“Saya selalu berada di ruang tunggu Hotel. Setahuku, nggak ada yang lihat dia keluar,” jawab Bob. “Tapi aku bisa tanya ke resepsionis untuk memeriksa CCTV kalau Anda mau.”
Yama menghembuskan napas panjang. “Tidak perlu. Aku akan cari sendiri.”
Ia menekan panggilan dan melirik ponselnya lagi, baru menyadari deretan panggilan tak terjawab dari neneknya. Puluhan panggilan.
Dada Yama mulai terasa sesak. Ada apa ini? Jika neneknya sampai menelepon sebanyak ini, berarti ada sesuatu yang sangat penting. Atau lebih buruk lagi—ada sesuatu yang telah terjadi di belakangnya.
Neneknya tidak akan berhenti mengomel bila dia tidak menanggapi lebih cepat.
Tanpa membuang waktu, ia bangkit dari ranjang dan mengenakan pakaiannya dengan cepat.
Di perjalanan menuju rumah, pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Ke mana Dea perg
"Lihat saja nanti, aku tidak pernah setuju untuk menikah dengan Meisya," sahut Yama dengan wajah dingin dan suara ketus lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Nenek.Neneknya hanya menghela napas kecil, lalu menggumam pelan, “Kita lihat saja seberapa jauh kau akan mengejarnya.”"Nenek pernah menyingkirkan Ibumu, wanita yang kebetulan mirip wajahnya itu hanya seekor semut bagiku," gumam Nenek seraya tersenyum kecil lalu mengangkat cangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan-pelan.Yama kembali ke mobilnya, jari-jarinya mengepal kuat di atas kemudi.Dea menerima uang itu? Itu mustahil. Tapi kalau tidak, kenapa dia pergi? Pikirannya berantakan. Ia harus menemukannya.Ia meraih ponselnya dan mencoba menelepon Dea lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. “Brengsek,” umpatnya.Dia melajukan mobilnya menuju rumah Dea, tetapi rumah itu kosong. Tidak tampak bayangan seseorang pun. Yama tidak tahu bahwa mereka semua berada di rumah sakit.Dengan kesal, Yama meraih ponsel untuk menghubungi Bob."Apa
Nada suara Jean berubah serius. Di seberang sana, ibunya terdengar sedikit terkejut. "Tentu saja, Jean. Ada apa?"Jean menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, "Aku butuh uang, Bu. Bisa pinjamkan aku?""Uang? Berapa, sayang?"Jean menarik napas dalam-dalam. "Satu miliar."Sejenak, keheningan menyelimuti pembicaraan mereka. Jean bisa membayangkan ekspresi terkejut di wajah ibunya saat ini."Satu miliar? Jean, itu jumlah yang sangat besar!" Ibunya berseru, terdengar jelas kebingungan dalam suaranya. "Untuk apa sebanyak itu? Apakah kamu sedang terlibat sesuatu yang sangat besar?""Hanya pinjam, Bu. Aku bukan meminta. Kalau tidak bisa, ya sudah," ujar Jean tegas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Ibunya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Jean... Kamu tahu, ibu selalu ing
Pria itu tinggi dan mengenakan jaket coklat. Memakai kacamata tebal dan rambutnya sedikit berantakan, tetapi wajahnya menyiratkan ketegasan yang sulit diabaikan.Jean mengerutkan kening. Ia tidak mengenalnya, tetapi firasatnya mengatakan bahwa pria ini bukan sekadar orang biasa yang kebetulan lewat.Sedikit mencurigakan.Di sisi lain, Bob—juga tengah mengamati Jean. Ia datang ke tempat ini berdasarkan informasi yang diberikan oleh detektif khusus yang ia sewa. Sesuai perintah Yama, ia harus turun tangan langsung mencari keberadaan Dea.Bob melangkah mendekat dengan sikap waspada. Jean sudah berada di anak tangga paling bawah, tinggal satu langkah lagi, tetapi Bob menghalangi jalannya.Saat ini, dia berhadapan dengan Bob sehingga tubuh mereka hampir sama tinggi."Permisi, apakah Anda mengenal seseorang bernama Dea?"Jean sedikit terkejut, degup jantungnya mulai tidak beratur
Jean membelalakkan mata. Tubuhnya kaku di tempat, sementara Bob tetap menahan tengkuk lehernya agar tidak bisa bergerak. Rasa panas merambat ke wajahnya, antara amarah dan keterkejutan."Sial!" Itu adalah ciuman pertama baginya.Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu sebelum akhirnya Jean berhasil mendorong Bob dengan sekuat tenaga."Kau-kau gila!" teriaknya dengan wajah merah padam. Menaikkan tangannya untuk menampar Bob, tetapi tangannya malah di tahan pria itu.Bob hanya tertawa kecil, sementara Jean menatapnya dengan tatapan membunuh. Ini benar-benar awal yang buruk antara mereka berdua.Jean menatap tajam ke arah pria di depannya, napasnya masih tersengal akibat insiden sebelumnya. Dengan penuh amarah, ia bertanya, "Kau siapa?"Bob menghela napas, lalu merapikan jaketnya yang sedikit kusut. Wajahnya masih sedikit memerah akibat kejadian seb
Bob, yang berjalan lebih dulu, hanya mendengus mendengar gumaman Jean. Ia menoleh sebentar dengan ekspresi jengah. “Dasar kampungan,” desisnya sebelum melangkah lebih cepat menuju pintu utama.Jean mendelik kesal, tapi tak bisa membantah. Selama ini, bayangan yang ia miliki tentang Yama sangatlah berbeda. Ia selalu menganggap pria itu sebagai seseorang yang bekerja di dunia malam—seorang penyedia jasa penghibur alias gigolo. Namun, apa yang kini ia lihat benar-benar bertolak belakang dengan dugaannya."Apa kata Dea tentang ini nanti?" Jean berdecak kagum.Dengan perasaan campur aduk, Jean mengikuti Bob memasuki gedung itu. Begitu melangkah masuk, ia langsung disambut oleh ruangan lobi yang luas dan elegan. Lantai marmer mengilap, lampu gantung kristal yang megah, serta para pegawai yang mengenakan seragam rapi menambah kesan eksklusif pada tempat ini.“Saya kok merasa salah tempat, apa kamu
Yama tidak langsung menanggapi. Ia menatap Jean lekat-lekat, seolah menilai sesuatu dalam dirinya.Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. “Aku butuh seseorang yang bisa kupercaya. Dan aku ingin tahu apakah kau bisa menjadi orang itu.”Jean semakin bingung. “Aku? Apa maksudmu?”Jean masih mencoba memahami situasi yang baru saja dihadapinya ketika Yama kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih tegas.“Kamu akan bekerja padaku, menjaga Dea mulai sekarang.”Jean tertegun. “Menjaga Dea? Dari apa?”Yama mengetuk meja dengan jarinya, menciptakan irama yang teratur dan membuat suasana terasa semakin tegang. Sorot matanya dingin dan penuh perhitungan. “Dari keluargaku yang mungkin akan menyingkirkannya.”Jean merasakan tubuhnya menegang. Ia tidak pernah mengira bahwa situasi Dea bisa seb
"Ahh, ini kacau sekali... bagaimana bila kalian lupakan saja malam itu, lalu Dea..." Jean menoleh ke arah Bob dan pria lainnya yang merasa tertarik untuk mendengar lebih lanjut."Kurang nyaman untuk membahas ini dengan pria sebanyak itu di belakang kita," bisik Jean.Yama mengangguk pelan, ekspresinya berubah serius. Lalu dengan satu gerakan halus, ia mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya.Semua pria di ruangan segera bergerak keluar, kecuali Bob."Kamu juga, Bob," perintah Yama."Tapi, Tuan..."Tatapan tajam Yama membuat Bob menelan kembali protesnya. Dengan enggan, ia berbalik dan berjalan ke luar ruangan, meski tetap berdiri di depan pintu dengan ekspresi tidak senang.Saat hanya tinggal berdua, Yama kembali fokus pada Jean. "Lanjutkan."Jean menghela napas. "Apakah kamu sudah memiliki per
Dia merasa masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membayar kembali satu milyar itu. Pria di hadapannya juga tidak akan menerima begitu saja. Dan Nenek Yama akan patuh pada saat Yama mulai mencintai Dea."Bila mereka saling mencintai, tidak ada orang yang mampu memisahkan mereka karena Yama, pria penuh kuasa ini tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Dea. Yes! Sebuah pertimbangan yang sempurna," pekik Jean dalam hati. Merasa pintar!Kali ini Jean melanjutkan kalimatnya dengan nada lebih lembut. "Dea tidak akan langsung menerima pernikahan ini. Tapi jika kau bersabar, mungkin lama-kelamaan dia akan terbiasa."Yama menyipitkan matanya. "Jadi kau ingin aku menunggunya jatuh cinta padaku dulu baru menerima pernikahan?"Jean mengangguk seperti bocah kecil dan kedua mata berbinar-binar."Dan ini tentu akan membutuhkan waktu. Kamu tahu jelas, aku bukan pria yang suka bermai
“Tetap di sini sebentar lagi,” potong Yama pelan. Suaranya berat, masih serak pagi.Meisya membeku. Lalu tersenyum tipis, dan kembali menyandarkan kepala di dadanya. Memeluk pinggang pria itu dengan erat.Namun, diam-diam, Yama hanya ingin mencoba membangunkan sesuatu dalam dirinya.Beberapa menit berlalu dan Yama kembali merasa kesal dengan dirinya serta ketidakmampuan yang dia miliki saat ini. Bagian bawah celananya sama sekali tidak beraksi walau kedua bukit depan milik Meisya menempel erat di tubuhnya.Hari itu, sesi terapi Yama lebih semangat dari biasanya. Ia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa tongkat, hanya dengan bantuan tangan Meisya yang menggenggamnya erat dari samping. Walau beberapa kali terjatuh dan peluh keringat membasahi wajah dan pakaiannya, Yama tidak menyerah.“Bagus, Tuan Yama,” ucap fisioterapis dengan kagum. “Luar biasa untuk pasien
Meisya tertegun. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Hati Meisya berdebar, sangat takut terhadap penolakan untuk kesekian kalinya.Yama diam. Menunggu kelanjutan kalimat wanita itu.“Karena... aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Aku tidak bisa berpaling darimu," sahut Meisya beberapa saat kemudian.Meisya tersenyum, menatap bintang. “atau mungkin karena aku tidak mencintai orang lain. Hanya kamu, Yama.”Yama menatap wajah Meisya dalam keremangan cahaya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan tanpa celah. Secara keseluruhan melebih Dea yang mencuri hatinya selama ini.Lalu perlahan, ia menyentuh jemari gadis itu.Untuk pertama kalinya, sentuhan itu bukan karena ingin dibantu berjalan. Tapi karena keinginan untuk berterima kasih.“Kalau waktu bisa menyembuhkan kakiku,” bisik Yama, “apa waktu jug
Hari-hari itu panjang, melelahkan, dan penuh luka yang tidak pernah benar-benar terucap. Namun Meisya bertahan. Dia mencintai Yama sejak kecil. Semua kelicikan yang dia perbuat kepada Dea adalah karena kecemburuannya.Adapun kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia mencelakakan hidup mendiang ibu Yama, namun semua itu adalah karena perintah Nenek Yama sendiri dan dia hanya melakukan beberapa tugas yang tanpa sengaja mencelakakan wanita malang itu. Meisya berada dalam ketakutan setiap mengingat kapan waktunya Yama mengetahui rahasia terdalamnya, namun lebih takut lagi bila kehilangan diri Yama.Ketika dokter mengatakan Yama harus mulai menjalani terapi jalan agar saraf di kakinya kembali aktif, Meisya adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk membantu. Dengan sabar, ia menggenggam tangan Yama, melangkah pelan-pelan menyusuri lorong rumah sakit.“Kamu tidak harus cepat. Satu langkah saja sudah cukup hari ini,” ucap Meisy
Pintu kamar terbuka perlahan, Yama menoleh, sosok ramping dengan setangkai bunga dan sebuah rantang thermal. Meisya melangkah masuk dengan senyum penuh kelembutan, meski wajahnya terlihat sedikit kuyu karena terlalu sering menangis.“Yama…” bisiknya lembut, “aku datang.”Tak ada reaksi. Yama menatap langit-langit seakan tak ada siapa pun di ruangan itu. Di antara semua orang yang menjengguknya, dia paling tidak ingin bertemu dengan Meisya. Namun wanita itu sangat rajin walau sering menerima penolakan keras dari Yama.Yama bahkan pernah melempar bubur yang dibawa Meisya.Meisya meletakkan bunga krisan kecil berwarna-warni di meja samping ranjang pasien. Lalu ia duduk perlahan di kursi besi, membuka rantang bubur, dan mengaduk perlahan. Aromanya ayam herbal memenuhi udara. Uap mengepul dari rantang thermal tersebut. Berhasil mencuri perhatian Yama karena wanginya.“Kamu harus makan, Sayang” kata
Namun, adakah dia bisa begitu tega untuk membiarkan anak itu hidup tanpa dukungan dari orang yang seharusnya bertanggung jawab? Selama ini, dia berusaha melihat sisi baik dari Yama, berharap ada cinta yang tersembunyi di dalamnya, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya. Sampai detik ini pun, dia masih belum memiliki kabar dari Yama selain mimpi buruk yang membuatnya kecewa.Pangeran Frans melangkah mendekat, tatapannya masih tidak berubah. "Sayangku, Dea...kamu harus memikirkan masa depan anakmu, Cintaku. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan kosong. Lupakan Yama.""Kamu tahu, mengapa aku memutuskan mengejarmu? Padahal sebelumnya aku membantu pertemuan kalian dengan menculikmu?"Dea menengadahkan kepalanya, menatap Pangeran Frans dalam-dalam."Karena dia terlalu pengecut!" geram Pangeran Frans."Aku sudah membantu dengan menculikmu, tetapi tidak ada yang dapat dia bahas atau lakukan.
