Hari-hari berlalu, dan istana Kerajaan Langit Timur semakin ramai dengan berbagai desas-desus tentang Gema. Namun, dibalik hiruk-pikuk itu, Putri Sri Ayu memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda. Dia telah mendengar banyak tentang Gema, dan rasa penasarannya semakin tumbuh. Bukan dengan kebencian, tetapi dengan kekaguman yang diam-diam bercampur dengan rasa ingin tahu yang mendalam.
Sri Ayu, yang baru berusia tiga belas tahun, memiliki pesona dan kecerdasan yang membuatnya berbeda dari pangeran dan putri lainnya. Dia tahu bahwa Gema adalah sosok yang penting, tetapi dia ingin melihat sendiri apakah bocah itu memang seperti yang dibicarakan orang-orang.
Suatu pagi, dia memutuskan untuk mendekati Gema secara langsung. Saat itu, Gema sedang berlatih di halaman istana, ditemani oleh Jaka dan Roro. Ketiganya sibuk dengan latihan rutin mereka, ketika Sri Ayu m
Raja Jayabaya berdiri di balkon istananya, memandang ke lapangan latihan di bawah dengan tatapan penuh pertimbangan. Dari tempatnya, dia bisa melihat dengan jelas interaksi antara Gema, Roro, dan Putri Sri Ayu. Ekspresi wajahnya serius, tetapi ada kilatan pikiran yang tak terucap di balik matanya.Raja Jayabaya sudah memperhatikan bagaimana Putri Sri Ayu mulai mendekati Gema dengan cara yang sangat halus namun penuh makna. Dia juga tidak luput dari perhatian bahwa Roro tampak cemburu dengan perhatian yang diberikan Sri Ayu kepada Gema. Namun, bagi Raja Jayabaya, ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan.“Gema,” gumam Raja Jayabaya pelan, “kau adalah sosok yang penting bagi masa depan kerajaan ini. Dan mungkin, jalan terbaik untuk memastikan kau tetap setia adalah dengan mengikatmu lebih erat dengan keluarga kerajaan.”Setelah berpikir sejenak, Raja Jayabaya memutuskan untuk mengambil tindakan. Dia memanggil dua orang kepercayaannya—Ki Joko Tingkir dan Dewi Sekarwangi—un
Di balik pintu tebal yang menghiasi ruangan pribadi Pangeran Arjuna, suasana mencekam terasa semakin pekat. Di dalam ruangan yang megah dengan dekorasi mewah, Pangeran Arjuna berdiri di dekat jendela, tatapannya tajam menembus kaca, menatap ke kejauhan dengan penuh kemarahan yang terpendam.“Tidak bisa dipercaya!” Pangeran Arjuna menggeram marah, tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. “Ayah... dia lebih memilih bocah itu daripada darah dagingnya sendiri!”Putri Dewi Saraswati, yang duduk di sofa mewah dengan wajah penuh kemarahan, tiba-tiba berdiri, berjalan mendekati meja dan tanpa peringatan menghantamkan gelas kaca yang ada di depannya ke lantai. Gelas itu pecah berkeping-keping, suara pecahannya memenuhi ruangan, seolah menggambarkan perasaan hati keduanya yang hancur.“Gema!” desis Dewi Saraswati dengan penuh kebencian. “Bagaimana mungkin seorang bocah dari desa kecil bisa membuat Ayah lebih peduli padanya daripada kita? Apa yang terjadi dengan Ayah?”Pangeran Arjun
Hari demi hari berlalu, dan hubungan antara Putri Sri Ayu dan Gema semakin dekat. Mereka sering terlihat bersama, baik saat berlatih di lapangan istana, maupun saat berbincang santai di taman.Senyum dan tawa sering menghiasi wajah Sri Ayu saat dia berada di dekat Gema, sementara Gema, meskipun masih pemalu, mulai merasa nyaman dengan kehadiran sang putri.Sri Ayu, dengan kecerdasannya, tahu bagaimana membuat Gema merasa dihargai. Dia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Gema berbicara tentang latihannya, tentang perasaannya yang kadang ragu, atau bahkan tentang kenangannya yang samar tentang ibu angkatnya. Kedekatan ini membuat Gema merasa memiliki teman yang mengerti dirinya, seseorang yang bisa dia ajak berbagi.Namun, di sisi lain, ada seseorang yang perasaannya semakin terusik oleh perkembangan ini. Roro, yang selalu berada di sisi Gema sejak awal, merasa hatinya semakin terluka setiap kali melihat Gema dan Sri Ayu bersama. Meskipun dia m
Di dalam istana yang megah, kebencian Pangeran Arjuna terhadap Gema semakin dalam seiring berjalannya waktu. Keberhasilan Gema dalam menarik perhatian Raja Jayabaya dan semakin dekatnya hubungan antara Gema dan Putri Sri Ayu membuat amarah Arjuna terus membara.Dia tidak bisa lagi menahan perasaan bahwa bocah desa ini perlahan-lahan mengambil tempat yang seharusnya menjadi miliknya. Dalam benaknya, hanya ada satu cara untuk memastikan bahwa Gema tidak akan pernah menjadi ancaman lagi: Gema harus disingkirkan.Pangeran Arjuna duduk di kursinya, tangannya menggenggam erat gelas anggur yang sudah kosong. Di ruangan itu, hanya ada bayangan kegelapan yang menyelimuti wajahnya yang penuh dengan dendam. Pikirannya berputar, mencari cara untuk menghancurkan Gema tanpa menimbulkan kecurigaan dari ayahnya atau petinggi di istana.Setelah beberapa saat, sebuah ide licik muncul di benaknya. Dengan senyum tipis yang jahat, Arjuna memanggil salah satu pelayan kepercayaa
