Setelah beberapa hari kemudian Galuh Tapa berpamitan meninggalkan rumah Arya.
"Kau sudah banyak membantuku, Arya. Namun saat ini aku belum dapat membalas budi baikmu-"
"Jangan pikirkan hal itu," potong Arya seraya tersenyum kecil. "Pergilah temui Ki Santa, jika suatu hari nanti ada sebuah kesempatan, datanglah ke sini lagi."
"Pasti," jawab Galuh Tapa, "Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku, meskipun kita baru saja saling mengenal."
"Pergilah saudaraku!' ucap Arya lagi, seraya memeluk tubuh Galuh Tapa dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Capailah apa yang menjadi tujuanmu, dan berjuanglah!"
Pada akhirnya Galuh Tapa melangkahkan kaki meninggalkan rumah pemuda yang telah menolongnya.
Di dalam hati pemuda itu, bertekad akan kembali lagi ke desa ini untuk membalas budi baik Arya yang telah menyelamatkan hidupnya.
Seorang lelaki harus memiliki prinsip yang kuat, dan prinsip hidup Galuh Tapa adalah balas budi.
Dengan bermodal sebuah peta yang dibuat oleh Arya, Galuh Tapa mulai menyusuri jalanan desa, masuk ke dalam hutan dan menyeberangi anak sungai hanya untuk mencari keberadaan rumah Ki Santa.
Rumah Ki Santa berada di atas bukit yang bernama Bukit Tengkorak. Jika seorang mengerti mengenai wilayah ini, tentulah mencapai bukit Tengkorak tidak terlalu memakan waktu yang lama.
Namun, Galuh Tapa adalah orang baru di tempat ini. Dia tidak terlalu paham dengan medan yang akan dilaluinya, lebih dari itu dia tidak terlalu paham dengan peta yang dibuat oleh Arya.
Hal ini membuat Galuh Tapa kesulitan untuk mencari jalan paling cepat menuju kediaman Ki Santa.
Di dalam perjalanan banyak sekali rintangan yang dia lalui, hutan yang lebat sering kali membutakan arah tujuannya.
"Bukankah aku pernah melewati sungai kecil ini?" gumam Galuh Tapa, tampaknya pemuda itu mulai tersesat di dalam hutan ini.
Hari mulai gelap matahari sudah terbenam, dia mencari tempat beristirahat akan tetapi tidak menemukan satu gubukpun di dalam hutan.
Akhirnya Galuh Tapa mecari satu pohon yang besar, diapun menaiki pohon itu dan bermalam hingga menunggu matahari terbit.
Matahari mulai menyinari wajah Galuh Tapa, hingga Galuh Tapa bangun dari tidurnya, Diapun melanjutkan perjalanan menuju bukit tengkorak.
Di dalam perjalanan dia mendaki cadas yang penuh akar pohon besar, kakinya melangkah dengan penuh ketelitian. Satu persatu akarpun dilaluinya.
Hingga pemudah itu melihat ada sebuah bukit yang nampak besar dengan jurang yang begitu dalam dengan sebuah aliran sungai yang begitu deras.
Keraguan Galuh Tapa nampak dari raut wajahnya yang begitu gelisah.
"Kalau aku tidak meniti jurang ini mungkin aku tidak akan sampai ke bukit Tengkorak,"gumam Galuh
Setelah itu Galuh Tapa melangkahkan kaki dengan perlahan,detak jantung nya begitu kencang, keringat di wajah mulai membasahi tubuhnya.
Namun Galuh Tapa terus menapakkan kakinya selangkah demi selangkah untuk menuju Bukit Tengkorak.
Galuh Tapa beristirahat sejenak untuk memulihkan rasa lelah, pada sebuah gubuk reot yang tertinggal. Gubuk itu mungkin dibuat oleh para pemburu yang sering mencari rusa di sekitar hutan ini.
Setelah rasa lelahnya hilang diapun melangkahkan kaki meninggalkan gubuk itu.
Perjalanan berlanjut hingga akhirnya dia melihat seperti anak tangga yang cukup panjang. Tampaknya, ujung anak tangga tersebut berada di puncak bukit yang tinggi. Itulah bukit Tengkorak.
