Di pedesaan, tempat tinggal para penduduk yang kehilangan kerajaan dan raja mereka. Di sana hanya tersisa satu penduduk dan satu pendatang. Ialah Rachel dan Halbert. Mereka berdua masih berada di bawah pepohonan yang rindang. Meski sempat takut karena melihat serta memcium bau darah, Rachel berhasil menahannya hanya demi menunggu Halbert terbangun nantinya. Setelah beberapa saat, akhirnya Halbert terbangun. “Oh!” Ia sangat terkejut, karena tiba-tiba saja memandangi langit gelap hari ini. “Tuan?”Rachel merasa senang, senyum terlukis begitu lebar, perasaan lega yang tergambarkan dengan jelas membuat Halbert justru merasa tidak enak.“Aku kehilangan kesadaranku lagi.”“Meski saya tidak tahu kapan itu terjadi, tapi syukurlah Anda dapat terbangun kembali.”“Ya. Terima kasih dan maaf. Aku merepotkan. Padahal aku ingin segera membawamu pergi dari tempat ini,” ucap Halbert. “Saya tidak begitu mempermasalahkannya. Asalkan Tuan selamat.” Meski senyum itu terlihat tulus, tapi tetap saja
“Sedang tidak bercanda ya?”Pria buta itu menganggukkan kepala sebagai tanda jawabannya. Rachel dan Halbert kemudian saling bertukar pandang dengan bingung. “Mungkinkah Anda dikira pahlawan? Yah, tapi itu tidak ada salahnya sih.”“Itu karena kau tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh pria ini. Tapi biar aku katakan, titisan Valkriye itu merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan bencana.”“Sepertinya hanya orang-orang penting saja yang mengetahui cerita itu. Entah kenapa bagiku itu terdengar seperti dongeng.”“Awalnya aku juga begitu. Tapi setelah tahu, aku jadi semakin memahaminya.”Tak berselang lama kemudian, suara tak asing datang dari perut pria itu. “Sepertinya perutmu perlu diisi terlebih dahulu.”“Makan ini, pak,” ucap Rachel sembari memberikannya buah apel.“Oh, aku sangat berterima kasih pada kalian. Aku sungguh bersyukur karena memilih jalan ini, karena ada kalian yang mau memberikan makanan.”“Ya. Tidak perlu berterima kasih. Sudah sewajarnya saling membantu di saat
Raja di kerajaan bagian timur sedang berdebat dengan para menteri bahkan penasihatnya sendiri. Terlihat jelas, Raja itu terus mengamuk tanpa menginginkan ada seseorang yang menceramahi atas tindakan yang hendak ia lakukan. Sementara yang lainnya berusaha untuk menenangkan sang raja agar tidak bertindak gegabah, dengan cara apa pun mereka akan tetap untuk menghalangi raja mereka. “Yang Mulia!”“Sudah aku bilang, pergilah! Jangan ganggu aku!!” Kata demi kata dilontarkan, celaan demi celaan menggerayangi bagai serangga kecil-kecil. Halbert yang merasakannya langsung bergidik, seakan merasakan hawa sang raja itu. “Raja!” Entah kapan itu terjadi, lagi-lagi dalam memorinya, Andrew mengintip kejadian di mana sang raja di bagian kerajaan timur saat ini sedang menggambar sebuah lingkaran sihir dengan darah sang raja itu sendiri. Sembari menggambarnya, sang raja tertawa seolah puas dengan tindakannya tersebut. “Aku merasakan hal buruk tentang ini,” gumam Andrew bergegas pergi dari sana.
