🌼🌼🌼🌼
Mentari menatapku dengan menyelidik. Sedaritadi atensinya benar-benar tertuju penuh seolah hal lain tidak ada yang menarik untuk diperhatikan.
Aku yang sudah tak kuat akan tatapannya yang penuh arti keingintahuan akhirnya buka suara. "Kenapa?"
"Bukannya lo habis kencan? Kok gitu sih mukanya?"
"Di mana-mana orang habis kencan itu berbunga-bunga bukan kayak lo yang asem gini. Bikin sakit mata tau nggak!"
Aku mendengkus kasar. Berbunga-bunga bagaimana? Perkataan kak Bima masih terngiang-ngiang pun dengan pesan yang ia kirimkan. Sampai saat ini aku belum membalas pesannya. Rasanya masih tidak percaya dengan kenyataan.
Helaan napas panjang keluar dari mulutku.
"Sumpah ya, gue nggak ngerti lagi. Kenapa sih lo?"
"Nyawa lo ilang sebelah ya? Jangan-jangan masih keting
Seharusnya kala itu aku tidak keliru. Karena ternyata tidak semua suka menipu." 🌼🌼🌼🌼 Dari siapa? Aku menoleh ke arah samping dan ... Deg! Aku mendongak setelah membaca tulisan itu, tulisan yang ditulis di stick notes yang ditempel pada sebuah pesawat kertas. Senyumku terbit, itu kak Bima. Dia mengelus rambutku lembut. "Maaf, ya." "Minta maaf kenapa?" kataku sambil memainkan kuku karena gugup. Elusan di puncak rambut barusan selalu mampu membuat jantungku berdegup kencang. Apa permintaan maaf untuk persoalan kemarin? Apa itu artinya kami masih bisa berteman? "Karena terlambat datang." Aku mengangguk, meskipun agak kecewa. Namun tetap saja rasa senang meluap begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa bisa sesenang ini. Ah, hari ini aku benar-benar aneh. Padahal pesan dan perkataan kak Bima kemarin mengisyaratkan perpisahan. Lalu saat ini mengapa dia
Tidakku sangka keputusan yang tadinya membawa tawa bahagia dikemudian hari malah menjadi keputusan yang menjelma menjadi luka dan duka."🌼🌼🌼🌼"Kenapa?"Aku menoleh ke arah kak Bima. Lantas menggeleng sambil menghela napas. "Gapapa, kak."Lalu tersenyum, meski mungkin agak sedikit di paksakan.Atensi kak Bima tertuju padaku, ia tersenyum terlebih dahulu sebelum berbicara. "Kebiasaan wanita.""Bilang gapapa?" tanyaku sambil menatapnya.Kak Bima lantas mengangguk dan menghela napas panjang. Tangannya terjulur mengelus puncak rambutku. Selalu saja begini.Aku diam. Lantas mengalihkan pandangan karena jantungku sudah tidak aman."Gapapa kalau belum mau cerita," lanjutnya lagi.Kak Bima menepuk-nepuk bahunya, aku menatap sambil halisku sudah sempurna terpaut. "Kenapa, kak? Banyak debu, ya?"Gerakan tangannya terhenti, dia menatapku dengan ekspresi
"Jika saja bisa, aku hanya ingin mengingat hal bahagia, karena sungguh aku tak sanggup mengingat semua ingatan buruk yang menikam dada." 🌼🌼🌼🌼 Aku menatap langit-langit kamar, pikiranku menerawang jauh. Malam ini aku baru saja membuka memori masa lalu walau tak banyak. Membuka memori saat itu. Awal mula aku merangkai pertemuan dan terjadinya kata kita. Memori kelam masih terkunci di sudut ruangan gelap. Tak terjamah. Belum mampu aku tampilkan atau akui keberadaannya.Mataku sudah bengkak, bahkan berkali-kali aku sesak napas ketika menceritakannya. Padahal, jika dipikir ulang. Ini adalah ingatan bahagia? Mengapa jadi sendu sedan begini? Mengapa menyakitkan saat mengingatnya? Bukankah seharusnya aku mengenangnya dengan senyum mengembang? Bukankah seharusnya sekarang aku tertawa riang? Mengapa aku menyesali ingatan ini? Bukankah aku seharusnya bersyukur karena ada kenangan bahagia yang terpatri? Celakanya, me
"Salah paham memang perlu diluruskan namun aku tak siap untuk mendengar alasan apalagi kembali dihancurkan."🌼🌼🌼🌼Aku meringkuk di pojok kamar. Dengan kemul yang membungkus tubuh. Sejak dua hari lalu aku mematikan ponsel dan menutup semua jendela. Apa yang nomor asing itu katakan benar, di depan rumah ada hadiah. Entah dari siapa tanpa nama. Kotak berukuran sedang. Yang berisi kutukan!Itu kotak kedua. Setelah kotak berisi cokelat.Tatapanku kosong, tubuhku masih terguncang. Aku semakin menaikan kemul. Mencoba memejamkan mata yang sedari kemarin susah terpejam. Rasa kantuk itu hanya bertahan selama beberapa menit setelahnya aku terjaga kembali meski tubuhku lelah tapi mataku tak bisa terpejam.Posisiku berganti jadi telentang, pandanganku nyalang ke udara sedang perasaanku kembali tak keruan. Di kepalaku kini riuh dengan berbagai pertanyaan yang berlalu lalang seperti kendaraan di jalanan.Terbesit beragam t
"Haruskah aku mengadu perihal kamu, yang senang memberi kejutan sedang aku ketakutan. Pun luka lama yang kamu hadirkan, mengundang perih tak terperikan."🌼🌼🌼🌼Hari keempat, sejak aku tidak masuk sekolah. Selama itu pula aku mengurung diri di kamar. Tak berniat bergerak dan jauh-jauh dari tempat tidur. Tubuhku meringkuk di balik kemul. Aku mendengkus kasar, mengapa aku sampai begini?Bukankah itu malah menunjukkan bahwa aku itu lemah? Bukannya aku harus menunjukkan kalau aku yang sekarang sudah kuat?Aku mengigit kuku-kuku jariku berusaha mengusir kekhawatiran yang selama ini bertengger di kepala. Kalau ada Sani di sini sudah dapat di pastikan dia akan mengomel dan mengatakan hal itu jorok.Akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi saat aku dengannya. Ingatan-ingatan masa lalu yang bermunculan. Belum lagi hadiah-hadiah yang entah dari siapa.Aku mencuri pandang ke arah kotak kutukan yang tergelatak di lantai yang dingi
"Perlu kamu tahu, tindakan dan perkataan mampu menghancurkan seseorang. Entah sengaja atau tidak. Luka yang kamu torehkan boleh jadi tak terlihat, ia menjelma menjadi ketakutan. Membunuh dengan perlahan dari dalam."🌼🌼🌼🌼Kantin di hadapanku tampak ramai seperti biasanya. Tak ada yang berubah. Aku melengang lantas duduk di salah satu kursi. Sani mengikutiku. Sejak kejadian kemarin tak ada yang bisa aku bahas atau perjelas. Sani pun memilih bungkam. Mungkin ia menunggu diriku yang memulai. Keterkejutan tercetak jelas di wajahnya saat mengetahui isi kotaknya.Dugaanku benar.Namun, saat itu berbeda. Bukan kotak kutukan yang datang namun kotak hadiah yang tetap berhubungan dengan masa laluku. Ya, ada dua kotak. Kotak pertama yang aku sebut kotak pengingat kenangan dan kotak kedua kotak kutukan yang menyimpan semua rasa sakitku. Sama saja sih kedua kotak itu berbahaya!Hening.Tak ada percakapan.Aku melirik San
"Seharusnya kamu tidak mengorek sesuatu yang menjadi masa lalunya. Karena apa yang sudah berlalu biarkan berlalu. Kita tidak akan pernah tahu luka apa yang akan diterima jika kita memaksa membuka ingatan terdahulu."🌼🌼🌼🌼Hari ini hari libur. Hari di mana seharusnya aku bisa bersantai dengan bebas karena tidak masuk sekolah. Namun ternyata tidak. Karena, tugas sekolah menunggu untuk dikerjakan. Aku menatap tugas-tugas itu dengan jeri. Tugasku masih menumpuk. Padahal aku sudah mengerjakan sebagiannya. Salahku sendiri sih, empat hari tidak masuk. Banyak sekali tugas dan materi yang harus kusalin ke buku catatan. Membuatku berpikir berapa lama aku harus duduk dan mengerjakan semua tugas ini sampai selesai.Jariku bergerak lincah di atas kertas. Sudah satu jam aku duduk. Berkutat dengan catatan Sani yang aku pinjam. Di ruangan ini hanya ada aku denganngan tumpukan buku. Rumahku juga kosong. Tak ada siapapun, sepi. Hanya ada aku, seorang diri.B
" Dahulu, aku pernah menyematkan satu nama dalam doa, tiada henti kupinta. Namun, keadaan punya kenyataan. Takdir teramat kejam. Aku dihadiahi oleh semesta sebuah kehilangan yang menyakitkan. Tak terelakan perpisahan menjadi sebuah jawaban atas apa yang selama ini kupanjatkan." 🌼🌼🌼🌼 Saat ini, Langit menjadi tersangka. Terlebih, semenjak kotak-kotak ini hadir, dia malah menghilang entah ke mana. Tak sekalipun menunjukkan batang hidungnya. Bukankah hal yang wajar, jika aku mencurigainya? Langit yang datang tanpa permisi. Langit yang memaksa masuk ke dalam kehidupanku. Dan Langit yang menghancurkan kehidupanku juga. Meski alasanku belum kuat dan tak berdasar. Namun, aku yakin kehadirannya bukan tanpa tujuan. Karena aku dan Langit tidak saling mengenal. Sejak aku kecil hingga sekarang, tidak ada temanku yang bernama Langit selain Langit Aditya. Pemuda yang tidak tahu asal usulnya itu. Kehadiran Langit terasa