🌼🌼🌼🌼
Kantin di hadapanku tampak ramai seperti biasanya. Tak ada yang berubah. Aku melengang lantas duduk di salah satu kursi. Sani mengikutiku. Sejak kejadian kemarin tak ada yang bisa aku bahas atau perjelas. Sani pun memilih bungkam. Mungkin ia menunggu diriku yang memulai. Keterkejutan tercetak jelas di wajahnya saat mengetahui isi kotaknya.
Dugaanku benar.
Namun, saat itu berbeda. Bukan kotak kutukan yang datang namun kotak hadiah yang tetap berhubungan dengan masa laluku. Ya, ada dua kotak. Kotak pertama yang aku sebut kotak pengingat kenangan dan kotak kedua kotak kutukan yang menyimpan semua rasa sakitku. Sama saja sih kedua kotak itu berbahaya!
Hening.
Tak ada percakapan.
Aku melirik San
"Seharusnya kamu tidak mengorek sesuatu yang menjadi masa lalunya. Karena apa yang sudah berlalu biarkan berlalu. Kita tidak akan pernah tahu luka apa yang akan diterima jika kita memaksa membuka ingatan terdahulu."🌼🌼🌼🌼Hari ini hari libur. Hari di mana seharusnya aku bisa bersantai dengan bebas karena tidak masuk sekolah. Namun ternyata tidak. Karena, tugas sekolah menunggu untuk dikerjakan. Aku menatap tugas-tugas itu dengan jeri. Tugasku masih menumpuk. Padahal aku sudah mengerjakan sebagiannya. Salahku sendiri sih, empat hari tidak masuk. Banyak sekali tugas dan materi yang harus kusalin ke buku catatan. Membuatku berpikir berapa lama aku harus duduk dan mengerjakan semua tugas ini sampai selesai.Jariku bergerak lincah di atas kertas. Sudah satu jam aku duduk. Berkutat dengan catatan Sani yang aku pinjam. Di ruangan ini hanya ada aku denganngan tumpukan buku. Rumahku juga kosong. Tak ada siapapun, sepi. Hanya ada aku, seorang diri.B
" Dahulu, aku pernah menyematkan satu nama dalam doa, tiada henti kupinta. Namun, keadaan punya kenyataan. Takdir teramat kejam. Aku dihadiahi oleh semesta sebuah kehilangan yang menyakitkan. Tak terelakan perpisahan menjadi sebuah jawaban atas apa yang selama ini kupanjatkan." 🌼🌼🌼🌼 Saat ini, Langit menjadi tersangka. Terlebih, semenjak kotak-kotak ini hadir, dia malah menghilang entah ke mana. Tak sekalipun menunjukkan batang hidungnya. Bukankah hal yang wajar, jika aku mencurigainya? Langit yang datang tanpa permisi. Langit yang memaksa masuk ke dalam kehidupanku. Dan Langit yang menghancurkan kehidupanku juga. Meski alasanku belum kuat dan tak berdasar. Namun, aku yakin kehadirannya bukan tanpa tujuan. Karena aku dan Langit tidak saling mengenal. Sejak aku kecil hingga sekarang, tidak ada temanku yang bernama Langit selain Langit Aditya. Pemuda yang tidak tahu asal usulnya itu. Kehadiran Langit terasa
"Kadang kala masa lalu itu perlu diselesaikan, kadang juga tidak harus. Kalau pun harus, apakah kamu siap terluka kembali dengan cara yang sama? Maafkan dan sudahi. Mari berdamai dan melangkah ke depan."🌼🌼🌼🌼Pelajaran telah usai sejak 10 menit yang lalu. Kelas pun mulai lengang. Hanya ada beberapa orang, itupun yang kebagian piket. Sisanya sudah pulang. Itupun hanya ada aku dan dua teman, karena yang lain memilih kabur. Bukan hal aneh lagi bukan?"Meg, lo masih lama nggak?" Kepala Sani nyembul dari balik pintu.Aku menghela napas sambil menatap ke arahnya. "Lama, nggak usah nunggu.""Kalau nggak lebih dari 15 menit, gue tungguin ya. Kalau lebih ditinggal!""Duluan aja.""Emang bakalan lama banget?""Nggak juga, sih. Cuma gue nggak suka bikin orang nunggu."Sani terlihat terlekeh. "Lo kayak ke siapa aja, Meg. Santai aja kali. Kalau gue bosen gue bakalan ninggalin lo, kok. Tenang aja."Aku menoleh ke ar
"Bertemu denganmu mungkin takdir untukku, entah apa yang semesta rencanakan. Kuharap aku tidak lagi dibuat jatuh cinta dan hancur berantakan kemudian." 🌼🌼🌼🌼 Aku diam di depan ruangan kelas Bahasa. Ya, di depan kelas Langit dengan waswas. Setelah jam sekolah usai, aku langsung melesat ke kelas Langit setelah melewati tiga kelas lain. Tanpa basa basi, langkah kakiku bergerak cepat ke sana. Melaju cepat bak orang yang dikejar-kejar penagih hutang. Seharusnya sudah kulakukan dari dulu untuk bertindak seperti ini! Bukan malah memperlihatkan aku lemah dan ketakutan! Ya, aku tidak lagi lemah. Aku tidak ingin lagi dipermainkan. Masalah kotak itu harus selesai sekarang. Tidak ada besok lusa. Hari ini harus selesai dan Langit harus diberi pelajaran segera. Setelah mendengar rekaman bukti kemarin. Aku semakin percaya jika itu Langit. Rekaman itu sebagai buktinya. Dari awal aku sudah curiga dengan kedatangannya dihidupku.
