"Kau mengenal Finley? Kenapa tidak pernah cerita? Pria tampan itu terkenal susah untuk berkenalan dengan seseorang." Vina tak melepaskan pandangannya dari Lily yang tengah menatap ke arah luar lewat kaca mobil.
Keduanya sudah berada di dalam mobil hendak perjalanan ke tempat lain. "Ceritanya panjang, nanti akan aku ceritakan lewat ponsel sewaktu aku pulang." Badan Lily terasa lelah. Dia belum pernah keluar dari mansion begitu lama sebelumnya. Apalagi insiden tadi membuat moodnya kacau. Mendengar kata pulang membuat Vina menjadi cemas. "Malam ini jangan pulang, aku takut kalau kau akan menjadi sasaran amukan Max." Alih-alih ikut takut, Lily malah tertawa kecil. "Bukankah tujuan kita memang ingin membuat Max marah?" "Tapi--" "Tenang saja, Max tidak akan berani berbuat apapun. Justru dia harus tahu bahwa aku bukanlah Lily yang dulu, yang bisa dikekang seperti burung dalam sangkar." Meski wajah Lily nampak tenang, Vina teLily tersenyum getir. "Mau kau melabelinya dengan level tertinggi sekalipun, kau tetap tidak bisa mengubah fakta bahwa dia memang hanyalah selingkuhanmu.""Kau--" tangan Max sudah mengayun ke atas namun Lily sama sekali tidak takut."Kenapa diam? Pukul saja aku." Lily memperlihatkan sisi wajahnya dengan berani.Tangan Max mengepal erat kemudian perlahan turun. Lily hampir membuat harga dirinya sebagai seorang pria jatuh."Perpisahan memang jalan yang terbaik untuk kita berdua." Suara Lily pelan namun terdengar tegas. "Beri aku waktu sebulan untuk mengumpulkan uang, setelah itu aku pastikan kau bisa menikahi selingkuhanmu yang berharga." Setelahnya dia mengatur kursi roda untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.Max meraup wajahnya kasar. Dia hampir saja kehilangan kendalinya. Sejujurnya dia terkejut melihat perubahan Lily. Padahal selama ini, Lily adalah wanita patuh dan pendiam namun sekarang Max tak menyangka jika Lily seperti menyimpan seribu rahasia seperti ucapan Olivia se
"Kau berpikir kalau kau adalah seorang Nyonya di rumah ini?" Fernita melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Lily dengan angkuh. "Jangan harap kau berpikir bisa berbuat seenaknya setelah kematian suamiku." Jika dulu Lily selalu menjaga sikap untuk tidak banyak bicara dan hormat, kini Lily terlihat lebih tenang dan santai. "Apa maksud ibu? Apa ini tentang Mira? Si pelayan tak tahu diri yang telah mencuri satu set perhiasan milikku?" Fernita menyipitkan kedua matanya tak suka. "Mira adalah salah satu pelayan terlama yang sudah berdedikasi untuk keluarga Kalandra. Meski dia terbukti bersalah, kau tetap tidak bisa memecatnya begitu saja." "Kalau tidak dipecat harus diapakan? Apa harus mengelus-elus puncak kepalanya sambil berkata tidak apa-apa seperti anak anjing?" Lily tertawa kecil. "Ibu ini lucu sekali." Rahang Fernita mengetat. "Kau mengejekku?" Inda pun nampak terkejut melihat Nyonya-nya berani menjawab ucapan Fernita, tidak seperti Li
Mereka pun masuk ke dalam butik. Di depan meja tamu, Sandra sudah menyuruh pegawainya untuk membuatkan minuman hangat dan beberapa cemilan. Dia juga menyuruh pegawai untuk menutup tirai jendela dan mengunci pintu. "Inda, kau boleh pulang terlebih dahulu." Bagaimanapun masalahnya, Lily tidak mau menyulitkan Inda. Pelayannya itu harus tetap kembali ke mansion. "Tapi, Nyonya-" "Kau akan dipecat kalau terlalu lama ikut denganku." Inda terlihat gundah. Di satu sisi dia ingin ikut dengan Lily namun di sisi lain dia juga masih membutuhkan uang. "Pergilah, aku pastikan kita akan bertemu lagi suatu hari nanti. Terima kasih sudah mengantarku sampai sini." Tangan Lily menggenggam erat tangan Inda, seolah memberinya kekuatan dan harapan. "Baiklah, Nyonya. Pastikan Anda menepati janji." Dengan berat hati Inda meninggalkan butik dan meninggalkan Lily bersama Vina. "Sebenarnya ada apa?" Vina nampak tak sabar. Dia bahkan meneliti tubuh Lily, tak
Di kantor Max, saat matahari mulai meninggi, Eddie berdiri di depan meja dan menatap Max yang masih fokus pada lembaran dokumen. "Pelayan bilang Lily keluar dari mansion dengan membawa koper setelah berdebat panjang di depan ibumu." Gerakan tangan Max langsung terhenti, fokusnya pada dokumen di depannya menjadi buyar. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap Eddie dengan dingin. "Apa sekarang kau mulai tertarik untuk mencampuri urusan rumah tanggaku?" Eddie tidak takut terhadap Max, jadi dia melanjutkan ucapannya, "Akan sangat terasa aneh kalau kau masih duduk di dalam ruangan sedang istrimu kabur dari mansion." "Itu bukan urusanmu." Max hendak melanjutkan urusannya saat Eddie kembali bersuara. "Aku menasehati mu sebagai sepupu." Dengan kesal Max mencampakkan bolpoin di atas meja. "Di kantor kau adalah bawahan ku bukan sepupuku." "Kejarlah dia selagi bisa. Aku rasa hanya dia wanita yang mampu bertahan berumah tangga denganmu selama dua tahun setelah kau buat kedua kakinya lum
Kedua mata Lily membulat mendapati Max dan Olivia berdiri di depan pintu utama. Awalnya Lily sangat terkejut namun dia berusaha profesional sebagai pekerja."Maaf, kami sudah tutup. Silahkan kembali lagi besok," ujarnya lagi berusaha tenang meski hatinya remuk redam.Dia baru saja keluar dari mansion pagi tadi, Max bahkan terlihat tidak peduli. Tiba-tiba saja dia datang ke sini dengan membawa kekasihnya. Apa dia sengaja melakukannya? Untuk memamerkan kemesraan di depan Lily?Ini adalah kali kedua Lily berhadapan langsung dengan Olivia setelah yang pertama kali adalah kemarin malam di suatu keadaan yang tak terduga."Ah, kau memberiku kejutan yang luar biasa, Max." Suara Olivia terdengar lembut dan gerak-geriknya begitu anggun.Tatapannya lurus ke arah Lily, rasa ketidaksukaan terlihat jelas di sorot matanya.Meski tubuhnya kurus karena tuntutan kerja namun wajahnya begitu cantik dan mempesona. Auranya terlihat mahal, sangat cocok bersanding dengan Max yang tampan.Pantas orang-orang
Kedatangan Max dan Olivia tak lagi membuat perasaan Lily bersedih. Justru hal itu memacu semangatnya untuk bangkit. Meskipun nyatanya kini dia kewalahan karena melakoni semuanya sendirian, namun itu jauh lebih baik dibanding saat dia hanya berdiam diri di dalam mansion.Lily sudah membersihkan ruangan depan, jadi kini saatnya untuk membersihkan gudang setelah tadinya barang-barang sudah dikeluarkan oleh suruhan Sandra.Untungnya Sandra juga menyuruh orang untuk menaruh perabotan yang dibutuhkan oleh Lily secepat mungkin. Jadi Lily tidak begitu kesusahan.Setengah jam kemudian Vina datang membantunya meskipun Lily sudah dengan tegas menolak bantuan itu."Halo, dear! Aku sudah datang!" Suara Vina yang riang langsung terdengar saat Lily baru saja selesai membersihkan kamarnya."Kenapa kau bawa banyak barang?" Lily menatap semua goodie bag yang teronggok di lantai. "Untuk apa semua ini?""Jelas untukmu lah." Vina mendudukkan pantatnya di atas sofa. "Aku sedang stres karena papaku memberi
Maklum saja jika gaun itu menarik hati Olivia. Gaun itu juga telah menarik hati beberapa orang yang melihat namun orang-orang langsung mundur saat mendengar harganya yang fantastis. Kebetulan Olivia menyukainya, jadi Lily tercetus ide. Lily menyuruh Sandra untuk membuat Max menawar gaun itu seharga lima kali lipat dari harga seharusnya."Izinkan saya untuk menghubungi pelanggan yang hendak membeli gaun itu. Siapa tahu pelanggan tersebut mau untuk saya ganti dengan rancangan gaun yang lain."Tawaran dari Sandra disetujui oleh Max. Tentu saja itu hanyalah pura-pura saja. Belum ada pembeli yang hendak membeli gaun tersebut.Lily hanya mengawasi mereka dari jauh. Sebelumnya dia juga mewanti-wanti para pegawai untuk tidak memberitahu pada Max soal posisi dirinya di butik. Biarkan Max berpikir jika Lily hanyalah seorang tukang bersih-bersih.Beberapa menit setelahnya, Sandra kembali mendekat. "Pelanggan tadi bersedia untuk mengganti gaunnya dengan gaun yang lain."Ucapan Sandra membuat Oli
Suasana hati Lily sedang membaik karena dia telah menerima uang dari gaun yang dibeli oleh Max semalam.Sandra berbaik hati memberinya uang penjualan seratus persen tanpa dipotong apapun. Itu karena Sandra bersimpati dengannya.Beban pikiran Lily sedikit berkurang, setidaknya dia tidak begitu khawatir untuk memberi Max uang dua milyar sebagai syarat untuk bercerai nantinya.Saat ini Lily ikut Vina ke toko penjualan kain. Biasanya Vina tidak melakukan itu, tetapi Linda lah yang bertanggung jawab melakukannya.Tapi Vina sengaja melakukan ini untuk menghibur Lily, sekaligus agar Lily memiliki wawasan luas soal kain yang akan dirancang."Bagaimana? Kau kelihatannya senang?" tanya Vina."Tentu saja, di sini aku bisa menilai kualitas dari kain yang akan aku buat nantinya." Lily membelai satu persatu kain yang akan dia beli nantinya. Ini berbeda saat dia hanya melihat dari layar ponsel. Tangannya dapat mengetahui secara langsung tentang tekstur kain dan perbedaan warna.Dua jam setelahnya,
Atas instruksi sang sopir, Lily berhasil mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang paling dekat. Sang sopir langsung ditangani oleh dokter dan dijadwalkan operasi untuk mengambil sisa peluru yang masuk ke dalam kaki.Sesaat kemudian, Lily dijemput oleh Kenneth dan beberapa pengawal. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Kenneth sambil meneliti tubuh Lily dengan seksama. "Tidak ada yang terluka, Kan?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa, Pa. Hanya Pak sopir yang terluka di bagian kaki karena terkena tembakan."Helaan napas berat keluar dari mulut Kenneth. "Syukurlah. Dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik."Mendengar itu, Lily menatap Kenneth dengan air muka serius. "Pa, sebenarnya apa yang terjadi?""Masuk dulu ke dalam mobil. Akan Papa ceritakan semuanya di dalam nanti," jawab Kenneth.Mereka pun masuk ke dalam mobil. Saat beberapa meter mobil sudah berjalan, Lily mendesak Kenneth untuk berbicara."Begini, Lily. Sebenarnya dari dulu Papa sudah mengetahui ada sesuatu yang
Di tengah perjalanan pulang, Lily masih memikirkan soal ucapan Inda. Sengaja dia pulang tanpa berpamitan dengan Max karena ingin menghindar dulu. Untuk saat ini, Lily sendiri tidak tahu apakah bisa menahan diri jika bertemu dengan Max lagi. Pesona yang dipancarkannya sekarang sangat berbeda dengan dulu.Kalau dulu Max nampak dingin, tak tersentuh dan juga kaku. Kalau sekarang, Max terlihat lebih hangat dan juga terang-terangan terus menggoda Lily. Bagi Lily itu tentu saja bahaya. Mereka adalah pasangan mantan suami-istri, bukan suami-istri yang saling mencintai.Ponselnya yang sudah dia charge sebelumnya terus berdering. Lily melihat layar ponsel sejenak lalu mengabaikan dering tersebut.Panggilan telepon itu datang dari Max. Lily ingin menghindarinya sejenak sampai dia sudah siap.Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali berdenting singkat. Sebuah pesan dari Vina masuk.[Aku tahu kamu sibuk, tapi bisakah kamu datang ke rumah untuk menemaniku? Aku sangat sedang butuh seseorang seka
