Hingga baru saja mereka keluar dari markas kecil itu, mendadak terdengar ledakan di gerbang tembok utama. Asap putih mengepul dari sana, tiga detik kemudian muncul bayangan orang sambil berteriak menyerukan perang."Tembok sudah hancur, gunakan pedang, tinggalkan panah!" teriak penjaga gerbang yang masih berada pada menara pengintai.Namun beberapa menit kemudian orang itu jatuh dengan panah menancap tepat di pangkal lehernya."Tobah...!" Teriak Mojopali. "Aku akan membunuhmu!"Di tempat itu sekarang sedang terjadi pertumpahan darah, panah dan pedang sedang berseliweran.Prajurit-prajurit sedang mulai tumbang dan meregang nyawa, kemudian ada lebih banyak lagi yang terluka. Teriakan memenuhi tempat itu dan sesekali terdengar rintihan.Siyoyo beserta tiga temannya melesat dengan cepat, mereka membunuh lebih banyak prajurit dari yang lainnya. Begitu brutal dan kejam.Pada saat ini, Siyoyo melayang beberapa saat keatas, kemudian dia melemparkan delapan pedang dari hasil rampasan.Beberapa
Sehingga Mojopali menyerang Tobah dengan brutal. Mereka berdua saling menunjukkan kebolehan dengan menggunakan senjata masing-masing.Jika dihitung dengan tenaga dalam Mojopoli adalah pemenangnya, tapi jika dihitung dari gerakan Tobah terlihat lebih lentur dan lincah. Mungkin saja karena faktor usia mereka sangat berbeda.Dalam beberapa kali Tobah hampir berhasil mendaratkan mata balau di leher Mojopali, tapi pria tua itu bisa mengantisipasi serangan seperti itu dengan tenaga dalamnya.Disisi lain, serangan Mojopali terkesan lambat tapi memiliki kekuatan yang besar. Terbukti setiap kali serangan mereka beradu, tangan Tobah selalu bergetar kecil.Namun Tobah orang yang pintar, jadi dia sebisa mungkin menghindari benturan balaunya dan lebih berhati-hati dalam menyerang. Pria itu sekarang lebih banyak menghindar dari pada menyerang.Sementara Mojopali terlalu menghambur-hamburkan tenaga dalam pada setiap serangannya. Sedangkan Tobah malah sebaliknya.Mojopali meluncur kesamping, dan mel
Sementara Tobah meringis kecil, sembilan orang bawahannya melawan tiga orang didepannya mati dengan mudah. Ditekannya ujung balau ketanah, kemudian melayang beberapa saat ke udara sembari melepaskan serangan demi serangan.Ketiga orang itu berniat menebas kakinya, tapi Tobah dengan ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna, bertengger diatas pedang mereka.Salah satu dari ketiga orang itu buru-buru menarik kembali pedangnya, kemudian Tobah diatas angin dengan pedang terhunus ke depan.Namun Tobah sedikit memutar ke kiri, dia pada akhirnya berhasil menancapkan ujung balaunya ditengah dada pria itu.Akkk...suara teriakan pria itu, sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir."Kurang ajar kau telah membunuh anggota kami!""Tidak, aku juga akan membunuh kalian semua." Tobah berkata pelan, wajahnya tetap saja datar dengan mata sayu.Sehingga tidak butuh waktu lama, akhirnya pria itu berhasil melepaskan satu serangan balau pada dada kiri orang berambut paling gondrong diantara ketiga la
