"Seorang pengasuh untuk anak autis?" Kening Inda mengerut dalam setelahnya. "Kenapa tiba-tiba Nyonya mencari seorang pengasuh?"
Lily menghela napasnya singkat sebelum berkata, "Aku sudah proses cerai dengan Max. Sebentar lagi aku akan pergi ke luar negeri untuk bekerja, aku harus meninggalkan adikku yang autis di sini tapi aku perlu seorang pengasuh yang bisa diandalkan."Mendengar itu mata Inda berbinar-binar dan wajahnya nampak cerah. "Nyonya, saya punya pengalaman menjaga anak autis. Saya bisa menjaga adik Anda."Kedua sudut bibir Lily terangkat. "Benarkah?" Namun sesaat kemudian wajahnya kembali muram. "Tapi kau kan membutuhkan uang untuk dikirimkan pada ibumu. Gaji yang akan aku berikan tidak sebanyak yang diberikan oleh Max.""Tidak apa-apa, Nyonya. Ibu saya sudah tidak memerlukan uang yang banyak untuk pengobatan, saya juga sudah lama memiliki niat untuk keluar dari sini."Lily menatap Inda dengan perasaan galau. "Aku tidak memaksamu, Inda. Kalaupun kauDengan susah payah Lily menjawab, "Ya." Hati Lily sudah terlanjur terluka. Dia hanya ingin menyudahi semuanya hingga selalu meng-iyakan ucapan Max. Apapun akan dia jawab 'Ya' selama itu bisa membuat Max senang lalu melepaskannya.Namun apa yang diharapkan oleh Lily nyatanya berbeda jauh dengan kenyataan.Bukannya melepas cengkeraman, Max malah mendekatkan wajahnya hingga batang hidungnya menggesek pipi Lily lalu beralih ke arah telinganya seraya berbisik, "Kau sudah membuat kesalahan besar."Belum sempat bereaksi, Lily dibuat terkejut oleh Max yang tiba-tiba meraup bibir tipisnya dengan kasar.Pupil mata Lily membesar, jantungnya berdegup lebih kencang. Dia tak menyangka Max malah menciumnya dengan kasar bahkan tak membiarkannya untuk lepas.Dengan sisa tenaga yang tersisa, Lily berusaha memberontak. Tangannya menyusuri leher belakang milik Max lalu perlahan naik hingga mencapai puncak kepala Max. Di sana Lily menarik rambut Max dan itu membuahkan hasil.Max melepas ciumannya karena
Lily membuka kedua matanya setelah terlelap selama beberapa jam. Lampu putih yang terang, nuansa ruangan berwarna putih serta bau obat yang menyengat, Lily segera tersadar jika dia tengah berada di rumah sakit.Suasana malam di rumah sakit begitu hening dan sepi. Dia menatap ke arah sekitar lalu menemukan Vina yang meringkuk di atas sofa panjang.Lily mengangkat tangan dan melihat infus yang terpasang di pergelangan tangannya. Sekelebat ingatan tadi sore terlintas, membuat sekujur tubuhnya merinding. Lily menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Andai membuang kepahitan hidup bisa semudah menelan air liur, pasti Lily tidak akan sesedih ini.Saat mencoba memiringkan badannya agar tak terasa pegal, inti pangkal pahanya justru terasa nyeri dan perih. Bersamaan itu, pintu ruangan terbuka. Inda segera melihat Lily yang sudah terbangun dan meringis kesakitan. "Nyonya, Anda sudah bangun?" tanyanya begitu mendekat. Wajah Lily nampak begitu pucat dan sorot matany
