Setelah mereka meninggalkan Danau Dewa, Ling dan Ailin kembali ke markas sementara mereka di tepi hutan. Suasana malam mulai tenang, hanya ditemani oleh suara alam yang mengiringi langkah mereka. Di kejauhan, mereka bisa melihat cahaya dari perapian yang dibuat oleh teman-teman mereka, siap menyambut kedatangan Ling dan Ailin.“Kita harus membicarakan apa yang kita lihat di sana,” kata Ling sambil menatap Ailin. “Visi itu bukan sekadar gambaran, tetapi petunjuk untuk langkah selanjutnya.”Ailin mengangguk setuju. “Aku setuju, tapi kita juga tidak boleh gegabah. Banyak musuh mengincar kekuatanmu, terutama setelah apa yang terjadi dengan Manggala dan Kitab Dewa Naga.”Sesampainya di markas, mereka disambut oleh beberapa orang yang setia bersama mereka sejak awal perjalanan ini. Guan Ping duduk di samping perapian, memutar-mutar pedangnya di tangannya, sementara En Jio terlihat asyik menikmati secangkir teh. Namun, keduanya langsung berdiri ketika melihat Ling dan Ailin tiba.“Kalian bai
Pagi hari tiba dengan cepat. Matahari baru saja terbit, namun Ling dan yang lainnya sudah bersiap untuk bergerak. Suara daun yang bergemerisik ketika angin bertiup menambah ketenangan di sekitar hutan, meskipun di dalam hati mereka, ada kegelisahan yang semakin membesar.“Kita harus bergerak sebelum Tong Guan kembali,” ujar Ailin sambil mengencangkan tali pedangnya.Ling memimpin rombongan kecil mereka menuju sebuah desa terdekat, tempat yang dianggap aman untuk mencari sekutu. Namun, semakin dekat mereka dengan perbatasan hutan, Ling merasakan sesuatu yang janggal. Energi aneh mengalir di sekitarnya, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kejauhan.“Berhenti,” bisik Ling tiba-tiba, membuat yang lain berhenti seketika.“Ada apa?” tanya En Jio, yang segera meraih gagang pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang tak terlihat.Ling menyipitkan matanya, berusaha merasakan dengan lebih jelas. “Kita diawasi. Mereka sudah mengetahui keberadaan kita.”“Siapa?” Ailin mendekat, suaranya
Langit di atas mereka berubah kelabu, seolah mencerminkan ketegangan yang kini dirasakan oleh Ling dan rombongannya. Setelah pertarungan sengit, mereka bergerak cepat meninggalkan area hutan tempat mereka diserang. Suara langkah kaki yang teredam oleh tanah lembab menjadi satu-satunya suara yang terdengar selain desahan napas mereka yang masih berat setelah pertempuran.Ling berjalan paling depan, pandangannya terus menelusuri pepohonan di sekeliling mereka. Meski musuh telah mundur, kewaspadaannya tidak berkurang. Serangan mendadak yang terjadi barusan hanya mempertegas bahwa musuh-musuh mereka semakin dekat. Ailin, Guan Ping, dan En Jio mengikuti di belakang, masing-masing terdiam memikirkan langkah selanjutnya.“Apakah kita menuju desa yang aman?” tanya En Jio dengan suara rendah, menghancurkan kesunyian yang menekan.“Itu rencana awalnya,” jawab Ling tanpa menoleh. “Tapi setelah kejadian tadi, aku tidak yakin desa itu aman. Kita harus membuat keputusan cepat sebelum mereka bisa me
Rumah besar di tengah desa itu tampak semakin menegangkan saat Ling dan rombongannya mendekatinya. Matahari sudah benar-benar tenggelam, meninggalkan desa dalam gelap yang hanya diterangi cahaya lentera dari rumah-rumah penduduk. Namun, rumah besar itu tampak lebih misterius dengan cahaya redup yang menyelinap dari jendela-jendelanya.“Apa kalian merasa tempat ini terlalu sunyi?” bisik Ailin, suaranya nyaris tidak terdengar.“Ya,” jawab Guan Ping tanpa ragu. “Seolah mereka tahu sesuatu yang kita tidak tahu.”Ling mengangguk pelan. “Tetap tenang dan waspada. Kita akan tahu lebih banyak begitu kita masuk ke dalam.”Mereka berdiri di depan pintu gerbang besar itu, dibuat dari kayu tebal yang tampak tua namun kokoh. Ling mendekat dan mengetuk pintu dengan tenang. Suara ketukan terdengar nyaring di dalam, bergema melalui rumah besar itu. Setelah beberapa saat, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan wajah yang dingin.“Apa yang kalian inginkan?” suaranya datar
Pagi datang dengan udara yang dingin dan lembap, mengisi desa dengan ketenangan yang aneh. Matahari baru saja mulai terbit, namun suasana tetap terasa suram. Ling, Ailin, Guan Ping, dan En Jio berkumpul di halaman rumah kecil tempat mereka menginap, bersiap menghadapi malam yang akan datang.“Aku tidak suka ini,” kata En Jio sambil mengikat tali sepatunya. “Makhluk di pegunungan? Ini bisa jadi jebakan. Atau mungkin ada lebih dari satu.”“Kita tidak punya pilihan,” jawab Ling dengan tenang, meski hatinya penuh keraguan. “Informasi tentang aliran hitam sangat penting. Kita harus siap menghadapi apa pun yang muncul.”Ailin, yang berdiri sambil menajamkan pedangnya, memandang Ling dengan serius. “Kita harus berhati-hati. Makhluk itu bisa jadi lebih kuat dari yang kita duga, terutama jika berkaitan dengan ilmu hitam.”Ling mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke puncak pegunungan yang menjulang di kejauhan. “Kita akan mencari tempat persembunyian makhluk itu saat malam tiba. Sebelum i
Suasana setelah pertempuran masih dipenuhi ketegangan. Tubuh makhluk besar yang mereka kalahkan tergeletak di tanah, namun udara di sekitar mereka tetap terasa berat. Meskipun kemenangan telah mereka raih, Ling tidak merasa lega. Dia tahu sesuatu yang lebih gelap menanti mereka.“Itu terlalu mudah,” gumam Guan Ping sambil menatap mayat makhluk raksasa itu. “Makhluk seperti ini tidak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada sesuatu yang lebih besar mengendalikan mereka.”Ailin membersihkan darah dari pedangnya, ekspresi wajahnya serius. “Kita mungkin baru menyentuh permukaan masalah ini. Makhluk ini hanyalah kaki tangan.”Ling berdiri dengan tenang, matanya tetap mengawasi medan di sekitarnya. Dalam dirinya, bisikan Manggala telah menghilang, namun jejak kekuatan iblis itu masih terasa di tubuhnya, menggema di pikirannya. Kekuatan itu memberinya kemenangan, tetapi dengan harga yang tidak bisa ia abaikan.“Kita harus terus bergerak,” kata Ling akhirnya. “Tempat ini tidak aman.”Mereka mulai b
Mereka terus bergerak maju, menembus kabut yang semakin pekat. Langkah kaki mereka menyisakan jejak samar di tanah lembab, tetapi kabut tebal yang menyelimuti hutan menghapus jejak itu dalam sekejap. Di tengah suasana mencekam ini, setiap suara menjadi lebih tajam, setiap bayangan terasa lebih gelap. Ling berjalan paling depan, tatapannya fokus ke arah yang belum jelas tujuannya.Guan Ping melirik ke arah Ling, sedikit cemas. "Kau yakin tidak ada jalan lain?" tanyanya, suaranya pelan tapi cukup terdengar oleh Ling.Ling menggeleng pelan. "Tidak ada pilihan. Kita harus mencari tempat yang aman sebelum malam datang."Ailin, yang berjalan di samping Ling, menatap hutan yang kelam dengan mata waspada. "Aku tidak suka perasaan ini," gumamnya. "Seperti ada sesuatu yang mengintai dari jauh. Sesuatu yang tidak kita lihat, tapi terus mengawasi kita."Guan Ping mengangguk setuju. "Mungkin pria berpakaian hitam itu belum benar-benar meninggalkan kita. Dia bisa saja masih mengintai di sekitar sin
Suara gesekan pedang dan senjata lainnya mulai terdengar, menciptakan ketegangan yang merambat cepat di udara. Kabut yang semakin pekat seolah menjadi saksi diam dari pertempuran yang tak terelakkan. Ling menggenggam pedangnya erat, napasnya tenang namun dadanya terasa bergemuruh. Di sekelilingnya, para anggota aliran hitam semakin merapat, formasi mereka rapat, dan pergerakan mereka penuh kehati-hatian."Kita harus memecah formasi mereka," gumam Ling kepada Guan Ping dan Ailin yang sudah siap di sisinya. "Jangan biarkan mereka mengelilingi kita sepenuhnya."Guan Ping menanggapi dengan anggukan cepat, lalu tanpa ragu-ragu melompat maju dengan pedangnya terhunus. "Biar aku yang membuka jalan!" teriaknya sebelum tebasannya menghantam salah satu anggota aliran hitam. Tebasan itu berhasil menebas pelindung lawan, tetapi musuh tampak terlatih. Dengan gesit, mereka langsung membalas serangan.Ling bergerak cepat, tubuhnya meluncur seperti bayangan di antara kabut. Tebasannya meluncur ke ara
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya