Tanpa berpikir panjang, pasukan berkuda yang mengenakan pakaian perang itu langsung melesatkan anak panah dan tombak ke arah Tanaka. Seketika Tanaka mengeluarkan api di tubuhnya lalu menangkis satu persatu senjata yang diarahkan padanya. Pasukan itu ternganga melihat anak panah dan tombak itu tampak terbakar lalu melesat jauh ke luar pasar.Kobaran api menyala membuat orang-orang di pasar itu berlarian ketakutan. Tanaka menatap pimpinan dan pasukan itu.“Aku datang ke sini tidak berniat untuk mengusik kalian!” tegas Tanaka. “Aku hanya tidak suka melihat ada manusia yang diperjual belikan!”Pimpinan pasukan itu pun menatap ke seluruh pasukannya untuk memberikan kode agar pergi dari sana. Akhirnya semuanya pergi dari sana. Kobaran api di tubuh Tanaka tampak lenyap. Dia lega melihat pasukan itu akhirnya pergi dari sana.“Kau memang senang membuat ulah!” kesal Pendekar Dua Alam.“Maafkan aku,” ucap Tanaka. “Aku tidak tahan melihat orang itu menjual manusia.”Pendekar Dua Alam pun menghela
“Kalau kau tidak bisa mendapatkan akar itu, kau harus bekerja dulu dan setelah mendapatkan sepuluh koin emas itu baru kau datang padaku untuk mendapatkan ramuan akar itu,” ucap Kakek itu setengah tidak percaya melihat Tanaka bisa melakukannya.Tanaka pun masih berpikir bagaimana cara untuk mendapatkan akar pepohonan yang menggantung dari tengah-tengah pohon itu. Sesaat kemudian dia menatap kedua telapak tangannya, tiba-tiba di kedua telapak tangannya keluar api. Tanaka mendapatkan solusi, tapi kakek itu malah ketakuan.“Kau...”“Jangan takut... aku ini seorang pendekar yang berbudi... aku bukan orang jahat...” ucap Tanaka menenangkannya.Kakek itu mengatur napas untuk mencoba menghilangkan ketakutannya pada Tanaka. Hanya siluman yang menggunakan ilmu api itu, pikir Kakek itu. Manusia tidak mungkin akan menguasainya. Namun dia mencoba percaya, jika Tanaka jahat, sudah sedari tadi dia mengancam kakek itu untuk segera memberinya ramuan itu, pikir Kakek.Akhirnya Tanaka menyalakan api di
Pendekar Dua Alam pun keluar dari dalam rumah itu. Dia terseyum pada Tanaka yang berhasil mengikuti perkataannya.“Ingat Tanaka, setiap apa yang kita lakukan di dunia ini akan dimintai pertanggung jawaban kelak saat kita berada di alam langit,” ucap Pendekar Dua Alam. “Makanya aku mengajarimu jangan gegabah dan jangan asal menuruti hawa nafsumu untuk memberi keputusan pada dirimu. Kau harus tahu mana yang benar dan kau harus tahu mana yang salah.”“Terima kasih telah mengajarkanku,” ucap Tanaka.Pendekar Dua Alam pun menatap kakek itu. “Kami harus pergi dari sini.”“Baiklah,” ucap Kakek itu. “Aku sangat berterima kasih pada kalian. Kalau bukan karena kalian mungkin aku sudah mati.”“Kamilah yang menyebabkan kakek terancam,” ucap Tanaka. “Harusnya kami yang meminta maaf.”Kakek itu pun tersenyum. Akhirnya Pendekar Dua Alam meraih tangan Tanaka lalu secepat kilat mereka menghilang dari hadapan Kakek itu. Kakek itu tampak mengucek mata tak percaya.“Apa mereka malaikat yang dikirim Dewat
Tanaka dan Pendekar Dua Alam kini mendarat di pantai yang di ujung sana terdapat sebuah pulau yang indah. Tanaka heran kenapa dia dibawa ke sana.“Apakah ini perhentian selanjutnya?” tanya Tanaka.“Kau sudah berada di perhentian terakhirmu, Tanaka,” jawab Pendekar Dua Alam.Tanaka lega mendengar itu. Bagaimana pun dia sudah tidak sabar untuk segera tiba ke mata air abadi itu agar semua urusannya bisa segera diselesaikan.“Apakah mata air abadi itu berada di pulau itu?” tanya Tanaka yang semakin penasaran.Pendekar Dua Alam malah tertawa. “Tidak, Tanaka. Mata air itu masih jauh dari sini, namun dengan kekuatanku kau akan sekedip mata untuk tiba di sana.”“Sekarang apa yang harus aku lakukan? Ramuan apa lagi yang harus aku minum?” tanya Tanaka yang ingin segera melanjutkan perjalanan ke sana.“Kau harus mengeluarkan roh-roh hitam yang merasuk ke dalam tubuhmu,” jawab Pendekar Dua Alam. “Roh-roh yang dimasukkan raja Iblis itu.”Tanaka terbelalak mendengar itu.“Kenapa aku harus mengeluar
