Lily mengerjapkan matanya saat mendengar pria yang menyelamatkannya itu malah tertawa. "Apa aku terlihat seperti malaikat sampai kau mengira sudah mati?" tanya pria itu.
Dalam hati Lily membenarkan. Wajah pria yang bernama Finley itu memang mirip seperti malaikat dalam cerita dongeng. Kulitnya putih pucat dengan bola mata hijau serta tatapan mata yang teduh. Garis rahangnya tegas dengan bentuk bibir yang sempurna. Finley memang lebih pantas disebut malaikat dibandingkan manusia. "Oh maaf, aku kira tadi aku tertabrak mobil atau apa." Lily membetulkan anak rambutnya yang berantakan. "Terima kasih karena sudah menolongku." "Sama-sama." Finley menatap ke sekeliling. "Apa kau sendirian? Kau nyaris saja tertabrak mobil kalau aku tidak menahan kursi rodamu." "Ya, temanku sudah masuk ke dalam gedung itu." Lily menunjuk ke arah pintu utama gedung. "Aku ingin masuk tapi aku tidak bisa karena penjaga bilang aku tidak memiliki undangan." Lily memainkan jari-jemarinya untuk menenangkan perasaannya. Sebetulnya dia masih sedikit takut karena peristiwa tadi. Nyawanya hampir di ujung tanduk namun rupanya Tuhan masih menyelamatkannya. Finley menatap ke arah dua penjaga yang berjaga dengan kecewa. Padahal untuk masuk ke dalam gedung itu tidak diperlukan sebuah undangan apapun. "Apa kau bersedia untuk masuk bersamaku?" tawarnya karena merasa kasihan pada Lily. "Tentu saja. Aku sangat berterima kasih, Tuan-" Lily menatap Finley karena tidak tahu namanya. "Finley. Namaku Finley Padma." Finley menjulurkan tangannya dan disambut oleh Lily. "Terima kasih Tuan Finley. Aku Lily, Lily Orlantha." "Nama yang cantik," gumam Finley. Setelahnya, Finley mendorong kursi roda Lily untuk kembali ke pintu utama. Dua penjaga yang melihat mulai mengernyitkan keningnya, mengawasi Lily dari arah kejauhan. "Maaf, Tuan. Nona itu tidak diperbolehkan untuk masuk," ujar si penjaga setelah Finley dan Lily mendekat. "Tapi kenapa? Seharusnya untuk masuk ke sana tidak diperlukan sebuah undangan karena kami diundang secara face to face oleh suruhan Tuan Kenneth," jelas Finley. "Nona itu bukan berasal dari keluarga yang diundang." "Siapa bilang?" sahut Lily. "Aku sudah bilang kan kalau aku menantu dari keluarga Kalandra, tapi kalian tidak percaya dan malah mendorongku ke jalanan yang ramai. Untung ada Tuan Finley yang menyelamatkanku." Lily melipat kedua tangannya, merasa jengkel dengan perlakuan penjaga yang tidak punya sopan santun. Sedang Finley menatap nanar pada Lily setelah mendengar bahwa Lily adalah menantu dari keluarga Kalandra. "Dengar, Nona. Berapa kali harus aku katakan kalau tidak mungkin keluarga Kalandra memiliki menantu lumpuh sepertimu." "Menantu keluarga Kalandra? Lumpuh?" gumam Finley tak menyangka. "Tuan, lebih baik Anda segera masuk dan jangan berurusan dengan wanita penipu sepertinya." "Hah!" Lily merasa kesal sekali pada ucapan penjaga yang mengatakan bahwa dia adalah penipu. "Aku bukan penipu. Aku memang menantu dari keluarga Kalandra!" "Lily!" Teriakan dari arah dalam membuat Lily mencari sumber suara. "Vina?" pekik Lily bahagia. Vina berlarian kecil menghampiri Lily dengan mengangkat sedikit gaunnya ke atas. "Aku pikir kau kenapa-kenapa karena tidak memberiku kabar." "Maaf, sepertinya ponselku tertinggal di rumah." "Ya sudah ayo cepat masuk. Acara sudah hendak di mulai," ajak Vina. "Tunggu bentar, Nona. Apa dia kenalanmu?" tanya si penjaga. "Tentu saja. Dia ini Lily Orlantha, menantu dari keluarga Kalandra." Mendengar itu, wajah dua penjaga tadi mulai memucat. Namun Lily tidak peduli, yang terpenting dia sudah bertemu Vina dan bisa masuk ke dalam acara. Sedetik kemudian Lily teringat dengan Finley. Dia pun menoleh ke arah belakang, namun Finley sama sekali tidak tampak. Kemana dia pergi? "Kau mencari siapa?" tanya Vina. "Apa kau tidak melihat pria tampan yang berdiri di belakangku tadi?" Lily menyebut Finley Tuan tampan karena memang Finley tampan, lebih tampan dari Max. "Pria tampan? Sepertinya aku lihat ada seorang pria tadi, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Memangnya siapa dia?" "Ah, bukan siapa-siapa." Lily mencoba mengabaikan soal Finley dan berpikir akan membalas kebaikan Finley jika suatu saat mereka bertemu kembali. Dari kejauhan, Finley melihat Lily yang sudah menjauh bersama seorang temannya. Dadanya masih terasa berdegup kencang dan tangannya sedikit gemetar. Finley mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mengatur napas. Kejadian saat kecelakaan mobil dua tahun yang lalu masih dia ingat dengan jelas. Suara dua mobil yang saling bertabrakan dalam ingatannya membuat keringatnya bermunculan di sekitar dahi. Finley tak menyangka jika dia akan bertemu kembali dengan salah satu korban itu. Dulu, dia adalah penyebab utama dari dua kecelakaan mobil itu terjadi. Jika saja Finley tidak sembarangan menyeberang ke jalanan hingga membuat Max membelokkan setir dan berakhir menabrak mobil milik Lily, pasti senmuanya akan baik-baik saja. Namun semua itu menjadi kesalahan Max karena Max menyetir dalam kondisi mabuk dan tidak adanya saksi mata di sekitaran. Apalagi Max tidak mengingat sama sekali kejadian sewaktu itu. Finley juga melarikan diri setelah kecelakaan itu terjadi. "Tuan Fin, apa kau tidak apa-apa?" Hana- sang sekretaris, menghampiri Finley yang nampak tak sehat. "Hana, cari tahu tentang Lily Orlantha dan kehidupannya selama di keluarga Kalandra. Aku berniat untuk menemuinya dan menebus kesalahanku padanya."Acara pesta sedang berlangsung saat Lily berhasil memasuki gedung. Alunan suara musik klasik yang menenangkan segera terdengar. Lily menatap takjub pada pertunjukan musik klasik yang terlihat mewah. "Sebenarnya ini acaranya siapa? Kenapa bisa begitu mewah?"Melihat wajah Lily yang terkagum-kagum membuat Vina terkekeh kecil. "Anniversary pernikahan Tuan Kenneth dan Nyonya Wina yang dua puluh lima. Kau tahu mereka bukan?""Tentu saja." Siapa yang tidak tahu tentang Kenneth Willem? Seorang pengusaha kaya raya kedua se-Asia yang terkenal sangat mencintai istrinya, Wina Atmaja."Dengar-dengar ini adalah acara di hari ketiga setelah sebelumnya mengadakan pesta besar-besaran selama dua hari di Dubai," bisik Vina yang membuat Lily terkejut."Pasti Nyonya Wina bahagia karena diperlakukan begitu istimewa oleh Tuan Kenneth. Lihat saja cara dia membuat acara pernikahan untuk istrinya yang begitu mewah," tukas Lily merasa iri.Vina menatap sahabatnya dengan prihatin
Para tamu yang berkumpul menjadi berisik setelah mendengar ucapan Tamara. Beberapa diantaranya menunjuk ke arah Lily dan menatapnya tajam.Tangan Lily mengepal erat, menatap Tamara dengan kesal. Tamara layaknya provokator yang memanas-manasi situasi. Padahal memang pelayan itu sendiri yang terjatuh karena kakinya tersandung lantai. Bagaimana mungkin malah situasi ini menjadi kesialan bagi Lily hanya dengan kesaksian palsu dari Tamara Lim?"Tapi aku tidak menabraknya sama sekali. Aku yakin diantara orang-orang yang berkumpul di sini pasti ada yang melihatku tidak menabrak pelayan itu, bukan?" tanya Lily menatap ke semua orang.Namun respon orang-orang justru tak acuh pada ucapan Lily. Mereka masih saling berbisik, membicarakan sosok Lily yang belum pernah mereka lihat."Hei, kau..." Lily mendekati si pelayan yang masih bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. "...aku tadi tidak menabrakmu kan? Kau sendiri yang tersandung lantai sampai terjatuh dan menumpahkan semu
"A-apa?" Lily terkejut mendengar ucapan Kenneth. "Tapi aku tidak bersalah.""Bersalah atau tidak. Biar polisi nanti yang menentukan."Vina yang tidak menyangka akan menjadi runyam pun ikut membuka suaranya. "Tuan, saya berani menjadi saksi jika Lily tidak membuat kekacauan. Pelayan itulah yang telah menuduh Lily.""Kau anak dari Vins Prajaya bukan? Apa kau ingin keluargamu juga ikut terseret dalam urusan ini? Aku tak menjamin jika ayahmu akan kuat menanggung akibatnya kalau kau ikut terlibat." Ucapan Kenneth membuat Vina menahan napasnya.Ayahnya memiliki hubungan kerja sama bisnis dengan Kenneth. Jika dia membuat kekacauan, sudah pasti hubungan bisnis mereka akan hancur. Vina tidak yakin keluarganya akan kuat menanggung akibat itu."Vina..." Lily menggenggam tangan Vina, menatapnya dalam sambil menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan agar Vina tidak ikut campur.Vina menatap sedih pada sahabatnya karena tidak bisa berbuat apa-apa. "Maafkan aku, Lily," lir
Max mengepalkan tangannya erat. "Entahlah, aku sendiri juga tidak menyangka."Tangan Olivia melingkar apik di lengan Max yang kekar lalu menyenderkan kepalanya di sana. "Bukankah harusnya istrimu itu ada di dalam mansion? Kenapa tiba-tiba ada di sini dan berbuat rusuh? Apa jangan-jangan selama ini dia sering keluar dari mansion tanpa meminta izin?" "Tidak mungkin." Max menurunkan tangan Olivia dari lengannya lalu menggenggamnya erat. "Aku sudah menyuruh salah seorang pelayan untuk terus mengawasinya dua puluh empat jam. Pelayan selalu bilang kalau Lily hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak bepergian.""Kau percaya dengan pelayanmu?" Olivia menarik wajah Max dan menatap kedua matanya lurus. "Bisa jadi Lily menyogok mereka dengan sejumlah uang supaya pelayan itu diam."Kening Max mengerut dalam. "Tidak mungkin pelayan itu berani melakukannya.""Lalu? Bagaimana cara Lily bisa keluar malam ini kalau bukan karena pelayanmu yang mengizinkan
"Kau mengenal Finley? Kenapa tidak pernah cerita? Pria tampan itu terkenal susah untuk berkenalan dengan seseorang." Vina tak melepaskan pandangannya dari Lily yang tengah menatap ke arah luar lewat kaca mobil. Keduanya sudah berada di dalam mobil hendak perjalanan ke tempat lain. "Ceritanya panjang, nanti akan aku ceritakan lewat ponsel sewaktu aku pulang." Badan Lily terasa lelah. Dia belum pernah keluar dari mansion begitu lama sebelumnya. Apalagi insiden tadi membuat moodnya kacau. Mendengar kata pulang membuat Vina menjadi cemas. "Malam ini jangan pulang, aku takut kalau kau akan menjadi sasaran amukan Max." Alih-alih ikut takut, Lily malah tertawa kecil. "Bukankah tujuan kita memang ingin membuat Max marah?" "Tapi--" "Tenang saja, Max tidak akan berani berbuat apapun. Justru dia harus tahu bahwa aku bukanlah Lily yang dulu, yang bisa dikekang seperti burung dalam sangkar." Meski wajah Lily nampak tenang, Vina te
Lily tersenyum getir. "Mau kau melabelinya dengan level tertinggi sekalipun, kau tetap tidak bisa mengubah fakta bahwa dia memang hanyalah selingkuhanmu.""Kau--" tangan Max sudah mengayun ke atas namun Lily sama sekali tidak takut."Kenapa diam? Pukul saja aku." Lily memperlihatkan sisi wajahnya dengan berani.Tangan Max mengepal erat kemudian perlahan turun. Lily hampir membuat harga dirinya sebagai seorang pria jatuh."Perpisahan memang jalan yang terbaik untuk kita berdua." Suara Lily pelan namun terdengar tegas. "Beri aku waktu sebulan untuk mengumpulkan uang, setelah itu aku pastikan kau bisa menikahi selingkuhanmu yang berharga." Setelahnya dia mengatur kursi roda untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.Max meraup wajahnya kasar. Dia hampir saja kehilangan kendalinya. Sejujurnya dia terkejut melihat perubahan Lily. Padahal selama ini, Lily adalah wanita patuh dan pendiam namun sekarang Max tak menyangka jika Lily seperti menyimpan seribu rahasia seperti ucapan Olivia se
"Kau berpikir kalau kau adalah seorang Nyonya di rumah ini?" Fernita melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Lily dengan angkuh. "Jangan harap kau berpikir bisa berbuat seenaknya setelah kematian suamiku." Jika dulu Lily selalu menjaga sikap untuk tidak banyak bicara dan hormat, kini Lily terlihat lebih tenang dan santai. "Apa maksud ibu? Apa ini tentang Mira? Si pelayan tak tahu diri yang telah mencuri satu set perhiasan milikku?" Fernita menyipitkan kedua matanya tak suka. "Mira adalah salah satu pelayan terlama yang sudah berdedikasi untuk keluarga Kalandra. Meski dia terbukti bersalah, kau tetap tidak bisa memecatnya begitu saja." "Kalau tidak dipecat harus diapakan? Apa harus mengelus-elus puncak kepalanya sambil berkata tidak apa-apa seperti anak anjing?" Lily tertawa kecil. "Ibu ini lucu sekali." Rahang Fernita mengetat. "Kau mengejekku?" Inda pun nampak terkejut melihat Nyonya-nya berani menjawab ucapan Fernita, tidak seperti Li
Mereka pun masuk ke dalam butik. Di depan meja tamu, Sandra sudah menyuruh pegawainya untuk membuatkan minuman hangat dan beberapa cemilan. Dia juga menyuruh pegawai untuk menutup tirai jendela dan mengunci pintu. "Inda, kau boleh pulang terlebih dahulu." Bagaimanapun masalahnya, Lily tidak mau menyulitkan Inda. Pelayannya itu harus tetap kembali ke mansion. "Tapi, Nyonya-" "Kau akan dipecat kalau terlalu lama ikut denganku." Inda terlihat gundah. Di satu sisi dia ingin ikut dengan Lily namun di sisi lain dia juga masih membutuhkan uang. "Pergilah, aku pastikan kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Terima kasih sudah mengantarku sampai sini." Tangan Lily menggenggam erat tangan Inda, seolah memberinya kekuatan dan harapan. "Baiklah, Nyonya. Pastikan Anda menepati janji." Dengan berat hati Inda meninggalkan butik dan meninggalkan Lily bersama Vina. "Sebenarnya ada apa?" Vina nampak tak sabar. Dia bahkan meneliti tubuh Lily, tak
"Hamil?" gumam Finley pelan. Kejadian hamil tidak pernah terbayangkan dalam hidup Finley. Dia selalu melakukan hubungan dengan aman, tidak pernah menumpahkan cairannya di dalam rahim lawan mainnya."Nikah saja kalau begitu," jawabnya enteng.Vina membuang pandangannya seraya mendengus pelan. Kedua sudut matanya sudah memerah dan juga nampak berair. "Entengnya kamu bicara," ujar Vina kesal sambil menatap ke arah jendela dengan menahan air matanya yang hendak keluar.Finley ikut berdiri dan menatap punggung Vina dengan kening mengernyit. "Kalau begitu mau kamu apa? Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin kita kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya."Vina nampak terdiam, tidak ada gerakan apapun dari arah punggungnya. Finley pun melanjutkan, "Yang bisa kita lakukan hanyalah mengatasi masalah yang akan timbul setelah perbuatan semalam."Tatapan Finley nampak muram tetapi tetap ada keseriusan di dalam sorot matanya. "Kalau memang kamu hamil nantinya, aku bersedia untuk bertanggung jaw
Vina menatap Finley tanpa mengedipkan mata, sesaat ada tatapan kecewa namun itu hanya sebentar.Vina tertawa dengan keras lalu berkata, "Kalau ingin membuatku menyerah, jangan berkata omong kosong. Mana mungkin Ivan yang gagah macho itu malah menyukai pria?"Tawa Vina begitu keras hingga keluar air mata dari sudut matanya. Finley begitu kejam, mengatakan hal-hal yang tak masuk akal demi membuatnya menyerah.Finley memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah."Lalu kembali meminum botol alkoholnya hingga habis. Vina melihat Finley yang tengah minum dengan perasaan kacau. Jika Ivan hanya tidak menyukainya, dia bisa terus berjuang agar Ivan bisa melihat ke arahnya.Tetapi kalau benar Ivan suka pria, mau Vina berguling-guling atau memohon pun Ivan tak akan menyukainya.Vina membuang pandangannya lalu menatap ke sembarang arah dengan mata buram.Pantas saja Ivan selalu bersikap dingin dan cuek padanya.Setelah dipikir-pikir, Ivan selalu begitu pada setiap wanita. Awalnya dia berpi
