Lily mengerjapkan matanya saat mendengar pria yang menyelamatkannya itu malah tertawa. "Apa aku terlihat seperti malaikat sampai kau mengira sudah mati?" tanya pria itu.
Dalam hati Lily membenarkan. Wajah pria yang bernama Finley itu memang mirip seperti malaikat dalam cerita dongeng. Kulitnya putih pucat dengan bola mata hijau serta tatapan mata yang teduh. Garis rahangnya tegas dengan bentuk bibir yang sempurna. Finley memang lebih pantas disebut malaikat dibandingkan manusia. "Oh maaf, aku kira tadi aku tertabrak mobil atau apa." Lily membetulkan anak rambutnya yang berantakan. "Terima kasih karena sudah menolongku." "Sama-sama." Finley menatap ke sekeliling. "Apa kau sendirian? Kau nyaris saja tertabrak mobil kalau aku tidak menahan kursi rodamu." "Ya, temanku sudah masuk ke dalam gedung itu." Lily menunjuk ke arah pintu utama gedung. "Aku ingin masuk tapi aku tidak bisa karena penjaga bilang aku tidak memiliki undangan." Lily memainkan jari-jemarinya untuk menenangkan perasaannya. Sebetulnya dia masih sedikit takut karena peristiwa tadi. Nyawanya hampir di ujung tanduk namun rupanya Tuhan masih menyelamatkannya. Finley menatap ke arah dua penjaga yang berjaga dengan kecewa. Padahal untuk masuk ke dalam gedung itu tidak diperlukan sebuah undangan apapun. "Apa kau bersedia untuk masuk bersamaku?" tawarnya karena merasa kasihan pada Lily. "Tentu saja. Aku sangat berterima kasih, Tuan-" Lily menatap Finley karena tidak tahu namanya. "Finley. Namaku Finley Padma." Finley menjulurkan tangannya dan disambut oleh Lily. "Terima kasih Tuan Finley. Aku Lily, Lily Orlantha." "Nama yang cantik," gumam Finley. Setelahnya, Finley mendorong kursi roda Lily untuk kembali ke pintu utama. Dua penjaga yang melihat mulai mengernyitkan keningnya, mengawasi Lily dari arah kejauhan. "Maaf, Tuan. Nona itu tidak diperbolehkan untuk masuk," ujar si penjaga setelah Finley dan Lily mendekat. "Tapi kenapa? Seharusnya untuk masuk ke sana tidak diperlukan sebuah undangan karena kami diundang secara face to face oleh suruhan Tuan Kenneth," jelas Finley. "Nona itu bukan berasal dari keluarga yang diundang." "Siapa bilang?" sahut Lily. "Aku sudah bilang kan kalau aku menantu dari keluarga Kalandra, tapi kalian tidak percaya dan malah mendorongku ke jalanan yang ramai. Untung ada Tuan Finley yang menyelamatkanku." Lily melipat kedua tangannya, merasa jengkel dengan perlakuan penjaga yang tidak punya sopan santun. Sedang Finley menatap nanar pada Lily setelah mendengar bahwa Lily adalah menantu dari keluarga Kalandra. "Dengar, Nona. Berapa kali harus aku katakan kalau tidak mungkin keluarga Kalandra memiliki menantu lumpuh sepertimu." "Menantu keluarga Kalandra? Lumpuh?" gumam Finley tak menyangka. "Tuan, lebih baik Anda segera masuk dan jangan berurusan dengan wanita penipu sepertinya." "Hah!" Lily merasa kesal sekali pada ucapan penjaga yang mengatakan bahwa dia adalah penipu. "Aku bukan penipu. Aku memang menantu dari keluarga Kalandra!" "Lily!" Teriakan dari arah dalam membuat Lily mencari sumber suara. "Vina?" pekik Lily bahagia. Vina berlarian kecil menghampiri Lily dengan mengangkat sedikit gaunnya ke atas. "Aku pikir kau kenapa-kenapa karena tidak memberiku kabar." "Maaf, sepertinya ponselku tertinggal di rumah." "Ya sudah ayo cepat masuk. Acara sudah hendak di mulai," ajak Vina. "Tunggu bentar, Nona. Apa dia kenalanmu?" tanya si penjaga. "Tentu saja. Dia ini Lily Orlantha, menantu dari keluarga Kalandra." Mendengar itu, wajah dua penjaga tadi mulai memucat. Namun Lily tidak peduli, yang terpenting dia sudah bertemu Vina dan bisa masuk ke dalam acara. Sedetik kemudian Lily teringat dengan Finley. Dia pun menoleh ke arah belakang, namun Finley sama sekali tidak tampak. Kemana dia pergi? "Kau mencari siapa?" tanya Vina. "Apa kau tidak melihat pria tampan yang berdiri di belakangku tadi?" Lily menyebut Finley Tuan tampan karena memang Finley tampan, lebih tampan dari Max. "Pria tampan? Sepertinya aku lihat ada seorang pria tadi, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Memangnya siapa dia?" "Ah, bukan siapa-siapa." Lily mencoba mengabaikan soal Finley dan berpikir akan membalas kebaikan Finley jika suatu saat mereka bertemu kembali. Dari kejauhan, Finley melihat Lily yang sudah menjauh bersama seorang temannya. Dadanya masih terasa berdegup kencang dan tangannya sedikit gemetar. Finley mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mengatur napas. Kejadian saat kecelakaan mobil dua tahun yang lalu masih dia ingat dengan jelas. Suara dua mobil yang saling bertabrakan dalam ingatannya membuat keringatnya bermunculan di sekitar dahi. Finley tak menyangka jika dia akan bertemu kembali dengan salah satu korban itu. Dulu, dia adalah penyebab utama dari dua kecelakaan mobil itu terjadi. Jika saja Finley tidak sembarangan menyeberang ke jalanan hingga membuat Max membelokkan setir dan berakhir menabrak mobil milik Lily, pasti senmuanya akan baik-baik saja. Namun semua itu menjadi kesalahan Max karena Max menyetir dalam kondisi mabuk dan tidak adanya saksi mata di sekitaran. Apalagi Max tidak mengingat sama sekali kejadian sewaktu itu. Finley juga melarikan diri setelah kecelakaan itu terjadi. "Tuan Fin, apa kau tidak apa-apa?" Hana- sang sekretaris, menghampiri Finley yang nampak tak sehat. "Hana, cari tahu tentang Lily Orlantha dan kehidupannya selama di keluarga Kalandra. Aku berniat untuk menemuinya dan menebus kesalahanku padanya."Acara pesta sedang berlangsung saat Lily berhasil memasuki gedung. Alunan suara musik klasik yang menenangkan segera terdengar. Lily menatap takjub pada pertunjukan musik klasik yang terlihat mewah. "Sebenarnya ini acaranya siapa? Kenapa bisa begitu mewah?"Melihat wajah Lily yang terkagum-kagum membuat Vina terkekeh kecil. "Anniversary pernikahan Tuan Kenneth dan Nyonya Wina yang dua puluh lima. Kau tahu mereka bukan?""Tentu saja." Siapa yang tidak tahu tentang Kenneth Willem? Seorang pengusaha kaya raya kedua se-Asia yang terkenal sangat mencintai istrinya, Wina Atmaja."Dengar-dengar ini adalah acara di hari ketiga setelah sebelumnya mengadakan pesta besar-besaran selama dua hari di Dubai," bisik Vina yang membuat Lily terkejut."Pasti Nyonya Wina bahagia karena diperlakukan begitu istimewa oleh Tuan Kenneth. Lihat saja cara dia membuat acara pernikahan untuk istrinya yang begitu mewah," tukas Lily merasa iri.Vina menatap sahabatnya dengan prihatin
Para tamu yang berkumpul menjadi berisik setelah mendengar ucapan Tamara. Beberapa diantaranya menunjuk ke arah Lily dan menatapnya tajam.Tangan Lily mengepal erat, menatap Tamara dengan kesal. Tamara layaknya provokator yang memanas-manasi situasi. Padahal memang pelayan itu sendiri yang terjatuh karena kakinya tersandung lantai. Bagaimana mungkin malah situasi ini menjadi kesialan bagi Lily hanya dengan kesaksian palsu dari Tamara Lim?"Tapi aku tidak menabraknya sama sekali. Aku yakin diantara orang-orang yang berkumpul di sini pasti ada yang melihatku tidak menabrak pelayan itu, bukan?" tanya Lily menatap ke semua orang.Namun respon orang-orang justru tak acuh pada ucapan Lily. Mereka masih saling berbisik, membicarakan sosok Lily yang belum pernah mereka lihat."Hei, kau..." Lily mendekati si pelayan yang masih bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. "...aku tadi tidak menabrakmu kan? Kau sendiri yang tersandung lantai sampai terjatuh dan menumpahkan semu