Sementara itu, di negeri Manggala, Sang Ratu tampak berbaring di atas kasurnya. Perutnya sudah besar, mungkin tidak lama lagi dia akan melahirkan. Pelayan setianya duduk di hadapannya dengan khawatir.“Berapa lama lagi aku akan melahirkan?” tanya Sang Ratu dengan penasaran.“Mungin tiga kali purnama lagi, Yang Mulia,” jawab pelayan setianya itu.Sang Ratu tampak khawatir karena Tanaka anaknya belum juga pulang. Dia khawatir Tanaka tidak berhasil membunuh raja Iblis itu hingga kutukan Iblis itu juga akan dialami anak yang sedang dikandungnya itu.“Tolong panggilkan Panglima terbaru kita,” pinta Sang Ratu pada pelayannya.“Baik, Yang Mulia.” Pelayan setianya itu langsung bergegas keluar dari sana. Sang Ratu pun berusaha untuk duduk agar bisa menerima kedatangan Panglima terbarunya.Ya, semenjak Bimala pamit padanya untuk mencari Tanaka, saat itu juga Sang Ratu memilih prajurit terbaiknya untuk dijadikan Panglima terbarunya. Padahal Sang Ratu berharap Bimala lah yang mendapatkan posisi i
Tabib Istana yang tengah mencoba menerawang lokasi kulil yang tertinggal di Nusantara bagian timur itu tampak terkejut ketika melihat para pendekar sakti mendatangi kuil itu. Mereka menghancurkan pintu besi yang menuju ruang bawah tanah kuil itu. Tak lama kemudian kilatan cahaya membuat matanya sakit dan tidak dapat lagi menerawang kembali.Tabib Istana itu membuka mata lalu mendadak tubuhnya lemas dan disekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Raja Nepis yang duduk menunggunya di dalam kediamannya itu tampak heran.“Apa yang terjadi?” tanya Raja Nepis heran.“Ada yang menghalangiku untuk menerawang lokasi itu, Yang Mulia,” jawab Tabib Istana itu.Raja Nepis mengernyit mendengarnya.“Seperti apa wujud yang menghalangimu itu?” tanya Raja Nepis penasaran.“Aku melihat banyak pendekar yang tak pernah kulihat sebelumnya mendatangi kuil itu lalu tiba-tiba ada kilatan cahaya yang menghalangi penerawanganku. Sepertinya para pendekar itu hendak mengambil mantra itu,” jawab Tabib Istana.Raja Nep
Sakwa dan Tasir mendekati Roh Panglima dan Jabali yang tengah tertidur pulas di negeri raksasa itu. Seketika Sakwa membangunkannya.“Roh Panglima! Roh Panglima!” panggilnya.Roh Panglima dan Jabali pun terbangun dengan heran. Mereka pun duduk menatap Sakwa dan Tasir dengan heran melihat di punggungnya tengah memikul buntalan kain seperti orang hendak melakukan pengembaraan.“Kenapa kalian menggangu istirahat kami?” tanya Roh Panglima. Meskipun hari di sana tampak tidak pernah malam, namun karena biasa hidup di alam manusia yang berganti antara siang dan malam, mereka juga merasakan kantuk di sana. Mereka tidak tahu kapan waktunya malam di bumi manusia. Jika mereka mengantuk, mereka berpikir bahwa di alam manusia pasti tengah terjadi malam.“Kami memiliki cara untuk kabur dari sini,” ucap Sakwa.“Betul! Kami membangunkan kalian untuk mengajak kalian pergi karena yang bisa mengendalikan kapal hanya kalian saja,” tambah Tasir.Roh Panglima dan Jabali mengernyit heran.“Bukan kah sudah ti
Masih di negeri raksasa. Raja Sajuna berjalan di taman istana diikuti oleh dayang-dayang dan para prajuritnya. Dia sering melakukan itu jika sedang bersantai dari aktivitas istana. Hanya sekedar berkeliling sembari menghirup udara segera di luar istana.Di hadapannya Putra Mahkota datang ke arahnya. Sang Raja berhenti melangkah saat melihat Putra Mahkota berlutut memberi hormat padanya.“Bagaimana keadaan para tawanan di kediamannya?” tanya Sang Raja penasaran.“Mereka baik-baik saja, Yang Mulia,” jawab Putra Mahkota.“Lalu soal Tanaka dan Bimala, apakah sudah ada petunjuk dari mereka?” tanya Raja Sajuna penasaran.“Hingga saat ini kita belum mendapatkan petunjuk dari mereka, Yang Mulia,” jawab Putra Mahkota.Sang Raja tampak khawatir. “Waktunya tidak lama lagi. Jika batu permata itu tidak segera didapatkan, maka batu permata itu akan meledak dan membuat seisi alam manusia akan kiamat.”Putra Mahkota kian khawatir mendengar itu.“Apakah itu akan berdampak buruk untuk alam kita, ayah?”
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi