Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya.
Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya. Kini ia harus berangkat ke kantor cabang pagi-pagi agar sore nanti sudah dapat pulang dan menjemput kesayangannya. Devan menuruni anak tangga dengan perlahan, tampak para maid tengah sibuk menyiapkan sarapan. Devan celingukan mencari keberadaan sang istri kecilnya itu. Ia menghampiri sang kepala maid dirumahnya, menepuk pelan pundaknya hingga membuat wanita paruh baya tersebut menoleh ke arahnya. "Dimana Lyra?" tanya Devan menggunakan bahasa isyarat. "Maaf tuan, tapi nyonya muda belum keluar kamar sejak tadi tuan," ucap maid tersebut, atau kita panggil saja beliau sebutan Bi Elia. Bi Elia adalah maid yang selama ini telah mengurus Devan sejak kecil dikediaman orang tuanya, sampai pada akhirnya ia diminta Devan untuk pindah ke ke kediaman barunya. Elia yang memang sedari dulu sudah merawat Devan tentu dengan senang hati mengikuti perintah untuk ikut Devan di kediaman barunya. "Apa bibi sudah memanggilnya? Siapa tau dia masih tidur," kata Devan kembali dengan bahasa isyarat. Bi Elia mengangguk kecil. "Tadi saya sudah memerintahkan kepada Ester untuk memanggil nyonya, tapi sepertinya nyonya tetap kekeh tidak mau turun, tuan," jelas Bi Elia. Devan mengangguk kecil lalu kembali menggerakkan tangannya. "Ya sudah kalau begitu nanti beritahu Lyra saya sudah berangkat pagi-pagi dan mungkin akan pulang nanti sore karena akan ada kunjungan ke kantor cabang, nanti saya juga akan memberitahunya lewat pesan." Bi Elia mengangguk. "Baik tuan, nanti akan saya beritahukan ke nyonya Lyra," ucapnya dengan patuh. Devan lantas bergegas keluar rumah, menuju ke kantornya yang terletak sedikit jauh. *** Lyra sedari tadi hanya bisa terdiam dikamar dan menangis diam-diam, ia tidak suka dengan kondisi ini. Ia tidak dapat bersosialisasi dengan mudah, lebih tepatnya ia belum bisa menerima perjodohan ini. "Bunda, Lyra mau pulang," lirih Lyra dengan air mata yang merembes keluar dari pelupuk matanya. Ia merasa terisolasi disini, mungkin juga karena keputusannya yang meminta untuk pisah kamar dan ia belum keluar kamar sedari tadi. Tapi menerima keadaan ini tidak lah mudah bagi Lyra. Bagaimana bisa kalian hidup satu atap dengan orang yang bahkan tidak kalian kenal dan tidak dapat berbicara, itu akan sedikit menyulitkan apalagi ada kendala komunikasi dalam rumah tangga mereka. Ia sudah mencoba menerima Devan menjadi suaminya, ia bahkan sudah mencobanya saat berada di rumah nenek mertuanya kemarin, tapi ketika pulang ke rumah tetap saja susah rasanya. Tiba-tiba suara deting ponsel mengalihkan perhatian Lyra. Disana terdapat nama Devan yang terpampang jelas di layarnya. Pak Devan : Saya dengar tadi kamu belum keluar kamar, keluarlah jangan lupa sarapan Pak Devan : Maaf tidak bisa sarapan bersama, saya ada kunjungan ke kantor cabang dan mungkin akan pulang nanti sore. Pak Devan : Cepatlah keluar dan habiskan sarapanmu istriku. Deretan pesan singkat dari lelaki yang kini menjabat sebagai sosok kepala keluarga di rumah tangganya. Lyra Ajisaka : Tenang saja nanti aku akan turun. Tak lama ketukan pintu mulai terdengar, dibarengi oleh suara seorang wanita yang memanggil namanya. "Nyonya, mari sarapan nyonya," ucap orang itu dari luar. Lyra buru-buru menghapus air matanya kemudian beranjak untuk membukakan pintu kamarnya. "Bibi duluan saja nanti Lyra nyusul," kata Lyra ketika sudah berada tepat di depan pintu. Bi Elia menatap perihatin ke arah Lyra. Gadis ini tampak kacau sekali. Mata yang bengkak dan hidung yang memerah juga suara serak khas orang menangis. "Nyonya baik-baik saja?" tanya Elia lalu diangguki kecil oleh Lyra dan senyuman kecil dari gadis itu. "Tenang saja Bi aku baik-baik saja," balas Lyra yang membuat Elia semakin tak yakin. "Nyonya bibi tau, pasti tidak mudah ketika dirimu di jodohkan dengan sosok asing dihidupmu Nyonya, tapi coba lah untuk menerima semuanya dengan lapang dada Nyonya," ujar Elia lembut