"A-apa?" Lily terkejut mendengar ucapan Kenneth. "Tapi aku tidak bersalah.""Bersalah atau tidak. Biar polisi nanti yang menentukan."Vina yang tidak menyangka akan menjadi runyam pun ikut membuka suaranya. "Tuan, saya berani menjadi saksi jika Lily tidak membuat kekacauan. Pelayan itulah yang telah menuduh Lily.""Kau anak dari Vins Prajaya bukan? Apa kau ingin keluargamu juga ikut terseret dalam urusan ini? Aku tak menjamin jika ayahmu akan kuat menanggung akibatnya kalau kau ikut terlibat." Ucapan Kenneth membuat Vina menahan napasnya.Ayahnya memiliki hubungan kerja sama bisnis dengan Kenneth. Jika dia membuat kekacauan, sudah pasti hubungan bisnis mereka akan hancur. Vina tidak yakin keluarganya akan kuat menanggung akibat itu."Vina..." Lily menggenggam tangan Vina, menatapnya dalam sambil menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan agar Vina tidak ikut campur.Vina menatap sedih pada sahabatnya karena tidak bisa berbuat apa-apa. "Maafkan aku, Lily," lir
Max mengepalkan tangannya erat. "Entahlah, aku sendiri juga tidak menyangka."Tangan Olivia melingkar apik di lengan Max yang kekar lalu menyenderkan kepalanya di sana. "Bukankah harusnya istrimu itu ada di dalam mansion? Kenapa tiba-tiba ada di sini dan berbuat rusuh? Apa jangan-jangan selama ini dia sering keluar dari mansion tanpa meminta izin?" "Tidak mungkin." Max menurunkan tangan Olivia dari lengannya lalu menggenggamnya erat. "Aku sudah menyuruh salah seorang pelayan untuk terus mengawasinya dua puluh empat jam. Pelayan selalu bilang kalau Lily hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak bepergian.""Kau percaya dengan pelayanmu?" Olivia menarik wajah Max dan menatap kedua matanya lurus. "Bisa jadi Lily menyogok mereka dengan sejumlah uang supaya pelayan itu diam."Kening Max mengerut dalam. "Tidak mungkin pelayan itu berani melakukannya.""Lalu? Bagaimana cara Lily bisa keluar malam ini kalau bukan karena pelayanmu yang mengizinkan
"Kau mengenal Finley? Kenapa tidak pernah cerita? Pria tampan itu terkenal susah untuk berkenalan dengan seseorang." Vina tak melepaskan pandangannya dari Lily yang tengah menatap ke arah luar lewat kaca mobil. Keduanya sudah berada di dalam mobil hendak perjalanan ke tempat lain. "Ceritanya panjang, nanti akan aku ceritakan lewat ponsel sewaktu aku pulang." Badan Lily terasa lelah. Dia belum pernah keluar dari mansion begitu lama sebelumnya. Apalagi insiden tadi membuat moodnya kacau. Mendengar kata pulang membuat Vina menjadi cemas. "Malam ini jangan pulang, aku takut kalau kau akan menjadi sasaran amukan Max." Alih-alih ikut takut, Lily malah tertawa kecil. "Bukankah tujuan kita memang ingin membuat Max marah?" "Tapi--" "Tenang saja, Max tidak akan berani berbuat apapun. Justru dia harus tahu bahwa aku bukanlah Lily yang dulu, yang bisa dikekang seperti burung dalam sangkar." Meski wajah Lily nampak tenang, Vina te
Lily tersenyum getir. "Mau kau melabelinya dengan level tertinggi sekalipun, kau tetap tidak bisa mengubah fakta bahwa dia memang hanyalah selingkuhanmu.""Kau--" tangan Max sudah mengayun ke atas namun Lily sama sekali tidak takut."Kenapa diam? Pukul saja aku." Lily memperlihatkan sisi wajahnya dengan berani.Tangan Max mengepal erat kemudian perlahan turun. Lily hampir membuat harga dirinya sebagai seorang pria jatuh."Perpisahan memang jalan yang terbaik untuk kita berdua." Suara Lily pelan namun terdengar tegas. "Beri aku waktu sebulan untuk mengumpulkan uang, setelah itu aku pastikan kau bisa menikahi selingkuhanmu yang berharga." Setelahnya dia mengatur kursi roda untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.Max meraup wajahnya kasar. Dia hampir saja kehilangan kendalinya. Sejujurnya dia terkejut melihat perubahan Lily. Padahal selama ini, Lily adalah wanita patuh dan pendiam namun sekarang Max tak menyangka jika Lily seperti menyimpan seribu rahasia seperti ucapan Olivia se
[Suamimu datang ke sini dengan selingkuhannya.] Lily Orlantha membaca sebaris pesan dan foto yang dikirim Vina Prajaya dengan nanar. Maxwell Kalandra, suami yang selalu menatapnya dingin setiap bertemu pandang dengannya sejak pernikahan dua tahun lalu, tampak berbinar saat menatap seorang wanita yang menggelayut manja di sampingnya. Hati Lily pedih, terlebih kala pandangannya turun pada kedua kakinya yang telah lumpuh. Jika Max tidak menabraknya dua tahun yang lalu, ayahnya mungkin masih hidup. Lily juga masih bebas berkeliaran di luaran sana tanpa terkurung menyedihkan di dalam sangkar yang gelap dan sepi seperti ini. Dan Lily tidak perlu mencintai sendirian.Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Di bawah tekanan Ibu tirinya yang membawa perihal pengobatan terbaik untuk adiknya yang autis, Lily terjebak dalam pernikahan semu. Drrrt! Notifikasi email di ponsel membuat Lily tersadar dari lamunan. Ada pesan masuk dari sekolah desainer terkenal di Paris bernama Belle Sc
Apa yang diucapkan oleh Vina benar. Selama Lily masih terikat dengan keluarga Kalandra, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa.Setelah menutup panggilan. Lily segera menelepon Max meski dia sendiri tahu Max tidak akan pernah menjawab panggilan darinya. Entah pria itu yang terlampau sibuk atau memang Lily tidak dipedulikannya, yang jelas pria itu tak pernah sekalipun menjawab panggilan apalagi meneleponnya. Jika Max ada urusan mendesak dengan Lily, dia akan menghubungkan panggilan melalui asistennya, Eddie.Panggilan dari Lily tidak dijawab, padahal Lily ingin segera membicarakan perihal perceraian dengan Max. Lily yakin jika Max pasti akan menyetujui persoalan itu, mengingat Antony sudah meninggal dua minggu yang lalu. Jadi tidak akan ada yang menghalangi mereka berdua untuk berpisah.Mengabaikan hal itu, Lily menekan tombol pada kursi rodanya supaya bisa memutar balik. Dia ingin segera istirahat jadi dia menekan interkom untuk meminta bantuan pada pelayan."Tolong bantu aku untuk ber
Lily tersenyum getir. "Mau kau melabelinya dengan level tertinggi sekalipun, kau tetap tidak bisa mengubah fakta bahwa dia memang hanyalah selingkuhanmu.""Kau--" tangan Max sudah mengayun ke atas namun Lily sama sekali tidak takut."Kenapa diam? Pukul saja aku." Lily memperlihatkan sisi wajahnya dengan berani.Tangan Max mengepal erat kemudian perlahan turun. Lily hampir membuat harga dirinya sebagai seorang pria jatuh."Perpisahan memang jalan yang terbaik untuk kita berdua." Suara Lily pelan namun terdengar tegas. "Beri aku waktu sebulan untuk mengumpulkan uang, setelah itu aku pastikan kau bisa menikahi selingkuhanmu yang berharga." Setelahnya dia mengatur kursi roda untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.Max meraup wajahnya kasar. Dia hampir saja kehilangan kendalinya. Sejujurnya dia terkejut melihat perubahan Lily. Padahal selama ini, Lily adalah wanita patuh dan pendiam namun sekarang Max tak menyangka jika Lily seperti menyimpan seribu rahasia seperti ucapan Olivia se
"Kau mengenal Finley? Kenapa tidak pernah cerita? Pria tampan itu terkenal susah untuk berkenalan dengan seseorang." Vina tak melepaskan pandangannya dari Lily yang tengah menatap ke arah luar lewat kaca mobil. Keduanya sudah berada di dalam mobil hendak perjalanan ke tempat lain. "Ceritanya panjang, nanti akan aku ceritakan lewat ponsel sewaktu aku pulang." Badan Lily terasa lelah. Dia belum pernah keluar dari mansion begitu lama sebelumnya. Apalagi insiden tadi membuat moodnya kacau. Mendengar kata pulang membuat Vina menjadi cemas. "Malam ini jangan pulang, aku takut kalau kau akan menjadi sasaran amukan Max." Alih-alih ikut takut, Lily malah tertawa kecil. "Bukankah tujuan kita memang ingin membuat Max marah?" "Tapi--" "Tenang saja, Max tidak akan berani berbuat apapun. Justru dia harus tahu bahwa aku bukanlah Lily yang dulu, yang bisa dikekang seperti burung dalam sangkar." Meski wajah Lily nampak tenang, Vina te
Max mengepalkan tangannya erat. "Entahlah, aku sendiri juga tidak menyangka."Tangan Olivia melingkar apik di lengan Max yang kekar lalu menyenderkan kepalanya di sana. "Bukankah harusnya istrimu itu ada di dalam mansion? Kenapa tiba-tiba ada di sini dan berbuat rusuh? Apa jangan-jangan selama ini dia sering keluar dari mansion tanpa meminta izin?" "Tidak mungkin." Max menurunkan tangan Olivia dari lengannya lalu menggenggamnya erat. "Aku sudah menyuruh salah seorang pelayan untuk terus mengawasinya dua puluh empat jam. Pelayan selalu bilang kalau Lily hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak bepergian.""Kau percaya dengan pelayanmu?" Olivia menarik wajah Max dan menatap kedua matanya lurus. "Bisa jadi Lily menyogok mereka dengan sejumlah uang supaya pelayan itu diam."Kening Max mengerut dalam. "Tidak mungkin pelayan itu berani melakukannya.""Lalu? Bagaimana cara Lily bisa keluar malam ini kalau bukan karena pelayanmu yang mengizinkan
"A-apa?" Lily terkejut mendengar ucapan Kenneth. "Tapi aku tidak bersalah.""Bersalah atau tidak. Biar polisi nanti yang menentukan."Vina yang tidak menyangka akan menjadi runyam pun ikut membuka suaranya. "Tuan, saya berani menjadi saksi jika Lily tidak membuat kekacauan. Pelayan itulah yang telah menuduh Lily.""Kau anak dari Vins Prajaya bukan? Apa kau ingin keluargamu juga ikut terseret dalam urusan ini? Aku tak menjamin jika ayahmu akan kuat menanggung akibatnya kalau kau ikut terlibat." Ucapan Kenneth membuat Vina menahan napasnya.Ayahnya memiliki hubungan kerja sama bisnis dengan Kenneth. Jika dia membuat kekacauan, sudah pasti hubungan bisnis mereka akan hancur. Vina tidak yakin keluarganya akan kuat menanggung akibat itu."Vina..." Lily menggenggam tangan Vina, menatapnya dalam sambil menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan agar Vina tidak ikut campur.Vina menatap sedih pada sahabatnya karena tidak bisa berbuat apa-apa. "Maafkan aku, Lily," lir
Para tamu yang berkumpul menjadi berisik setelah mendengar ucapan Tamara. Beberapa diantaranya menunjuk ke arah Lily dan menatapnya tajam.Tangan Lily mengepal erat, menatap Tamara dengan kesal. Tamara layaknya provokator yang memanas-manasi situasi. Padahal memang pelayan itu sendiri yang terjatuh karena kakinya tersandung lantai. Bagaimana mungkin malah situasi ini menjadi kesialan bagi Lily hanya dengan kesaksian palsu dari Tamara Lim?"Tapi aku tidak menabraknya sama sekali. Aku yakin diantara orang-orang yang berkumpul di sini pasti ada yang melihatku tidak menabrak pelayan itu, bukan?" tanya Lily menatap ke semua orang.Namun respon orang-orang justru tak acuh pada ucapan Lily. Mereka masih saling berbisik, membicarakan sosok Lily yang belum pernah mereka lihat."Hei, kau..." Lily mendekati si pelayan yang masih bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. "...aku tadi tidak menabrakmu kan? Kau sendiri yang tersandung lantai sampai terjatuh dan menumpahkan semu