Tubuh Lily menegang mendengar nama Kenneth disebut. "Darimana kau tahu?" tanyanya."Saat menyusul Nyonya ke rumah sakit, saya mendengar pertengkaran Nona Vina dengan Tuan Vins lewat telepon. Intinya mereka membicarakan soal Kenneth yang mengancam Nona Vina, tapi saya tidak tahu alasan mengancam apa." Penjelasan Inda membuat bulu kuduk Lily berdiri ketakutan.Apa Vina diancam oleh Kenneth karena dirinya? Kenapa Vina tidak cerita?"Baiklah, sebaiknya kamu pura-pura tidak tahu. Aku yang akan mengurusnya. Sebaiknya kamu lekas istirahat...""Baik, Nyonya."Setelah Inda masuk ke dalam kamar. Lily menuju ke dapur untuk membuat minuman herbal yang sudah diresepkan oleh Kakek Zang. Kedua kakinya langsung terasa nyeri karena dia terlalu lama berdiri. Lily pun membawa gelas tersebut ke atas meja dan dia mendudukkan pantatnya di atas kursi.Cairan berwarna hitam yang terasa pahit itu langsung dia minum tanpa penuh drama. Rasa pahit yang ada di minuman itu tidak seba
Mendengar itu, Lily langsung menolehkan kepalanya. Dia sudah memblokir nomor Max, jadi Max menghubungi Inda untuk mencari tahu. "Kau jawab apa?""Sa-saya sudah jawab tidak tahu, tapi Tuan bersikeras mengatakan kalau saya pasti tahu Anda dimana." Inda merasa sedikit takut. "Tuan menyuruh saya untuk menyampaikan pesan kalau Anda sedang dicari oleh Tuan Kenneth."Setelah nama Kenneth disebut, wajah Lily terlihat menegang. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Kenneth hingga mengusik orang-orang yang ada disekitarnya."Nyonya, bukankah Tuan Kenneth adalah orang yang berpengaruh? Kudengar jika ada orang menyinggungnya, dipastikan orang itu tidak akan bisa hidup dengan tenang."Tangan Lily mengepal erat. "Katakan pada Max, temui aku besok di kafe bintang jam sebelas siang." Daripada terus menghindar, Lily memilih untuk mendatangi dan mencari tahu. Sebenarnya, apa masalah Kenneth hingga mengatakan memiliki dendam pribadi dengannya."Baik, Nyonya."***Di kafe
Lily keluar dari kediaman Kenneth dengan dipapah oleh seorang pelayan. Wajahnya begitu tampak pucat dengan keringat banyak yang membasahi dahinya."Lebih baik Anda duduk di sini sebentar. Pak Sopir baru akan mengambil mobil dari garasi dalam," ujar si pelayan tadi lalu meninggalkan Lily duduk di atas sofa sendirian.Benak Lily langsung terngiang-ngiang saat dia mendengar cerita dari Kenneth dan Wina. Hatinya masih menyangkal soal fakta bahwa ayahnya pernah membunuh seorang bayi perempuan di masa lampau.Seingatnya, ayahnya adalah pria yang penuh kasih sayang dan perhatian. Sangat sulit baginya untuk menerima fakta itu.Pantas saja tatapan Kenneth terlihat ingin membunuh jika bertatap mata dengannya.Seorang pria paruh baya datang mendekat ke arah Lily dan berkata dengan sopan, "Mari, Nyonya. Saya antar Anda ke dalam mobil." "Tidak usah, saya bisa kok berjalan sendiri." Lily berjalan menggunakan tongkat kruk dengan susah. Kedua kakinya bergetar karena rasa sa
Kerutan di kening Lily terlihat jelas dan mulutnya setengah terbuka. "Kau gila?" Pffft!Finley tak dapat lagi menahan tawanya. Wajah Lily terlihat konyol seperti jijik mendengar kata cinta. "Aku hanya bercanda." Lalu menyeka sudut matanya yang sedikit basah.Ketegangan di antara dua alis Lily langsung memudar."Aku berniat membantumu karena kau memang memiliki bakat yang hebat. Sangat sayang kalau bakat itu hanya dipendam," ucap Finley serius.Bukannya senang, raut wajah Lily malah menjadi muram. Tatapannya kembali ke arah bawah dan sedikit kosong. Sebentar lagi dia akan berpisah sejenak dari orang-orang yang dia kenal. Demi menggapai cita-cita, apa dia bisa melaluinya?"Sebenarnya tujuanmu datang kesini ingin membicarakan apa? Aku daritadi belum mendengar apapun." Lily yakin, Finley tidak akan datang kesini tanpa memiliki tujuan yang jelas."Aku hanya mau memberikanmu ini." Finley menyerahkan selembar kertas yang terdapat judul paling besar bertuliskan 'Surat kontrak.'"Surat kontr
