Seharusnya kala itu aku tidak keliru. Karena ternyata tidak semua suka menipu."
๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ
Dari siapa?
Aku menoleh ke arah samping dan ...
Deg!
Aku mendongak setelah membaca tulisan itu, tulisan yang ditulis di stick notes yang ditempel pada sebuah pesawat kertas.
Senyumku terbit, itu kak Bima.
Dia mengelus rambutku lembut. "Maaf, ya."
"Minta maaf kenapa?" kataku sambil memainkan kuku karena gugup. Elusan di puncak rambut barusan selalu mampu membuat jantungku berdegup kencang.
Apa permintaan maaf untuk persoalan kemarin?
Apa itu artinya kami masih bisa berteman?
"Karena terlambat datang."
Aku mengangguk, meskipun agak kecewa. Namun tetap saja rasa senang meluap begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa bisa sesenang ini. Ah, hari ini aku benar-benar aneh.
Padahal pesan dan perkataan kak Bima kemarin mengisyaratkan perpisahan.
Lalu saat ini mengapa dia
Tidakku sangka keputusan yang tadinya membawa tawa bahagia dikemudian hari malah menjadi keputusan yang menjelma menjadi luka dan duka."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ"Kenapa?"Aku menoleh ke arah kak Bima. Lantas menggeleng sambil menghela napas. "Gapapa, kak."Lalu tersenyum, meski mungkin agak sedikit di paksakan.Atensi kak Bima tertuju padaku, ia tersenyum terlebih dahulu sebelum berbicara. "Kebiasaan wanita.""Bilang gapapa?" tanyaku sambil menatapnya.Kak Bima lantas mengangguk dan menghela napas panjang. Tangannya terjulur mengelus puncak rambutku. Selalu saja begini.Aku diam. Lantas mengalihkan pandangan karena jantungku sudah tidak aman."Gapapa kalau belum mau cerita," lanjutnya lagi.Kak Bima menepuk-nepuk bahunya, aku menatap sambil halisku sudah sempurna terpaut. "Kenapa, kak? Banyak debu, ya?"Gerakan tangannya terhenti, dia menatapku dengan ekspresi
"Jika saja bisa, aku hanya ingin mengingat hal bahagia, karena sungguh aku tak sanggup mengingat semua ingatan buruk yang menikam dada." ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Aku menatap langit-langit kamar, pikiranku menerawang jauh. Malam ini aku baru saja membuka memori masa lalu walau tak banyak. Membuka memori saat itu. Awal mula aku merangkai pertemuan dan terjadinya kata kita. Memori kelam masih terkunci di sudut ruangan gelap. Tak terjamah. Belum mampu aku tampilkan atau akui keberadaannya.Mataku sudah bengkak, bahkan berkali-kali aku sesak napas ketika menceritakannya. Padahal, jika dipikir ulang. Ini adalah ingatan bahagia? Mengapa jadi sendu sedan begini? Mengapa menyakitkan saat mengingatnya? Bukankah seharusnya aku mengenangnya dengan senyum mengembang? Bukankah seharusnya sekarang aku tertawa riang? Mengapa aku menyesali ingatan ini? Bukankah aku seharusnya bersyukur karena ada kenangan bahagia yang terpatri? Celakanya, me
"Salah paham memang perlu diluruskan namun aku tak siap untuk mendengar alasan apalagi kembali dihancurkan."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผAku meringkuk di pojok kamar. Dengan kemul yang membungkus tubuh. Sejak dua hari lalu aku mematikan ponsel dan menutup semua jendela. Apa yang nomor asing itu katakan benar, di depan rumah ada hadiah. Entah dari siapa tanpa nama. Kotak berukuran sedang. Yang berisi kutukan!Itu kotak kedua. Setelah kotak berisi cokelat.Tatapanku kosong, tubuhku masih terguncang. Aku semakin menaikan kemul. Mencoba memejamkan mata yang sedari kemarin susah terpejam. Rasa kantuk itu hanya bertahan selama beberapa menit setelahnya aku terjaga kembali meski tubuhku lelah tapi mataku tak bisa terpejam.Posisiku berganti jadi telentang, pandanganku nyalang ke udara sedang perasaanku kembali tak keruan. Di kepalaku kini riuh dengan berbagai pertanyaan yang berlalu lalang seperti kendaraan di jalanan.Terbesit beragam t
"Haruskah aku mengadu perihal kamu, yang senang memberi kejutan sedang aku ketakutan. Pun luka lama yang kamu hadirkan, mengundang perih tak terperikan."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผHari keempat, sejak aku tidak masuk sekolah. Selama itu pula aku mengurung diri di kamar. Tak berniat bergerak dan jauh-jauh dari tempat tidur. Tubuhku meringkuk di balik kemul. Aku mendengkus kasar, mengapa aku sampai begini?Bukankah itu malah menunjukkan bahwa aku itu lemah? Bukannya aku harus menunjukkan kalau aku yang sekarang sudah kuat?Aku mengigit kuku-kuku jariku berusaha mengusir kekhawatiran yang selama ini bertengger di kepala. Kalau ada Sani di sini sudah dapat di pastikan dia akan mengomel dan mengatakan hal itu jorok.Akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi saat aku dengannya. Ingatan-ingatan masa lalu yang bermunculan. Belum lagi hadiah-hadiah yang entah dari siapa.Aku mencuri pandang ke arah kotak kutukan yang tergelatak di lantai yang dingi
