"Dua juta seratus ribu koin emas!"Tiba-tiba, suara berat dan dalam menggema di aula pelelangan, menghentikan segala bisikan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Semua mata sontak menoleh ke belakang, mencari sumber suara yang begitu percaya diri dalam menawar jumlah yang luar biasa tinggi itu.Di sudut ruangan, seorang pria tua berjubah hitam duduk dengan anggun di kursinya. Tudung jubahnya menutupi sebagian besar wajahnya, menyisakan hanya sedikit kilatan matanya yang tajam, penuh misteri."Siapa pria tua itu?" bisik seorang tamu dengan nada penuh kewaspadaan."Aku belum pernah melihatnya di pelelangan sebelumnya…" sahut yang lain, tatapannya menajam ke arah sosok misterius itu."Kenapa dia begitu berani menawar dengan harga yang setinggi itu?"Keraguan mulai menyelimuti para hadirin. Apakah pria itu sekadar membual? Ataukah dia seseorang dengan latar belakang yang tidak bisa diremehkan?Sementara bisikan terus beredar, Murong Giu duduk dengan ekspresi kaku. Awalnya, ia mengira pelela
Mutiara Hitam itu akhirnya jatuh ke tangan Murong Giu dengan harga mencengangkan—lima juta koin emas.Para tamu masih tenggelam dalam bisikan dan keterkejutan. Ada yang menganggap klan Murong telah membuat keputusan bodoh, sementara yang lain mulai bertanya-tanya apakah benda itu sebenarnya memiliki nilai yang lebih dari sekadar tampilan luarnya saja.Di balkon klan Hao, Hao Jifeng menatap pemuda di sampingnya dengan ekspresi bingung."Tuan Muda Shen," bisiknya, masih tak percaya dengan hasil lelang barusan. "Bukankah kau menginginkan benda itu? Kenapa malah membiarkan Murong Giu mendapatkannya begitu saja?"Sementara semua orang di aula tampak tegang dengan harga fantastis yang tercipta, Du Shen justru terlihat santai. Ia menyilangkan tangan di dadanya, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis."Tak masalah," jawabnya ringan. "Biarpun dia memilikinya, toh dia tak tahu bagaimana menggunakannya dengan benar."Ucapan itu membuat Hao Jifeng terdiam sejenak, sebelum akhirnya sekil
Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusa
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Mutiara Hitam itu akhirnya jatuh ke tangan Murong Giu dengan harga mencengangkan—lima juta koin emas.Para tamu masih tenggelam dalam bisikan dan keterkejutan. Ada yang menganggap klan Murong telah membuat keputusan bodoh, sementara yang lain mulai bertanya-tanya apakah benda itu sebenarnya memiliki nilai yang lebih dari sekadar tampilan luarnya saja.Di balkon klan Hao, Hao Jifeng menatap pemuda di sampingnya dengan ekspresi bingung."Tuan Muda Shen," bisiknya, masih tak percaya dengan hasil lelang barusan. "Bukankah kau menginginkan benda itu? Kenapa malah membiarkan Murong Giu mendapatkannya begitu saja?"Sementara semua orang di aula tampak tegang dengan harga fantastis yang tercipta, Du Shen justru terlihat santai. Ia menyilangkan tangan di dadanya, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis."Tak masalah," jawabnya ringan. "Biarpun dia memilikinya, toh dia tak tahu bagaimana menggunakannya dengan benar."Ucapan itu membuat Hao Jifeng terdiam sejenak, sebelum akhirnya sekil
"Dua juta seratus ribu koin emas!"Tiba-tiba, suara berat dan dalam menggema di aula pelelangan, menghentikan segala bisikan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Semua mata sontak menoleh ke belakang, mencari sumber suara yang begitu percaya diri dalam menawar jumlah yang luar biasa tinggi itu.Di sudut ruangan, seorang pria tua berjubah hitam duduk dengan anggun di kursinya. Tudung jubahnya menutupi sebagian besar wajahnya, menyisakan hanya sedikit kilatan matanya yang tajam, penuh misteri."Siapa pria tua itu?" bisik seorang tamu dengan nada penuh kewaspadaan."Aku belum pernah melihatnya di pelelangan sebelumnya…" sahut yang lain, tatapannya menajam ke arah sosok misterius itu."Kenapa dia begitu berani menawar dengan harga yang setinggi itu?"Keraguan mulai menyelimuti para hadirin. Apakah pria itu sekadar membual? Ataukah dia seseorang dengan latar belakang yang tidak bisa diremehkan?Sementara bisikan terus beredar, Murong Giu duduk dengan ekspresi kaku. Awalnya, ia mengira pelela