Dua minggu kemudian.Berada di kantor Max, Eddie menjelaskan pada Max soal hasil pencariannya. "Aku sudah berusaha, tapi masih belum bisa ditemukan."Max menggebrak mejanya dengan keras. Tatapannya tajam dan kedua alisnya menukik tajam. "Sudah selama ini kenapa begitu sulit?""Sewa detektif kalau perlu!"Eddie memijat pangkal hidungnya dengan tenang. "Aku sudah menyewa detektif dan masih belum bisa membuahkan hasil."Max menghempaskan badannya ke senderan kursi lalu melonggarkan dasinya agar dadanya tak terlalu sesak. "Ini terlalu mencurigakan. Pasti ada seseorang yang berada di belakangnya.""Apa itu Vina Prajaya?" tanya Eddie berusaha menebak.Max mengelus dagunya yang sedikit berbulu. "Mungkin, tapi baiknya kita mencari tahu dulu untuk memastikan.""Apa kau tidak berlebihan? Kau tidak seperti itu saat Olivia pergi dulu," keluh Eddie. Sejujurnya, Eddie sudah merasa bosan karena harus menyelidiki keberadaan Lily. Itu bukanlah tugas utamanya."Kamu tidak ingin bonus? Kalau tidak ingin
Olivia menatap Max dengan wajah yang tenang. Dia mendekatkan diri ke arah Max, lalu menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. "Eddie bilang kau sedang tidak ingin diganggu, jadi dia menarik tanganku agar aku tidak mengganggumu."Hembusan napas hangat segera menerpa wajah Max yang kaku. Olivia mengelus dada Max dan menatapnya penuh minat. "Apa benar kau sedang tak ingin diganggu, Max?"Belaian Olivia membuat Max merasa tak nyaman namun dia memaksakan senyumnya, tangannya menarik lembut tangan nakal milik Olivia seraya berkata, "Tidak...""Apa yang membuatmu tiba-tiba datang ke kantor?" tanya Max.Olivia mengedipkan matanya, tak menyadari ketidaknyamanan yang dirasakan Max. Tangannya satu yang masih bebas berusaha menelusuri leher dan wajah Max yang ditumbuhi bulu halus. Kali ini Max membiarkannya."Ku dengar dari Tante Fernita kalau akhir-akhir kau sangat sibuk, jadi aku berinisiatif mengajakmu makan siang di sebuah restoran.""Kau mau kan?" Pertanyaan dari Olivia lebih terdengar seperti
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di
"Nona, lihat apa?" Suara Grace memecah lamunan Lily.Helaan napas lega keluar dari mulut Lily saat melihat ke arah jalanan. Sudah tak lagi terlihat mobil milik Max yang baru saja meninggalkan rumahnya lewat jalan yang berlawanan arah dari Grace barusan.Tadinya Lily sudah hendak menyuruh Max pergi karena takut Grace melihat, tapi untungnya Max pergi sebelum Lily mengusirnya setelah menerima telepon yang Lily sendiri tidak tahu itu dari siapa.Wajah Max nampak khawatir dan juga marah saat menerima telepon tadi."Nona tidak apa-apa?" Grace kembali bertanya karena tak kunjung mendapat jawaban dari Lily.Lily menggeleng lemah. "Tidak apa-apa, aku hanya mengkhawatirkan mu tadi karena kamu tidak kunjung datang.""Maaf, Nona. Tadi jalanan cukup padat dan sempat macet." Grace menyeka keningnya yang sedikit berkeringat sambil menghela napas terlihat lelah. "Aku bahkan hampir pingsan karena cuaca yang cukup terik di luar," lanjutnya dengan mengeluh.Bibir Lily mengulas senyuman tipis dan menat
Max mendongak. Matanya tak sengaja melihat ke arah belakang Arsan--tepatnya yang berdiri di depan pintu.Max berdiri perlahan dan tertegun melihat kedatangan Lily yang secara tiba-tiba.Lily yang ditatap lama seperti itu menjadi salah tingkah hingga dia tak tahu harus menatap ke arah mana.Inda yang seolah paham pun berjalan mundur ke arah dapur. Dia ingin membiarkan ruang untuk kedua mantan majikannya itu bertemu.Berjalan perlahan, tatapan Max tak beralih dari Lily. Degupnya tiba-tiba berdebar lebih kencang. Tubuh Lily nampak lebih kurus dari terakhir kali bertemu.Untungnya luka-luka yang dulu pernah Max lihat sudah memudar, hanya menyisakan kulit putih yang bersih dan sehat.Tepat berada di depan Lily, Max bersuara, "Hai, apa kabar?" Lily sedikit terkejut, lalu menyelipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinganya. Entah mengapa dia begitu canggung berhadapan dengan Max. Rasa kecewa dan sakit di hatinya pada Max dulu entah menguap kemana."Kabarku baik," jawab Lily singkat."
Vina sedikit terkejut namun beberapa saat kemudian dia menyadari kalau lambat laun ibunya akan mengetahui soal kehamilannya.Tangan Vina memegang perutnya yang masih rata sambil bertanya, "Bagaimana Mama bisa tahu?"Sandra memegang keningnya yang berdenyut nyeri. "Ternyata itu benar," ujarnya lirih.Kemudian Sandra duduk di atas sofa panjang yang letaknya tak jauh dari ranjang Vina."Dokter yang memeriksa mengambil darahmu untuk cek lab. Dari sana Mama tahu kalau kamu hamil," lanjutnya.Dari ranjangnya, Vina menatap ibunya dengan rasa bersalah. Dapat dia rasakan betapa kecewanya sang ibu, melihat dari gerak-geriknya."Maafkan aku, Ma."Sandra menatap putri satu-satunya tersebut dengan sorot mata serius."Katakan pada Mama, siapa ayah dari janin itu? Mama tidak pernah tahu kamu pernah dekat dengan seseorang."Vina menggigit bibir bawahnya dengan resah."Itu-"Ucapan Vina terhenti oleh suara pintu yang dibuka dengan keras."Vina, apa benar kalau kamu hamil?" tanya Ayahnya, nampak marah
"Ku rasa insiden di masa lalu tidak perlu kita ungkit lagi, Ma." Lily menatap ibunya penuh kelembutan. kedua bola matanya nampak berkaca-kaca jika mengingat pernikahannya di masa lalu."Aku sudah bercerai dengan Max dan tidak ingin berhubungan apa-apa lagi dengannya," lanjutnya lirih.Grace yang sudah mendengar soal pernikahan Lily dengan Max pun menyentuh bahu Lily dan mengusapnya lembut."Nona benar. Untuk apa masih memikirkan masa lalu? Lebih baik mengikhlaskan kejadian buruk di masa lalu dan memilih melanjutkan kehidupan kini dengan sebaik-baiknya," tutur Grace memberi nasehat. Lily hanya tersenyum menanggapi itu."Sepertinya kamu sudah benar-benar ikhlas. Padahal Mama sudah menyiapkan rencana kalau kamu memang ingin membalaskan dendammu pada Max," ucap Wina.Lily menggigit bibir bawahnya. "Bukannya dia telah menyelamatkanku sewaktu penculikan kemarin terjadi? Anggap saja dia telah menebus kesalahannya di masa pernikahan kita dulu."Wina menatap Lily cukup lama sebelum akhirnya m