Memori Andrew terlalu cepat untuknya dicerna. Karena hal itu, Halbert menjadi sedikit tidak waras. Tapi beruntungnya ada Rachel di sisinya, sehingga ia pun dapat lebih tenang.“Apa kamu tidak apa?”“Berkatmu, Nona. Aku sungguh berterima kasih.”Karena memori itu melekat begitu kuat, Halbert menjadi sangat ingin tuk bergegas menuju ke reruntuhan. “Mari kita bergegas Nona. Aku sudah mengetahui sesuatu hal, dan aku ingin ke sana secepatnya untuk memastikan.”“Baiklah.”Tidak lama setelah mereka berjalan, fajar telah terbit kembali. Hingga matahari hampir pada puncaknya di atas, mereka berdua akhirnya sampai ke tempat tujuan.Di sinilah, istana kerajaan Timur berada. Begitu megah dan terasa masih hidup. Walau pagarnya sudah berkarat, rerumputan di halaman telah memanjang, istana itu masih berdiri kokoh. “Ini reruntuhan katamu?” Sekilas ia tidak percaya.“Ya. Ini adalah reruntuhannya. Meskipun istana masih utuh, bagian lain dari Kerajaan sudah menjadi puing-puing. Aku terakhir kali datan
Waktu berjalan cukup lambat mulai hari ini. Detik demi detik terasa begitu menyakitkan, semakin merogohnya ke dalam, akan semakin kuat hawa tidak enak ini terasa. Tak lama setelah Halbert menelusuri lantai tiga sendirian, Rachel berteriak cukup keras dari kejauhan.“KYAAAAA!!!!” Mendengarnya, sontak membuat Halbert berlari ke sumber suara. “Ha-Halbert!” panggilnya dengan suara terbata-bata. Rachel saat itu masih berada di anak tangga di antara lantai dua dan tiga, cukup mudah bagi Halbert untuk datang menuju ke tempatnya. “Ada apa?!”Seekor monster menyerang Rachel, ia sampai tersungkur di tengah-tengah dengan berpegangan pada tangga untuk bertahan agar tidak jatuh terseret. “Tunggu, bertahanlah!” Halbert terkejut dengan kedatangan monster. Sesaat setelah menebas bagian vital berupa kepala monster itu, ia pun terdiam sejenak dan bingung.“Monster itu datang dari mana? Seharusnya tidak ada tanda-tanda monster—!”Barusan ia hendak menyangkal, namun ia teringat akan Raja Timur yan
Halbert menunggu selama beberapa saat sebelum akhirnya ia hendak memutuskan untuk keluar dari ruangan sekali lagi. “Lucu juga mengetahui dirimu yang berpikir tidak bisa tidur padahal pernah tidak sadarkan diri,” celetuk Salamander yang muncul tiba-tiba.“Hei, kau membaca pikiranku?” tanya Halbert kesal, dengan tetap memegang knop pintu sebelum benar-benar tertutup.“Aku hanya memiliki insting, kau pikir sulit membaca pikiranmu yang mudah itu?”“Sudahlah, aku tidak mau berdebat dengan hewan peliharaan,” tukas Halbert menghela napas. “Dan, aku perlu kau untuk menjaga Nona itu,” lanjutnya.“Apa katamu? Siapa yang hewan peliharaan?!” amuk Salamander menggebu-gebu.“Hei, aku butuh kau untuk menjaga wanita ini. Bisa tidak?!” sahutnya dengan suara keras. “Kenapa aku harus menjaga yang bukan orang aku hormati! Hei, bocah! Kalau mau memberi perintah, jangan pakai kalimat tanya dan jangan setengah-setengah.”“Aku hanya meminta bantuanmu, bukan memberi perintah! Lagi pula kau yang mengikuti di
Terbukalah pintu kamar, tempat di mana Rachel terlelap. Rachel tersentak kaget, sebab Halbert ternyata sudah berada di depan pintu.“Bagaimana keadaanmu?” “Aku baik-baik saja, terima kasih dan maaf aku malah tertidur.”“Tidur itu lebih baik daripada harus terjaga. Setelah ini aku akan pergi, bagaimana denganmu?” Halbert bertanya selagi menundukkan kepalanya. Rachel kemudian keluar dari ruangan. Tak lupa ia menutup pintu sebelum berbicara, “Aku akan ikut denganmu.”“Sebelumnya ada sarang monster di bawah tanah, kebetulan aku menemukan lubang sebagai jalan pintas. Tetapi meskipun istana ini utuh, aku tidak melihat siapa pun bahkan Raja Timur juga tidak,” ungkapnya selagi melirik ke arah lain.“Itu tidak masalah. Lagi pula aku tidak mencarinya. Aku hanya ingin menemanimu berpergian,” ucap Rachel.“Aku senang ada yang menemani. Tapi mungkin entah hari ini atau besok, kita harus berpisah.”Rachel menundukkan kepala, ia tampak sangat sedih.“Jangan khawatir, kalau memang ada kesempatan ak
Siang itu, Halbert sengaja menunjukkan dirinya yang sedang mengikuti target. Target yang merasa bahwa seseorang mengikutinya pun lekas memilih jalan buntu, berniat untuk memancingnya. Namun pada kenyataannya, Halbert lah yang memancing si target agar dapat memilih jalan buntu tersebut. “Selamat siang, bagaimana kalau kita bicara sebentar?” tanya Halbert selagi mengacungkan belati pada pria ini.“Wah, benar-benar mengejutkan.”“Aku tidak tahu kau memuji siapa dan untuk apa. Selain, aku ingin kita bicara sebentar saja.”“Aku sedang memujimu tahu, karena kau membuat keberadaanmu begitu jelas, yang ternyata itu jebakan.” Pria ini tersenyum seolah terhibur.“Jadi, apa yang mau kau bicarakan padaku? Kau ini kesatria atau seorang pembunuh?”“Tidak perlu mengajukan pertanyaan tak berguna seperti itu. Pertanyaannya cukup mudah, kau membawa buku terlarang bukan?” Awalnya pria ini terkejut lantaran Halbert menanyakan hal terlarang itu dengan mudah. Lantas pria tersebut berpikir bahwasanya Halb