Sehingga tidak membutuhkan waktu lama, semua orang mengatakan siap menjadi budak, kecuali hanya beberapa orang yang cukup bodoh melarikan diri dari tempat itu. Mereka sekitar dua puluh orang, berlari tunggang langgang menuju hutan di belakang markas.Galuh Tapa hanya menggelengkan kepala, kemudian memberi isyarat kepada Sunting Sirih untuk menghabisi mereka. Gadis itu tidak membantah dia melompat pada sebuah bangunan paling tinggi di markas itu.Dari tempat itu dia bisa melihat dua puluh orang beranjak sekitar dua ratusan meter dari ujung mata panahnya.Begitu cepat hampir tidak bisa dilihat, lalu dua puluh anak panah melesat melaju secara beriringan tepat di bagian otak kecil mereka.Setelah dia melakukan hal itu, Sunting Sirih segera turun dan mengarahkan mata panahnya pada prajurit yang paling ketakutan diantara prajurit yang lain."Lari lah jika kalian mampu, aku ingin lihat apakah kaki kalian lebih cepat dari mata panahku?" ucapnya.Dengan seketika, seratus delapan puluh prajuri
Bagas Sanjaya beserta Rangga rajasa dibantu dengan belasan prajurit yang lain mengumpulkan semua perlengkapan perang. Sangat banyak sekali, ada sekitar sembilan ratus baju perang serta pedang dan tombak."Senjata ini cukup kuat" Bagas Sanjaya memperhatikan Balau emas yang pernah digunakan oleh Tobah serta pedang yang digunakan Mojopali. "Pakailah pedang ini, sayang sekali aku bukan pendekar pedang."Salah satu prajurit yang cukup kuat, menerima pedang itu dengan ragu. Pedang itu sangat tajam dibanding dengan pedang yang tersandang di pinggangnya."Jangan sungkan, ambillah untukmu."Bagas sanjaya tersenyum kecil."Terimakasih, patih""Ah, jangan memanggil aku patih lagi, kita bukan bagian dari Pasmah lebar."Perlengkapan ini akan berguna. Umumnya Suban Darah dan prajurit Jalang Pasmah mengenakan pakaian ala kadarnya.Namun dengan menggunakan perlengkapan alat ini, akan menambah sedikit pertahanan tubuh mereka. Tidak semua orang memiliki tubuh kuat seperti Bagas Sanjaya.Sedangkan semua
Menyadari lokasinya sedang diketahui Galuh Tapa, orang itu keluar dari balik pohon. Dia melompat beberapa kali dan lompatan terakhir sudah tepat berada dihadapan Galuh Tapa. Ilmu meringankan tubuh pria itu tidak terlalu buruk.Dengan kedatangan pria itu, maka muncul pula belasan orang yang berbadan kekar. Mereka menggunakan pakaian yang tampak seperti dari kulit binatang, menggunakan anting dari kuku harimau dan juga gelang dari tulang belulang binatang buas.Sementara dari pemimpin mereka mengenakan ikat kepala dari tumbuhan rambat. Galuh Tapa bisa melihat dari peradaban mereka lebih tertinggal dari perguruan pedang bayangan.Senjata mereka menggunakan sebuah bambu panjang yang berwarna kuning, tapi memancarkan aura yang sedikit aneh. Ada energi yang memancarkan dari tongkat itu."Siapa kalian bertiga dan kenapa kalian memasuki wilayah kami?" Suara pria di depan Galuh Tapa nyaris seperti geraman panglima kumbang. "Apa kalian mata-mata?"Cagar Alam bahkan tidak mengerti dengan bahasa
Setelah beberapa jam diatas punggung panglima kumbang, Galuh Tapa sudah melihat sebuah tangga yang terbuat dari susunan batu pualam. Tampak sekali ada banyak liku tangga itu, bercabang-cabang dimana setiap cabangnya berdiri sebuah bangunan, yang terlihat seperti rumah batu. Dari tempat ini tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda, jadi Galuh Tapa menambang kuda-kudanya di pangkal tangga. Pemuda itu masih memperhatikan keadaan disekitarnya, mencari jalan lain yang mungkin bisa dilewati untuk tiba diatas gunung tapi tidak ada. Semuanya adalah tebing terjal, selain tangga ini tidak ada jalan lain untuk tiba kepuncak gunung. Namun jika diperhatikan gunung itu tidak terlalu tinggi, mungkin tidak bisa dikatakan sebuah gunung kecuali di puncaknya mengeluarkan asap tipis yang berasal dari dalam bumi. Tapi permukaannya sama seperti gunung yang lainya, gunung ini juga gersang dan penuh dengan bebatuan. "Apa itu padepokan Buluh Pitam seperti yang kau katakan tadi?" Galuh
Padepokan Buluh PItam sudah berdiri sejak lama, sahabat dekat teknik adalah Jarum yang beracun yang di pelajari oleh Lanang Hitam dan Cagar Alam. Dua teknik ini sebenarnya sedikit sama, menggunakan jarum kecil yang beracun.Perbedaan kedua teknik ini jelas dari penggunaan jarumnya, ada yang dilemparkan dengan tangan dan ada yang menggunakan alat berupa bilah sembilu bambu.Ketika malam harinya, Cagar Alam di undang oleh Sundaraweh ke ruangannya, sementara Galuh Tapa dan Rangga Rajasa ditinggalkan di ruangan lain.Ada lima sesepuh Buluh Pitam telah menunggu di tempat itu, mereka berlima selain Sundaraweh adalah orang tua yang memiliki janggut dan rambut yang putih. Nampaknya terlihat lebih kuat dari Sundareweh itu sendiri."Apakah kau yang bernama Cagar Alam?" Salah satu dari sesepuh bertanya.Wajah-wajah mereka terlihat sangat ramah, tapi aura Sembilu yang mereka pegang lebih pekat dari yang di miliki Sundaraweh."Benar sesepuh, hamba memberi hormat." Cagar Alam membungkukkan seban
"Aku tidak sempat menanyakan hal itu pada ayahku, kedatangan kita bersamaan dengan surat panggilan dari Negri Singunan untuk Ayahanda" ucap Ringgina."Surat dari Negri Singunan?" Galuh Tapa terlihat kecewa."Negri Singunan memberi informasimengenai Putra bungsu mereka. Pangeran Rengkeh dikabarkan belum kembali setelah melakukan Kunjungan ke Negri Bumi Besemah.""Rengkeh?" Galuh Tapa bergumam pelan."Apa kau mengetahui nama itu?" Ringgina bertanya."Ah, aku belum pernah mengenal namapangeran dari Negri Singunan." Galuh Tapa berbohong, tentu saja dia mengetahui Pangeran Rengkeh, karena dia sendirilah yang berhasil mengalahkan pemuda licik itu beserta senopati dan anak buahnya."Tapi jangan risau, Ayahku memang sedang kembali lagi ke Negri Singunan, disini ada tabib hebat yang bisa membuat penawar racun itu, dia adalah kepercayaan Ayahku.""Benarkah?""Ya, aku akan menemui tabib itu besokpagi" Ringgina tersenyum kecil, meski diatidak begitu yakin dapat meminta sangtabib untuk membua
Sehingga Angsa Putih mendesah pelan, lantas menepuk pundak temannya tiga kali. "Ki Santa tidak di undang dalam rapat itu, ketentuan nasip para tawanan tergantung Paduka Raja Jaya Negara beserta pejabat kerajaan. Kita hanya persatuan Hulubalang, bahkan Damar Tirta tidak di undang dalam rapat itu."Ki Jangga menatap mata Angsa putih dengan tajam, untuk beberapa saattidak berkedip sedikitpun. Lantasmengalihkan pandangan pada seributawanan dengan kebencian."Tenangkan perasaanmu kawan! Tidak ada gunanya kau menaruh dendam padatawanan yang tidak lagi berdaya." AngsaPutih menuangkan arak pada dua cawan,kemudian salah satunya disodorkan kepada Ki Jangga. "Akan ada waktunya kau bisa mengamuk sesuka hatimu, tentu saja bukan pada seribu orang di sana yang tidak memiliki kemampuan, atau pula pada tua bangka Ki Santa.Ki Jangga terdiam lagi, kali iniurat-urat di keningnya keluar bak cacingdibalik kulit, tampak sedang berpikirmungkin pula mencerna perkataansahabatnya."Perang belum berhe
