Kamar Hotel
“Da-dalang dibalik ini semua, Kak Anggi?” Maura menatap Rangga yang terus saja mengulas senyum sejak dua wanita itu masuk ke dalam
“Picollo, tunjukkan pada Nyonya Ranggapati buktinya.”
Pria muda dengan kulit kecokelatan yang menarik, maju menghampiri Maura dan menyerahkan gawainya. “Ini adalah rekaman CCTV hotel.”
Evan mendekat, berdiri di sebelah Maura. Ia juga merasa penasaran dengan semua yang terjadi. Maura memicing dan melebarkan matanya bergantian saat melihat rekaman CCTV hingga akhirnya mendongak menatap Anggita.
“Apa maksudmu melakukan tindakan sampai sejauh ini?”
“Apa? Bukan aku yang terekam dalam CCTV. Coba kamu tanyakan saja pada Nurul. Mungkin dia juga punya dendam padamu,” jawab Anggita asal.
Nurul terkejut mendengar jawaban Anggi yang memojokkannya. Namun, dia harus melanjutkan permainan sesuai kesepakatan awal.
“Dendam? Baru hari ini a
“Oke, satu sudah selesai. Tersisa satu lagi yang paling susah dijauhkan.” Rangga menghampiri Evan dengan wajah dingin dan kaku khas miliknya. “Dengan sisa kesabaran yang aku punya, aku katakan padamu. Jauhi istriku!” ucap Rangga tegas.“Tapi—.”Telapak tangan Rangga terangkat ke atas. “Tidak ada tapi. Aku tidak akan segan—.”“Kak!” seruan Maura menghentikan ancaman Rangga. “Tolong, jangan lakukan apapun padanya.” Maura mengucap permintaan dengan sorot mata penuh ancaman.Rangga balas menatap Maura dengan tajam dan mengabaikan permintaannya. “Aku tidak akan segan mengurung Maura agar tidak dapat kau lihat sosoknya, bahkan bayangannya.”Ponsel di tangan kirinya kembali bergetar, memunculkan nama Hanna di layar. Pasti ibunya itu sudah cemas mencarinya. Rangga mengulurkan tangannya ke arah Maura dan mengisyaratkan wanita itu untuk segera ikut bersamanya.
Tempat Resepsi, Hall Hotel Rangga dan Maura berjalan beriringan menuju tempat resepsi. Ruangan luas itu hampir kosong. Tersisa beberapa orang tamu undangan yang masih bertahan di tempatnya sekedar untuk selfie bersama pengantin. Alina segera menekuk wajahnya saat matanya menangkap sosok dua orang yang sejak datang tadi tidak sekalipun menyapanya. Pengantin cantik itu berbisik sejenak pada tamunya dan berbalik cepat kembali ke samping suaminya. “Rangga.” Galih melambaikan tangannya, meminta Rangga mendekat. “Ya, Pa.” “Kamu tahu betul ini hari bahagia Alina, kenapa bisa mengecewakan begini, sih?!” “Maaf, Pa. Ada sedikit masalah di atas.” Rangga berusaha menutupi apa yang barusan terjadi. “Penculikan Maura? Siapa yang melakukannya kali ini?” tanya Galih pada putranya. Melihat Rangga tidak berniat memberinya jawaban, Galih pun berkata, “Kita bahas nanti di rumah. Sekarang kamu temui Eyang dulu, bawa Maura bersamamu. Dia ad
[Anak Haram Pebisnis Muda Ranggapati] Judul berita dari salah satu surat kabar elektronik itu membuat Rangga ingin melempar ponsel di tangannya. Namun, Rangga berusaha meredam amarahnya dan membaca keseluruhan berita karena terkadang, judul dan isi berita tidak sejalan. “Siapa yang berani menulis berita beginian?!” “Eyang yang seharusnya bertanya padamu. Bagaimana bisa muncul berita begituan?” Maura memegang pergelangan tangan Rangga yang memegang ponsel dan mengambil alih benda itu dari tangan Rangga sebelum pecah dan rusak. Fotonya sedang duduk di kursi roda sambil menggandengan tangan kecil Yuki menjadi pendukung judul berita. “Ini foto kita tadi pagi di teras hotel, Kak.” “Jadi ini yang Anggi maksud saat memintaku menunggu pembalasan darinya?” “Anggita? Apa hubungannya semua ini dengan Anggi?” tanya Jelita penasaran. “Wanita itu—.” Tap. Maura memegang tangan Rangga, menghentikannya bicara. “Boleh aku
“Apa sudah kamu persiapkan dengan matang? Aku tidak mau rencana kita gagal. Kerugian tidak hanya di pihakmu, tapi keluargaku juga jadi jaminannya.” [Tenang saja. Riak-riak kecil sudah berhasil mengalihkan perhatian Ranggapati dari gelombang besar yang akan menghantam perusahaannya.] “Kapan kita bisa mulai bergerak?” [Jangan gegabah. Vivian dan Anggita sudah membuktikan bahwa sikap tak sabar hanya membawa kegagalan.] “Baiklah, aku serahkan semuanya padamu. Sebaiknya kita tidak sering berhubungan. Aku khawatir anak buah Rangga bisa menemukan jejak kita.” [Oke. Selanjutnya kita komunikasi lewat surel.] Sambungan telepon diakhiri. **** Maura sedang sibuk menenangkan Yuki ketika Rangga kembali. “Sayang, ada apa dengannya?” Maura berpaling menatap Rangga. “Kak, Yuki mendengar percakapan kami tentang perceraian Vivian dan Damian,” lirih Maura penuh sesal. “Panda, apa benar yang dikatakan Bunda? Apa mere
Maura terus meronta dan berteriak histeris dalam pelukan Rangga. Dalam penglihatannya sekarang, dokter dan perawat sedang mengelilingi ranjang mamanya, bersiap melepaskan semua alat medis yang membantu mamanya tetap bernapas. “Maura, tenangkan dirimu. Itu hanya ilusi, tidak nyata. Ayo, sebaiknya kita pulang. Kamu butuh suasana yang tenang.” Rangga memapah Maura yang hampir tak sanggup melangkah. Rangga tahu, keputusannya mengantar Maura pulang akan membuat pengantin wanita marah besar. Namun, ini adalah keputusan yang terbaik untuk Maura dan calon bayinya saat ini. Sepanjang perjalanan, Rangga memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi kemarahan Alina nanti malam. **** Kediaman Danutirta Malam ini, hanya tersisa keluarga inti Galih Danutirta dan Jelita yang di meja makan. Semua sudah selesai menghabiskan makanan dalam piringnya masing-masing, tapi belum ada yang beranjak dari meja makan. Alina yang pertama kali berdiri dan mendorong kursinya d
Setelah sarapan, semua berkumpul di ruang tengah, menunggu Eyang memulai percakapan. Selama beberapa saat, suasana hening. “Hhh,” desah Jelita sebelum mulai bicara. “Eyang sudah pelajari semuanya semalam. Pasti kalian juga sudah paham situasinya. Riak-riak kecil ini, hanya untuk mengalihkan perhatian kita dari gelombang besar yang akan menghantam keluarga kita. Betul begitu?” Galih dan Rangga kompak mengangguk. “Baik, kita tunggu saja gelombang datang sambil kita siapkan diri. Maura, Reno, apapun yang terjadi nanti, jangan lupakan bahwa kalian sekarang adalah anggota keluarga Danutirta. Keluarga ini lebih penting dari urusan pribadi kalian. Mengerti?” Reno segera mengangguk, beda dengan Maura yang masih mencerna kalimat Jelita. “Maksud Eyang, kalaupun nanti gelombang besar yang datang itu berasal dari keluargamu, Eyang harap kamu bertindak layaknya Danutirta yang lain. Tidak memihak yang salah.” Maura masih bergeming. ‘Apa mungkin papa
“Hai, Om!” sapa Damian girang. Pria itu balas melambai dan tersenyum melihat sekutunya telah datang. “Maaf, jalanan agak macet. Mau langsung ke hotel atau jalan-jalan dulu kita?” “Langsung ke hotel saja. Antisipasi kalau anak buah Rangga melihat kita bersama, bisa gagal rencana kita menghancurkannya,” jawab Damian seraya melemparkan tatapan tidak suka dengan usulan sekutunya. “Ya, ya, kamu benar. Kita ke hotel dulu mematangkan rencana, baru setelah itu kamu bisa langsung beraksi.” Pria itu menepuk bahu Damian dan mengajaknya berjalan bersama. Damian melepaskan bahunya dengan kasar. “Sikap ceroboh seperti ini yang akan menghancurkan rencanaku. Om jalan duluan, aku ikuti dari belakang!” sinis Damian tanpa berusaha menyembunyikannya. **** Kediaman Danutirta “Apa semua sudah siap?” tanya Rangga saat melihat Maura menuruni tangga seraya menggandeng tangan Yuki. “Ya, kami siap.” Yuki menjawab dengan antusias. “Al! Ren
“Hai, Rangga. Long time no see,” sapa Damian seraya mengulurkan tangannya.Rangga menyentuh tangan pria itu sekilas, sama sekali tidak berniat untuk berjabatan. “Untuk apa kamu datang?”“Well, i miss Yuki so much. Bisa saya ketemu dia?” tanya Damian dengan gaya menyebalkan.Reno maju melewati Rangga bermaksud memukul mulut tengil Damian, namun lengan Rangga dengan cepat mencekalnya.“Tahan! Ada Eyang dan Papa di dalam,” bisik Rangga lirih. “Maaf, kedatanganmu hari ini terpaksa harus menanggung kecewa. Yuki dan adikku sudah terbang ke Singapura pagi tadi. Kau bisa menyusulnya ke sana.”“Wah, sayang sekali. Kapan Yuki akan kembali? Kalian tidak akan mungkin membiarkannya tinggal lama bersama Vivian, bukan?”Damian tidak sedikit pun mengesankan bahwa dia kehilangan Yuki. Ekspresi dan nada bicaranya begitu tenang, tidak menunjukkan kesedihan karena telah di