Galuh Tapa tidak tahu kenapa bukit ini dinamakan Bukit Tengkorak, mungkin karena bentuknya, atau pula mungkin dahulu ada banyak kepala manusia di penggal di atas bukit tersebut.
Galuh Tapa mulai mendaki melewati anak tangga satu persatu dengan ayunan kaki yang berat.
"Sial, jikalah aku memiliki ilmu meringankan tubuh, melewati anak tangga ini bukanlah perkara sulit untuk dilakukan."
Meskipun terlihat mudah, tapi rupanya anak tangga ini begitu tinggi dan cukup tegak.
Di pertengahan jalan, Galuh Tapa mulai merasakan langkah kakinya begitu berat seolah tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.
Dia menghela napas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan hanya untuk mengurangi rasa lelah.
Namun kakinya mulai terasa sakit.
Dia pun mencoba berjalan lagi, memaksakan seluruh tenaga yang dimilikinya saat ini.
Kadang kala, terdengar suara batuk kecil dari mulutnya, atau pula suara hela nafas yang berat.
Bukan hanya sekali dua kali dia berhenti, duduk di anak tangga dan meregangkan kakinya untuk sesaat, sebelum kemudian melanjutkan kembali perjalanan.
Akhirnya Galuh Tapa mendekati tangga yang terakhir, dengan cepat dia melangkahkan kakinya untuk melewati tangga tersebut.
Pemuda itu merebahkan tubuhnya, merentangkan dua tangan dan menatap langit yang berteman awan putih. Sinar matahari tajam tidak membuat matanya terasa silau.
"Aku penasaran, bagaimana Arya menaklukan tangga ini hanya dalam setengah hari saja?" gumam pemuda itu.
Setelah tiba di puncak bukit tengkorak, Galuh Tapa merasa lega namun tak nampak ada seorang manusia di sana, kecuali hanya kerangka tulang belulang manusia.
Terlihat kecil di kejauhan, rupanya puncak Bukit Tengkorak begitu luas, dengan banyak pohon-pohon yang tinggi.
"Dimana rumah Ki Santa?" ucap Galuh Tapa, sambil mencari petunjuk keberadaan tabib hebat tersebut.
Namun, setelah cukup lama berputar-putar di antara pohon-pohon besar, Galuh Tapa tidak menemukan apapun. Tidak ada orang tua, atau pula rumah seperti yang dikabarkan oleh Arya kepada dirinya.
Dengan raut wajah kecewa, dia pun akhirnya menghempaskan bokong di atas batu sambil bergumam tidak jelas. Setidaknya cara ini dapat menghilangkan rasa letih, meski hanya sedikit.
Setelah beberapa menit beristirahat, Galuh Tapa mencoba peruntungan sekali lagi, dengan mengelilingi puncak bukit Tengkorak ini. Jika memang tidak menemukan sedikitpun petunjuk, dengan berat hati, dia akan meninggalkan bukit tersebut.
Dan akhirnya!
"Gubuk!" Galuh Tapa setengah berteriak, setelah berkeliling beberapa kali, kini akhirnya dia melihat sebuah gubuk kecil di depan matanya.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, antara lelah, kesal, dan senang yang menjadi satu, pemuda itu perlahan mendekati gubuk tersebut.
"Permisi, adakah orang di dalam gubuk ini?" Galuh Tapa mengetuk pintu gubuk beberapa kali. "Permisi, apakah ini benar rumah Ki Santa?"
Namun, tidak ada sahutan dari dalam gubuk tersebut. Sekali lagi, Galuh Tapa berpikir, apakah benar Ki Santa tinggal di gubuk ini.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
"Apa yang membawamu ke tempat ini, Anak Muda?"
Rupanya, orang di belakang Galuh Tapa merupakan sosok tua renta, tapi memiliki pancaran wibawa yang memikat bagi siapapun yang melihatnya.
Hanya dengan mendengar dan melihat wajahnya saja, Galuh Tapa merasakan bahwa sosok orang tua ini, adalah Ki Santa.
"Tidak banyak pemuda yang datang ke tempat ini, kecuali mereka tersesat, atau meminta bantuanku untuk mengobati seseorang, tapi tampaknya kau tidak termasuk dari dua golongan tersebut, anak muda."