Dengan gerakan perlahan namun penuh keanggunan, Ye Haran meraih ujung kain merah beludru yang menyelimuti barang utama pelelangan tersebut. Para tamu menahan napas, menunggu dengan penuh antisipasi. Dalam satu gerakan anggun, kain merah itu tersingkap, memperlihatkan sebuah mutiara hitam seukuran ibu jari yang memancarkan aura Qi berwarna-warni, melayang tipis di sekitarnya, berputar bagaikan kabut mistis yang tampak hidup.Begitu aura itu menyebar, suasana dalam aula berubah drastis. Tekanan energi yang menyelimuti mutiara hitam tersebut begitu intens hingga banyak tamu merasa sesak. Beberapa dari mereka bahkan tak sadar melangkah mundur, seolah naluri mereka memperingatkan bahaya yang tersembunyi di dalamnya.Di balkon atas, Du Shen yang selama ini tampak acuh tak acuh tiba-tiba mengubah ekspresinya. Tatapannya yang biasanya dingin kini melebar sedikit, menunjukkan keterkejutan yang jarang ia perlihatkan.'Aura ini… tidak mungkin!?' serunya dalam hati. Ia tak bisa menutupi keterke
Setelah beberapa waktu pelelangan hampir mencapai puncaknya. Suasana di dalam aula semakin panas, penuh ketegangan dan semangat para tamu yang berlomba mendapatkan barang langka.Dan saat ini di atas meja utama, kini berjajar beberapa botol giok yang berkilauan, masing-masing berisi butiran pil biru kehijauan yang memancarkan aura energi Qi murni. Ramuan Pemurnian Qi—sesuatu yang hanya bisa ditemukan di antara para alkemis paling berbakat dan langka. Begitu botol-botol itu diperlihatkan, para tamu yang hadir menahan napas, tak percaya bahwa Paviliun Alkemis benar-benar memiliki ramuan luar biasa seperti ini."Barang kali ini adalah ramuan Pemurnian Qi. Tapi jangan salah, ramuan ini berbeda dengan ramuan Pemurnian Qi biasa yang sering kalian temui." "Ramuan Pemurnian Qi ini sebetulnya memiliki efek luar biasa yang dapat memberikan efektifitas hingga 98%!" seru Ye Haran menjelaskan dengan penuh semangat.Dari setiap penjelasan yang dia utarakan, desas-desus mulai menyebar di antara ta
Di tengah aula utama yang penuh sesak dengan para tamu, cahaya lampu kristal memantul dari permukaan pelakat giok hijau muda yang kini dipajang di atas panggung. Aura misterius yang terpancar dari artefak itu membuat banyak orang menajamkan pandangan, mencoba menilai seberapa berharganya benda tersebut.Ye Haran, gadis pembawa acara, melangkah ke depan dengan percaya diri, suaranya bergema di seluruh ruangan."Pelakat giok ini adalah pusaka yang ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang pengembara tua di reruntuhan kuno yang tak bernama," jelasnya sambil mengangkat artefak itu agar bisa terlihat oleh semua tamu.Kilauan halus memancar dari permukaan giok, seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam."Setelah melalui berbagai pemeriksaan, kami menduga bahwa Pelakat giok ini adalah Artefak pelindung tingkat dua," lanjutnya, nada suaranya penuh keyakinan.Beberapa tamu mulai berbisik-bisik, beberapa tampak tertarik sementara yang lain hanya mengangkat alis dengan ekspresi skeptis."Maka
