"Kamu?!"
Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan secara tiba-tiba dengan orang yang tidak dikenal dan parahnya lagi, seseorang yang dijodohkan tersebut ada orang yang berkeperluan khusus. Ini mungkin seperti mala petaka untuk Lyra. Beberapa detik kemudian Devan mengambil ponsel yang ada di saku jasnya. Ia menuliskan beberapa kata di sana lalu menunjukan pada Lyra. "Ayo duduk dulu, saya janji tidak akan macam-macam," lirih Lyra membaca huruf-huruf yang terketik di ponsel tersebut. Lyra sedikit mendongak, sorot matanya menatap Devan dengan keraguan tetapi tak ayal ia pun menuruti permintaan Devan setelah menatap mata Devan yang menyiratkan keyakinan. Akhirnya keduanya memilih untuk berdua di bangku tersebut. Keduanya dilingkupi oleh kesunyian. Lyra sedikit enggan untuk membuka suara karena kejadian di pesta tadi dan lebih asik memperhatikan gemerlapan bintang di langit, sedangkan Devan masih sibuk memandangi wajah rupawan calonnya ini. Seakan sadar terus diperhatikan oleh sosok disebelahnya, Lyra lalu memalingkan wajahnya ke samping, menghadap ke arah Devan langsung. Sejenak ia sempat terhipnotis oleh paras rupawan laki-laki di sebelahnya ini. Rahang tegas dan mata yang menyiratkan ketegasan ini cukup membuat Lyra terhenti sejenak. Seakan tersadar Lyra langsung menatap garang ke arah Devan."Kenapa melihatku sebegitunya? Jangan harap aku akan luluh hanya karena kau terus memandangiku seperti itu ya!" ketus Lyra dengan wajah yang sedikit memerah, ia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak dapat dipungkiri ia salah tingkah jika dipandangi sebegitu dalamnya oleh Devan, apalagi wajahnya yang rupawan dan matanya yang cantik itu terus terbayang di benak Lyra. Oh tidak! Kenapa ia malah membayangkan Devan seperti ini! Ia tidak boleh lagi memikirkan lelaki yang akan menjadi penghancur untuknya! Orang yang menghancurkan mimpinya untuk mencari pasangan sendiri, intinya Lyra membenci sosok yang bernama Devan Alvino Putra! Lyra kembali menggeleng pelan seakan mengusir sosok Devan dari dalam benaknya. Devan yang sedari tadi menatap tingkah laku Lyra hanya bisa tersenyum maklum. Ia kembali mengetikan sesuatu pada ponselnya, lalu tangannya menepuk pundak Lyra dan membuatnya menoleh. Paham dengan maksud Devan ia pun membaca kata-kata yang tersusun dalam ponsel tersebut. "Aku tau kamu marah dan tidak terima dengan keputusan sepihak ini, tapi jangan pernah kamu menyalahkan orang tuamu, aku yang memaksakan perjodohan ini." Tulisnya dalam ponsel tersebut. Devan sebenarnya bisa saja menggunakan bahasa isyarat akan tetapi ia ragu akan kah Lyra memahami bahasa isyarat, jadi lebih baik sedikit bersusah dengan mengetikkannya di ponsel. "Kenapa kamu sangat menginginkan perjodohan ini? Padahal aku rasa kita tidak pernah bertemu," ucap Lyra dengan bingung. Devan tersenyum dan kembali mengetikan sesuatu. "Saya sedari setengah tahun lalu selalu memperhatikanmu nona muda." Lyra menyerngit heran. "Apa maksudmu?! Jadi selama ini kau menguntit diriku?!" tanya Lyra dengan kaget. Devan hanya mendengus kesal kala di katai penguntit oleh gadis manisnya ini. Ayolah dia hanya memperhatikan buat mengutiti Lyra setiap saat. Devan kembali menyodorkan ponselnya. "Apa aku terlihat seperti penguntit bagimu?" tanya Devan pada Lyra. "Tentu! Mengawasi orang setiap saat, apa kalau bukan penguntit hah?! Dasar lelaki pedofil!" pekik Lyra di depan wajah Devan. Devan melotot tak terima, ia kembali mengetikan sesuatu di ponselnya. "Hei! Aku bukan pedofil ya, kita hanya berselisih beberapa tahun saja! Dan sekali lagi aku tekankan aku tidak mengawasimu setiap saat hanya beberapa kali saja sehari, apakah itu dinamakan penguntit hah?" "Ya itu penguntit tuan Devan yang terhormat, kalau bukan penguntit mengapa kau selalu mengawasiku setiap hari?! Belum sehari denganmu saja aku sudah naik darah, bagaimana jika perjodohan ini benar-benar terjadi, mungkin aku bisa gila!" kesal Lyra sembari menatap