Acara pesta sedang berlangsung saat Lily berhasil memasuki gedung. Alunan suara musik klasik yang menenangkan segera terdengar. Lily menatap takjub pada pertunjukan musik klasik yang terlihat mewah. "Sebenarnya ini acaranya siapa? Kenapa bisa begitu mewah?"Melihat wajah Lily yang terkagum-kagum membuat Vina terkekeh kecil. "Anniversary pernikahan Tuan Kenneth dan Nyonya Wina yang dua puluh lima. Kau tahu mereka bukan?""Tentu saja." Siapa yang tidak tahu tentang Kenneth Willem? Seorang pengusaha kaya raya kedua se-Asia yang terkenal sangat mencintai istrinya, Wina Atmaja."Dengar-dengar ini adalah acara di hari ketiga setelah sebelumnya mengadakan pesta besar-besaran selama dua hari di Dubai," bisik Vina yang membuat Lily terkejut."Pasti Nyonya Wina bahagia karena diperlakukan begitu istimewa oleh Tuan Kenneth. Lihat saja cara dia membuat acara pernikahan untuk istrinya yang begitu mewah," tukas Lily merasa iri.Vina menatap sahabatnya dengan prihatin
Lily mengerjapkan matanya saat mendengar pria yang menyelamatkannya itu malah tertawa. "Apa aku terlihat seperti malaikat sampai kau mengira sudah mati?" tanya pria itu.Dalam hati Lily membenarkan. Wajah pria yang bernama Finley itu memang mirip seperti malaikat dalam cerita dongeng. Kulitnya putih pucat dengan bola mata hijau serta tatapan mata yang teduh. Garis rahangnya tegas dengan bentuk bibir yang sempurna. Finley memang lebih pantas disebut malaikat dibandingkan manusia."Oh maaf, aku kira tadi aku tertabrak mobil atau apa." Lily membetulkan anak rambutnya yang berantakan. "Terima kasih karena sudah menolongku.""Sama-sama." Finley menatap ke sekeliling. "Apa kau sendirian? Kau nyaris saja tertabrak mobil kalau aku tidak menahan kursi rodamu.""Ya, temanku sudah masuk ke dalam gedung itu." Lily menunjuk ke arah pintu utama gedung. "Aku ingin masuk tapi aku tidak bisa karena penjaga bilang aku tidak memiliki undangan." Lily memainkan jari-jemarinya untuk menenangkan perasaannya
Setelah perdebatan dengan Mira, akhirnya Lily bisa keluar dari mansion. Dia menyerahkan soal Mira pada Inda karena dia sudah kehilangan banyak waktu untuk pergi. Saat menghirup udara luar, entah mengapa Lily merasakan aroma yang berbeda dibanding saat terkurung di dalam mansion, yaitu aroma kebebasan.Sebuah mobil mewah sudah terparkir rapi di jalanan depan mansion. Lily yakin jika mobil itu pasti dari Vina. Saat Lily hampir mendekat, seorang pria berseragam keluar dari mobil dan menghampirinya."Apa Anda Nyonya Lily Orlantha?" tanya pria itu dengan sopan."Betul.""Nona Vina sudah lama menunggu Anda." Kemudian pria itu meminta izin untuk mendorong kursi roda Lily lalu membukakan pintu mobil.Setelah Lily berhasil masuk dan siap, mobil segera melaju dengan kecepatan sedang. Lily mencoba menikmati suasana jalanan luar dengan membuka sedikit jendelanya untuk meredakan degup jantungnya yang terasa lebih kencang.Angin kencang dari arah luar yang mengenai wajah membuatnya sedikit tenang
"Anda tidak diperbolehkan untuk keluar, Nyonya." Salah satu pelayan paruh baya bernama Mira tiba-tiba menghadang Lily untuk keluar."Aku akan pergi ke sebuah acara bersama Max. Dia sudah menyuruh seseorang untuk menjemputku di luar mansion." Lily berusaha merancang alasan palsu, seperti yang disuruh Vina."Tapi Tuan Max sama sekali tidak memberitahu apapun soal itu. Lebih baik Anda kembali masuk ke dalam kamar sebelum Tuan Max marah." Mira hendak mengambil alih Inda untuk mendorong kursi roda Lily namun segera dicegah oleh Inda."Biar aku saja yang mengantarnya," ujar Inda.Mira menatap tajam ke arah Inda."Tunggu, aku tidak akan kembali masuk ke kamar karena aku akan pergi!" kekeh Lily."Tapi, Nyonya..."Lily langsung menunjukkan ponsel. "Kalau kau masih mencegahku, aku akan menghubungi Max untuk mengadukan sikapmu."Alih-alih takut, Mira tersenyum sinis sambil berkata, "Apa Anda pikir saya takut? Tuan Max tidak pernah memperhatikan Anda. Lebih baik Anda tidak berbuat nekat atau Anda