seraya menggenggam kedua tangan Lyra, mengusapnya pelan seakan menyalurkan kehangatan di sana. "Semuanya susah Bi, aku udah coba buat menerima semua keadaan tapi aku tidak bisa Bi, apalagi kami juga terhalang komunikasi, aku merasa terisolasi disini Bi," lirih Lyra dengan mata yang berkaca-kaca. Elia yang melihat itu langsung memeluk tubuh ramping majikanya. "Cobalah untuk terbuka pada tuan, Nyonya. Jangan berikan dinding pembatas yang dingin diantara kalian, saya tau ini bukan hal mudah. Tapi cobalah terima tuan, Nyonya. Saya yang merawat tuan sedari kecil Nyonya, dia adalah laki-laki baik hati dan tidak pernah membantah apapun bahkan ketika bermain bersama .... tuan selalu mengalah." Lyra melepaskan pelukannya dan netranya menatap ke arah Elia seakan memintanya lebih lanjut dalam bercerita. "Tuan selalu menghargai wanita, karena bagi tuan apabila dia menyakiti sosok wanita sama saja ia menyakiti hati ibunya, maka dari itu sedari dulu tuan tidak pernah mau menjalin hubungan sebatas pacaran ia akan lebih baik menjadikannya seorang istri," sambung Elia. "Apa sebelum denganku Devan sudah pernah menjalin hubungan Bi?" tanya Lyra yang sepertinya mulai penasaran dengan kehidupan sosok Devan Argantara. "Tuan pernah menjalin sebuah hubungan sebelum bersama anda Nyonya tapi itu tidak berakhir dengan baik," ucap Elia. "Padahal mereka sudah memiliki sosok malaikat kecil yang menggemaskan." Elia membayangkan betapa bahagianya Devan dulu setelah kelahiran buah hatinya, tetapi kebahagiaan itu sepertinya tidak bertahan lama karena suatu tragedi yang membuatnya sedikit trauma dengan pernikahan. Bahkan Devan masih ada sampai sekarang itu karena buah hatinya. Lyra terpaku pada penjelasan Elia, jadi selama ini kabar yang beredar itu benar adanya bahwa Devan tidaklah single. "Tapi Bi kenapa hubungan Devan ditutupi dari media? Bahkan beberapa dari mereka masih mengira bahwa Devan itu lajang sebelum bersamaku?" tanya Lyra yang membuat Elia terdiam. "Maaf Nyonya tapi saya tidak berhak untuk menjawab itu, dan Nyonya saya mohon sekali tolong bukalah diri anda untuk tuan Devan, Nyonya." Bi Elia tersenyum penuh arti pada Lyra, entah lah Lyra merasa aneh dengan senyuman itu. "Dan jika nyonya ingin bisa berkomunikasi dengan tuan Devan mungkin saya bisa mengajarkan anda beberapa bahasa isyarat, anda tidak perlu mempraktekkan karena tuan Devan hanya tidak dapat mengeluarkan suaranya tapi ia masih bisa mendengar dengan jelas," lanjut Bi Elia yang langsung diangguli oleh Lyra. Mungkin dengan begini ia bisa memahami maksud Devan tanpa harus laki-laki itu menuliskannya, dan setidaknya ia bisa menjadi istri yang baik seperti tekadnya di awal pernikahan. Semoga dengan ini aku bisa menjadi istri yang baik, dan membalas hutang budiku pada keluarga Devan -lirih Lyra dalam hatinya."Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Ruangan yang dihias sedemikian rupa agar memancarkan keindahan untuk menyambut umur baru dari gadis cantik bernama Lyra Ajisaka yang merupakan putri semata wayang dari pasangan Dharma Ajisaka dan Selestina Anind, dua orang yang cukup berpengaruh di dunia industri. Pesta ulang tahun Lyra berjalan lancar seperti ulang tahun mewah pada umumnya. Tamu-tamu yang hadir menikmati suasana yang riang, makanan lezat, dan hiburan yang disiapkan dengan baik. Lyra, seorang gadis muda yang ceria dan penuh akan semangat, merasa sangat beruntung bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-21 dengan teman-teman terdekat dan keluarganya. Dari kejauhan tampak perempuan cantik dengan balutan dress navy yang indah bersama dengan kekasihnya berjalan menghampiri sang pemilik pesta yang tampak tengah bercengkrama dengan tamu yang lain. "Happy birthday sayangku," ucap perempuan tersebut pada sang tuan rumah. Lyra membalik badan dan tampak begitu terkejut mengetahui sahabat kesayangannya ternyata datang di pest
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya. Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca