Ucapan Rindu membuat Topan tersadar bahwa dirinya tidak pantas memakaikan sabuk pengaman itu untuk wanita lain, selain istrinya sendiri. Dia merasa malu karena membuat Rindu salah paham atas sikapnya itu. Topan segera menghentikan aktivitasnya dan meminta maaf kepada Rindu.
"Maaf, seharusnya aku tidak melakukan ini. Nanti akan kuperbaiki sabuk pengamannya secepat mungkin," kata Topan dengan rasa penyesalan.Rindu tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kok."Dia mencoba mengerti atas apa yang diucapkan Topan. Dia pikir, Topan salah tingkah terhadap dirinya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan perasaan kaku dan hening. Tidak seperti layaknya teman kerja biasa.Setibanya di kantor, Rindu langsung keluar dari mobil dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada Topan. Dia harus segera masuk karena acara rapat di kantor akan segera dilaksanakan."Mas, aku masuk duluan, ya. Sepertinya rapat akan segera dimulai," kata Rindu dengan tergesa-gesa. "Oh iya, makasih atas tumpangannya, nanti jam istirahat, kita makan siang bareng ya, biar aku yang traktir."Namun, saat Topan hendak menjawabnya, Rindu sudah melangkah pergi karena terburu-buru. "Eh, jangan. Aku tidak ...."Dan hal itu tidak bisa ia katakan kalau dirinya tidak ingin makan siang bersama, karena niatnya dia mau pulang jika jam istirahat sudah tiba."Biar nanti aku bicara lagi sama dia, toh aku sudah punya istri yang pintar masak, ngapain juga makan di luar," gerutu Topan saat keluar dari mobilnya. Ia pun segera melangkah pergi menuju ke dalam kantor.Topan dan Rindu memang bekerja di kantor yang sama, tapi mereka beda departemen. Sehingga, mereka tidak akan bertemu saat bekerja karena beda tempatnya. Topan berada di lantai 5 sedangkan Rindu berada di lantai 7. Sehingga, mereka tidak akan pernah tahu kabar dari masing-masing, termasuk pernikahan Topan yang kedua. Yang Rindu tahu, Topan masih menduda dan belum menikah lagi.Temannya, yang sudah duduk lebih dulu tidak bisa menahan rasa penasaran dan akhirnya mengungkapkan keheranannya."Alamak, cerah sekali wajah kau, Rindu. Pasti ada sesuatu yang membuatmu jadi begini," kata temannya saat Rindu hendak duduk di kursi yang sudah tersedia. Mereka rupanya belum melaksanakan rapat karena masih menunggu atasannya yang belum datang."Ya, begitulah. Rupanya tragedi mobil mogok menjadi salah satu momen yang tidak bisa aku lupakan," kata Rindu berbunga-bunga. Wajahnya terpancar keceriaan yang tak terbendung.Teman Rindu semakin penasaran dan bertanya, "Hah, apaan itu? Mobilmu mogok? Terus?""Apa kamu tahu? Saat mobilku mogok, Mas Topan datang dan menjadi penyelamatku," kata Rindu dengan ceria. "Dia menawarkan tumpangan agar aku tidak telat masuk kantor."Teman Rindu terkejut, "Topan yang ada di departemen keuangan?""Iya, betul sekali!" kata Rindu penuh semangat."Terus? Kamu mau?" tanya temannya mengernyitkan alisnya."Ya mau lah, siapa sih yang gak mau sama duda keren dan kaya seperti mas Topan? Semua orang pasti menginginkannya!" kata Rindu dengan antusias. "Dia juga orangnya romantis, aku sampai dipakein sabuk pengaman sama dia. Kan jadinya aku malu.""Cie, yang lagi berbunga-bunga sama si duda keren. Tapi awas loh hati-hati, siapa tahu dia sudah punya istri baru. Kita kan gak tahu keadaan dia seperti apa di sana, kecuali kalau satu departemen, mungkin beda lagi ceritanya."Teman Rindu memberikan peringatan agar Rindu tetap berhati-hati. Keadaan Topan di luar kantor tidak diketahui dengan pasti, kecuali jika mereka berada dalam satu departemen. Teman Rindu ingin memastikan bahwa Rindu tidak terlalu terbawa perasaan. Keadaan sebenarnya dari Topan di luar kantor masih menjadi misteri, dan penting bagi Rindu untuk tidak terlalu terjebak dalam kesan awal yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan keadaan sebenarnya.Mendengar hal itu, Rindu langsung terdiam. Tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia yakin bahwa tidak ada kabar yang beredar jika Topan sudah menikah lagi. "Aku yakin, mas Topan masih menduda sampai sekarang ini. Kalau iya sudah menikah lagi, mungkin dia tidak akan perhatian seperti tadi."Meskipun Rindu tidak memiliki bukti yang pasti, namun dari pengamatannya selama ini, Topan terlihat lebih fokus pada pekerjaannya dan tidak terlalu tertarik untuk menjalin hubungan yang serius. Rindu berharap bahwa suatu hari nanti Topan akan menjadikannya sebagai istri.***Saat jam istirahat di kantor telah tiba, Rindu merasa antusias untuk segera pergi ke kantin. Ia berencana mengajak Topan, teman kerjanya, untuk makan siang bersama. Namun, ketika Rindu tiba di lantai 5, ia tidak melihat Topan di ruangannya.Rindu pun bertanya kepada seorang karyawan yang berada di sana, "Mas Topan kemana ya? Kok tidak ada di ruangannya?"Karyawan tersebut menjawab dengan ramah, "Oh, mas Topan sedang izin pulang dulu, Mbak. Akhir-akhir ini kalau jam istirahat tiba, dia suka langsung pulang."Rindu merasa sedikit kecewa mendengar kabar tersebut. Ia merasa penasaran dan ingin tahu apa yang membuat Topan selalu pulang saat jam istirahat. Pikirannya mulai melayang, "Apa aku sebaiknya pergi ke rumahnya saja?"Sebelum bergerak pergi, Rindu memutuskan untuk menghubungi Topan melalui ponselnya. Ia ingin menanyakan langsung alasan Topan kenapa harus pulang saat jam istirahat tiba. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Topan menjawab telepon."Halo, Topan. Ini Rindu. Aku tadi ke ruanganmu tapi kamu sudah pulang. Kenapa pulang? Apa kamu sakit?" tanya Rindu dengan rasa penasaran yang tinggi.Topan terdengar sedikit tidak jelas saat menjawab telepon karena dirinya sedang makan. "Halo, Rindu. Maaf, aku pulang dulu. Tidak, aku tidak sakit. Hanya saja, akhir-akhir ini aku lebih suka makan di rumah," jawab Topan dengan suara yang terdengar ceria.Rindu merasa lega mendengar bahwa Topan tidak sakit. Namun, keingintahuannya masih belum terpuaskan. "Katakan saja, apa yang terjadi, Topan? Apakah memang karena hanya ingin makan di rumah, atau ada alasan lain?" tanya Rindu dengan nada khawatir.Topan menghela nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Rindu. Ia tahu bahwa temannya itu tidak akan puas dengan jawaban yang seadanya. "Aku hanya ingin menikmati masakan yang ada di rumah. Kamu tidak usah cemas, aku baik-baik saja," ucap Topan dengan tegas.Namun, Rindu tampak kecewa dengan jawaban Topan. "Tapi... aku kan tadi sudah bilang, kalau aku mau traktir kamu," ucap Rindu dengan nada kecewa.Topan ingin menjelaskan lebih lanjut, namun saat itu ia sedang makan. "Maaf ya, aku tutup dulu. Aku lagi makan nih," ucap Topan sambil mematikan ponselnya."Ish, kenapa dimatikan, aku belum selesai bicara," gerutu Rindu sambil mengotak-atik ponselnya. Dan disaat Rindu sedang fokus pada ponselnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang datang menghampiri Rindu. Dia bernama Wisnu. Dia sangat tahu betul bagaimana sikap Rindu pada Topan, karena mereka begitu akrab."Rindu, kamu ngapain ada di sini," tanya Wisnu dengan ceria. "Mau nyari Topan ya?""Hai, Wisnu. Iya nih, asem banget ternyata dia Uda pulang, padahal aku mau ajak dia makan di luar." Rindu segera memasukkan ponselnya ke dalam saku."Lah, sekarang dia gak bakalan mau makan di luar lagi, dia kan sudah punya istri baru!" celetuk Wisnu dengan semringah. "Jelaslah, masakan istri lebih enak daripada masakan luar."Mendengar hal itu, Rindu langsung membelalakkan matanya. "Istri baru? Sejak kapan dia menikah lagi?"Wisnu mengernyitkan alisnya, "Memangnya selama ini kamu tidak tahu kalau Topan sudah menikah