“Hai, Rangga. Long time no see,” sapa Damian seraya mengulurkan tangannya.
Rangga menyentuh tangan pria itu sekilas, sama sekali tidak berniat untuk berjabatan. “Untuk apa kamu datang?”
“Well, i miss Yuki so much. Bisa saya ketemu dia?” tanya Damian dengan gaya menyebalkan.
Reno maju melewati Rangga bermaksud memukul mulut tengil Damian, namun lengan Rangga dengan cepat mencekalnya.
“Tahan! Ada Eyang dan Papa di dalam,” bisik Rangga lirih. “Maaf, kedatanganmu hari ini terpaksa harus menanggung kecewa. Yuki dan adikku sudah terbang ke Singapura pagi tadi. Kau bisa menyusulnya ke sana.”
“Wah, sayang sekali. Kapan Yuki akan kembali? Kalian tidak akan mungkin membiarkannya tinggal lama bersama Vivian, bukan?”
Damian tidak sedikit pun mengesankan bahwa dia kehilangan Yuki. Ekspresi dan nada bicaranya begitu tenang, tidak menunjukkan kesedihan karena telah di
Ruang Presdir GD GrupMereka berempat duduk saling berhadapan di ruangan presdir, tempat biasanya Rangga bekerja bila sedang berada di kantor. Damian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencermati setiap detail yang ada. Tindakan itu tak lepas dari pengamatan Galih.Galih sengaja berdehem keras untuk membuat Damian melihat padanya. “Siapa Anda?” tanya Galih tanpa basa-basi.Damian terpaksa berpaling dari objek yang sedang diamatinya. “Saya Damian, ayah Yuki. Maaf, maksud saya, saya suami Vivian.”“Kenapa Anda ralat?” pancing Galih.“Karena nyatanya saya bukan ayah Yuki seperti yang saya kira selama ini,” sahut Damian seraya melirik Rangga sinis.“Jangan mengatakan hal yang akan Anda sesali. Saya bisa membuat gadis kecil itu menjadi bagian keluarga Danutirta dan tidak akan bisa dibatalkan oleh hukum manapun. Itu yang Anda mau?” tantang Galih tenang.Mimik Damian berub
Kediaman Danutirta Hanna membawa Maura ke ruang baca, tempat pertama kali Hanna bicara berdua dengan Maura tentang hubungannya dengan Rangga kala itu. “Mama minta, kamu rahasiakan dulu ini dari Yuki. Tadi yang datang adalah pria bernama Damian yang mengaku ayah yuki. Tapi Mama sendiri tidak tahu pasti kebenarannya karena terlanjur kecewa pada sikap Reno.” “Jadi benar, Reno memukul pria itu?” Hanna mengangguk menjawab pertanyaan Maura. “Mama tidak pernah ikut campur bagaimana Papa dan Rangga menyelkesaikan masalah pekerjaan, di luar rumah. Selama mereka masih di dalam kawasan rumah, mereka harus mengikutti aturan yang Mama buat. Tidak ada kekerasan.” Maura manggut-manggut mengerti. “Mama hanya membiasakan semua penghuni rumah ini untuk memberikan contoh baik bagi generasi penerus yang suatu hari nanti akan lahir dan hidup bersama kita di sini. Anakmu, anak Alina bahkan cucu-cucu kalian,” papar Hanna panjang lebar. “Terbukti hari
“Kenapa termenung?” Jelita tertarik dengan respon Maura pada ceritanya. Sejak tadi dilihatnya, gadis muda itu hanya mengangguk dan sesekali mengulum senyum, tapi matanya berkaca-kaca. “Merasa terbebani dengan cerita Eyang?”Maura buru-buru menggeleng. “Tidak, Eyang. Campur aduk rasanya. Kagum mendengar perjalanan hidup Eyang, merasa apa yang saya alami belum ada apa-apanya dan teringat mendiang Mama.”Hanna mengelus punggung menantunya itu perlahan, mengalirkan kehangatan yang merasuk ke dalam hati. “Sayang, semua sudah berlalu. Jangan terlalu larut dalam kenangan. Kamu bisa ciptakan sendiri kehangatan dan kenyamanan dalam keluargamu.”“Ya, Mama benar.” Maura berpaling menatap Hanna dan tersenyum. Ibu mertuanya ini juga memberikan banyak kejutan yang membuatnya kagum. Hanna wanita lembut dan pengertian di luar, bijak dalam menyelesaikan masalahnya dengan Rangga kala itu dan hari ini, Maura melihat keteg
Rumah Sakit Singapura“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rangga saat duduk berhadapan dengan Allen di ruang kerjanya.“Seperti yang sudah pernah saya terangkan, tubuhnya tidak merespon kemo dan radiasi dengan baik. Ketahanan tubuhnya terus turun, begitu pula dengan kadar Hb (Haemoglobin) dalam darahnya.”“Kenapa baru sekarang Anda katakan ini?” pertanyaan yang sarat dengan tuntutan.“Saya sudah menghubungi Damian kemarin, tapi tidak ada respon. Saya juga berusaha menghubungi Anda lewat asisten Anda yang berjaga di sini. Kondisinya menurun dengan cepat.”“Bagaimana sekarang?”“Vivian sedang berada di ruang ICU. Anda bisa menemuinya, tapi tidak bisa lama.”“Apa putrinya juga bisa masuk?”Allen hanya bisa mengangguk karena mengingat kondisi pasiennya yang sedang meregang nyawa. “Bisa, putrinya terutama.”Rangga keluar ruangan sete