Vina sedang ada acara keluarga di hotel bintang lima yang kemudian tak sengaja melihat Ivan saat sedang berjalan ke arah lift."Ivan? Rupanya yang aku lihat itu benar kamu?" tanyanya setelah memastikan jika seorang pria bertubuh tegap dan tinggi itu adalah Ivan.Ivan terlihat tak nyaman, dia mengalihkan pandangannya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya sedang ditugaskan di sini."Meskipun Ivan selalu bersikap cuek dan dingin padanya, tetap Vina tidak menyerah. Baginya sikap Ivan yang seperti itu malah membuatnya semakin tergila-gila. Ivan semakin tampan dengan wajahnya yang dingin itu."Oh ya? Kebetulan sekali dong, aku juga sedang ada acara di sini. Jangan-jangan kita berjodoh kali ya..."Vina terkekeh pelan dan terdapat semburat merah di pipinya saat ini.Ivan merasa malu, lalu menoleh ke arah temannya, Norman yang sedang menahan tawanya saat ini."Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona. Saya masih harus bertugas menjaga Tuan Finley."Vina segera menghentikan Ivan. "Apa?
"Bu, sebenarnya aku dan Lily hanya pura-pura berpacaran."Saat ini Finley yang tengah duduk berhadapan dengan sang ibu, hanya mampu menundukkan pandangannya, tak berani bertatapan langsung.Tadi Donna bersikeras untuk mengajak Finley menjenguk Lily di rumah sakit. Donna berkata, "Kau sangat tidak perhatian pada kekasihmu sendiri, Finley. Lily sedang sakit, harusnya kamu lebih sering berkunjung dan menemaninya supaya lebih cepat pulih."Sebenarnya Donna sudah dijadwalkan pulang sejak beberapa hari yang lalu, namun Donna memutuskan untuk tinggal lebih lama setelah mendengar kabar kemalangan yang menimpa Lily.Karena Finley merasa tidak enak jika terus menerus membohongi sang ibu, akhirnya Finley berterus terang agar ibunya tak lagi terus berharap.Pada awalnya Finley merasa bisa menjadikan Lily sebagai pacar yang sesungguhnya. Namun lambat laun dia tersadar, kalau yang dia rasakan bukan perasaan cinta. Melainkan hanya perasaan nyaman karena sudah terbiasa. Selain itu, ketika Lily meno
"Tapi..." Sebenarnya Inda merasa ragu kalau Lily akan merasa lebih baik jika tinggal bersama dengan Kenneth dan Wina.Bukankah alasan Lily menjadi depresi karena belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung Darrel?Tetapi, Inda tidak berani mengatakannya secara langsung. Bagaimanapun dia sedang berhadapan dengan Kenneth, seorang pengusaha besar yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.Wina mengetahui soal keraguan Inda. "Aku tahu kalau kamu ragu soal hal ini. Tapi kami adalah orang tua kandung Lily, kami juga ingin menjadi dekat dengannya meskipun dia masih syok atas kenyataan ini.""Lagipula kau juga sibuk mengurusi Arsan, bukan? Aku tidak yakin kau bisa mengurus dua manusia yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental."Ucapan Wina ada benarnya bagi Inda. Dengan terpaksa Inda menyetujui permintaan Kenneth dan Wina untuk membawa Lily setelah pengobatan di rumah sakit selesai.Keesokannya.Dokter membolehkan Lily untuk pulang dan menjalani rawat jalan. Hal itu dit