"Maafkan atas kelancanganku, tapi jika boleh aku menebak, Tuan ini pasti yang bernama Ki Santa, bukan?" jawab Galuh Tapa.
Suara tawa kecil keluar dari mulut pria tua tersebut, "kau tampaknya pemuda yang cerdas, benar, aku adalah Ki Santa, kenapa kau datang mencariku, anak muda?"
Sungguh, sesungguhnya Ki Santa telah mengenal Galuh Tapa, dan tahu jelas kenapa pemuda itu datang ke tempat ini, bahkan sebelum pemuda itu memijakkan anak tangga pertama sebelumnya.
Galuh Tapa pada akhirnya menceritakan prihal yang menimpanya beberapa hari yang lalu, bahkan dia mengatakan bahwa saudaranya Arya, meminta bantuan Ki Santa untuk mengobatinya.
"Kedatanganku ke sini, untuk berterima kasih kepada Ki Santa," ucap Galuh Tapa.
Namun sayangnya, kakek tua itu seolah tidak mendengar cerita Galuh Tapa, dia hanya diam dengan senyum tipis di bibirnya.
Merasa kakek tua ini tidak merespon ucapannya, raut wajah Galuh Tapa terlihat kesal.
"Apa hanya karena itu kau datang ke tempat ini, anak muda?" tanya Ki Santa lagi.
Galuh Tapa belum menjawab, dia menggaruk kepalanya beberapa kali, mencoba menemukan kalimat yang bagus untuk diungkapkan.
"Begini Ki," ucap Galuh Tapa, sedikit ragu. "Jika kau mengizinkan, kiranya bolehkan aku belajar ilmu kanuragan kepada dirimu."
Mendengar hal itu, Ki Santa malah tertawa kecil. Dia berjalan dengan dua tangan di belakang punggungnya, lalu membuka pintu rumah yang jelas tidak terkunci.
Melihat hal tersebut, Galuh Tapa menjadi bingung, apakah orang tua ini menerimanya menjadi murid atau malah menolaknya?
"Ki, apakah kau menolakku?" tanya Galuh Tapa.
"Sepertinya kau bukan pemuda yang sabar," jawab Ki Santa, lalu tertawa kecil. "Apa kau serius ingin berguru denganku?"
"Aku serius, Ki."
"Hehehehe ...dahulu ada satu pemuda yang datang kepadaku, mengatakan hal yang sama seperti yang kau katakan hari ini, tapi pemuda itu akhirnya tidak berhasil memenuhi syarat yang kuberikan."
"Boleh aku tahu, sarat apa yang kau inginkan dariku, Ki?" tanya Galuh Tapa.
"Apa kau sanggup memberikan hal berharga kepada diriku?" tanya Ki Santa.
"Aku tidak memiliki barang berharga apapun, Ki," jawab Galuh Tapa, "tapi mungkin hanya pedang ini yang aku miliki, jika kau menginkannya, aku tidak keberatan untuk memberikannya kepadamu."
"Pedang ini, hanyalah tempaan dari seorang empu, tiada arti bagi diriku, anak muda!" jawab Ki Santa sambil tersenyum penuh arti. "Benda mati yang menjadi rebutan para pendekar, hanya akan menimbulkan malapetaka di kemudian hari, apa kau pikir aku menginginkan hal seperti itu?"
Galuh Tapa menjadi bingung, dia tidak tahu apa yang ingin disampaikan oleh Ki Santa. Mengenai barang berharga, Galuh Tapa jelas tidak memilikinya kecuali pedang Lintang Kuning ini, tapi Ki Santa menolak hal tersebut.
'Aku tidak memiliki apapun kecuali hidupku sendiri,' gumam Galuh Tapa, tapi kemudian dia tersadar, 'Hidupku? apa Ki Santa menginginkan hidupku?'
"Sepertinya kau tidak tahu apa yang kumaksud, Anak muda," ucap Ki Santa berniat lagi masuk ke dalam gubuknya, "Pergilah, sebelum hari menjelang malam!"
"Tunggu, Guru!" ucap Galuh Tapa. "Jika kau menginginkan hidupku, maka aku akan memberikannya, lagipula aku mungkin sudah mati tanpa pertolongan dirimu!"
Dengan pikiran yang mantap, Galuh Tapa menarik pedang Lintang Kuning dari sarungnya, dan mulai meletakan mata pedang itu pada batang lehernya sendiri.
"Mungkin, aku tidak layak untuk hidup, dan mungkin pula hanya inilah yang bisa aku berikan kepada dirimu, Guru!"
Ki Santa masih tersenyum tipis melihat tindakan yang dilakukan oleh Galuh Tapa, dia ingin melihat apakah pemuda itu sanggup menarik pedang di batang lehernya sendiri.Namun, rupanya Galuh Tapa tidak main-main dengan ucpannya, tangannya mulai menarik pedang itu, hingga setetes darah telah keluar dari luka yang dia buat.Ketika Galuh Tapa menutup mata, dan ingin membuktikan kepada Ki Santa bahwa tekadnya begitu kuat, pria tua itu segera menghentikan tangan Galuh Tapa."Cukup, hentikan!" ucap Ki Santa, "Kau sudah menunjukan kebulatan tekad, memang benar aku menginginkan kehidupanmu, tapi bukan nyawamu."Galuh Tapa menatap Ki Santa dengan penuh makna, ada banyak pertanyaan di benaknya, yang tidak dapat diungkapkan satu persatu."Menyerahkan hidupmu padaku, bukan berarti kau harus mati, anak muda," ucap Galuh Tapa. "Tapi pemaknaan yang lebih dalam, aku ingin membuat dirimu tunduk pada aturanku, tunduk pada semua perintah dan nasehat yang akan kuajarkan
Galuh Tapa melanjutkan latihan selanjutnya. Dengan keyakinan keras pemuda ini berlatih ''Kamu harus berlatih didalam sungai yang ada dilering bukit ini,''ucap Ki Santa. ''Baik Eyang Guru, aku akan berlatih.''jawab Galuh Tapa dengan semangat. Setelah itu Galuh Tapa menuju sungai itu,dengan rasa semangat dia menuruni lereng bukit. Pemuda ini melihat air yang begitu deras dengan warna air yang kebiru- biruaan. ''Gumam Galuh Tapa, apakah aku mampu masuk kedalam air yang begitu deras, yang nampak begitu dalam. Pemuda ini penuh keraguan yang begitu mendalam. Namun Galuh Tapa tetap masuk kedalam air itu ,lalu berenang beberapa depa kedalam air, pemuda ini tersiret terbawa arus sungai yang deras. Tubuhnya terhanyut oleh deras nya air sungai. Setelah pemuda ini sampai di tepi sungai, dia berdiri lalu keluar dari sungai. Dengan wajah nampak begitu pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan. ''Galuh,anak muridku carilah sungai yang air nya yang agak tenang ,nanti jika kamu berha
Didalam lamunan Galuh Tapa teringat akan temannya yang telah telah meninggal oleh pendekar aliran hitam.Dia bertekad untuk membalaskan dendam Aji Bakas dan penduduk desa Luang Nyawa yang telah dibantai oleh sekte Naga Hintam.Kemudian Galuh Tapa mencoba mengeluarkan ajian yang dimilikinya. Ajian Rentak Bumi dikeluarkan Galuh Tapa , ajiannya terarah kepada batang besar yang dihadapan matanya.Ajian Rentak Bumi menghantam bantang lalu tebakar,walaupan ajian yang dimiliki belum memasuki level tinggi.Ki Santa melihat ajian yang dipakai anak muridnya sembari dia sangat terkejut, karna ajian Rentak Bumi hanya Ki Santa dan Ki Ulung yang memiliki ajian itu."kenapa kamu bisamemiliki ajian Rentak Bumi? "tanya Sang Guru kepada GaluhTapa. Ajian Rentak Bumi diberikan Eyang Guru,yang bernama Ki Ulung."jawab Galuh Tapa dengan lirih.Setelah mendengar jawaban seoarang murid, Ki Santa merasa senang sembari tersenyum tipis dari bibirnya. Ki Santa menceritakan bahwa Ki Ulung adalah adek sepeg