Allen sedang menyiapkan ruang kecil yang bebas dari alat medis seperti yang Reno minta. Pria itu datang menemuinya dan meminta izin mengadakan perayaan ulang tahun sederhana untuk Yuki. Ini melanggar aturan Rumah Sakit, tapi dia bisa memaklumi mengingat kondisi Vivian yang terus menurun.Dalam hati, Allen berharap dengan kedatangan Yuki dan lainnya bisa memberikan semangat hidup bagi Vivian. Wanita itu sempat menolak sesi kedua terapinya dan berkata ingin menyerah pada sakitnya.“Dok, aku sudah tidak sanggup lagi menahan ini semua. Tolong sampaikan pada Rangga bahwa aku ingin bertemu dengannya dan Yuki untuk terakhir kalinya.” Begitu yang Vivian katakan seminggu yang lalu, saat Allen melakukan kunjungan rutinnya.“Arrest! Ephi!” Allen berteriak memberikan instruksi. Wanita dengan kulit wajah dihiasi bintik kecokelatan itu, naik ke atas ranjang Vivian, menempatkan kedua lututnya mengungkung tubuh lemah Vivian.Jemari lentik
Maura duduk di salah satu bangku taman Rumah Sakit, mengamati beberapa pasien sedang duduk menikmati udara senja yang mulai dingin. Ada juga perawat dan dokter yang sibuk lalu lalang tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.Maura menghela napas perlahan, mengisi paru-parunya dengan udara hingga penuh lalu mengembuskannya cepat, membuang sesak yang menghimpit dadanya. Namun, usahanya sia-sia. Dadanya masih saja sesak mengingat bagaimana Vivian tersenyum ke arahnya tadi.“Kenapa duduk di sini? Mana Yuki dan Rangga?”Maura menengok ke arah suara yang menyapanya. “Tidak ada, hanya mencari udara segar, di dalam terlalu menyesakkan.”Reno duduk di samping Maura. “Maaf,” ujarnya singkat.“Untuk?”“Rangga mengirim pesan padaku, menceritakan bagaimana Vivian berulah dengan memanfaatkan Yuki lagi.”Maura berdecih lirih. “Aku melakukan ini untuk Yuki. Tapi, apa kau tahu? Dadaku t
Rangga hanya bisa mengepalkan tangan sekuat tenaga agar tidak menyakiti Vivian. Beruntung Vivian adalah seorang wanita, andaikan dia pria, mungkin saat ini Rangga sudah memukulnya hingga babak belur. Melihat Vivian mengkerut seperti plastik terbakar, Rangga menegakkan punggungnya untuk mengurangi ketegangan antara mereka.“Apa yang ada dalam otakmu hingga merencanakan semua ini? Kalian sungguh manusia tidak berperasaan. Apa pernah kau pikirkan perasaan Yuki?!” Rangga menunjuk Vivian kesal, sebelum akhirnya mengibaskan tangannya kasar ke udara.“Ini adalah rencanaku dan Damian agar bisa mendapatkan uang darimu untuk menyelamatkan perusahaannya,” aku Vivian lemah. “Damian yang menyuruhku melakukannya agar dia tidak menceraikanku.” Vivian mulai terisak.“Sejak dia tahu aku sakit, dia melihatku tak lebih dari beban hidup yang segera ingin dia singkirkan. Bahkan dia sengaja mengaku bahwa dia telah lama berselingkuh dariku aga
Maura bangun di pagi hari dengan sekujur tubuh penuh tanda merah dan lemas, tulangnya seperti terlepas dari sendi. Setelah mendapatkan kamar, alih-alih menjawab pertanyaan Maura, Rangga malah membawanya berulang kali jatuh dan melambung dalam gulungan cinta. Pria itu seperti menemukan hidangan lengkap setelah lama berpuasa, rakus dan ganas.Maura menggeser perlahan tubuhnya menyamping menghadap Rangga. Pria itu masih lelap dalam buaian mimpi dengan mata dan bibir terkatup rapat.“Apa yang terjadi antara kalian setelah aku pergi?” bisik Maura seraya membelai rambut suaminya yang berantakan. “Aku merasakan amarah dalam setiap sentuhanmu.”Sentuhan Maura turun ke hidung dengan tulang tinggi dan sedikit bengkok di bagian tengah, membuat pemiliknya mengerjap karena gatal.Wajah Rangga mengkerut, matanya memicing menghalau sinar mentari yang menusuk pupilnya. “Sudah bangun?” sapa Rangga dengan suara berat dan serak. “Ke
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s