Sementara di kamar Dea, Dea terkejut mendapati kabar dari sang Dokter yang memeriksanya bahwa dirinya sudah hamil."Ini adalah anak Yama," gumamnya dengan perasaan tidak menentu seraya memeang perutnya yang masih datar.Kedua matanya berkaca-kaca, antara menerima kenyataan yang seharusnya membuat dirinya bahagia. Dia sangat mencintai Yama dari lubuk hati terdalamnya. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya hanya Yama."Kamu adalah bukti cinta Mama kepada Papamu," bisik Dea dengan suara bergetar. Dia ingat malam bergairah milik mereka berdua. Dia merindukan semua sentuhan panas dari pria yang sangat dia cintai itu. Pria yang sudah jauh darinya."Mama akan bertahan," ucapnya lirih.Keesokkan harinya, Pangeran Frans pergi mengunjungi Dea dengan sekeranjang buah-buahan dan balon berwarna warni."Dea Sayang..." Pangeran Frans menyodorkan balon-balon yang sudah diikat pita ke hadapan
Yama memegang erat tangan Dea lalu berkata, "kita akan menjalani kematian bersama-sama. Aku mencintaimu, Dea."Dea mengangguk dan membiarkan Yama menciumnya. Sebuah ciuman perpisahan sekaligus penyatuan yang alami."Aku juga mencintaimu, Yama."Dea memekik tertahan saat merasakan pesawat yang mulai terjatuh dan ledakan-ledakan kecil terjadi.Panik membuat Dea terbangun dari tidurnya."Yama!" pekiknya lalu menyadari dirinya sedang terduduk di atas ranjang.Air mata mengalir membasahi wajahnya kembali.Tubuhnya penuh keringat . "Hanya mimpi..." desisnya dengan lirih."Aku sungguh merindukanmu, Yama."Dea menangis sejadi-jadinya di atas ranjang yang dingin dan sepi itu.***Keesokkan harinya, wajah Dea semakin pucat dan semakin kuyu. Dea bahkan tidak mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Dia terlihat seperti boneka tidak bernyawa yang bersandar di sandaran ranjang, menatap kosong ke jendela.Di
"Hanya makan bersama dan saling berbicara, mungkin saya bisa memberikan beberapa penjelasan kepadamu mengenai alasan saya melakukan semua ini, jangan takut. Aku belum berniat memakanmu," gurau Frans seraya mengandeng tangan Dea menuju kursinya.“Apa yang ingin Anda katakan, Pangeran?” tanyanya dingin seraya menghentakkan pantatnya ke kursi, meskipun ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Saya sudah cukup mendengar penjelasan dari Anda tadi, bukan?”Frans menyandarkan punggungnya ke kursi, terlihat serius. “Saya tahu saya tidak bisa menghapus apa yang telah saya lakukan dengan mudah. Saya tahu Anda membenci saya sekarang, Dea. Tetapi saya ingin Anda tahu bahwa saya benar-benar menyesal. Saya tidak tahu bagaimana bisa terjebak dalam kasus ini, tetapi sekarang saya sadar, baiklah...saya memang salah karena berusaha menyingkirkan Yama.”Dea menatapnya dengan mata penuh curiga. Ka
Keputusan sudah diambil, dan Dea harus melangkah maju dengan kepala tegak. Itulah yang dikatakan Ratu, dan Dea tahu betul bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dea mengusap wajahnya kasar. Merasa kesal dan ingin berteriak.Pangeran yang selama ini ia anggap sebagai musuh, yang telah membuat hidupnya penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Namun kini, ia dipaksa untuk bersatu dengannya, sebagai suami istri yang sah. Entah karena politik atau karena Ratu merasa tidak ada jalan lain. Dea tidak tahu, dan ia juga tidak ingin tahu. Yang pasti, Frans masih berada dalam Kerajaan, masih dalam jangkauan yang bisa membuat hidupnya semakin kacau.Dea tiba di ruang makan besar, tempat biasa para keluarga kerajaan dan tamu kerajaan makan bersama. Namun, kali ini ruang itu terasa sepi, hanya ada Frans yang duduk dengan santai, menunggu kedatangannya. Pandangannya tertuju pada Dea dengan tatapan yang sulit dibaca.“Lady Dea, silak