Revalina berpikir bahwa pernikahannya akan menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk hidup baru yang akan dia tempuh, tapi nyatanya sesuatu yang tidak pernah diduga olehnya telah menjadi mimpi buruk untuknya.
Tatapan sinis dia dapatkan saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah baru di mana dia akan menempuh separuh hidupnya di rumah itu. "Sayang, ayo, salaman dulu ke ibu kalian," kata Topan saat dia dan istrinya, Revalina berada di bingkai pintu. Senyum manis ditunjukkan oleh Revalina, tetapi tidak di bibir kedua anaknya. "Kok istri baru Papa, tidak secantik Mama?" Ucapan itu muncul dari mulut putri sulung Topan. Seketika hati Revalina teriris, tetapi masih bisa dibalas dengan senyum tulus oleh dirinya. Revalina melangkah maju, dan dia meraih kedua tangan Gina Wardani, anak sulung Topan, dan Revalina berkata, "Aku memang tak secantik ibumu, dan tidak akan menggantikan posisi ibumu, tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk kalian," ucapnya dengan senyum, mata Revalina menatap ke arah Gina dan kemudian ke arah Galih, tetapi Gina kemudian menghentakkan tangannya. "Aku tidak butuh ibu baru, adikku juga tidak!" "Gina!" sentak Topan sembari melotot. Gina dengan cepat pergi dari sana dan Galih yang masih berada di sana pun menyahut, "Kakakku benar, Pa. Kami tidak butuh ibu baru, apalagi ...." Bibirnya mendadak diam, wajahnya menampakkan raut muka jijik pada Revalina dan melanjutkan ucapannya dengan berkata, "Apalagi seorang wanita sepertinya, tidak berpendidikan seperti ibu, bagaimana mau merawat kami!" Topan yang mendengar hal itu hanya bisa menghela nafas dan berusaha untuk menenangkan Revalina. Galih sendiri akhirnya pergi dari sana, menyusul sang kakak. "Sayang, aku mohon maafkan sikap anak-anakku yang tidak begitu hangat. Aku janji padamu akan membuatmu merasa nyaman di sini, dan aku yakin bahwa anak-anak ...." "Sudahlah, Mas." Jari Revalina menyentuh lembut bibir Topan, mereka kini saling berhadapan dan mata mereka saling bertatap. Tatapan mata Topan teduh dan mata Revalina indah, mereka tampak serasi walau usia yang membedakan sekitar sepuluh tahun. "Mas tidak perlu banyak menjelaskan, aku paham kok dengan apa kondisi anak-anaknya Mas. Kan mereka juga telah kehilangan ibu mereka, dan kedatangan sosok baru membutuhkan adaptasi." "Aku memang tidak salah pilih dalam memilihmu, Sayang, Mari kita masuk ke kamar kita." Topan mengajak Revalina untuk masuk ke dalam kamar baru mereka dan Revalina melihat kamar indah dengan bunga-bunga hias di dalam sana. Mereka akan melewati malam pertama mereka, mungkin ini akan menjadi malam yang panjang dan yang pertama untuk Revalina. Revalina melepas pakaian Topan yang formal dan menggantinya dengan sebuah pakian biasa, kaos yang ditemukan Revalina di dalam lemari. "Aku akan menyiapkan makan malam untukmu, Mas, lagian ini adalah hari pertamaku di sini, dan aku harus beradaptasi." Saat Revalina mengatakan itu, Topan langsung menarik tangan Revalina dan menjatuhkan tubuh Revalina di pangkuannya. "Apa kau tidak lelah, kita baru saja melaksanakan akad nikah dan kau ... astaga Reva, setidaknya kita istirahat dulu," ucap Topan. Revalina tersenyum, dia melepaskan sanggul rambutnya dan membuat rambut indah itu terurai. Kedua tangan Reva berada di pipi Topan dan mereka kembali saling bertatap. "Mas, aku harus membuat anak-anakmu terkesan padaku. Aku harus memasak, aku harus merawat mereka, dan melakukan apa yang harus seorang ibu lakukan. Aku tahu Mas ... aku mungkin terbilang masih muda bagi Mas, tapi aku akan berusaha untuk menjadi ibu yang baik dan ...." "Iya, iya ... aku yakin kamu bakalan jadi ibu yang baik, sekarang bukan saatnya untuk memasak, ini malam pertama kita loh." Revalina tertawa dan dia berdiri dari pangkuan suaminya. Dia