Dalam putaran waktu yang terasa singkat, fajar perlahan menyingsing, sinar mentari mulai menerobos celah-celah bangunan di kota Danau Hitam, menciptakan cahaya keemasan yang menyelimuti kota itu.Du Shen menghela napas pelan, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Semalaman penuh ia berkultivasi, tetapi hasilnya jauh dari harapannya. Energi dalam tubuhnya tetap stagnan, seolah ada dinding tak kasatmata yang menghalanginya untuk berkembang lebih jauh."Huh... aku perlu mencari solusi secepat mungkin," gumamnya, nada suaranya penuh ketidaksabaran.Tatapannya berubah tajam ketika mengingat satu hal. Hari ini, Paviliun Alkemis mengadakan pelelangan. Mungkin di sana, ia bisa menemukan sesuatu yang dapat membantunya menembus kebuntuan kultivasinya.Setelah membenahi pakaiannya, Du Shen segera meninggalkan kediamannya. Saat ia melangkah ke halaman utama, beberapa sosok sudah tampak menunggunya di sana. Kepala klan Hao, Hao Jifeng, berdiri tegap dengan senyum tipis di wajahnya. Di sam
Tanpa pikir panjang, Tetua Qin melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada para pelayan untuk segera membawa Murong Chen dan Xiao Mei keluar dari ruangan. Dua pemuda itu masih berusaha membantah, namun para pelayan bergerak cepat, menggiring mereka keluar tanpa banyak perlawanan."Kalian tak perlu membuang waktuku lagi dengan ocehan tak berguna," suara Tetua Qin terdengar tegas, wajahnya menampakkan ketidaksabaran yang jelas.Murong Chen mendengus kesal, sementara Xiao Mei menggertakkan giginya dengan tatapan penuh kebencian ke arah Du Shen. "Kau akan menyesalinya," gumamnya lirih sebelum akhirnya dipaksa keluar.Setelah ruangan kembali sunyi, Tetua Qin menarik napas panjang, merasakan kelegaan yang amat sangat. 'Walaupun mereka berasal dari keluarga terpandang di kota ini, mengabaikan keduanya lebih baik daripada kehilangan pemuda berbakat seperti ini,' pikirnya dengan mata berbinar.Begitu suasana menjadi lebih tenang, ia kembali menatap Du Shen, kali ini dengan tatapan lebih ra
"Khmm!" Tetua Qin terbatuk pelan, suaranya terdengar sedikit serak. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba menyembunyikan keterkejutan yang masih bergemuruh dalam dadanya. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, matanya tak bisa menyembunyikan kilatan kagum yang masih tersisa.Sebelumnya, ia mengira dirinya telah melihat segalanya dalam dunia Artefak. Namun, pemuda yang tampak biasa-biasa saja di hadapannya ini telah membuktikan bahwa ia salah besar.Dengan langkah ringan namun penuh penghormatan, Tetua Qin merapatkan kedua genggaman tangannya di depan dada, lalu sedikit menundukkan kepalanya."Orang tua ini harus meminta maaf atas kebodohannya..." ucapnya penuh penghormatan. Kata-katanya bagaikan petir yang menyambar di tengah ruangan itu.Orang-orang yang menyaksikan langsung membelalakkan mata mereka, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Tetua Qin… seorang tokoh terhormat dari Paviliun Seribu Harta… meminta maaf dan menunduk hormat?Kepala para pelayan dan or
"Biarkan aku melihatnya! Biarkan aku melihatnya!" seru Tetua Qin dengan nada penuh semangat, matanya berbinar seperti seorang sarjana yang baru saja menemukan gulungan kitab kuno yang hilang selama berabad-abad.Langkahnya maju dengan penuh antusiasme, seakan tidak sabar untuk merasakan sendiri energi dari belati yang baru saja diukir dengan inskripsi misterius oleh Du Shen.Namun, di tengah kegembiraannya, ekspresi gugup mulai muncul di wajah beberapa orang yang menyaksikan, terutama Xiao Mei dan Murong Chen. Mereka tidak menyangka bahwa Tetua Qin, seorang ahli Artefak yang selama ini dikenal penuh kehati-hatian, tiba-tiba menunjukkan minat yang begitu besar."Tetua Qin, sebaiknya Anda jangan terlalu mudah percaya pada pemuda ini. Bisa saja ini adalah jebakan yang dia rancang untuk menipu kita semua," ujar Murong Chen, segera melangkah maju untuk menghalangi niat Tetua Qin."Benar!" sambung Xiao Mei dengan suara sedikit gemetar, meskipu