"Perihal kamu, aku tidak tahu menahu. Apakah kamu datang untuk menyembuhkan atau malah menghancurkan? Jika memang menyembuhkan bantu aku untuk percaya namun jangan hanya sekadar kata-kata. Karena aku perlu tindakan nyata." 🌼🌼🌼🌼 Seharusnya kemarin masalah kotak itu selesai. Ternyata diluar dugaan, permasalahan kotak itu masih belum bisa selesai. Aku benar-benar sudah lelah, kotak hadiah itu sungguh mengganggu. Namun, aku tak mampu berbuat banyak. Bahkan niat ingin memarahi Langit habis-habisan pun urung. Entah mengapa energiku terasa terkuras dan habis. Apa karena aku terlalu banyak berhubungan dengan masa lalu? Kejadian yang paling benci ketika aku bahas bahkan untuk aku ingat. Tubuhku sudah berbaring di atas tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Lelah sudah menyelimuti diriku namun mataku masih belum mau terpejam. Kotak hadiah itu belum muncul kembali. Saat ini jumlahnya tetap s
Tidak ada yang menyenangkan ketika kita kembali ditarik ingatan hanya untuk mengenang sesuatu yang telah lama selesai." 🌼🌼🌼🌼 "Bunda?" Aku menatap Langit yang kini sedang tersenyum lebar. Lantas berdecak pelan. Kenapa Langit suka seenaknya? Bagaimana ini? Meskipun aku tidak suka Langit bukan berarti saat bertemu Bundanya aku bisa berpenampilan urakan seperti ini. Tidak sopan rasanya. Mengingat aku yang belum mandi sore. Ditambah dengan muka yang kusut karena perasaanku yang sedang kacau. Huft! Sialan! Dengan malas aku berdiri dan mulai melangkah menuju pintu. Mau tidak mau aku harus segera membuka pintu. Tidak enak juga membiarkan orang tua menunggu. Nanti aku dikutuk jadi batu lagi, seperti malin kundang karena aku dianggap telah durhaka. Mataku melebar saat pintu dibuka. Deg! "Selamat sore, kak! Saya mau antar pesanan atas nama Langit." Aku bergeming, mataku men
"Ada hal-hal yang memang seharusnya tidak kita ketahui dan ada pula hal-hal yang memang sebaiknya kita simpan sendirian. Tidak semua hal boleh diutarakan. Tidak semua hal boleh dicampuri." 🌼🌼🌼🌼 Sore ini langit tampak cerah. Meski tidak secerah hatiku. Karena jelas hatiku kelabu, penuh abu-abu dengan sembilu sendu. Ah, kok rasanya sedih, ya. Saat ini aku sedang menuju supermarket dekat rumah dengan berjalan kaki, sekalian jalan sore. Kapan lagi aku jalan sore seperti ini. Biasanya aku enggan keluar rumah. Berhubung ini masalah perut jadi mau tidak mau aku harus keluar. Demi kelangsungan hidupku yang berharga. Tak ada yang aneh dengan sore hari ini, sama seperti biasa. Tujuanku ke supermarket untuk membeli beberapa camilan dan es krim. Ya, tiba-tiba aja aku ingin es krim. Cuma karena hal itu. Tapi, tetap saja. Urusan perut semuanya penting kan? Aku memasuki supermarket yang ternyata lumayan ramai. Lantas mengambil
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." 🌼🌼🌼🌼 Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"