"Perlu kamu tahu, tindakan dan perkataan mampu menghancurkan seseorang. Entah sengaja atau tidak. Luka yang kamu torehkan boleh jadi tak terlihat, ia menjelma menjadi ketakutan. Membunuh dengan perlahan dari dalam."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผKantin di hadapanku tampak ramai seperti biasanya. Tak ada yang berubah. Aku melengang lantas duduk di salah satu kursi. Sani mengikutiku. Sejak kejadian kemarin tak ada yang bisa aku bahas atau perjelas. Sani pun memilih bungkam. Mungkin ia menunggu diriku yang memulai. Keterkejutan tercetak jelas di wajahnya saat mengetahui isi kotaknya.Dugaanku benar.Namun, saat itu berbeda. Bukan kotak kutukan yang datang namun kotak hadiah yang tetap berhubungan dengan masa laluku. Ya, ada dua kotak. Kotak pertama yang aku sebut kotak pengingat kenangan dan kotak kedua kotak kutukan yang menyimpan semua rasa sakitku. Sama saja sih kedua kotak itu berbahaya!Hening.Tak ada percakapan.Aku melirik San
"Seharusnya kamu tidak mengorek sesuatu yang menjadi masa lalunya. Karena apa yang sudah berlalu biarkan berlalu. Kita tidak akan pernah tahu luka apa yang akan diterima jika kita memaksa membuka ingatan terdahulu."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผHari ini hari libur. Hari di mana seharusnya aku bisa bersantai dengan bebas karena tidak masuk sekolah. Namun ternyata tidak. Karena, tugas sekolah menunggu untuk dikerjakan. Aku menatap tugas-tugas itu dengan jeri. Tugasku masih menumpuk. Padahal aku sudah mengerjakan sebagiannya. Salahku sendiri sih, empat hari tidak masuk. Banyak sekali tugas dan materi yang harus kusalin ke buku catatan. Membuatku berpikir berapa lama aku harus duduk dan mengerjakan semua tugas ini sampai selesai.Jariku bergerak lincah di atas kertas. Sudah satu jam aku duduk. Berkutat dengan catatan Sani yang aku pinjam. Di ruangan ini hanya ada aku denganngan tumpukan buku. Rumahku juga kosong. Tak ada siapapun, sepi. Hanya ada aku, seorang diri.B
" Dahulu, aku pernah menyematkan satu nama dalam doa, tiada henti kupinta. Namun, keadaan punya kenyataan. Takdir teramat kejam. Aku dihadiahi oleh semesta sebuah kehilangan yang menyakitkan. Tak terelakan perpisahan menjadi sebuah jawaban atas apa yang selama ini kupanjatkan." ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Saat ini, Langit menjadi tersangka. Terlebih, semenjak kotak-kotak ini hadir, dia malah menghilang entah ke mana. Tak sekalipun menunjukkan batang hidungnya. Bukankah hal yang wajar, jika aku mencurigainya? Langit yang datang tanpa permisi. Langit yang memaksa masuk ke dalam kehidupanku. Dan Langit yang menghancurkan kehidupanku juga. Meski alasanku belum kuat dan tak berdasar. Namun, aku yakin kehadirannya bukan tanpa tujuan. Karena aku dan Langit tidak saling mengenal. Sejak aku kecil hingga sekarang, tidak ada temanku yang bernama Langit selain Langit Aditya. Pemuda yang tidak tahu asal usulnya itu. Kehadiran Langit terasa
"Kadang kala masa lalu itu perlu diselesaikan, kadang juga tidak harus. Kalau pun harus, apakah kamu siap terluka kembali dengan cara yang sama? Maafkan dan sudahi. Mari berdamai dan melangkah ke depan."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผPelajaran telah usai sejak 10 menit yang lalu. Kelas pun mulai lengang. Hanya ada beberapa orang, itupun yang kebagian piket. Sisanya sudah pulang. Itupun hanya ada aku dan dua teman, karena yang lain memilih kabur. Bukan hal aneh lagi bukan?"Meg, lo masih lama nggak?" Kepala Sani nyembul dari balik pintu.Aku menghela napas sambil menatap ke arahnya. "Lama, nggak usah nunggu.""Kalau nggak lebih dari 15 menit, gue tungguin ya. Kalau lebih ditinggal!""Duluan aja.""Emang bakalan lama banget?""Nggak juga, sih. Cuma gue nggak suka bikin orang nunggu."Sani terlihat terlekeh. "Lo kayak ke siapa aja, Meg. Santai aja kali. Kalau gue bosen gue bakalan ninggalin lo, kok. Tenang aja."Aku menoleh ke ar
Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?" ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya? "Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?" "Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d
Berkali-kali aku mendapat kesempatan setelah mendorong dirimu menjauh pergi. Berkali-kali aku mendapatkan kebaikan padahal beribu-ribu kali menyakiti. Haruskah aku mulai membuka hati atau belajar tahu diri?" ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Mataku mengerjap perlahan-lahan. Deg! Ini bukan rumahku. Tanpa mengedarkan pandanganpun aku tahu ini di mana. Karena bau yang khas menguar masuk ke dalam hidung. Rumah sakit. Entah bagaimana bisa aku berujung di sini. Aku mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang memeluk lengan kananku sedang kepalanya menunduk sepertinya ia terlelap. Ah, sekarang aku tahu. Dia adalah pelaku yang membawaku ke sini. Selalu saja, dia menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana dan menjadi orang pertama yang aku lihat jika berujung di rumah sakit. Entahlah, kali ini aku tidak tahu harus bersyukur atau malah harus merasa senang. Mengapa dia selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku berada di rumah sakit? L
"Kalau boleh mengeluh, aku lelah. Lelah dengan semua drama dalam hidup yang tak ada hentinya. Boleh 'kan jika aku menyerah dan pasrah?" ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Ah, ingatan itu kembali muncul. Aku memegangi kepalaku yang berdenyut sambil meringis karena kesakitan. Napasku tak beraturan lalu sesak. Setelah itu aku merasa seperti tercekik. Tubuhku ambruk. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Sakit sekali rasanya. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Aku sering merasa seperti ini ketika berhadapan dengan ingatan masa lalu. Dalam dadaku terasa nyeri dan sesak. Seakan dihimpit dan oksigen disekitar direbut paksa. Selalu saja seperti ini jika ingatan mengenai kak Bima dan papah lewat dikepala. Entah sejak kapan aku seperti ini, sering kesakitan dan kehabisan napas hingga terasa seperti mau mati. Tidak mungkin kan ini simulasi meninggal? Helaan napas lega keluar dari mulutku, setelah berhasil membuat napasku kembali teratur. Lenganku terulur ke arah botol minum
"Kalau sedang kasmaran, bahagia rasanya gampang. Dengar suaranya saja sudah bikin jantungan dan senyum di wajah seketika mengembang. ๐ผ๐ผ๐ผ "Mah .." aku berkata lirih. Kemungkinan-kemungkinan terburuk terus menyerang di dalam kepala. Hadir begitu saja. Membuatku sedikit kewalahan dan berpikir negatif. Kak Bima pasti baik-baik saja kan? Lalu, mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang menemani kak Bima menunggu ambulans? Mengapa aku sampai tidak sadarkan diri dan berakhir di rumah sakit juga? Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada hal yang aku ingat selain hal itu. "Temanmu? Ada. Kondisinya masih belum baik." Ada perasaa lega, setidaknya kak Bima masih ada dunia. Semoga keadaanya tidak separah seperti yang terlitas di kepala. Apalagi sampai kehilangan nyawa, entah bagaimana jadinya. Mengingat kejadian semalam benar-benar mengerikan. Aku masih ingat dengan jelas perbuatan mereka. Si
"Takdir senang sekali mempermainkan. Sebentar senang, tertawa riang semenit kemudian terduduk sambil menangis disudut ruangan." ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Deg! Kak Bima mencondongkan tubuhnya padaku dan menempelkam dagunya pada pundak. Aku bergeming. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba. Meski bukan pertama kali tetap saja mampu membuatku terkejut. Kak Bima memang senang sekali membuatku jantungan. "Sebentar gini dulu." Aku mengangguk. Membiarkannya seperti ini dulu, barangkali kak Bima juga sedang membutuhkan sebuah sandaran. Tanganku hanya diam menggantung tak mampu untuk sekadar mendekap atau mengelus punggungnya seperti yang sering ia lakukan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa. Namun jika diingat, pertanyaan kenapa kadang kala tak dibutuhkan. Seperti sekarang. Apa mungkin suasana hatinya sedang buruk sama sepertiku? Tak bisa dipungkiri setiap orang menyimpan rapat segala luka-lukanya. Bermain dengan apik, bersandiwara b
"Atas semua luka dan duka yang datang menerpa. Mengapa kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya?" ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Takut. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah dua hari nekat kabur dari rumah dan sebelumnya terjadi pertengkaran. Belum lagi Ponsel kumatikan. Entah bagaimana jika aku sampai pulang. Mungkin aku akan benar-benar hancur di tangan papahku. Atau aku tidak pulang saja sekalian? Tapi bagaimana dengan sekolah? Aku juga tidak ingin jadi pengemis dan tinggal di pinggir jalan. Namun, bagaimana caranya pulang? Ketika aku tidak benar-benar pulang saat menujunya. Rasanya rumah itu asing. Lalu bagaimana aku menjelaskannya terkait pertengkaran tempo lalu? Aku yakin saat ini aku sedang dalam masalah besar. Lagi-lagi aku hanya mampu mendengkus kasar. Rasanya frustrasi sekali. Entahlah bagaimana nasibku selanjutnya. Malam itu aku sangat lelah dan muak. Emosiku memuncak bahkan aku tak pernah mengira opsi kabur dari rumah akan dilakukan
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."๐ผ๐ผ๐ผ๐ผJalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"