Setelah satu tahun berlalu, beberapa orang penduduk desa mendatangi tempat Ki Santa berdiam, dengan napas terhela-hela diantara mereka menceritakan, bahwa didesa tempat mereka tinggal terjadi wabah yang megerikan. Membuat penduduk jatuh sakit, karna air sungai yang mereka minum bayak membuat penduduk terkena wabah. Seiring waktu menjelang mlam, mereka bermalam di gubuk reot itu, entah apa yang membuat mereka datang menemui tempat Ki Santa, mereka meminta tolong, untuk mendatangi penduduk desa lalu mengobatinya. Ki Santa dan Galuh Tapa mendengar akan hal itu, mereka akan mengobati penduduk desa Kerinjing, bahkan akan mencari tahu sebab datangnya wabah di kampung itu. Keesokan hari mereka turun dari bukit tengkorak, Galuh Tapa dan Ki Santa memakai ilmu meringankan tubuh, mereka semua saling memegang tangan sembari terbang melayang, tidak memakan waktu lama mereka akan sampai di desa Kerinjing. Setelah sampai didesa itu Galuh Tapa dan Ki Santa terkejut melehat prahara yang me
Setelah beberapa tahun berlalu Galuh Tapa terus berlatih untuk meningkatkan kemampuannya, dengan rajin pemuda ini selalu berlatih walaupun tanpa ada paksaan dari seorang guru. Bagaikan sebuah pohon besar, semakin tinggi tentu semakin deras angin menerpa, keinginan dan hasrat seorang pendekar harus memiliki jiwa kesatria, agar kelak mampu melawan aliran hitam yang bertindak sewenang-wenang. "Galuh, kenapa kamu tidak berlatih memaikan pedang Lintang Kuning, ku lihat kamu hanya memandang dan tidak mau mencabut pedang itu dari sarungnya.''ucap Ki Santa. "Jika melihat pedang ini aku teringat akan temanku,dan pendang ini belum bisa kukuasai, karna belum terpikir olehku untuk mempelajari pendang ini."jawab Galuh Tapa. "Kalau kamu tidak mempelajari pedang itu, kapan kamu akan mengusai pedang itu,bukankah pendang ini jadi incaran aliran hitam."ucap Ki Santa sembari memberi masukan. Galuh tapa hanya menganggukkan kepalah dan memikirkan perkataan gurunya itu memang ada benarnya.
Di pagi hari yang cerah sinar matahari mulai membentang.Galuh Tapa melanjutkan latihan, sebelelum latihan pemuda ini seketika melakukan pemanasan untuk menghangatkan suhu tubuh. Kali ini Galuh Tapa mengeluarkan pedang dari sarungnya, nampak terpancar cahaya keemasan dari pedang Lintang Kuning. Galuh Tapa mulai memainkan pedang pusaka Lintang Kuning, pemuda ini memakai ilmu meringankan tubuh, dia melompat diatas dedaunan dan turun kebawa menghunuskan pedang itu ketanah, lalu terbang melayang diatas pohon besar dan dengan sedikit mengibaskan pedang kedaun-daun yang ada dipohon itu, daunpun jatuh bertaburan ditanah. Setelah beberapa menit memaikan pedang pusaka Lintang Kuning,Galuh Tapa mulai merasakan hisapan energi pedang itu, seketika pemuda ini teringat ucapan seorang guru,dan dia tidak mau lagi memaksakan diri untuk mengusai pedang itu.Jadi pemuda itu langsung memasukan pedang pusaka Lintang Kuning kedalam sarungnya.Galuh Tapa menghentikan latihan sejenak dan menemui Sa
Setelah menyelesaikan masalah didesa Langur, Galuh Tapa meninggalkan desa itu, kini dia melanjutkan perjalanannya.Didalam perjalanannya Galuh Tapa tidak memakai ilmu yang dimilikinya, pemudah ini hanya berjalan kaki untuk menuju kerajaan Fasma Lebar.Namun sebelum sampai kekerajan itu, Galuh Tapa harus melalui beberpa desa, dari kejauhan sudah nampak suatu desa kecil, dia langsung mengarah berjalan kedesa yang telah terlehat.Ketika hendak sampai kedesa ,Galuh Tapa dihadang oleh seorang yang berkulit hitam yang berbadan kekar dengan raut wajah yang nampak garang."Mau kemana kisanak, pria ini sembari memegang pinggang. "ucap pria itu dengan nada membentak. "Aku hanya ingin pergi kedesa itu."ucap Galuh tapa dengan lirih.Pria berbadan kekar itu, maju mendekati Galuh Tapa dengan melinggangkan tangan, seakan-akan ingin memperlihatkan kegagahannya.Sementara itu Galuh Tapa tetap tenang, pria kekar itu seraya melhat pedang Lintang Kuning yang disandang anak muda itu." Pedangmu sang
