Maura duduk di salah satu bangku taman Rumah Sakit, mengamati beberapa pasien sedang duduk menikmati udara senja yang mulai dingin. Ada juga perawat dan dokter yang sibuk lalu lalang tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.
Maura menghela napas perlahan, mengisi paru-parunya dengan udara hingga penuh lalu mengembuskannya cepat, membuang sesak yang menghimpit dadanya. Namun, usahanya sia-sia. Dadanya masih saja sesak mengingat bagaimana Vivian tersenyum ke arahnya tadi.
“Kenapa duduk di sini? Mana Yuki dan Rangga?”
Maura menengok ke arah suara yang menyapanya. “Tidak ada, hanya mencari udara segar, di dalam terlalu menyesakkan.”
Reno duduk di samping Maura. “Maaf,” ujarnya singkat.
“Untuk?”
“Rangga mengirim pesan padaku, menceritakan bagaimana Vivian berulah dengan memanfaatkan Yuki lagi.”
Maura berdecih lirih. “Aku melakukan ini untuk Yuki. Tapi, apa kau tahu? Dadaku t
Rangga hanya bisa mengepalkan tangan sekuat tenaga agar tidak menyakiti Vivian. Beruntung Vivian adalah seorang wanita, andaikan dia pria, mungkin saat ini Rangga sudah memukulnya hingga babak belur. Melihat Vivian mengkerut seperti plastik terbakar, Rangga menegakkan punggungnya untuk mengurangi ketegangan antara mereka.“Apa yang ada dalam otakmu hingga merencanakan semua ini? Kalian sungguh manusia tidak berperasaan. Apa pernah kau pikirkan perasaan Yuki?!” Rangga menunjuk Vivian kesal, sebelum akhirnya mengibaskan tangannya kasar ke udara.“Ini adalah rencanaku dan Damian agar bisa mendapatkan uang darimu untuk menyelamatkan perusahaannya,” aku Vivian lemah. “Damian yang menyuruhku melakukannya agar dia tidak menceraikanku.” Vivian mulai terisak.“Sejak dia tahu aku sakit, dia melihatku tak lebih dari beban hidup yang segera ingin dia singkirkan. Bahkan dia sengaja mengaku bahwa dia telah lama berselingkuh dariku aga
Maura bangun di pagi hari dengan sekujur tubuh penuh tanda merah dan lemas, tulangnya seperti terlepas dari sendi. Setelah mendapatkan kamar, alih-alih menjawab pertanyaan Maura, Rangga malah membawanya berulang kali jatuh dan melambung dalam gulungan cinta. Pria itu seperti menemukan hidangan lengkap setelah lama berpuasa, rakus dan ganas.Maura menggeser perlahan tubuhnya menyamping menghadap Rangga. Pria itu masih lelap dalam buaian mimpi dengan mata dan bibir terkatup rapat.“Apa yang terjadi antara kalian setelah aku pergi?” bisik Maura seraya membelai rambut suaminya yang berantakan. “Aku merasakan amarah dalam setiap sentuhanmu.”Sentuhan Maura turun ke hidung dengan tulang tinggi dan sedikit bengkok di bagian tengah, membuat pemiliknya mengerjap karena gatal.Wajah Rangga mengkerut, matanya memicing menghalau sinar mentari yang menusuk pupilnya. “Sudah bangun?” sapa Rangga dengan suara berat dan serak. “Ke
[Rangga, kamu harus tolong Papa. Di sini ada dua orang polisi yang akan membawa Papa untuk diperiksa.]“Pa, Papa tenang dulu. Biar aku yang selesaikan. Papa ikuti saja proses pemeriksaannya, kami pulang ke Jakarta sekarang.”Rangga menatap Maura yang sedang meremas jari dan menggigit bibir bawahnya dengan raut wajah khawatir. “Ra, kita makan dulu.” Rangga menarik tangan Maura agar mengikutinya.“Bagaimana aku bisa makan dalam kondisi seperti ini? Pasti sekarang Papa sudah masuk ke dalam mobil polisi dengan tangan diborgol.” Maura mengibaskan tangannya. “Aku harus melihat beritanya.”Rangga lebih dulu meraih remote TV dan melemparkannya ke sembarang tempat.“Kak!”“Tidak ada gunanya melihat berita saat kita masih jauh dari Jakarta. Ayo, kita makan dulu.” Rangga mendorong bahu Maura, mengarahkannya ke meja makan. “Saat ini bukan hanya Papa Armand yang butuh
Kediaman Danutirta, JakartaKedatangan Maura dan Reno sudah dinantikan. Alina yang pertama kali muncul di ambang pintu menyambut suami barunya dengan mata basah. Wanita cantik itu segera berlari menghambur dalam pelukan Reno saat melihat pria yang sedang tersandung kasus itu keluar dari taksi.“Hei, apa kau terlalu merindukanku?” gurau Reno kala menyadari Alina menangis dalam dekapannya.“Kalian masuklah dulu.” Hanna melambaikan tangan menyuruh dua menantunya segera masuk. “Yun, bawa Yuki ke kamar.”“Apa yang terjadi, Ren?” tanya Galih saat mereka semua sudah berkumpul di ruang baca. “Dalam laporanmu, tidak ada yang janggal. Kenapa bisa ada celah?”“Dolfin masih menyelidiki, Pa. Sebentar lagi, Reno akan ke kantor Orion untuk memeriksa sendiri keadaannya.”“Sebelum kamu ke sana, ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu.”Reno dan Maura saling pandang seje
Rumah Sakit Kanker, SingapuraVivian mulai jengah melihat Rangga yang sejak satu jam lalu hanya mondar-mandir di dalam kamar atau berdiri mematung menghadap jendela besar dengan kedua tangan berada di dalam saku. Awalnya Vivian tidak ambil pusing selama Rangga ada bersamanya. Namun, lama-kelamaan kepalanya mulai pening melihat tingkah pria itu yang tidak menghiraukan keberadaannya.“Ra-Rangga,” panggil Vivian lirih.Rangga hanya menoleh dari tempatnya berdiri tanpa repot mendekat. “Ada apa?” tanya Rangga dengan suara dingin.“Aku haus.”Dengusan kesal terdengar dari bibir Rangga sebelum pria itu berjalan malas mendekati nakas dan meraih sebotol air dengan sedotan di dalamnya. “Nih.” Rangga menyodorkan botol air seolah Vivian bisa melakukannya sendiri.“Tolong,” pinta Vivian lagi seraya membuka maskernya.Dengan muka masam dan gerakan kasar, Rangga duduk di samping Vivian dan
Maura sedang berada di dalam gudang penyimpanan bersama Rita, asisten koki yang bertanggung jawab atas keluar masuk barang di dalam gudang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.“Rita, bukankah kita sudah lima tahun lebih beralih pada bahan makanan organik? Kenapa bisa ada makanan kaleng? Kadaluarsa lagi! Lalu ini apa? Jamur truffle enam ons raib tanpa ada rinciannya.” Maura benar-benar marah kali ini. Buku stok gudang dilemparnya ke atas meja.“Ma-maaf, Bu. Saya kurang tahu. Satu minggu ini saya cuti karena menikah. Hari ini baru pertama kali saya masuk kerja lagi,” jawab Rita ketakutan.“Siapa yang bertanggung jawab tentang stok gudang selama kamu cuti?!”“Chef Hans yang turun langsung memeriksa selama saya tidak ada.”“Paman Hans?” ulang Maura memastikan. Ia teringat sikap aneh Hans saat bertemu dengannya tadi. “Ya, sudah. Kamu bisa pergi.”Maura meraih ponsel
Hans dibawa masuk ke dalam ruangan yang berisi tiga pria kekar lainnya, makin takutlah dia. Picollo mendudukkan Hans di sebuah kursi yang ditempatkan di tengah ruangan. Pria paruh baya itu mulai gelisah dan terus memberontak.“Diam!” bentak Picollo.“Tenang, Pic. Biarkan Maura yang bertindak.” Reno menegur sikap Picollo yang dinilainya terlalu kasar.“Maura, to-tolong lepaskan Paman. Su-sungguh, Paman tidak tahu a-apa yang sedang terjadi,” gagap Hans ketakutan.“Paman, aku hanya ingin Paman menjawab beberapa pertanyaan dariku.” Maura menarik sebuah kursi lain dan menempatkannya di depan Hans. “Hans Suroso yang aku kenal adalah seorang koki yang jujur dan tekun. Sedang yang aku temui hari ini, tidak menggambarkan Paman Hans yang aku kenal. Ada apa ini, Paman?”Hans tahu, cepat atau lambat semua ini akan terbongkar. Selama dua tahun Maura bergabung dengan Orion, sudah terkenal bahwa gadis mu
Kamar Hotel Singapura Di ranjang ukuran besar dengan sprei putih khas kamar hotel, Rangga meregangkan otot punggungnya yang terasa kaku. Dua hari tidur tanpa Maura di sisinya, membuat hatinya dingin. Begitu besar pengaruh wanita mungil itu dalam kehidupan Rangga. Setelah menghabiskan waktu duduk diam di taman Rumah Sakit, Rangga memutuskan untuk kembali ke hotel. Ia butuh mengistirahatkan tubuhnya, terlebih mentalnya. Berdua dengan Vivian dalam satu ruangan membuat dadanya seperti terhimpit. Sebelum meninggalkan Rumah Sakit, Rangga menyempatkan diri menemui Allen dan meminta penjelasan tentang kondisi Vivian. Rencananya, besok siang Rangga akan terbang ke Jakarta untuk membantu Reno menyelesaikan masalah. Namun, kata-kata Allen membuatnya ragu. “Tubuhnya tidak merespon transfusi, dapat dilihat dari jumlah leukosit yang terus meningkat sedangkan sel darah merahnya terus turun. Kami masih usahakan berbagai cara untuk menyelamatkannya.” Begitu kata Allen
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s