melepas gaun yang dikenakannya tepat di hadapan Topan dan mengenakan gaun biasa setelah itu. "Aku harus masak Mas, jangan sampai anak-anak lapar gara-gara aku nggak masak." Topan tersenyum setelah mendengar apa yang dikatakan sang istri. Akad pernikahan mereka sendiri tidaklah lama dan pesta pernikahannya tidaklah mewah sama sekali, bahkan kedua anak Topan menolak untuk datang ke pernikahan itu. Gina sendiri berusia 17 tahun sedangkan Galih berusia 15 tahun, mereka berada di masa-masa labilnya dan pastilah mereka belum bisa menerima sosok ibu tiri yang terlihat masih muda. Di rumah itu, Topan tinggal hanya dengan kedua anak-anaknya setelah kematian sang istri, Lia. Hal itu membuat Topan merasa kelelahan dan membutuhkan bantuan seorang istri, maka bertemulah dia dengan sosok lembut seperti Revalina yang pada akhirnya dia lamar dan mereka pun menikah. Di dapur, Revalina mengerjakan semua pekerjaannya sendiri, dia memasak sendiri dan membuat Topan begitu terkesan di hari pertama mereka serumah, hingga akhirnya makan malam disiapkan dan berada di meja makan. Topan memanggil anak-anaknya untuk makan malam, dan balasan sang anak tidaklah positif melainkan sangat buruk. Awalnya Gina dan Galih menolak tetapi dipaksa oleh sang ayah dan diancam tidak diberikan uang jajan. Mereka pun akhirnya duduk di kursi makan mereka dan Revalina terlihat menyiapkan makanan di atas piring masing-masing. "Pa, Papa tidak ada niatan buat sewa pembantu baru? Maksud Gina, kan Bi Ida sudah tidak bisa lagi kerja di rumah kita, apalagi dia udah libur satu pekan lamanya," ucap Gina, terlihat Revalina sedang menyiapkan makanan di atas piring Gina. "Bi Ida memang sudah mengajukan pengunduran dirinya sama Papa, jadi mungkin Bi Ida tidak bakalan datang ke rumah lagi," jawab Topan. Sekarang Revalina memberikan makanan di piring Galih. "Ya itu, Pa. Papa harus sewa pembantu baru." Galih menyahut. Kini Revalina sudah menyiapkan makanan untuk setiap piring yang ada di atas meja sehingga dia bisa duduk dan menyiapkan makanannya sendiri. Topan menatap ke arah Revalina dengan senyum. Dirinya sudah bercerita tentang menyewa pembantu dan Revalina memilih untuk mengurus rumah sendirian tanpa bantuan seorang pembantu sama sekali. "Sayang, papa dengan ibu Reva sudah berbicara soal ini, dan kami sepakat untuk tidak menyewa pembantu," kata Topan dengan lembut. "Oh, jadi Papa cuman nikah itu supaya punya pembantu gratis ya, Pa?" ucap Galih. "Oops!" Gina dan Galih saling tertawa lepas. Makanan yang dikunyah oleh Gina seakan ingin keluar dari mulutnya. Sedangkan Revalina hatinya seakan remuk di kursinya dan matanya berkaca-kaca. Reva berusaha untuk menahan air matanya agar tidak menetes di sana. Dan tetap melanjutkan aktivitas makan malamnya. Topan yang mendengar hal itu, langsung emosi dan mengepalkan tangannya, dan dia kini berdiri dari duduknya lalu berkata, "Berdiri kalian!" perintah Topan. Gina dan Galih terkejut dengan suara yang besar dari sang ayah. Gina dan Galih pun berdiri. "Siapa yang mengajari kalian seperti ini! Tidakkah kalian sudah Papa beritahu bahwa Papa akan menikah? Ha!" "Tapi Pa ...." "Jangan potong ucapan Papa!" "Mas ...." "Diam Reva! Saya sedang bicara dengan anak-anak yang tidak tahu diuntung ini!" Mata Gina berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan sang ayah. Ini adalah kali pertama ayahnya mengatakan hal buruk padanya. Gina menatap ke arah Revalina dan berkata, "Lihat! Lihat apa yang telah kamu lakukan pada kami? Kamu membuat hubungan aku dan Papa jadi begini!" "Gina!" sentak Topan. "Dia ingin menjadi ibu tiri hanya untuk mengambil harta papa saja, kan?" kata Gina sembari menunjuk ke arah Reva. Saking emosinya, Topan melangkah cepat dan berjalan menuju ke arah Gina, lalu dia menarik bahu putrinya dan ... Prak! Tamparan