Perjalanan Galuh Tapa kali ini di temani Serampang Hitam, dia adalah sahabatnya, walaupun mereka belum lama saling kenal tapi mereka sahabat baik.Kedua pemuda ini berjalan melangkahkan kakinya untuk menolong orang yang yang membutuhkan bantuan mereka. Didalam perjalanan dua pemuda ini terhalang oleh kabut hitam yang tebal hingga pandangan mereka tidak jelas, hanya beberapa meter akibat kabut tebal itu.Galuh Tapa dan Serampang Hitam tetap melangkahkan kaki untuk menuju suatu desa.Namun dilalam perjalanan mereka melalui hutan yang lebat, tiba-tiba mereka dihadang oleh tiga puluh orang yang memakai topeng yang nampaknya dari aliran klan hitam." mau kemana kalian, "ucap orang bertopeng dengan menujuk kearah dua pemuda itu. "Kami mau kesuatu desa" ucap Serampang Hitam dengan santai.melihat kedua pemuda ini,orang bertopeng langsung mengepung sembari mau menyerang Galuh Tapa dan Serampang Hitam.Sementara dua pemuda ini juga, sudah siap untuk menyerang,pemimpin aliran hit
"Aku tidak sempat menanyakan hal itu pada ayahku, kedatangan kita bersamaan dengan surat panggilan dari Negri Singunan untuk Ayahanda" ucap Ringgina."Surat dari Negri Singunan?" Galuh Tapa terlihat kecewa."Negri Singunan memberi informasimengenai Putra bungsu mereka. Pangeran Rengkeh dikabarkan belum kembali setelah melakukan Kunjungan ke Negri Bumi Besemah.""Rengkeh?" Galuh Tapa bergumam pelan."Apa kau mengetahui nama itu?" Ringgina bertanya."Ah, aku belum pernah mengenal namapangeran dari Negri Singunan." Galuh Tapa berbohong, tentu saja dia mengetahui Pangeran Rengkeh, karena dia sendirilah yang berhasil mengalahkan pemuda licik itu beserta senopati dan anak buahnya."Tapi jangan risau, Ayahku memang sedang kembali lagi ke Negri Singunan, disini ada tabib hebat yang bisa membuat penawar racun itu, dia adalah kepercayaan Ayahku.""Benarkah?""Ya, aku akan menemui tabib itu besokpagi" Ringgina tersenyum kecil, meski diatidak begitu yakin dapat meminta sangtabib untuk membua
Sehingga Angsa Putih mendesah pelan, lantas menepuk pundak temannya tiga kali. "Ki Santa tidak di undang dalam rapat itu, ketentuan nasip para tawanan tergantung Paduka Raja Jaya Negara beserta pejabat kerajaan. Kita hanya persatuan Hulubalang, bahkan Damar Tirta tidak di undang dalam rapat itu."Ki Jangga menatap mata Angsa putih dengan tajam, untuk beberapa saattidak berkedip sedikitpun. Lantasmengalihkan pandangan pada seributawanan dengan kebencian."Tenangkan perasaanmu kawan! Tidak ada gunanya kau menaruh dendam padatawanan yang tidak lagi berdaya." AngsaPutih menuangkan arak pada dua cawan,kemudian salah satunya disodorkan kepada Ki Jangga. "Akan ada waktunya kau bisa mengamuk sesuka hatimu, tentu saja bukan pada seribu orang di sana yang tidak memiliki kemampuan, atau pula pada tua bangka Ki Santa.Ki Jangga terdiam lagi, kali iniurat-urat di keningnya keluar bak cacingdibalik kulit, tampak sedang berpikirmungkin pula mencerna perkataansahabatnya."Perang belum berhe
"Tawanan?" Ki Jangga berkata geram.Wajah pak tua itu terlihat tergores tipisakibat panah yang melesat ke arahkepalanya. "Aku akan membunuh kaliansemuanya, semuanya!" Dia berteriak keras."Musuh sudah mengaku kalah, tidak adayang berhak untuk membunuh mereka." Ki Santa membantah keputusan Ki Jangga."Tua Bangka, kau bukan orang suci yangbisa menentukan siapa yang layak dan tak layak hidup di sini." Ki Jangga beteriak kesal, ya diantara Sesepuh tua hanya dia yang terluka, bagaimana wajah orang itu tidak merah karena marah atau pula karena malu?"Tidak ada yang boleh membunuh siapapun yang mengaku kalah, menyerah dan mengangkat bendera putih" Ki Santaberkata lagi, menegaskan bahwaucapannya tidak main-main.Orang tua itu melirik beberapa pendekarhebat yang berada di hadapannya satupersatu, bahkan Damar Tirta selaku ketua Persatuan Hulubalang. Terlihat tiada orang yang membantah keputusan orang tua itu, kecuali Ki Jangga."Meski kita dalam medan perang, tapitoleransi hidup haru
Baru saja berdiri, -menyeka darah yangmengalir dari luka di dada akibat tebasan Ki Santa, Angsa Putih segera mematukkepala mereka hingga mati.Hingga Ki Santa tersenyum kecil di kejauhan, dia memang sengaja tidak membunuh mereka berdua agar Angsa Putih tidak merasa kecil hati atau, tidak terlalu terhina. Sudah cukup perselisihan selama ini hanya karena beranggapan-siapa paling hebat dari siapa?Namun terlihat Angsa Putih meludah dua kali, orang tua itu lalu menyapukan pandangan di sekitarnya mencoba menemukan Ki Santa tapi tidak berhasil.Kemudian senyum kecil tersungging dibibirnya yang peot dan berkerut, lalusemenit kemudian terkekeh. "Sekarang aku mengakui, dia lebih hebat dariku. Tuabangka Ki Santa itu, sudah sepatutnyanamanya di kenal di seluruh dunia Persilatan di tanah Pasmah."Hingga kemudian Angsa Putih kembali memasuki kerumunan pertempuran. Dia bergerak cepat, melawan orang-orang yang terlihat cukup kuat. Orang tua itu juga membantu beberapa prajurityang sedang dalam
"Senjatamu besar sekali, tapi bergeraklambat." Kerangka Ireng berkata datar, lali melepaskan kembali dua serangan hingga dua larik cahaya keluar dari matatombaknya, melesat cepat.Damar Tirta harus rela merebahkantubuhnya, menopang dengan telapaktangan kanan. Dua larik cahaya tipis itulewat satu jengkal di atas wajah, terusnyasar dan mengenai lima tubuh di belakang Damar Tirta.Hingga lima detik setelah tubuh orang itu dilewati cahaya -meledak seperti terpanggang.Damar Tirta berdecak kesal, dia memutartubuhnya kemudian secara bersamaanmenjentikkan jari telunjuk. Pedang cahaya miliknya melesat ke arah Krangka Ireng, tapi pria itu memiliki tubuh yang licin, dengan mudah dia menghindari serangan Damar Tirta.Tidak menarik kembali pedangnya Damar Tirta terus melajukan pedang hingga menembus dua puluh orang bawahan Kerangka Ireng. empat kali lipat lebih banyak dibandingkan serangan Pria berzirah perang itu.Baru dalam beberapa menit saja, telahterjadi pertukaran ratusan serangan
Sehingga sontak saja semua prajurit yang mendengar perkataan pria itu berteriak penuh semangat, seolah tubuh mereka mendidih karena marah. Dada mereka berdetak lebih cepat dari sebelumnya, mata mereka nanar tajam menyambut derap penjajah."Teriakan keberanian" Pekik Candi Jaya. "Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup.""Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup."Sontak pula para prajurit Jalang Pasmahmengikuti teriakan yang bergema darimulut prajurit Bumi Besemah, hingga dalam hitungan detik saja seisi benteng pertahanan dipenuhi teriakan bergema.Ki Santa dan dua orang bersamanya tersenyum kecil di atas tiang menara tertinggi, sebuah kata bijak yang membangkitkan semangat juang, pikirnya.Lalu dua menit kemudian, terdengar suara terompet dari tanduk kerbau berbunyi di sisi paling selatan kemudian disusul suara terompet di sisi paling utara. Lalu setelah itu, genderang perang bertabuh-tabuh, tanda musuh sudah berada di depan mata.Bak semut hitam, musuh berbaris rapimele
Setelah kepergian Galuh Tapa. Bagas Sanjaya adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas Markas Periangan. Dia mengatur segala hal sendirian, kecuali jika Tiran Putih sedang memiliki waktu luang untuk memberikan masukan untuknya.Galingga Tirta memang petarung hebat,tapi dia tidak memiliki otak. Kecualibertarung dan menggoda gadis-gadiscantik di tempat ini, tiada hal lain yangdilakukan pemuda itu.Tidak beberapa lama, derap langkah kakikuda tiba-tiba memasuki gerbang Markas Periangan. Ada sekitar dua puluh orang penunggang kuda, dan salah satu dari mereka jelas dikenali Bagas Sanjaya, Rangga rajasa."Patih Bagas Sanjaya" Rangga Rajasa memberi hormat. "Setelah mendengar kalian berhasil menaklukkan markas ini, aku segera menyusul bersama dengan beberapa orang yang lainnya. Jangan khawatir, markas kecil di seberang sungai sangat aman terkendali, sekarang Buja Surut beserta pendekar pemanah dan beberapa pendekar lain bertugas mengatur markas itu."Bagas Sanjaya menarik napas lega.
Hingga terang benderang pikiran Pendekar Janggala setelah tiga benda kegelapan itu hilang dari kepalanya. Sekarang pikirannya terasa lebih jernih, kepalanya terasa lebih ringan dari sebelumnya.Seperti yang di ketahui, susuk Magalahtidak akan bisa di cabut kecuali penggunanya akan mengalami kematian.Tapi Galuh Tapa bisa melakukan hal itu,mungkin saja karena energi alam yangbercampur dengan berkah batu mustika yang ada, atau pula karena nasib baik Pendekar Janggala untuk menebus dosa-dosannya.Lidah Pendekar Janggala terasa kelu untuk beberapa saat, dia hendak mengatakan rasa syukur dan terima kasih tapi suaranya terasa terhenti di kerongkongan. Hanya air mata yang menjawab perkataan Pemuda Pedang Pusaka Lintang Kuning."Terima kasih...terima kasih..." Merah Jambon Barat sujud tiga kali di telapak kaki Galuh Tapa, lalu buru mengangkat tubuh Janggala."Kau harus merawat gurumu dengan baik, lukanya perlu diobati!" ucap Galuh Tapa."Kami akan mengingat kebaikan ini, suatu saat nanti j
Belum sampai kuku tajamnya di wajahGaluh Tapa, tiba-tiba gerakannyaterhenti seketika. Wajah bangganya mulai menyurut.lima detik kemudian dia berteriak kesakitan, tubuhnya tersungkur di permukaan tanah, kedua tangannya mencengkram dada dengan kuat. Pak tua itu berguling tak karuan, darah segar keluar menodai pakaian.Ketika hal itu terjadi, Galuh Tapa tidakingin menunggu lama, segera dia melesat di udara. Dia melepaskan beberapa serpihan batu mustika sebagai senjata tepat mengenai kaki orang tua itu, hingga tubuhnya terpasak di tanah, lalu dua buah lagi senjata secara bersamaan mengenai bahu kiri dan kanan.Pendekar Janggala dalam kondisiterlentang, serpihan tertancap dalam dan terasa panas membara. Tangannya berusaha melepaskan dua pedang yang menancap di bahunya tapi tidak mampu.Nampak belum menyerah, kilatan ungumemancar sesaat lalu dua larik cahayamelesat menuju Galuh Tapa, tapi kali inipemuda itu dapat menangkisnya.Beberapa saat kemudian, suasana ditempat itu menjadi pa