Di tengah hari yang cerah, di halaman latihan istana Kerajaan Langit Timur, Gema sedang berlatih dengan Ki Joko Tingkir. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin erat.Ki Joko Tingkir, seorang prajurit veteran yang telah mengabdi pada kerajaan selama bertahun-tahun, melihat potensi besar dalam diri Gema. Bukan hanya sebagai pahlawan yang dijanjikan, tetapi juga sebagai cucu yang tak pernah dia miliki.“Bagus, Gema,” ujar Ki Joko Tingkir dengan senyum puas setelah melihat Gema berhasil menguasai salah satu teknik bela diri yang kompleks. “Kau semakin mahir setiap harinya. Kau belajar dengan cepat, lebih cepat dari siapa pun yang pernah kulatih.”Gema yang masih terengah-engah karena latihan intensif itu, tersenyum lelah namun puas. “Terima kasih, Guru. Aku beruntung bisa belajar darimu.”Ki Joko Tingkir tertawa kecil, lalu menepuk punggung Gema. “Kau adalah murid yang luar biasa, Gema. Aku mulai mel
Ruang pengobatan di istana Kerajaan Langit Timur dipenuhi dengan ketegangan. Di atas ranjang berlapis kain sutra, tubuh Gema terbaring lemah. Wajahnya pucat, dan nafasnya terengah-engah, tanda bahwa racun masih mengalir dalam darahnya.Di sekelilingnya, para tabib istana berusaha mencari cara untuk menetralkan racun yang menggerogoti tubuhnya. Namun, meskipun mereka sudah mencoba berbagai ramuan, hasilnya masih nihil.Di tengah kekacauan itu, Dewi Sekarwangi masuk dengan wajah penuh determinasi. Dia adalah salah satu penyihir terkuat di kerajaan, dan keahliannya dalam seni penyembuhan telah diakui oleh banyak orang. Namun, kali ini, dia menghadapi tantangan yang tidak mudah."Semua keluar," perintah Dewi Sekarwangi dengan suara tegas. "Aku sendiri yang akan menangani ini."Para tabib menatapnya sejenak, ragu-ragu, tetapi segera mematuhi perintahnya dan meninggalkan ruangan. Kini, hanya Dewi Sekarwangi dan Gema yang tersisa di ruang pengobatan itu.
Setelah memastikan bahwa Gema berada dalam kondisi stabil, meski masih lemah, Ki Joko Tingkir berdiri dari sisi ranjang dengan wajah yang dipenuhi kemarahan yang sulit dibendung. Mata tajamnya menyala, penuh dengan ketegasan dan kemarahan yang memuncak.Baginya, serangan racun terhadap Gema adalah tindakan pengecut yang tak termaafkan, dan dia tidak akan tinggal diam sampai menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan ini.Dia segera keluar dari ruang pengobatan, langkahnya berat dan tegas. Prajurit-prajurit yang berpatroli di dekat ruang pengobatan segera menyadari aura mengancam yang terpancar dari Ki Joko Tingkir, dan mereka semua berdiri dalam sikap siap, menunggu perintah.“Panggil semua prajurit yang bertugas di istana! Segera!” perintah Ki Joko Tingkir dengan suara keras, tanpa menyembunyikan kemarahannya.Salah satu prajurit berlari dengan cepat untuk menyampaikan perintah itu. Tidak butuh waktu lama, sejumlah besar praj
Ki Joko Tingkir berjalan dengan langkah cepat melalui koridor istana, membawa seorang kepala pelayan bernama Karno bersamanya. Wajah Karno tampak pucat pasi, seluruh tubuhnya gemetar karena takut akan apa yang mungkin terjadi. Dia tahu bahwa pengkhianatannya telah terungkap, dan sekarang dia harus menghadapi Raja Jayabaya yang murka.Ketika mereka tiba di depan aula utama istana, dua penjaga membuka pintu besar yang dihiasi ukiran emas dan perak. Ki Joko Tingkir melangkah masuk, menyeret Karno yang hampir tidak bisa berdiri tegak karena ketakutannya.Di dalam aula, Raja Jayabaya sedang duduk di singgasana yang megah, mengenakan jubah kebesarannya yang berwarna biru tua dengan hiasan emas. Matanya yang tajam segera tertuju pada Ki Joko Tingkir dan Karno, yang langsung membuat suasana di ruangan itu terasa tegang.Ki Joko Tingkir berhenti di tengah aula, membungkuk hormat kepada rajanya, lalu berbicara dengan suara tegas, “Yang Mulia, aku datang dengan kabar
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema