kaku oleh asisten rumah tangganya ini. Wajar, mereka masih belum terbiasa. Sedangkan di sisi lain mobil hitam tampak memasuki halaman, seorang laki-laki turun dari mobilnya lalu berlari ke pintu samping untuk mengambil sosok mungil yang sengaja ia letakan di car seat. Tenang, Devan sudah memastikan keamanan untuk makhluk mungil itu. Jadi jangan khawatir akan terjadi sesuatu pada makhluk tak berdosa itu. Ia menggendong bayi itu dengan begitu lihai, senyum kecil tak pernah lepas dari bibir mungilnya. Rasanya begitu lama ia tak menggendong putra kecilnya, padahal baru empat hari saja ia menitipkan bayi mungil ini tempat sang mama. "Pak Devan biar saya bantuin ya," ucap sosok wanita yang tiba-tiba berdiri di depan Devan. "Anda tampak kewalahan, biar saya saja yang bantu untuk menggendong tuan muda." Alis Devan terangkat, ia menggeleng kecil menolak secara baik-baik bantuan dari salah satu asisten rumah tangganya ini. Tak berhenti dengan penolakan yang di dapatkan, gadis itu kembali berujar, "tidak papa pak, biar saya aja pak yang gedong nona muda." Gadis itu langsung mengulurkan tangannya untuk meraih sosok kecil yang tengah tertidur lelap di dekapan Devan. Devan menatap kesal ke arah gadis itu, ia berusaha menjauhkan buah hatinya dari genggaman gadis di depannya. Namun bukannya berhenti, gadis itu tetap berusaha meraih bayi berusia sebelas bulan tersebut yang langsung membuatnya tak nyaman dan menangis. Mendapati anaknya terusik dengan orang di depannya ini, Devan lantas menatap tajam ke arahnya. Mendapat tatapan tajam dari Devan membuat nyali Ragil menciut. "Maafkan saya pak ...," ucapnya dengan lirih yang dihiraukan oleh Devan dan langsung di tinggal pergi begitu saja. Tangan Ragil terkepal, kuku bukunya tampak memutih. Bukan ini yang ia inginkan, harusnya ia mendapat perhatian dari laki-laki itu bukan malah di acuhkan seperti ini! Ini semua gara-gara bayi sialan itu!–batinnya dengan kesal menatap punggung Devan yang mulai menghilang di telan pintu. *** Di dalam rumah Devan tampak kepayahan untuk menenangkan buah hatinya yang tak kunjung reda tangisnya. Bahkan tangisan begitu nyaring itu seakan memenuhi seisi rumah. "Ada apa ini?" tanya Lyra yang sedikit berlari dari arah dapur, ia tak tega mendengar tangisan yang begitu nyaring itu. Ia kira ada seseorang yang datang dan ternyata itu adalah suaminya sendiri. "Loh, eh? Bayi siapa ini?" tanya Lyra yang langsung di jawab acungan jari dari Devan. Ia hanya mengangguk saja lalu mendekat ke arah Devan yang masih berusaha untuk menghentikan tangisan sang buah hati. "Boleh aku yang tenangin?" tanya Lyra yang langsung membuat Devan mendongak ke arahnya. Lyra tampak kasihan dengan bayi mungil itu yang terus menggeliat tak nyaman dan membuatnya sedikit iba. Kernyitan halus tampak di dahi laki-laki itu. Lyra tidak marah padanya? Apalagi dengan adanya putranya ini? Rasanya Devan sedikit tidak percaya dengan situasi di hadapannya ini. "Aku memang belum pernah mengurus bayi secara langsung tanpa pengawasan bunda, tapi aku sudah diajari oleh bunda kok, dan kadang aku sering menjaga keponakanku saat ditinggal oleh orang tuanya," jelas Lyra yang merasa jika Devan meragukan dirinya, padahal mah bukan itu yang Devan pikirkan. Perlahan Devan mengangguk kecil, tangannya terulur untuk menyerahkan putranya kepada ibunya? Bukankah Lyra sekarang sudah bisa dianggap ibu oleh putranya bukan? Dengan senang hati Lyra menyambut bayi mungil itu dalam dekapannya, entah keajaiban dari mana tapi bayi itu langsung terdiam dan kembali tidur setelah ditimang oleh Lyra selama beberapa menit. Devan menatap takjub pada gadis itu. Sepertinya ia memang tidak salah memilih ibu untuk Aiden putranya bukan? Tangan Devan menggambil ponsel di sakunya lalu mengetikkan sesuatu. "Tampaknya kau dengan mudah membuat semua orang nyaman ya, termasuk Aiden." Ia lalu menyodorkannya ke arah Lyra yang langsung di baca oleh gadis itu. Lyra hanya bisa tersenyum kikuk, ia lalu menatap wajah tentram putranya. Ya, sekarang Lyra akan menjadi ibu yang baik untuk Aiden juga. Lyra lalu kembali beralih ke arah Devan. "Mandi sana lalu ayo makan malam, aku sudah memasak makan malam untukmu," ucap Lyra yang diakhiri oleh senyum kecil. Devan lalu mengangguk kecil. Senyum bahagia tak bisa ia sembunyikan lagi, ia bahagia dengan sedikit perhatian yang Lyra curahkan padanya, setidaknya rumah tangganya ini tetap ada kesempatan bukan? Ia juga berharap semoga ini awal yang baik untuk kehidupannya dan Lyra, juga putra kecilnya, Aiden. "Sudah sana mandi ayo, malah bengong ih! Ayo mandi aku mau menidurkan Aiden juga dan menyiapkan bajumu," kata Lyra lagi yang di angguki semangat oleh Devan, ia lalu berjalan ke arah kamarnya yang di ikuti oleh Lyra. Kini Lyra sudah mendapat tujuan baru lagi untuk kehidupannya kali ini, yaitu putra sambungnya.Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Ruangan yang dihias sedemikian rupa agar memancarkan keindahan untuk menyambut umur baru dari gadis cantik bernama Lyra Ajisaka yang merupakan putri semata wayang dari pasangan Dharma Ajisaka dan Selestina Anind, dua orang yang cukup berpengaruh di dunia industri. Pesta ulang tahun Lyra berjalan lancar seperti ulang tahun mewah pada umumnya. Tamu-tamu yang hadir menikmati suasana yang riang, makanan lezat, dan hiburan yang disiapkan dengan baik. Lyra, seorang gadis muda yang ceria dan penuh akan semangat, merasa sangat beruntung bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-21 dengan teman-teman terdekat dan keluarganya. Dari kejauhan tampak perempuan cantik dengan balutan dress navy yang indah bersama dengan kekasihnya berjalan menghampiri sang pemilik pesta yang tampak tengah bercengkrama dengan tamu yang lain. "Happy birthday sayangku," ucap perempuan tersebut pada sang tuan rumah. Lyra membalik badan dan tampak begitu terkejut mengetahui sahabat kesayangannya ternyata datang di pest
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya. Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca