Jiu Long segera memungutnya dan meniup debu di sambul kitab kecil itu. Sebuah tulisan sansekerta terlihat dan tertulis ;
Ilmu Pedang Du Gu Qiu Bai
Jurus Pedang Tanpa Pedang
“Jurus Pedang Tanpa Pedang...” ulang Jiu Long lagi. Penasaran Jiu Long membuka lembaran berikutnya.
“Seorang jago pedang lebih banyak menggunakan indera keenamnya ketimbang keampuhan pedang pusakanya. Jika indera keenammu cukup kuat untuk melihat apa yang belum bergerak dan mendengar apa yang belum bersuara, maka gerakan pedangmu mempunyai kepastian dan ketepatan menebas.
Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau tantang dengan mata hatimu! Karena pedang yang sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam, dia akan bergerak dengan sendirinya menduhului apa yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang tersalur di dalamnya ti
Jiu Long berdebar-debar mendengar ajaran itu. Sampai-sampai Jiu Long menggumam sendiri, “Menyerang tanpa jurus? Bagaimana cara memecahkannya?” Sampai di sini Jiu Long merasa seolah-olah menemukan dunia baru terhampar luas di depan matanya. Jiu Long kembali membuka lembaran berikutnya.‘Jika kau ingin memotong daging, maka terlebih dulu harus ada daging; jika kau ingin memotong kayu bakar, maka terlebih dulu harus ada kayu bakar; jika musuhmu ingin mematahkan jurusmu, maka kau harus ada jurus untuk dipatahkan. Misalnya ada seorang yang tidak kenal ilmu silat sama sekali dan dia menyerang secara serabutan. Bagaimanapun pandainya dirimu juga tidak akan tahu ke arah mana orang itu akan menyerang, apalagi bisa mematahkan serangannya. Seorang ahli silat papan atas sekalipun juga merasa kesulitan kalau harus mematahkan serangan yang serabutan. Akan tetapi, orang seperti itu masih mudah untuk ditaklukkan, misalnya, ia kurang mampu menguasai diri. Beda halnya d
Pagi hari di lereng bagian selatan Gunung Huang, udara masih saja sejuk kendati matahari sudah agak tinggi. Sisa-sisa tetesan embun masih membasahi dedaunan yang rimbun.Suasana hutan sunyi dan lengang. Jiu Long menghirup udara pagi sepuasnya. Ia baru saja keluar dari Lembah Kera. Tebing terjal itu bukan lagi penghalang sulit baginya. Mudah saja ia memanjat menggunakan ilmu Jejak Kilat dengan tenaga batin Angin Es dan Api. Seperti baru keluar dari kurungan, ia melangkah santai sambil memandang alam sekeliling.Dia tiba di tempat yang banyak pohon rindang. Di tempat ini, empat bulan lalu dia menemukan tari Inti Naga Emas Pamungkas yang kemudian berhasil digabungnya menjadi jurus Naga Emas Pamungkas. Suara ki dalang seperti mengiang kembali di telinga. Matanya seperti melihat kembali gerak gemulai gadis yang menarikan tari Naga. Ia menghela napas, merasa berduka dan menyesal. "Seharusnya aku menemui mereka, si penari dan si dalang, paling tidak aku haru
Meski tiga pengeroyok berilmu tinggi tapi tampaknya kakek itu masih bisa menguasai keadaan. Geraknya masih leluasa, malah berkali-kali ia menoleh ke tiga anak muda itu. "Lari- lari... biar kutahan mereka di sini!" Teriakannya sia-sia. Tiga anak muda itu agaknya tak mau lari. Para punggawa mengepung rapat, juga tak mau mereka lolos. "Mau lari ke mana? Kalian jangan mimpi bisa lolos!"Pemuda berpakaian putih tertawa sinis. "Kalian tak punya guna semua, tak punya malu, apa pikirmu bisa menaklukkan kami?" Ia dikeroyok dua orang, lelaki separuh baya dan perempuan cantik usia empatpuluhan. Kepandaian mereka lumayan.Jiu Long bisa membedakan kepandaian mereka yang bertarung. Kakek itu yang paling tinggi ilmunya. Namun ia tidak punya kesempatan membantu kawannya karena dilibat tiga lawannya. Tiga punggawa itu kelihatan paling jago di antara rekan-rekannya. Kalau si kakek terlibat pertarungan ketat yang memerlukan konsentrasi, tidak demikian dengan pemuda baju putih. Pemuda ini
Jiu Long tak berhenti. Ia menerobos kepungan tiga lelaki yang mengeroyok kakek tua. Dua tangan mengirim pukulan berantai ke dua lawan sekaligus. Dia menggunakan tenaga panas. Tiga lawan itu terkejut bukan main. Meski tak menyaksikan langsung, namun mengetahui dua rekannya sudah menjadi korban Jiu Long, mau tak mau timbul rasa keder dalam hati. Kalau lawan terkejut melihat kehebatannya, Jiu Long pun tak pernah menyangka bisa kejadian begitu. Di luar dugaan, kepandaiannya kini sudah maju pesat terutama kekuatan tenaga dalamnya. Pukulan Jiu Long belum tiba, tapi hawa panas sudah menerjang. Dua lelaki itu tak bisa menghindar. Mau tak mau, dua punggawa itu menarik serangan mereka yang mengarah ke kakek tua. Dua lelaki itu beralih menghadapi serangan Jiu Long yang seperti luapan air bah. Yang seorang mengirim beberapa tusukan berantai dengan sepasang tongkat pendek. Rekannya yang bertangan kosong memukul dengan dua tangan sambil mengerahkan segenap tenaga dalam. Seorang lagi, yang paling t
Lelaki itu mengerahkan segenap tenaga dalam. Nafsu membunuh memancar dari sepasang matanya. Jiu Long bersikap biasa. Tak terhindarkan lagi terjadi benturan tenaga Jiu Long mengibas dua tangan. Begitu pukulan lawan membentur dua tangannya, Jiu Long memutar dan mendorong dalam jurus Balaraksha (Seribu Raksasa) dan Naga Emas. Suara tulang patah diiringi suara orang mengeluh kesakitan. Lelaki itu terhuyung-huyung mundur, dua tangannya tergantung lemas tak bertenaga. Ia berkata dengan wajah pucat. "Ilmu apa itu... Siapa kamu...?" Tanpa ada yang memberi komando, mendadak perkelahian berhenti. Semua orang seperti sepakat. Mereka bertanya-tanya siapa pengemis gembel yang dengan beberapa pukulan sudah menjatuhkan empat punggawa istana. Jiu Long tersenyum ke gadis kurus. "Kau baik-baik saja nona?" Gadis kurus memandang heran. "Siapa kau, apakah kita pernah berjumpa?" "Ah kau tentu lupa, kita pernah bertemu di...," mendadak saja Jiu Lon
Punggawa wanita itu merasa angin menerpa wajahnya. Ia tahu Jiu Long berada di depannya. Ia melepas tubuh rekannya, mencabut pedang, memukul dengan tangan kiri diikuti tebasan pedang ke arah bayangan Jiu Long.Sambil tetap maju, Jiu Long merunduk dari tebasan pedang, mengelak dari pukulan lurus lawan. Ia melonjorkan tangan kanan mendorong wanita itu pergi. Tangan kiriinya menjambret lengan wanita yang terluka. Saat itu tiga punggawa lelaki sudah sampai di situ. Tapi mereka ragu-ragu menyerang melihat tangan Jiu Long menggenggam lengan rekannya yang terluka. "Kalian diam di tempat, sekali kepruk temanmu ini akan mati!"Semua orang terdiam. Punggawa yang menjadi pimpinan berteriak. "Itu bukan tindakan pendekar!""Memang aku bukan pendekar," berkata demikian, tangan Jiu Long cepat menotok dua belas titik di punggung dan pundak wanita itu. hebat dan cepat. Telapak tangannya menempel di punggung.Punggawa wanita yang terluka itu merasa hawa panas menerobos punggung, berputar-putar di seluru
Kakek ini kembali menyerang dengan jurus-jurus Naga Emas. Dua jurus sekaligus Balasasra dan Balaraksha. Semuanya mengarah titik kematian, ulu hati, pelipis, kemaluan, jantung, tenggorokan, pusar dan kepala. Sepanjang pertarungan Jiu Long hanya menggunakan Jejak Kilat untuk menghindar. Tapi ini saja tak cukup. Ia terdesak hebat. Mau tak mau akhirnya ia membalas dengan jurus Big Bang.Pertarungan sengit terjadi. Jiu Long yang bertarung setengah hati, makin terdesak. Kembali dua pukulan menghajar pundak dan pahanya. Dan kali ini ia tak sempat untuk berbenah diri. Pundak dan pahanya terasa panas seperti terbakar. Terpaksa untuk menolong diri Jiu Long memainkan jurus-jurus Naga Emas. Kali ini pertarungan jadi imbang. Ke mana serangan kakek itu tertuju, ke situ Jiu Long menahannya dengan jurus yang tepat. Persis seperti latihan saja.Jiu Long teringat, dulu ia sering berlatih tarung dengan guru Yu Jin menggunakan cara ini. Hanya bedanya, waktu itu tenaga batinnya tak sanggup untuk adu tenag
Kakek itu tertawa keras. "Kenapa kau ngomong pakai tetapi... apa yang kurang dari Jiu Long ini?"Gadis kurus itu tertawa kecil. Dengan matanya yang jenaka ia memandang Jiu Long dan berkata dengan agak malu-malu. "Kalau mau jadi keponakan muridku, harus berpakaian bersih, harus mencukur jenggot dan kumis harus...""Ah itu kan mudah saja"Berkata demikian, kakek itu menoleh kepada pemuda baju putih. "Pinjam pedangmu,”Kontan saja Jiu Long melangkah mundur. "Jangan, jangan. Saya mau dan sedia menjadi keponakan murid paman Liu Xing.""Kau bersedia karena terpaksa?" tegas kakek itu."Tidak, tidak terpaksa. Aku memang lebih suka begitu. Karena memang itu yang sebenarnya, aku kan murid guru Yu Jin. Terimalah hormatku, paman Liu Xing.""Hei..kau harus memanggilku paman Bhojana. Itu namaku yang sekarang!"Gadis kurus itu nyeletuk, "Bagus, aku kini memperoleh kakak seperguruan yang ilmunya jauh lebih tinggi dari aku." Gadis itu men