panas diberikan Topan pada putrinya."Mas Topan!" Reva menarik tangan suaminya yang telah memberikan tamparan pada sang anak sulung, kini Revalina berdiri diantara ayah dan anak itu. Tatapan Revalina tajam pada sang suami dan Topan yang tajam menatap ke arah putrinya Gina. "Kembali ke kamar kalian!" pinta Topan. Terlihat Gina menyentuh lembut pipinya, dan menatap ke arah Topan. Gina seolah tak percaya bahwa dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya. "Aku benci dengan Ayah!" Gina langsung mengibaskan rambutnya dan pergi dari sana meninggalkan ayah dan juga ibu tirinya. Galih tampak tidak terima dengan apa yang dilakukan sang ayah dan hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun, karena menatap ayahnya dengan kebencian itu sudah cukup mengatakan bahwa Galih juga benci pada ayahnya. Galih ikut di belakang sang kakak sedangkan Revalina, dia masih berada di hadapan suaminya yang baru saja menampar anak gadis itu. "Mas," kata Revalina pelan dan berusaha menenangkan suaminya. Tetapi sa
Revalina diperlakukan layaknya pembantu di rumah itu oleh anak-anak Topan yang membawa teman-temannya masuk ke dalam rumah. Mereka melakukan kerusuhan, memerintah Revalina, menyuruh-nyuruh dan sesekali menghina Revalina. Dan dia harus keluar masuk kamar Gina dan Galih, serta membersihkan tiap ruangan hampir beberapa kali tanpa jeda. Meskipun usia mereka tidak sama dan beda kelas, tapi perlakuan terhadap Revalina sangat tidak pantas. "Pembantu yang lainnya mana, Gina? Dari tadi yang kulihat hanya dia saja," tanya salah satu teman Gina yang menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara di sana masih ada Revalina yang menaruh minuman dan kue-kue kering. "Pembantuku cuma satu. Tuh, kamu lihat sendiri, dia sudah ada di depan mata kita!" kata Gina sambil menunjuk ke arah ibu tirinya. Revalina hanya bisa diam dan cukup sabar untuk hal ini. "Oh, begitu rupanya." "Eits, tapi dia pembantu bukan sembarang pembantu. Dia ini Pembantu sekaligus ibu tiri kita. Iya kan, Galih?" Galih pun
Ucapan Rindu membuat Topan tersadar bahwa dirinya tidak pantas memakaikan sabuk pengaman itu untuk wanita lain, selain istrinya sendiri. Dia merasa malu karena membuat Rindu salah paham atas sikapnya itu. Topan segera menghentikan aktivitasnya dan meminta maaf kepada Rindu."Maaf, seharusnya aku tidak melakukan ini. Nanti akan kuperbaiki sabuk pengamannya secepat mungkin," kata Topan dengan rasa penyesalan. Rindu tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kok."Dia mencoba mengerti atas apa yang diucapkan Topan. Dia pikir, Topan salah tingkah terhadap dirinya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan perasaan kaku dan hening. Tidak seperti layaknya teman kerja biasa. Setibanya di kantor, Rindu langsung keluar dari mobil dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada Topan. Dia harus segera masuk karena acara rapat di kantor akan segera dilaksanakan. "Mas, aku masuk duluan, ya. Sepertinya rapat akan segera dimulai," kata Rindu de
Wisnu mengernyitkan alisnya, "Memangnya selama ini kamu tidak tahu kalau Topan sudah menikah lagi?" "Tidak!" kata Rindu dengan suara bergetar dan terlihat syok. "Aku tidak pernah tahu soal itu. Memangnya, kapan dia menikah?" tanya Rindu sedikit kecewa. "Dua Minggu yang lalu," kata Wisnu dengan cepat. "Terus, kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?" tanya Rindu lagi sedikit menyentak. Hatinya sudah remuk dan patah setelah mendengar Topan sudah menikah lagi. "Aku juga tidak menyangka dia akan menikah lagi. Padahal, dulu bilangnya belum ada niat untuk menikah, tapi sekarang—" Belum juga Wisnu selesai bicara, Rindu langsung menyelanya, "Sudahlah, aku pergi dulu!" Rindu merasa marah dan sedih saat Wisnu memberitahunya bahwa Topan, telah menikah dua minggu yang lalu. Rindu merasa terluka karena tidak pernah mengetahui bahwa Topan telah memiliki kekasih dan memutuskan untuk menikah. Wisnu mencoba menjelaskan bahwa dia tidak bisa memberitahu Rindu karena saat itu dirinya sedang berada di
Rindu, memang wanita yang tidak tahu malu. Segala cara untuk mendapatkan hati Topan sudah ia lakukan, tapi ternyata Topan malah memilih Reva untuk dijadikan istrinya. Rasa iri dan cemburu semakin memuncak apalagi setelah melihat penampilan Reva yang biasa saja. Ya, Reva memang tidak secantik Rindu, tapi untuk soal perilaku, dia memiliki hati yang tulus nan suci, tidak seperti watak yang dimiliki Rindu. Sehingga, ini menjadi salah satu keinginan Topan untuk menikahinya. "Mas, pekerjaanmu kan belum selesai. Sekalian ajak mbak Rindu ke kantor, satu kantor ini kan," kata Reva sambil tersenyum. Dalam hatinya memang kesal pada wanita itu, tapi Reva harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Cemburu wajar, karena ini menyangkut masalah hati. "Tapi ...." Belum juga Topan selesai bicara, Gina langsung menyelanya, "Sudah, cepat berangkat, Pa. Nanti keburu hujan!" Topan mengangguk dan melirik ke arah Rindu, "Baiklah, ayo berangkat." Rindu merasa senang dalam situasi ini. Tapi dia b
Rindu menatap wanita paruh baya itu dengan mata yang membelalak, hatinya dilanda kebingungan dan kecemasan. "Tante Siska? Apa yang dia lakukan di sini?" batinnya. Tentu saja, Rindu tahu siapa wanita itu. Bu Siska adalah ibu dari Topan, seorang wanita berusia sekitar 58 tahun yang selalu ingin dihormati banyak orang. Tapi entah kenapa dia terlihat begitu kerepotan sendirian. Biasanya, kalau mau berpergian, Bu Siska pasti menyuruh Topan untuk mengantarkannya. Atau jika dirinya ingin bertemu dengan sang cucu, Topan selalu menjemputnya. Mobil taksi yang Rindu tumpangi semakin mendekat ke arah Bu Siska, membuat Rindu merasakan kegelisahan dan tak sabar ingin segera menghampirinya. Tanpa pikir panjang, Rindu segera menyuruh sopir taksi untuk berhenti. Ia buru-buru keluar dari mobil untuk menghampiri Bu Siska yang berdiri di tepi jalan. “Tante! Apa yang terjadi? Kenapa Tante di sini sendirian?” tanya Rindu pura-pura merasa khawatir, padahal di dalam hatinya ada niat untuk mencari perh
Reva menelan ludah, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih di dalam hatinya. Namun, dia tahu kalau melawan ibu mertuanya di depan Rindu hanya akan memperburuk keadaan. Sementara itu, Rindu tersenyum sinis, merasa puas melihat Reva dalam posisi serba salah. "Ma-maaf, saya hanya ...." “Kamu bahkan tidak tahu siapa aku! Sejak kamu muncul di rumah ini, Topan jadi makin jarang mengunjungiku,” ujar Bu Siska dengan nada kesal.“Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Ibu adalah ibunya Topan,” jawab Reva lirih. Andai saja seluruh keluarga Topan hadir saat pernikahannya dulu, tentu ia bisa mengenal mereka dengan baik. Namun, hanya pamannya yang hadir, dan saat itu Reva tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kini situasinya terasa begitu rumit baginya.“Jangan panggil aku ibu. Kau tidak pantas menjadi menantuku!” tegas Bu Siska dengan tatapan tajam.“Lucu sekali ya, menikah dengan anaknya, tapi tidak kenal dengan ibunya. Sudahlah, jangan berpura-pura. Lebih baik kamu minggir. Kami mau masuk,” sindi