Lamunan Lily buyar saat Max menurunkan Lily di depan bath tub. Selimut langsung terlepas karena Lily tidak memeganginya. Otomatis, Lily memegangi tubuhnya dengan kedua tangan.Max kembali tertawa lalu meraih dagu Lily dengan lembut."Ngapain ditutupin? Aku udah melihat semuanya, Lily. Sekujur tubuhmu itu rasanya... sangat manis."Ucapan Max terdengar sangat lembut dan mesra. Apalagi sorot matanya yang nampak berkabut dan penuh gairah, membuat Lily membayangkan lagi adegan saat mereka bermesraan di atas ranjang. Seharusnya Lily segera menjauh karena tidak ingin terlena lagi oleh bualan manis dari mantan suaminya itu. Tapi apa daya, Lily ingin sekali lagi merasakan kehangatan yang ditawarkan oleh Max.Alhasil, saat bibir Max mendarat di bibirnya, Lily langsung membalas dan terjadi pergulatan lagi di dalam kamar mandi.Entah mereka melakukannya yang ke-berapa kali, yang jelas perlakuan Max membuat Lily menjadi candu.Inikah yang dinamakan gairah? Membuat candu dan begitu dahsyatnya hin
Pagi menjelang. Matahari masih nampak malu-malu untuk keluar, angin dingin berhembus kencang yang membuat Inda merapatkan jaketnya untuk menutupi tubuhnya yang menggigil kedinginan.Semalam hujan terus turun yang membuat jalanan masih basah, membuat Inda yang baru pulang dari kampung halaman berjalan perlahan memasuki rumah agar tidak terpeleset.Keningnya mengernyit saat melihat ada dua mobil yang terparkir rapi di depan rumah. Seingatnya, hanya Max yang seharusnya datang ke rumah untuk menemani Arsan. "Yang satu mobil milik Tuan Max dan yang satunya lagi milik siapa?" Inda bertanya dalam gumaman.Mengabaikan hal itu, Inda segera masuk agar mengetahui siapa yang datang ke rumah selain Max.Begitu masuk, Inda terkejut melihat ada seorang pria yang tertidur di atas sofa. Dari seragamnya, Inda yakin kalau dia hanyalah seorang sopir.Firasatnya menjadi tidak baik. Tempat pertama yang dia tuju adalah kamar Arsan. Inda selalu khawatir pada Arsan karena telah meninggalkannya selama sehari
Sekujur tubuh Lily meremang. Otaknya membeku saat Lily dapat merasakan bibir Max yang kenyal, basah dan juga dingin, menempel erat di bibirnya yang hangat.Detik selanjutnya, Lily langsung tersadar. Dia segera melepaskan diri lalu memukul bahu Max dengan keras."Apa-apaan kamu, Max?"Namun Max malah menyengir kuda. "Pipimu merah padahal itu baru permulaan." Lily memegang pipinya yang memang terasa panas. "Apa maksudmu pipiku tidak-"Belum sempat Lily meneruskan ucapannya, Max sudah membungkam mulut Lily lagi dengan bibirnya. Kedua mata Lily membulat. Dia memberontak sekuat tenaga, tapi tenaga Max begitu kuat. Tangan kiri memegang leher Lily sedang tangan kanannya meraih pinggang Lily dengan kuat.Lily berusaha memukul dada Max agar ciumannya terlepas, tapi malah ciuman Max semakin dalam. Dia ingin protes, tapi bibirnya yang terbuka malah membuat Max semakin mudah melancarkan pagutannya.Pagutan Max terasa begitu lembut di bibir bawahnya, diiringi dengan pagutan yang lain di bibir a