permusuhan terhadap Devan. "Sudahlah aku ingin pulang saja, berdekatan denganmu akan semakin membuatku emosi!" sambung Lyra lalu meninggalkan Devan begitu saja. Devan hanya bisa menggeleng kecil lalu mengejar gadisnya yang semakin menjauh. Ia menarik tangan Lyra, membuat gadis itu berhenti dengan kesal. "Apa lagi sih? Kenapa kamu harus mengikutiku?!" ketus Lyra. "Saya akan mengantarmu pulang, ini sudah larut tidak baik kau sendirian." Tulisnya yang kemudian langsung ditolak mentah-mentah oleh Lyra. "Tidak mau! Sudah biarkan aku pulang sendiri aku bisa jaga diri!" kata Lyra kemudian menghempaskan tangan Devan. Devan kembali menggenggam tangan Lyra lalu menyeretnya menuju mobilnya. Tak perduli dengan umpatan dan teriakan dari gadisnya ini. Setelah di dalam mobil Lyra tentu langsung marah-marah pada Devan karena menariknya paksa begitu saja. Tapi sekaan tuli, Lyra tak dihiraukan sama sekali oleh Devan, lelaki itu sibuk menyetir tanpa memperhatikan ocehan Lyra. Merasa putus asa akhirnya Lyra hanya bisa pasrah. "Baiklah antarakan aku, tapi jangan ke rumah antarkan aku ke perumahan Berlian nomor 34," ucap Lyra dengan lirih. Devan hanya mengangguk kecil lalu menjalankan mobilnya menuju perumahan elit tersebut. Tak memakan waktu lama keduanya telah sampai di depan rumah. Lyra langsung turun begitu saja tanpa berpamitan atau sekedar mengucap terimakasih pada Devan. Lelaki itu hanya bisa menggeleng sabar. *** "Kak Sinta!" pekik Lyra begitu pintu rumah terbuka. "Hey kamu dari mana aja? Gak tau apa semuanya khawatir? Sudah sini ayo masuk," ajak Sinta lalu mereka duduk di sofa ruang keluarga. "Aku bingung kak, aku takut, mereka menjodohkanku begitu saja, apalagi lelaki itu bisu kak, aku malu kak," lirih Lyra. Sinta mengusap surai panjang milik Lyra. "Kakak paham sama ketakutanmu Lyra, kakak sebenarnya juga kaget sama semua ini, tapi yakin ayah dan bunda itu pasti sudah memikirkan ini matang-matang mereka yakin bahwa Devan yang mampu menjaga kamu." "Tapi aku gak mau dijodohin kak ...." "Kakak tau, tapi dengan persetujuan atau tidaknya dari kamu perjodohan ini akan terus dilangsungkan Lyra. Kamu tahu sendiri bukan bagaimana orang tuamu?" tanya Sinta lalu diangguki oleh Lyra. "Maka dari itu kamu harus mampu menerimanya, ya?" Lyra hanya bisa mengangguk lesu. "Baiklah ini sudah malam, kamu istirahat dulu ya, langsung ke kamar saja," ucap Sinta yang kemudian diangguki oleh Lyra dan langsung melesat ke kamar yang memang disediakan oleh Sinta saat dirinya mau menginap. Sinta menghela nafas. "Sebenarnya apa yang kalian inginkan?" tanya Sinta seraya membalik badan, menghadap dua orang di belakangnya. "Kalian bahkan menjadikan Lyra seperti barang pelumas hutang.""Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya. Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya
"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Laki-laki itu tersenyum hangat. "Long time no see honey."Lyra terdiam kaku, cinta pertamanya sekaligus mantan kekasihnya berdiri di hadapannya setelah kepergiannya empat tahun lalu. Matanya tiba-tiba memanas, sesak saat ia dirinya ditinggalkan oleh Mahesa ketika acara perpisahan sekolah kembali menyeruak dalam dirinya, membuat hati Lyra lagi-lagi seperti diremas begitu kuat. Seolah tersadar Lyra memejamkan matanya beberapa saat, mengenyahkan perasaannya yang kembali timbul akibat laki-laki di hadapannya ini.Ia segera mengambil dua plastik belanjaan miliknya. "Maaf, saya duluan, permisi." Dengan langkah cepat Lyra meninggalkan laki-laki itu.Seakan tersadar dari lamunannya Mahesa langsung mengejar Lyra, gadisnya itu pasti begitu kesal padanya karena kejadian beberapa tahun lalu."Lyra, aku bisa jelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku dulu," ucap Mahesa seraya menyamakan langkahnya dengan gadis itu.Lyra tetap tak menggubris perkataan dari sosok laki-laki di belakangnya itu
Devan yang kini sudah berapa di ruangannya tampak begitu lesu, ayolah ia masih ingin berduaan dengan istri kecilnya tapi sang istri malah memaksanya untuk bekerja.Ketukan pintu terdengar beberapa kali sebelum berganti dengan suara pintu yang terbuka. Devan tak sekali pun mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai marmer tak sama sekali membuat Devan penasaran, tenang saja itu tak mungkin klien pasalnya ia tidak memiliki janji apapun."Lesu bener kayak belum dikasih makan aja," celetuk seorang laki-laki yang begitu familiar bagi Devan, ya siapa lagi kalau bukan Arya sahabat karibnya. Yang selama ini membantunya dalam rencana perjodohan ini.Baru kali ini Devan mengangkat kepalanya dari kedua lipatan tangannya, menatap malas ke arah pemuda itu."Ngapain kesini?"Bukannya langsung menjawab Arya malah berjalan ke arah sofa panjang yang ada di ruangan itu lalu membaringkan tubuhnya di sana."Jenuh di kantor, banyak kerjaan mau
"Tidur yang nyenyak sayang," lirih Lyra sebelum meletakan tubuh mungil Aiden di tempat tidurnya. Ia kemudian beralih menuju ranjangnya, senyum manis milik Devan menyambutnya di sana, dengan kikuk Lyra naik ke atas ranjang, sungguh Lyra ingin pergi saja dari suasana yang amat canggung ini! "Pak Devan tidak ingin tidur?" tanya Lyra sedikit ngeri melihat laki-laki itu yang sedari tadi hanya tersenyum memandanginya, takutnya jika laki-laki itu kerasukan sosok halus.Devan menatap tak suka ke arah Lyra, ia mengetikkan sesuatu pada ponselnya lalu memberikannya pada Lyra. "Bisakah kau memanggilku seperti sepulang dari rumah nenek? Saya bukan atasanmu yang harus kau panggil Pak, Lyra.""Jujur aku sedikit canggung memanggilmu seperti itu," kata Lyra mencurahkan isi hatinya."Tidak masalah, cobalah untuk menggunakannya kembali. Tidak nyaman jika kau memanggilku dengan sebutan Pak sedangkan kita sudah menikah, itu sedikit melukai harta diriku." Kata-kata yang Devan tulis membuat Lyra meringis
Lyra tampak berguling di kasurnya, bergerak tak tentu arah. Entah mengapa ia merasa begitu gelisah malam ini, ya sebenernya kegundahan hatinya berasal dari pemadaman listrik serentak karena adanya kerusakan pada salah satu gardu. Kenapa tidak menggunakan alat lain untuk menghidupi rumah? Ini tengah malam tidak semua orang tidur dengan lampu menyala dan tentu tidak semua penghuni rumah ini sadar dengan konsleting listrik yang terjadi.Lyra menggigiti kukunya, ingin kembali ke kamar Devan! Tapi ego dan juga gengsinya terlalu tinggi, ia malu untuk datang ke kamar laki-laki itu dengan sendirinya. Karena ... 'kan dia duluan yang memulai pisah kamar ini, masa iya ia duluan yang ke sana, sungguh egonya akan terluka!"Bunda ... Lyra mau pulang ...," rintihnya di dalam selimut, ya gadis ini memang takut gelap dan apalagi dia saat ini sendiri biasanya akan ada bunda atau ayahnya yang menemani, tapi kini ia benar-benar sendiri disini.Lyra benar-benar kesal kemana juga perginya ponsel miliknya,
"Nyonya sudah biar kami saja, anda duduk saja di depan biarkan kami yang memasak," ucap salah satu pelayan yang khawatir karena nyonyanya ikut berkecimpung di dapur. Bukan apa-apa, sebenernya sebelumnya Devan sudah mewanti-wanti kepada mereka agar tidak membuat Lyra kelelahan. Itulah mengapa Devan memperkerjakan pelayan yang tidak di mansion nya, untuk juru masak dan bersih-bersih. "Gak papa Bi Astri, aku gak bakal kenapa-kenapa tau, aku cuma mau masakin buat mas Devan aja jadi tolong kalian bantu aku ya?" pinta Lyra dengan menatap dua pelayan yang berbeda umur tersebut seraya tersenyum tipis. Sore ini ia memang berniat untung memasakan makanan untuk sang suami, tekadnya sudah bulat untuk menjadi istri yang baik. Ya walaupun dalam hatinya sedikit ada ketidak relaan dalam pernikahan ini, tapi setidaknya ia harus berbakti pada suaminya. Jujur, ia juga tidak mau di cap sebagai istri durhaka, Lyra masih takut diazab. Ia benar-benar sudah bertekad untuk menerima Devan di hidupnya! S
Devan membuka matanya perlahan, menyesuaikan sorot cahaya yang mulai memasuki pupil matanya. Ia menoleh ke samping lalu menghela nafas pelan, meskipun sudah menikah tapi ia tetap tidur diranjang sendirian. Ia kira kejadian kemarin sudah menjadi awal baik untuk hubungan mereka tapi nyatanya semua tetap dingin. Mungkin pernikahan ini masih kurang bisa diterima oleh gadisnya, ia sadar mungkin Lyra memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan statusnya saat ini. Aku pikir setelah kemarin Lyra mulai membuka hati untukku, tapi memang nyatanya memenangkan hati sosok gadis seperti Lyra akan sedikit menyulitkan - batin Devan. Devan hanya bisa menghela nafas sabar, berharap agar pernikahannya ini dapat kembali mendatangkan kehangatan dirumah ini. Rumah yang telah dibangunnya dua tahun silam. Dengan langkah gontai Devan beranjak dari ranjang nyamannya menuju ruangan dingin untuk membersihkan diri. Tak memakan waktu lama, kini ia sudah siap dengan setelan formalnya
Lyra dan Devan menghadiri pertemuan keluarga setelah pernikahan mereka. Mereka tiba di rumah keluarga nenek Devan dengan perasaan campur aduk. Lyra merasa canggung dan tidak nyaman dengan pertemuan keluarga ini, akankah ia dapat diterima oleh keluarga Devan sepenuhnya atau tidak. Mereka memang sudah bertemu saat pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu, tapi ia belum sempat mengobrol banyak dengan keluarga Devan karena banyaknya tamu undangan yang hadir. Dan ya, mereka hanya datang berdua karena kedua orang tua Devan sudah datang lebih awal, katanya mereka juga ingin menyambut pasangan baru ini. Devan yang mengetahui kegugupan Lyra langsung menggenggam tangannya dengan lembut, ia juga mengetikan beberapa kata pada ponselnya. "Jangan takut, saya ada disampingmu selalu istriku." Tulis Devan. Lyra menatap ke arah Devan dan mendapat anggukan kecil dari suaminya itu, ia pun menghela nafas sejenak, menetralkan rasa gugupnya. Dirasa sudah cukup mereka pun keluar dari mobil dan masuk
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Kalian menjadikan Lyra seperti barang pelunas hutang." Keduanya mendekat ke arah Sinta. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami, Nak," ujar Selestina—ibunda Lyra. "Tapi tindakan kalian salah, Bun, Yah," ucap Sinta lelah, ia tak paham dengan pemikiran kedua orang tua Lyra. Ia tahu, Lyra punya impiannya sendiri dan cintanya sendiri. Sedikit penjelasan, orang tua Lyra dan Sinta bersahabat sejak lama bahkan orang tua Sinta sudah menganggap Lyra sebagai putrinya sendiri begitupun sebaliknya. Itulah mengapa mereka sangat dekat dan Lyra bahkan menganggap Sinta sebagai kakaknya sendiri. "Benar yang dikatakan Sinta Om, Tante," sambung Arya yang berjalan dari arah dapur. "Kalian tidak bisa melakukan hal sebesar ini tanpa persetujuan Lyra dan langsung mengumumkannya begitu saja, saya memang tahu betul seperti apa Devan, karena selain rekan kerja kami juga bersahabat sejak lama, saya tau dia lelaki yang sempurna, tapi Lyra tidak mengetahui itu se
"Kamu?!" Sosok tersebut hanya tersenyum kecil mendapat teriakan tak terduga dari gadisnya. Ah, bahkan ia sudah mengeklaim gadis di depannya ini sebagai gadisnya. Lyra sontak berdiri mendapati sosok yang paling ia benci ada dihadapannya saat ini. "Kamu ngapain disini?! Pergi! Aku gak mau liat wajah kamu, Bapak Devan yang terhormat!" pekik Lyra dengan air mata yang masih mengalir dari pelupuk matanya. Bukannya kesal akan perlakuan Lyra, lelaki tersebut malah terpaku dengan binar mata Lyra yang nampak surut karena buliran bening di pelupuknya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata tersebut, tapi belum sampai tangannya menyentuh pipi gadis tersebut tangan Lyra bergerak lebih gesit untuk menepisnya. "Mau apa kamu sentuh-sentuh saya!" bentak Lyra lagi dengan suara seraknya, suara khas seseorang yang baru saja menangis. Devan sama sekali tidak terpengaruh dengan perlakuan kasar Lyra, ia malah menipiskan bibirnya. Ia tahu betul apa yang tengah gadis ini alami. Dijodohkan seca