Reva menelan ludah, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih di dalam hatinya. Namun, dia tahu kalau melawan ibu mertuanya di depan Rindu hanya akan memperburuk keadaan. Sementara itu, Rindu tersenyum sinis, merasa puas melihat Reva dalam posisi serba salah. "Ma-maaf, saya hanya ...." “Kamu bahkan tidak tahu siapa aku! Sejak kamu muncul di rumah ini, Topan jadi makin jarang mengunjungiku,” ujar Bu Siska dengan nada kesal.“Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Ibu adalah ibunya Topan,” jawab Reva lirih. Andai saja seluruh keluarga Topan hadir saat pernikahannya dulu, tentu ia bisa mengenal mereka dengan baik. Namun, hanya pamannya yang hadir, dan saat itu Reva tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kini situasinya terasa begitu rumit baginya.“Jangan panggil aku ibu. Kau tidak pantas menjadi menantuku!” tegas Bu Siska dengan tatapan tajam.“Lucu sekali ya, menikah dengan anaknya, tapi tidak kenal dengan ibunya. Sudahlah, jangan berpura-pura. Lebih baik kamu minggir. Kami mau masuk,” sindi
Rindu menatap wanita paruh baya itu dengan mata yang membelalak, hatinya dilanda kebingungan dan kecemasan. "Tante Siska? Apa yang dia lakukan di sini?" batinnya. Tentu saja, Rindu tahu siapa wanita itu. Bu Siska adalah ibu dari Topan, seorang wanita berusia sekitar 58 tahun yang selalu ingin dihormati banyak orang. Tapi entah kenapa dia terlihat begitu kerepotan sendirian. Biasanya, kalau mau berpergian, Bu Siska pasti menyuruh Topan untuk mengantarkannya. Atau jika dirinya ingin bertemu dengan sang cucu, Topan selalu menjemputnya. Mobil taksi yang Rindu tumpangi semakin mendekat ke arah Bu Siska, membuat Rindu merasakan kegelisahan dan tak sabar ingin segera menghampirinya. Tanpa pikir panjang, Rindu segera menyuruh sopir taksi untuk berhenti. Ia buru-buru keluar dari mobil untuk menghampiri Bu Siska yang berdiri di tepi jalan. “Tante! Apa yang terjadi? Kenapa Tante di sini sendirian?” tanya Rindu pura-pura merasa khawatir, padahal di dalam hatinya ada niat untuk mencari perh
Rindu, memang wanita yang tidak tahu malu. Segala cara untuk mendapatkan hati Topan sudah ia lakukan, tapi ternyata Topan malah memilih Reva untuk dijadikan istrinya. Rasa iri dan cemburu semakin memuncak apalagi setelah melihat penampilan Reva yang biasa saja. Ya, Reva memang tidak secantik Rindu, tapi untuk soal perilaku, dia memiliki hati yang tulus nan suci, tidak seperti watak yang dimiliki Rindu. Sehingga, ini menjadi salah satu keinginan Topan untuk menikahinya. "Mas, pekerjaanmu kan belum selesai. Sekalian ajak mbak Rindu ke kantor, satu kantor ini kan," kata Reva sambil tersenyum. Dalam hatinya memang kesal pada wanita itu, tapi Reva harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Cemburu wajar, karena ini menyangkut masalah hati. "Tapi ...." Belum juga Topan selesai bicara, Gina langsung menyelanya, "Sudah, cepat berangkat, Pa. Nanti keburu hujan!" Topan mengangguk dan melirik ke arah Rindu, "Baiklah, ayo berangkat." Rindu merasa senang dalam situasi ini. Tapi dia b
Wisnu mengernyitkan alisnya, "Memangnya selama ini kamu tidak tahu kalau Topan sudah menikah lagi?" "Tidak!" kata Rindu dengan suara bergetar dan terlihat syok. "Aku tidak pernah tahu soal itu. Memangnya, kapan dia menikah?" tanya Rindu sedikit kecewa. "Dua Minggu yang lalu," kata Wisnu dengan cepat. "Terus, kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?" tanya Rindu lagi sedikit menyentak. Hatinya sudah remuk dan patah setelah mendengar Topan sudah menikah lagi. "Aku juga tidak menyangka dia akan menikah lagi. Padahal, dulu bilangnya belum ada niat untuk menikah, tapi sekarang—" Belum juga Wisnu selesai bicara, Rindu langsung menyelanya, "Sudahlah, aku pergi dulu!" Rindu merasa marah dan sedih saat Wisnu memberitahunya bahwa Topan, telah menikah dua minggu yang lalu. Rindu merasa terluka karena tidak pernah mengetahui bahwa Topan telah memiliki kekasih dan memutuskan untuk menikah. Wisnu mencoba menjelaskan bahwa dia tidak bisa memberitahu Rindu karena saat itu dirinya sedang berada di
Ucapan Rindu membuat Topan tersadar bahwa dirinya tidak pantas memakaikan sabuk pengaman itu untuk wanita lain, selain istrinya sendiri. Dia merasa malu karena membuat Rindu salah paham atas sikapnya itu. Topan segera menghentikan aktivitasnya dan meminta maaf kepada Rindu."Maaf, seharusnya aku tidak melakukan ini. Nanti akan kuperbaiki sabuk pengamannya secepat mungkin," kata Topan dengan rasa penyesalan. Rindu tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kok."Dia mencoba mengerti atas apa yang diucapkan Topan. Dia pikir, Topan salah tingkah terhadap dirinya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan perasaan kaku dan hening. Tidak seperti layaknya teman kerja biasa. Setibanya di kantor, Rindu langsung keluar dari mobil dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada Topan. Dia harus segera masuk karena acara rapat di kantor akan segera dilaksanakan. "Mas, aku masuk duluan, ya. Sepertinya rapat akan segera dimulai," kata Rindu de
Revalina diperlakukan layaknya pembantu di rumah itu oleh anak-anak Topan yang membawa teman-temannya masuk ke dalam rumah. Mereka melakukan kerusuhan, memerintah Revalina, menyuruh-nyuruh dan sesekali menghina Revalina. Dan dia harus keluar masuk kamar Gina dan Galih, serta membersihkan tiap ruangan hampir beberapa kali tanpa jeda. Meskipun usia mereka tidak sama dan beda kelas, tapi perlakuan terhadap Revalina sangat tidak pantas. "Pembantu yang lainnya mana, Gina? Dari tadi yang kulihat hanya dia saja," tanya salah satu teman Gina yang menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara di sana masih ada Revalina yang menaruh minuman dan kue-kue kering. "Pembantuku cuma satu. Tuh, kamu lihat sendiri, dia sudah ada di depan mata kita!" kata Gina sambil menunjuk ke arah ibu tirinya. Revalina hanya bisa diam dan cukup sabar untuk hal ini. "Oh, begitu rupanya." "Eits, tapi dia pembantu bukan sembarang pembantu. Dia ini Pembantu sekaligus ibu tiri kita. Iya kan, Galih?" Galih pun
"Mas Topan!" Reva menarik tangan suaminya yang telah memberikan tamparan pada sang anak sulung, kini Revalina berdiri diantara ayah dan anak itu. Tatapan Revalina tajam pada sang suami dan Topan yang tajam menatap ke arah putrinya Gina. "Kembali ke kamar kalian!" pinta Topan. Terlihat Gina menyentuh lembut pipinya, dan menatap ke arah Topan. Gina seolah tak percaya bahwa dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya. "Aku benci dengan Ayah!" Gina langsung mengibaskan rambutnya dan pergi dari sana meninggalkan ayah dan juga ibu tirinya. Galih tampak tidak terima dengan apa yang dilakukan sang ayah dan hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun, karena menatap ayahnya dengan kebencian itu sudah cukup mengatakan bahwa Galih juga benci pada ayahnya. Galih ikut di belakang sang kakak sedangkan Revalina, dia masih berada di hadapan suaminya yang baru saja menampar anak gadis itu. "Mas," kata Revalina pelan dan berusaha menenangkan suaminya. Tetapi sa
Revalina berpikir bahwa pernikahannya akan menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk hidup baru yang akan dia tempuh, tapi nyatanya sesuatu yang tidak pernah diduga olehnya telah menjadi mimpi buruk untuknya. Tatapan sinis dia dapatkan saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah baru di mana dia akan menempuh separuh hidupnya di rumah itu. "Sayang, ayo, salaman dulu ke ibu kalian," kata Topan saat dia dan istrinya, Revalina berada di bingkai pintu. Senyum manis ditunjukkan oleh Revalina, tetapi tidak di bibir kedua anaknya. "Kok istri baru Papa, tidak secantik Mama?" Ucapan itu muncul dari mulut putri sulung Topan. Seketika hati Revalina teriris, tetapi masih bisa dibalas dengan senyum tulus oleh dirinya. Revalina melangkah maju, dan dia meraih kedua tangan Gina Wardani, anak sulung Topan, dan Revalina berkata, "Aku memang tak secantik ibumu, dan tidak akan menggantikan posisi ibumu, tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk kalian," ucapnya dengan senyum, mata Revalina m