"Tapi tadi dia nyariin kamu, Max. Bukan nyari seekor anak anjing," kata Lily. "Kecuali kalau anak anjing itu panggilannya juga sama denganmu."Alih-alih tersinggung, Max malah tertawa. "Mungkin Arsan ke sana karena berharap aku akan datang untuk menemuinya di sana. Aku cukup sering datang ke warung itu."Meskipun Lily sangat terkejut mendengar perkataan Max soal dia yang sering datang ke warung itu, Lily memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Baginya urusan Max tidak lagi menjadi urusannya.Lalu pandangan Lily jatuh ke arah baju Max yang tepiannya basah. "Bajumu basah. Apa kau bawa baju ganti?""Tidak.""Kalau gitu pakai handuk yang ada di kamar mandi dulu, nanti aku buatkan baju baru untukmu.""Kau akan buatkan baju untukku?""Ya. Kenapa? Di sini gak ada baju pria yang ukurannya pas buat kamu, kecuali kalau kamu mau pakai baju wanita. Gimana? Kamu mau?""Enggak," jawab Max menggeleng cepat. "Aku hanya takut kalau merepotkanmu."Wajah Max yang terlihat takut membuat Lily menahan t
"Adik, Nona?" Kedua alis si sopir saling menyatu. "Kayaknya gak ada siapapun yang keluar lewat sini, Nona. Dari tadi saya duduk di kursi teras ini kok."Pikiran Lily langsung kacau. Arsan bukanlah anak yang suka keluar dan bertemu dengan orang. Kalau sampai Arsan panik dan tantrum di jalan, itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jalanan sangat ramai oleh kendaraan pribadi.Lily memutuskan untuk mengecek seluruh isi rumah sekali lagi. Setelahnya dia baru sadar kalau Arsan keluar melalui pintu belakang, tepatnya yang menjadi penghubung antara teras belakang dengan dapur. "Kemana kamu, Arsan?" gumam Lily penuh khawatir.Karena Lily tidak tahu harus mencari dimana, Lily mengajak sang sopir untuk mencari Arsan dengan mobil. "Mau dicari kemana, Nona?" tanya si sopir."Kemana aja, Pak. Asal adik saya bisa ketemu.""Tapi, Non. Kata Nyonya Wina, Anda harus segera pulang. Kalau saya gak bisa nganterin Nona pulang tepat waktu, bisa-bisa saya yang akan kena omel nantinya.""Gak usah kha
Lily tersentak dan menjadi canggung. "Mmm... baru saja," jawabnya sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Seketika dia tersadar atas apa yang dilakukannya. Dia pun kembali meluruskan anak rambutnya.Max tersenyum lebar. Rasanya dia sudah lama tidak melihat Lily. Wajahnya nampak lebih segar dan pipinya semakin bulat. Jika dia pikir-pikir, keadaan Lily jauh berbeda dibanding saat menikah dengannya dulu."Mau ketemu dengan Arsan? Kebetulan aku mau pulang karena ada urusan, jadi aku bisa menitipkannya padamu sebentar," ucap Max."Memangnya Inda kemana? Kenapa dia menitipkannya padamu?""Tadi pagi dia ditelepon kalau ada saudaranya yang meninggal. Jadi dia harus pulang selama sehari semalam. Mungkin besok pagi dia baru pulang."Kening Lily mengerut dalam. "Kok dia gak ngabarin aku? Malah ngasih tahu kamu?"Max mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena kamu sulit untuk dihubungi? Ini bukan pertama kalinya kok. Dia juga pernah menitipkan Arsan padaku selama dua hari.""Dua
Di tengah keramaian kafe, Lily melihat Vina yang duduk di salah satu kursi sendirian di antara banyaknya pengunjung. Dia sudah menghubungi Vina untuk bertemu di kafe saja.Mata Lily berkilat senang, pasalnya sudah lama dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tangannya segera terangkat untuk melambai dan memanggil namanya. Sahabatnya itu segera menoleh dan senyuman lebar langsung merekah di wajahnya."Lily!" teriaknya sambil berdiri menyambut kedatangan Lily.Mereka berdua pun saling berpelukan erat."Bagaimana kabarmu?" tanya Vina begitu pelukan mereka sudah terlepas."Aku baik. Bahkan lebih baik."Vina bernapas lega, ada perasaan senang melihat wajah Lily yang nampak lebih cantik dan segar. "Syukurlah... apa Tuan Kenneth dan Nyonya Wina memperlakukanmu dengan baik?""Tentu saja. Mereka orang tua kandungku, tidak mungkin mereka menyia-nyiakan anak yang telah lama mereka kira sudah meninggal." Lily meneliti wajah Vina yang nampak kusam dan juga letih. "Lalu bagaimana denganmu? Kuden