lagi?" "Tidak!" kata Rindu dengan suara bergetar dan terlihat syok. "Aku tidak pernah tahu soal itu. Memangnya, kapan dia menikah?" tanya Rindu sedikit kecewa. "Dua Minggu yang lalu," kata Wisnu dengan cepat. "Terus, kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?" tanya Rindu lagi sedikit menyentak. Hatinya sudah remuk dan patah setelah mendengar Topan sudah menikah lagi. "Aku juga tidak menyangka dia akan menikah lagi. Padahal, dulu bilangnya belum ada niat untuk menikah, tapi sekarang—" Belum juga Wisnu selesai bicara, Rindu langsung menyelanya, "Sudahlah, aku pergi dulu!" Rindu merasa marah dan sedih saat Wisnu memberitahunya bahwa Topan, telah menikah dua minggu yang lalu. Rindu merasa terluka karena tidak pernah mengetahui bahwa Topan telah memiliki kekasih dan memutuskan untuk menikah. Wisnu mencoba menjelaskan bahwa dia tidak bisa memberitahu Rindu karena saat itu dirinya sedang berada di
Rindu, memang wanita yang tidak tahu malu. Segala cara untuk mendapatkan hati Topan sudah ia lakukan, tapi ternyata Topan malah memilih Reva untuk dijadikan istrinya. Rasa iri dan cemburu semakin memuncak apalagi setelah melihat penampilan Reva yang biasa saja. Ya, Reva memang tidak secantik Rindu, tapi untuk soal perilaku, dia memiliki hati yang tulus nan suci, tidak seperti watak yang dimiliki Rindu. Sehingga, ini menjadi salah satu keinginan Topan untuk menikahinya. "Mas, pekerjaanmu kan belum selesai. Sekalian ajak mbak Rindu ke kantor, satu kantor ini kan," kata Reva sambil tersenyum. Dalam hatinya memang kesal pada wanita itu, tapi Reva harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Cemburu wajar, karena ini menyangkut masalah hati. "Tapi ...." Belum juga Topan selesai bicara, Gina langsung menyelanya, "Sudah, cepat berangkat, Pa. Nanti keburu hujan!" Topan mengangguk dan melirik ke arah Rindu, "Baiklah, ayo berangkat." Rindu merasa senang dalam situasi ini. Tapi dia b
Rindu menatap wanita paruh baya itu dengan mata yang membelalak, hatinya dilanda kebingungan dan kecemasan. "Tante Siska? Apa yang dia lakukan di sini?" batinnya. Tentu saja, Rindu tahu siapa wanita itu. Bu Siska adalah ibu dari Topan, seorang wanita berusia sekitar 58 tahun yang selalu ingin dihormati banyak orang. Tapi entah kenapa dia terlihat begitu kerepotan sendirian. Biasanya, kalau mau berpergian, Bu Siska pasti menyuruh Topan untuk mengantarkannya. Atau jika dirinya ingin bertemu dengan sang cucu, Topan selalu menjemputnya. Mobil taksi yang Rindu tumpangi semakin mendekat ke arah Bu Siska, membuat Rindu merasakan kegelisahan dan tak sabar ingin segera menghampirinya. Tanpa pikir panjang, Rindu segera menyuruh sopir taksi untuk berhenti. Ia buru-buru keluar dari mobil untuk menghampiri Bu Siska yang berdiri di tepi jalan. “Tante! Apa yang terjadi? Kenapa Tante di sini sendirian?” tanya Rindu pura-pura merasa khawatir, padahal di dalam hatinya ada niat untuk mencari perh
Reva menelan ludah, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih di dalam hatinya. Namun, dia tahu kalau melawan ibu mertuanya di depan Rindu hanya akan memperburuk keadaan. Sementara itu, Rindu tersenyum sinis, merasa puas melihat Reva dalam posisi serba salah. "Ma-maaf, saya hanya ...." “Kamu bahkan tidak tahu siapa aku! Sejak kamu muncul di rumah ini, Topan jadi makin jarang mengunjungiku,” ujar Bu Siska dengan nada kesal.“Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Ibu adalah ibunya Topan,” jawab Reva lirih. Andai saja seluruh keluarga Topan hadir saat pernikahannya dulu, tentu ia bisa mengenal mereka dengan baik. Namun, hanya pamannya yang hadir, dan saat itu Reva tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kini situasinya terasa begitu rumit baginya.“Jangan panggil aku ibu. Kau tidak pantas menjadi menantuku!” tegas Bu Siska dengan tatapan tajam.“Lucu sekali ya, menikah dengan anaknya, tapi tidak kenal dengan ibunya. Sudahlah, jangan berpura-pura. Lebih baik kamu minggir. Kami mau masuk,” sindi
Revalina berpikir bahwa pernikahannya akan menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk hidup baru yang akan dia tempuh, tapi nyatanya sesuatu yang tidak pernah diduga olehnya telah menjadi mimpi buruk untuknya. Tatapan sinis dia dapatkan saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah baru di mana dia akan menempuh separuh hidupnya di rumah itu. "Sayang, ayo, salaman dulu ke ibu kalian," kata Topan saat dia dan istrinya, Revalina berada di bingkai pintu. Senyum manis ditunjukkan oleh Revalina, tetapi tidak di bibir kedua anaknya. "Kok istri baru Papa, tidak secantik Mama?" Ucapan itu muncul dari mulut putri sulung Topan. Seketika hati Revalina teriris, tetapi masih bisa dibalas dengan senyum tulus oleh dirinya. Revalina melangkah maju, dan dia meraih kedua tangan Gina Wardani, anak sulung Topan, dan Revalina berkata, "Aku memang tak secantik ibumu, dan tidak akan menggantikan posisi ibumu, tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk kalian," ucapnya dengan senyum, mata Revalina m
"Mas Topan!" Reva menarik tangan suaminya yang telah memberikan tamparan pada sang anak sulung, kini Revalina berdiri diantara ayah dan anak itu. Tatapan Revalina tajam pada sang suami dan Topan yang tajam menatap ke arah putrinya Gina. "Kembali ke kamar kalian!" pinta Topan. Terlihat Gina menyentuh lembut pipinya, dan menatap ke arah Topan. Gina seolah tak percaya bahwa dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya. "Aku benci dengan Ayah!" Gina langsung mengibaskan rambutnya dan pergi dari sana meninggalkan ayah dan juga ibu tirinya. Galih tampak tidak terima dengan apa yang dilakukan sang ayah dan hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun, karena menatap ayahnya dengan kebencian itu sudah cukup mengatakan bahwa Galih juga benci pada ayahnya. Galih ikut di belakang sang kakak sedangkan Revalina, dia masih berada di hadapan suaminya yang baru saja menampar anak gadis itu. "Mas," kata Revalina pelan dan berusaha menenangkan suaminya. Tetapi sa
Revalina diperlakukan layaknya pembantu di rumah itu oleh anak-anak Topan yang membawa teman-temannya masuk ke dalam rumah. Mereka melakukan kerusuhan, memerintah Revalina, menyuruh-nyuruh dan sesekali menghina Revalina. Dan dia harus keluar masuk kamar Gina dan Galih, serta membersihkan tiap ruangan hampir beberapa kali tanpa jeda. Meskipun usia mereka tidak sama dan beda kelas, tapi perlakuan terhadap Revalina sangat tidak pantas. "Pembantu yang lainnya mana, Gina? Dari tadi yang kulihat hanya dia saja," tanya salah satu teman Gina yang menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara di sana masih ada Revalina yang menaruh minuman dan kue-kue kering. "Pembantuku cuma satu. Tuh, kamu lihat sendiri, dia sudah ada di depan mata kita!" kata Gina sambil menunjuk ke arah ibu tirinya. Revalina hanya bisa diam dan cukup sabar untuk hal ini. "Oh, begitu rupanya." "Eits, tapi dia pembantu bukan sembarang pembantu. Dia ini Pembantu sekaligus ibu tiri kita. Iya kan, Galih?" Galih pun
Reva menelan ludah, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih di dalam hatinya. Namun, dia tahu kalau melawan ibu mertuanya di depan Rindu hanya akan memperburuk keadaan. Sementara itu, Rindu tersenyum sinis, merasa puas melihat Reva dalam posisi serba salah. "Ma-maaf, saya hanya ...." “Kamu bahkan tidak tahu siapa aku! Sejak kamu muncul di rumah ini, Topan jadi makin jarang mengunjungiku,” ujar Bu Siska dengan nada kesal.“Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Ibu adalah ibunya Topan,” jawab Reva lirih. Andai saja seluruh keluarga Topan hadir saat pernikahannya dulu, tentu ia bisa mengenal mereka dengan baik. Namun, hanya pamannya yang hadir, dan saat itu Reva tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kini situasinya terasa begitu rumit baginya.“Jangan panggil aku ibu. Kau tidak pantas menjadi menantuku!” tegas Bu Siska dengan tatapan tajam.“Lucu sekali ya, menikah dengan anaknya, tapi tidak kenal dengan ibunya. Sudahlah, jangan berpura-pura. Lebih baik kamu minggir. Kami mau masuk,” sindi
Rindu menatap wanita paruh baya itu dengan mata yang membelalak, hatinya dilanda kebingungan dan kecemasan. "Tante Siska? Apa yang dia lakukan di sini?" batinnya. Tentu saja, Rindu tahu siapa wanita itu. Bu Siska adalah ibu dari Topan, seorang wanita berusia sekitar 58 tahun yang selalu ingin dihormati banyak orang. Tapi entah kenapa dia terlihat begitu kerepotan sendirian. Biasanya, kalau mau berpergian, Bu Siska pasti menyuruh Topan untuk mengantarkannya. Atau jika dirinya ingin bertemu dengan sang cucu, Topan selalu menjemputnya. Mobil taksi yang Rindu tumpangi semakin mendekat ke arah Bu Siska, membuat Rindu merasakan kegelisahan dan tak sabar ingin segera menghampirinya. Tanpa pikir panjang, Rindu segera menyuruh sopir taksi untuk berhenti. Ia buru-buru keluar dari mobil untuk menghampiri Bu Siska yang berdiri di tepi jalan. “Tante! Apa yang terjadi? Kenapa Tante di sini sendirian?” tanya Rindu pura-pura merasa khawatir, padahal di dalam hatinya ada niat untuk mencari perh
Rindu, memang wanita yang tidak tahu malu. Segala cara untuk mendapatkan hati Topan sudah ia lakukan, tapi ternyata Topan malah memilih Reva untuk dijadikan istrinya. Rasa iri dan cemburu semakin memuncak apalagi setelah melihat penampilan Reva yang biasa saja. Ya, Reva memang tidak secantik Rindu, tapi untuk soal perilaku, dia memiliki hati yang tulus nan suci, tidak seperti watak yang dimiliki Rindu. Sehingga, ini menjadi salah satu keinginan Topan untuk menikahinya. "Mas, pekerjaanmu kan belum selesai. Sekalian ajak mbak Rindu ke kantor, satu kantor ini kan," kata Reva sambil tersenyum. Dalam hatinya memang kesal pada wanita itu, tapi Reva harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Cemburu wajar, karena ini menyangkut masalah hati. "Tapi ...." Belum juga Topan selesai bicara, Gina langsung menyelanya, "Sudah, cepat berangkat, Pa. Nanti keburu hujan!" Topan mengangguk dan melirik ke arah Rindu, "Baiklah, ayo berangkat." Rindu merasa senang dalam situasi ini. Tapi dia b
Wisnu mengernyitkan alisnya, "Memangnya selama ini kamu tidak tahu kalau Topan sudah menikah lagi?" "Tidak!" kata Rindu dengan suara bergetar dan terlihat syok. "Aku tidak pernah tahu soal itu. Memangnya, kapan dia menikah?" tanya Rindu sedikit kecewa. "Dua Minggu yang lalu," kata Wisnu dengan cepat. "Terus, kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?" tanya Rindu lagi sedikit menyentak. Hatinya sudah remuk dan patah setelah mendengar Topan sudah menikah lagi. "Aku juga tidak menyangka dia akan menikah lagi. Padahal, dulu bilangnya belum ada niat untuk menikah, tapi sekarang—" Belum juga Wisnu selesai bicara, Rindu langsung menyelanya, "Sudahlah, aku pergi dulu!" Rindu merasa marah dan sedih saat Wisnu memberitahunya bahwa Topan, telah menikah dua minggu yang lalu. Rindu merasa terluka karena tidak pernah mengetahui bahwa Topan telah memiliki kekasih dan memutuskan untuk menikah. Wisnu mencoba menjelaskan bahwa dia tidak bisa memberitahu Rindu karena saat itu dirinya sedang berada di
Ucapan Rindu membuat Topan tersadar bahwa dirinya tidak pantas memakaikan sabuk pengaman itu untuk wanita lain, selain istrinya sendiri. Dia merasa malu karena membuat Rindu salah paham atas sikapnya itu. Topan segera menghentikan aktivitasnya dan meminta maaf kepada Rindu."Maaf, seharusnya aku tidak melakukan ini. Nanti akan kuperbaiki sabuk pengamannya secepat mungkin," kata Topan dengan rasa penyesalan. Rindu tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kok."Dia mencoba mengerti atas apa yang diucapkan Topan. Dia pikir, Topan salah tingkah terhadap dirinya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan perasaan kaku dan hening. Tidak seperti layaknya teman kerja biasa. Setibanya di kantor, Rindu langsung keluar dari mobil dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada Topan. Dia harus segera masuk karena acara rapat di kantor akan segera dilaksanakan. "Mas, aku masuk duluan, ya. Sepertinya rapat akan segera dimulai," kata Rindu de
Revalina diperlakukan layaknya pembantu di rumah itu oleh anak-anak Topan yang membawa teman-temannya masuk ke dalam rumah. Mereka melakukan kerusuhan, memerintah Revalina, menyuruh-nyuruh dan sesekali menghina Revalina. Dan dia harus keluar masuk kamar Gina dan Galih, serta membersihkan tiap ruangan hampir beberapa kali tanpa jeda. Meskipun usia mereka tidak sama dan beda kelas, tapi perlakuan terhadap Revalina sangat tidak pantas. "Pembantu yang lainnya mana, Gina? Dari tadi yang kulihat hanya dia saja," tanya salah satu teman Gina yang menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara di sana masih ada Revalina yang menaruh minuman dan kue-kue kering. "Pembantuku cuma satu. Tuh, kamu lihat sendiri, dia sudah ada di depan mata kita!" kata Gina sambil menunjuk ke arah ibu tirinya. Revalina hanya bisa diam dan cukup sabar untuk hal ini. "Oh, begitu rupanya." "Eits, tapi dia pembantu bukan sembarang pembantu. Dia ini Pembantu sekaligus ibu tiri kita. Iya kan, Galih?" Galih pun
"Mas Topan!" Reva menarik tangan suaminya yang telah memberikan tamparan pada sang anak sulung, kini Revalina berdiri diantara ayah dan anak itu. Tatapan Revalina tajam pada sang suami dan Topan yang tajam menatap ke arah putrinya Gina. "Kembali ke kamar kalian!" pinta Topan. Terlihat Gina menyentuh lembut pipinya, dan menatap ke arah Topan. Gina seolah tak percaya bahwa dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya. "Aku benci dengan Ayah!" Gina langsung mengibaskan rambutnya dan pergi dari sana meninggalkan ayah dan juga ibu tirinya. Galih tampak tidak terima dengan apa yang dilakukan sang ayah dan hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun, karena menatap ayahnya dengan kebencian itu sudah cukup mengatakan bahwa Galih juga benci pada ayahnya. Galih ikut di belakang sang kakak sedangkan Revalina, dia masih berada di hadapan suaminya yang baru saja menampar anak gadis itu. "Mas," kata Revalina pelan dan berusaha menenangkan suaminya. Tetapi sa
Revalina berpikir bahwa pernikahannya akan menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk hidup baru yang akan dia tempuh, tapi nyatanya sesuatu yang tidak pernah diduga olehnya telah menjadi mimpi buruk untuknya. Tatapan sinis dia dapatkan saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah baru di mana dia akan menempuh separuh hidupnya di rumah itu. "Sayang, ayo, salaman dulu ke ibu kalian," kata Topan saat dia dan istrinya, Revalina berada di bingkai pintu. Senyum manis ditunjukkan oleh Revalina, tetapi tidak di bibir kedua anaknya. "Kok istri baru Papa, tidak secantik Mama?" Ucapan itu muncul dari mulut putri sulung Topan. Seketika hati Revalina teriris, tetapi masih bisa dibalas dengan senyum tulus oleh dirinya. Revalina melangkah maju, dan dia meraih kedua tangan Gina Wardani, anak sulung Topan, dan Revalina berkata, "Aku memang tak secantik ibumu, dan tidak akan menggantikan posisi ibumu, tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk kalian," ucapnya dengan senyum, mata Revalina m