Pupil mata Olivia bergetar. "Jadi kau juga menyalahkanku, Max?" Suaranya juga terdengar bergetar."Olivia, sadarlah..."Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa kalau orang lain yang menyalahkanku, tapi kau juga?"Butiran kristal menetes melalui matanya. "Bukankah kau dan aku sudah seperti saudara? Kenapa kau jadi seperti ini?"Dulu semasa mereka tumbuh bersama, berulang kali para orang tua mengatakan kalau mereka adalah saudara yang harus saling membantu."Justru karena aku menganggapmu sebagai saudara, makanya aku harus membuatmu sadar. Bertobatlah selagi kau masih hidup, Olivia," tukas Max tegas. Olivia menatap Max dibalik matanya yang buram, berusaha mencari-cari rasa kasih sayang yang selama ini Max tunjukkan padanya.Tetapi nyatanya tidak ada."Apa semua ini karena wanita jalang itu kau jadi seperti ini? Lily Orlantha?" tanya Olivia geram.Max mengeraskan rahangnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan siapapun dan-""Tapi kau tidak pernah seperti ini sebelumnya!" jerit Oliv
"Nona..."Lily membuka kedua matanya yang masih basah oleh linangan air mata. Suara sesenggukan masih keluar dari mulutnya kemudian dia melihat Inda berdiri di sampingnya begitu dekat."Nona tidak apa-apa?" tanya Inda begitu khawatir. "Kenapa Nona berteriak dan menangis?"Lily mengerjapkan mata berulang kali, masih mencoba mencerna apa yang telah terjadi barusan.Kemudian dia menyadari kalau dia sehabis bermimpi bertemu ayahnya.Lily semakin terisak. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menangis tersedu-sedu.Inda melihat itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Butiran kristal ikut turut meluncur membasahi baju Lily. Hatinya ikut sedih melihat Lily yang begitu sakit dan kecewa. Apalagi terdengar suara lirih yang bersamaan dengan suara tangisan itu."Ayah... ayah..."Inda tahu betapa kecewanya Lily terhadap kenyataan yang kemarin dia dapatkan.Perkataan saja mungkin tidak akan didengar oleh Lily, jadi Inda memilih untuk diam saja sembari memeluk tubuh Lily yang rin
Pagi-pagi sekali, Inda datang setelah mengantar Arsan ke sekolah untuk dititipkan.Dia sudah mendengar kabar dari Finley soal keadaan Lily, jadi dia ingin menjenguknya sepagi mungkin.Dan disinilah dia sekarang, menatap Lily yang juga sudah bangun tapi tatapannya masih kosong mengarah ke luar melalui jendela.Hati Inda merasa sakit, melihat Lily luka yang belum mengering dengan wajah begitu pucat.Inda meletakkan tasnya di atas meja lalu menarik kursi, mencoba memulai obrolan."Nona, saya sudah ada di sini," lirihnya sambil memegang punggung tangan Lily.Tapi tidak ada respon apapun dari Lily.Inda menghela napasnya panjang. Sepertinya fakta soal dia merupakan putri kandung Kenneth benar-benar menghantam mentalnya.Hidupnya memang penuh dengan kejutan.Selang dua jam.Vina datang untuk kembali menjenguk Lily.Dia datang langsung duduk di atas kursi dan bertanya pada Inda, "Dia sudah makan?"Saat ini Lily sudah kembali tertidur karena efek obat yang dikonsumsinya.Inda menggeleng pelan
Dengan tergagap Max menjawab, "I-iya, saya suaminya."Perawat itu tersenyum lalu mulai merobek kemasan berisi jarum suntik baru. "Dokter sudah meresepkan untuk istri Anda beberapa obat, salah satunya obat tidur melalui suntikan.""Baik, Sus."Setelah itu perawat memberi suntikan pada Lily lewat jarum infus. Tak butuh lama, perawat sudah selesai lalu mengemas barangnya dan berpamitan pergi.Fernita juga masih ada di dalam ruangan, bedanya dia terduduk di atas sofa."Sebaiknya ibu pulang dulu saja," ujar Max tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Tapi-"Brak!!Ucapan Fernita terpotong oleh suara pintu yang dibuka dengan keras.Fernita terkejut begitupun dengan Max.Seseorang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Finley.Dia menatap Max dengan tajam lalu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinju ke wajah Max yang tidak sempat untuk menghindar. Alhasil, tubuhnya tersungkur di atas lantai."Max!!" jerit Fernita karena terkejut."Brengsek kau!" umpat Finley penuh amarah dan m