"Tawanan?" Ki Jangga berkata geram.Wajah pak tua itu terlihat tergores tipisakibat panah yang melesat ke arahkepalanya. "Aku akan membunuh kaliansemuanya, semuanya!" Dia berteriak keras."Musuh sudah mengaku kalah, tidak adayang berhak untuk membunuh mereka." Ki Santa membantah keputusan Ki Jangga."Tua Bangka, kau bukan orang suci yangbisa menentukan siapa yang layak dan tak layak hidup di sini." Ki Jangga beteriak kesal, ya diantara Sesepuh tua hanya dia yang terluka, bagaimana wajah orang itu tidak merah karena marah atau pula karena malu?"Tidak ada yang boleh membunuh siapapun yang mengaku kalah, menyerah dan mengangkat bendera putih" Ki Santaberkata lagi, menegaskan bahwaucapannya tidak main-main.Orang tua itu melirik beberapa pendekarhebat yang berada di hadapannya satupersatu, bahkan Damar Tirta selaku ketua Persatuan Hulubalang. Terlihat tiada orang yang membantah keputusan orang tua itu, kecuali Ki Jangga."Meski kita dalam medan perang, tapitoleransi hidup haru
Baru saja berdiri, -menyeka darah yangmengalir dari luka di dada akibat tebasan Ki Santa, Angsa Putih segera mematukkepala mereka hingga mati.Hingga Ki Santa tersenyum kecil di kejauhan, dia memang sengaja tidak membunuh mereka berdua agar Angsa Putih tidak merasa kecil hati atau, tidak terlalu terhina. Sudah cukup perselisihan selama ini hanya karena beranggapan-siapa paling hebat dari siapa?Namun terlihat Angsa Putih meludah dua kali, orang tua itu lalu menyapukan pandangan di sekitarnya mencoba menemukan Ki Santa tapi tidak berhasil.Kemudian senyum kecil tersungging dibibirnya yang peot dan berkerut, lalusemenit kemudian terkekeh. "Sekarang aku mengakui, dia lebih hebat dariku. Tuabangka Ki Santa itu, sudah sepatutnyanamanya di kenal di seluruh dunia Persilatan di tanah Pasmah."Hingga kemudian Angsa Putih kembali memasuki kerumunan pertempuran. Dia bergerak cepat, melawan orang-orang yang terlihat cukup kuat. Orang tua itu juga membantu beberapa prajurityang sedang dalam
"Senjatamu besar sekali, tapi bergeraklambat." Kerangka Ireng berkata datar, lali melepaskan kembali dua serangan hingga dua larik cahaya keluar dari matatombaknya, melesat cepat.Damar Tirta harus rela merebahkantubuhnya, menopang dengan telapaktangan kanan. Dua larik cahaya tipis itulewat satu jengkal di atas wajah, terusnyasar dan mengenai lima tubuh di belakang Damar Tirta.Hingga lima detik setelah tubuh orang itu dilewati cahaya -meledak seperti terpanggang.Damar Tirta berdecak kesal, dia memutartubuhnya kemudian secara bersamaanmenjentikkan jari telunjuk. Pedang cahaya miliknya melesat ke arah Krangka Ireng, tapi pria itu memiliki tubuh yang licin, dengan mudah dia menghindari serangan Damar Tirta.Tidak menarik kembali pedangnya Damar Tirta terus melajukan pedang hingga menembus dua puluh orang bawahan Kerangka Ireng. empat kali lipat lebih banyak dibandingkan serangan Pria berzirah perang itu.Baru dalam beberapa menit saja, telahterjadi pertukaran ratusan serangan
Sehingga sontak saja semua prajurit yang mendengar perkataan pria itu berteriak penuh semangat, seolah tubuh mereka mendidih karena marah. Dada mereka berdetak lebih cepat dari sebelumnya, mata mereka nanar tajam menyambut derap penjajah."Teriakan keberanian" Pekik Candi Jaya. "Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup.""Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup."Sontak pula para prajurit Jalang Pasmahmengikuti teriakan yang bergema darimulut prajurit Bumi Besemah, hingga dalam hitungan detik saja seisi benteng pertahanan dipenuhi teriakan bergema.Ki Santa dan dua orang bersamanya tersenyum kecil di atas tiang menara tertinggi, sebuah kata bijak yang membangkitkan semangat juang, pikirnya.Lalu dua menit kemudian, terdengar suara terompet dari tanduk kerbau berbunyi di sisi paling selatan kemudian disusul suara terompet di sisi paling utara. Lalu setelah itu, genderang perang bertabuh-tabuh, tanda musuh sudah berada di depan mata.Bak semut hitam, musuh berbaris rapimele
Setelah kepergian Galuh Tapa. Bagas Sanjaya adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas Markas Periangan. Dia mengatur segala hal sendirian, kecuali jika Tiran Putih sedang memiliki waktu luang untuk memberikan masukan untuknya.Galingga Tirta memang petarung hebat,tapi dia tidak memiliki otak. Kecualibertarung dan menggoda gadis-gadiscantik di tempat ini, tiada hal lain yangdilakukan pemuda itu.Tidak beberapa lama, derap langkah kakikuda tiba-tiba memasuki gerbang Markas Periangan. Ada sekitar dua puluh orang penunggang kuda, dan salah satu dari mereka jelas dikenali Bagas Sanjaya, Rangga rajasa."Patih Bagas Sanjaya" Rangga Rajasa memberi hormat. "Setelah mendengar kalian berhasil menaklukkan markas ini, aku segera menyusul bersama dengan beberapa orang yang lainnya. Jangan khawatir, markas kecil di seberang sungai sangat aman terkendali, sekarang Buja Surut beserta pendekar pemanah dan beberapa pendekar lain bertugas mengatur markas itu."Bagas Sanjaya menarik napas lega.
Hingga terang benderang pikiran Pendekar Janggala setelah tiga benda kegelapan itu hilang dari kepalanya. Sekarang pikirannya terasa lebih jernih, kepalanya terasa lebih ringan dari sebelumnya.Seperti yang di ketahui, susuk Magalahtidak akan bisa di cabut kecuali penggunanya akan mengalami kematian.Tapi Galuh Tapa bisa melakukan hal itu,mungkin saja karena energi alam yangbercampur dengan berkah batu mustika yang ada, atau pula karena nasib baik Pendekar Janggala untuk menebus dosa-dosannya.Lidah Pendekar Janggala terasa kelu untuk beberapa saat, dia hendak mengatakan rasa syukur dan terima kasih tapi suaranya terasa terhenti di kerongkongan. Hanya air mata yang menjawab perkataan Pemuda Pedang Pusaka Lintang Kuning."Terima kasih...terima kasih..." Merah Jambon Barat sujud tiga kali di telapak kaki Galuh Tapa, lalu buru mengangkat tubuh Janggala."Kau harus merawat gurumu dengan baik, lukanya perlu diobati!" ucap Galuh Tapa."Kami akan mengingat kebaikan ini, suatu saat nanti j
Belum sampai kuku tajamnya di wajahGaluh Tapa, tiba-tiba gerakannyaterhenti seketika. Wajah bangganya mulai menyurut.lima detik kemudian dia berteriak kesakitan, tubuhnya tersungkur di permukaan tanah, kedua tangannya mencengkram dada dengan kuat. Pak tua itu berguling tak karuan, darah segar keluar menodai pakaian.Ketika hal itu terjadi, Galuh Tapa tidakingin menunggu lama, segera dia melesat di udara. Dia melepaskan beberapa serpihan batu mustika sebagai senjata tepat mengenai kaki orang tua itu, hingga tubuhnya terpasak di tanah, lalu dua buah lagi senjata secara bersamaan mengenai bahu kiri dan kanan.Pendekar Janggala dalam kondisiterlentang, serpihan tertancap dalam dan terasa panas membara. Tangannya berusaha melepaskan dua pedang yang menancap di bahunya tapi tidak mampu.Nampak belum menyerah, kilatan ungumemancar sesaat lalu dua larik cahayamelesat menuju Galuh Tapa, tapi kali inipemuda itu dapat menangkisnya.Beberapa saat kemudian, suasana ditempat itu menjadi pa