Ruangan yang dihias sedemikian rupa agar memancarkan keindahan untuk menyambut umur baru dari gadis cantik bernama Lyra Ajisaka yang merupakan putri semata wayang dari pasangan Dharma Ajisaka dan Selestina Anind, dua orang yang cukup berpengaruh di dunia industri. Pesta ulang tahun Lyra berjalan lancar seperti ulang tahun mewah pada umumnya. Tamu-tamu yang hadir menikmati suasana yang riang, makanan lezat, dan hiburan yang disiapkan dengan baik. Lyra, seorang gadis muda yang ceria dan penuh akan semangat, merasa sangat beruntung bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-21 dengan teman-teman terdekat dan keluarganya. Dari kejauhan tampak perempuan cantik dengan balutan dress navy yang indah bersama dengan kekasihnya berjalan menghampiri sang pemilik pesta yang tampak tengah bercengkrama dengan tamu yang lain. "Happy birthday sayangku," ucap perempuan tersebut pada sang tuan rumah. Lyra membalik badan dan tampak begitu terkejut mengetahui sahabat kesayangannya ternyata datang di pest
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya. Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya
"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya. Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca